Wednesday, 23 November 2016

Contoh makalah “Faktor Perkembangan Tasyrik pada masa Abbasiah”


             MAKALAH

                                 “Faktor  Perkembangan Tasyrik  pada  masa Abbasiah”
Untuk memuhi tugas mata kuliah “Tarikh tasyri’”
Dosen pengampu : Drs. H. Moh. Zaini MM








              Disusun oleh :
            Imam Hanafi






Prodi Pendidikan Bahasa Arab
Jurusan Tarbiyah
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan
2015/2016

KATA  PENGANTAR

Segala  puji dan syukur bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memeberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada  junjungan kita nabi besar Muhammad Saw.
    Pendidikan Islam merupakan suatu  proses untuk mengubah tingkah laku pada kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya yang berfungsi merealisasikan dan mengaktualisasikan  potensi  mahasiswa baik yang berupa ilmu  umum  maupun  agama, serta untuk meningkatkan  kualitas  keimanan  seseorang  terhadap  Allah  dan menambah  wawasan  ilmu  pengetahuan  yang  luas bagi masyarakat.
Setiap insan berkepentingan mengoptimalkan diri meraih hikmah dalam proses pembelajaran supaya dapat memperoleh ilmu agama yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun masyarakat dan memiliki ilmu yang berwawasan luas baik ilmu agama maupun intelektual, untuk itu kami dari  kelompok lima membuat makalah tentang materi ilmu tarikh tasyrik yang membahas tentang faktor perkembangan tasyrik pada masa Abbasiah guna  menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang agama Islam.
Kesempurnaan  hanya  milik  Allah  khilaf  dan  salah hanya milik penulis sebagai hamba-Nya. Penulis sangat menyadari bahwa  isi makalah  ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu  penulis meminta  maaf  atas segala kesalahan  penulisan baik dalam  penulisan  kalimat tanda baca dan penempatan huruf besar. semoga pembaca maupun penulis mendapatkan syafa’at  dan rahmat.



                                                                              Pamekasan, 14 Mei 2016

                                                                             
                                                                                                Penyusun




DAFTAR ISI

 HALAMAN JUDUL......................................................................................................................... i
 KATA PENGANTAR..................................................................................................................... ii
 DAFTAR ISI................................................................................................................................... iii   



BAB I
PENDAHULUAN
                        Dalam  menjalankan  kehidupan yang bermakna dan manfaat  diperlukan adanya upaya untuk membuat waktu yang dimiliki secara efisien, karenanya manusia akan memperoleh keuntungan sesuai yang ia harapkan. Manusia secara instiktif  adalah makhluk sosial, dimana ia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Karenanya ia membutuhkan teman serta masyarakat untuk berinteraksi baik pergaulan bersifat batin ataupun lahiriyah sesuai yang  dibutuhkan.
                        Setiap manusia yang telah di bekali  dengan  rasa ingin  tahu terhadap berbagai macam ilmu, baik itu  berupa  ilmu umum maupun ilmu agama, dalam pendidikan ilmu agama sangat penting untuk mengetahui tentang ilmu tarikh tasyri’ yang merupakan suatu ilmu yang membahas tentang fiqih Islam, di mulai pada masa Rasulullah dan sesudahnya, ditinjau dari  segi ulama dan  keadaan hukum waktu itu dan ciri spesifiknya.
 Diantara pembahasan yang terkandung  dalam  ilmu tarikh tasyri’ ialah  tentang faktor perkembangan dinasti Abbasiah agar kita selaku umat Rasulullah mengetahui secara terperinci dan luas  tentang  pemerintahan daulah Abbasiah        
 Mengerti dan  memahami  secara luas tentang  sejarah  perkembangan Islam baik pada masa Rasulullah dan Abbasiah sangat penting bagi kehidupan manusia, maka dari itu kami dari  kelompok lima membuat  makalah dengan judul “ faktor  perkembangan tasyrik pada masa Abbasiah ” agar dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi semua para pembaca.
1.  Faktor  perkembangan  tasyrik
1.    Dasar  pemikiran madzhab  dan  hukum Islam
2.    Pembukuan fiqh dan ushul fiqh
3.    Pelestarian madzhab dan  akhir  masa keemasan
4.    Pembukuan fiqih dan metode penulisannya
5.    Faktor  penyebab  kemajuan  fiqh Islam pada  masa dinasti Abbasiah
Adapun tujuan dari makalah  ini  ialah untuk mengetahui  :
1.    Faktor  perkembangan tasyrik
2.    Dasar  pemikiran  madzhab dan hukum Islam
3.    Pembukuan fiqh  dan ushul fiqh
4.    Pelestarian  madzhab dan akhir  masa  keemasan
5.    Pembukuan  fiqih dan metode  penulisannya
6.    Faktor  penyebab  kemajuan  fiqh Islam pada  masa dinasti Abbasiah





























 PEMBAHASAN
A.      Faktor  pekembangan tasyri’
Faktor utama yang menjadi  pendorong  perkembangan tasyri’ (hukum Islam)  adalah berkembang adanya penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, romawi dan lain sebagainya ke dalam bahasa arab. Di antara ilmu-ilmu yang di terjemahkan adalah ilmu kedokteran dan ilmu logika.
Melalui gerakan penerjemahan ini, karya Aristoteles, Plato dan Gallen dari Yunani dalam bidang  filsafat,  kedokteran,  dan ilmu pengetahuan dapat di baca umat Islam. Sebagian orang  yang daerahnya di kuasai umat Islam menjadi penganut Islam. [1]
Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan pemikiran adalah luasnya ilmu pengetahuan  termasuk  yang di kumpulkan  dalam satu  mushaf  maupun  di hafal,  pada masa itu corak bacaan yang saheh dan bacaan yang syadzah. Adanya perbedaan bacaan tentunya  akan  mengakibatkan  perbadaan  dalam  istimbath  hukum.
B.       Dasar  pemikiran dan  madzhab  hukum Islam
Di jelaskan oleh Thaha jabir  fayadh al-Ulwani bahwasanya  madzhab fiqih Islam yang muncul setelah sahabat dan Kibar attabi’in berjumlah tiga belas aliran ini berafilyasi dengan aliran ahl-Alsunnah, Namun tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istimbath hukumya. Aliran hukum yang terkenal dan masih  ada  pengikutnya  hingga kini  harta  beberapa  madzhab diantanya  Hanafiah,  Malikiah,  Syafi’iah dan  Hambaliah.
1.    Aliran Hanafiah
Aliran ini didirikan oleh Abu  Hanifah  yang nama lengkapnya adalah al-Nikman Tsabit ibnu Zudhi (80-151 H). Sebenarnya kalau dilihat dari segi  politik  Abu  Hanifah  hidup pada masa bani Umayyah selama 52 tahun, dan masa Abbasiah selama 18 tahun. ia sudah melakukan  ibadah  haji sudah 55 kali.
Ketika Yazid ibnu Umar Hubairoh (pada masa Umayyah) menjadi gubernur Irak , Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan atau  bendaharawan  negara,  tetapi  ia  menolak  oleh  karmanya ia  ditangkap dan di penjarakan.  Bahkan dicambuk, namun karena
pertolongan juru cambuk ia berhasil meloloskan diri dan pindah ke Mekkah. Setelah pemerintah  Umayyah  berakhir, ia  kembali ke Kuffah dan  menyambut kekuasaan Abbasiah .
Tidak berbeda jauh dengan pemerintahan bani Umayyah, Ahl al-Bait juga mendapatkan  perlakuan  kasar dari bani Abbas, oleh  karena itu Abu Hanifah mengkritik para
hakim dan mufti  pemerintah. Ketika oleh al-Mansur diminta  menjauh hakim di pengadilan, ia menolaknya,  akhirnya ia  dipadan di cambuk hingga  meninggal pada tahun 150 H .[2]
2.    Aliran Malikiah
Aliran ini didirikan oleh Imam Malik, yang mempunyai nama lengkap Malik bin Anas lim Akmr al- Asbini, ia lahir di Madinah pada tahun 93 H. Lahir pada masa al-Walid bin abdul Malik (bani Umayyah) dan meninggal pada masa Harun ar-Rasyid (bani Abbasiah) ia merasakan  pemerintahan bani Umayyah  40 tahun dan  masa  Abbasiah 46 tahun.
Pada masa itu pemberontakan rakyat sering terjadi karena disebabkan oleh kezaliman para  penguasa pada  masa itu. tetapi, ia tidak  pernah memihak kepada pemberontak dan tidak pula kepada pemerintah. Hal ini dilakukan karena pemberontak tidak akan mampu memperbaiki keadaan. Disamping itu ia sering menyaksikan pemerintah melakukan penindasan terhadap lawan politiknya, seperti  terhadap keturunan Ali bin abi tolib.
3.    Aliran Syafi’iah
Aliran ini didirikan oleh imam as-Syafi’i yang nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Idris ibnu Utsman ibnu Syafi’i ibnu Ubaid abd Yazid ibnu Hasyim ibn abd Manaf. Dan lahir pada masa Abbasiah tepat pada zaman kekuasaan Abu Jakfar al-Mansur, ia belajar hadats dan fiqih Mekkah setelah  itu  ia pindah  ke Madinah untuk belajar kepada imam Malik. Syafi’i kembali ke Mekkah dengan membawa pengetahuan tentang fiqih Irak. Di masjid al-Harom ia mengajarkan fiqih dalam dua corak , yaitu corak Madinah dan corak Mekkah.
Imam Syafi’i seperti dikatakan mana’ al-Qothathan, mengatakan bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat, pertama, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua, Ijma’ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam  keduanya. Ketiga, qoul sebagai sahabat  nabi yang  paling berbeda-beda. Kelima, qiyas.
4.    Aliran Hambali
Aliran ini didirikan oleh  Ahmad ibnu Hambal, yang nama lengkapnya adalah abu Abdullah  ibn Hambal ibn Hilal ibn Asad al-Saibani al-Marwazi (164-241 H) ia termasuk ulama ahli hadits dan fiqih yang sudah terkenal dan berpengaruh di masyarakat, karena  itu,  ia pun  terkena  minhah tentang  kemakhlukan al-Qur’an.
Manurut al-Ulwani, cara  ijtihad Ahmad  ibnu Hambal sangat dekat dengan cara ijtihad yang dilakukan al-Syafi’i ibn Qayyim al- Jauziyah  menjelaskan pendapat - pendapat Ahmad an ibn Hambal di bangun  atas 5 dasar yaitu:
a.    Nash al-Qur’an dan as-Sunnah apabila telah ada ketentuan di dalam keduanya, ia berpendapat sesuai dengan  makna  yang  tersurat, makna  yang tersirat diabaikan.
b.    Apabila  tidak di dapatkan dalam dua nash itu ia menukil fatwa sahabat.
c.    Apabila fatwa sahabat  berbeda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada dua nash tadi.
d.   Menggunakan hadits mursal dan hadits dla’if tidak di dapatkan, ia menggunakan qiyas, jika memang terpaksa.
5.    Aliran al-Zhahiri
Aliran ini didirikan oleh Daud ibn ali al-Asbhani (220-270 H) yang nama lengkapnya adalah Abu Sulaiman Daud ali ibn Khallaf al-Afghani al-Baghdad, al-Zahiri menantang qiyas dan mengajukan dalil dalam memahami nash. Ia mempertegas ijtihadiyah dengan  mengatakan bahwa sumber hukum pokok  hanyalah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’.
Menurut al-Zahiri, al-Qur’an yang ditulis dalam kertas dan beredar itu bersifat makhluk (baru) sedangkan al-Qur’an yang tertulis di lauh mahfudz bukan makhluk, dengan demikian, yang di maksud  al-Qur’an tidak di sentuh kecuali orang yang disucikan.
            Dengan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam dan berkembangnya peradaban serta ditemukannya berbagai kejadian dan peraturan-peraturan yang merupakan lapangan ijtihad, maka para fuqoha berijtihad dalam memahami nash-nash dan istimbath dalam hal-hal yang tidak  ada nashnya. Setelah mengambil pedoman pembentukan hukum secara  khusus, masing-masing mujtahid terdorong untuk meletakkan pokok-pokok landasan ijtihadnya, dan setiap mujtahid menjabarkan prinsip-prinsip (ushulnya) ditengah-tengah masalah dan hukumnya sehingga lahirlah ushul fiqih.
                      Walaupun madzhab fiqih banyak bermunculan, yang berkembang relativ sedikit, menurut sebagian pendapat, jumlahnya  madzhab ada sekitar 13 aliran, aliran fiqih yang masih bertahan hingga sekarang, yang jumlahnya relativ sedikit itu, dimungkinkan karna adanya dukungan penguasa.
                      Sulaiman al-Asghar mengatakan bahwa dinasti Abbasiah berjasa dalam melestarikan madzhab Hanafi dengan mengangkat Abu Yusuf sebagai qodhi al-Qudhad (hakim agung) dinasti fatimiah berjasa dalam melestarikan madzhab Ismaillah dinasti Umayyah di Andalusiah berjasa dalam melestarikan madzhab Maliki. Dinasti Ayyubiah di mesir berjasa dalam melestarikan madzhab Syafi’i  dan dinasti Su’udiah di Saudi arabiah berjasa dalam melestarikan  madzhab  Hambali.
                      Setelah itu, terjadi akhir masa keemasan fiqih Islam yang ditandai dengan ketidak munculan  mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan  mikanisme berfikir  higga tidak ada lagi  mujtahid  pendiri  madzhab.
                      Pada periode ini fiqih berkembang pesat setelah  pada  periode  sebelumnya diletakkan dasarnya oleh para  tabi’in, periode ini ditandai dengan munculnya Imam madzhab yang terdiri dari  madzhab  Hanafi, madzhab  Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali. Pada awal periode ini terjadi perdebatan sengit antara ahlul hadits dan ahlul ra’yi pada akhirnya pertentangan ini data mereka takkal al-Ra’yi dapat dianggap  sebagai  salah  satu cara dengan meng-istimbatkan hukum fiqih melalui batasan dan kaidah yang ditentukan oleh Ahlul Ra’yi sehingga dengan mereka buat tersebut mereka terhindar dari tuduhan menetapkan hukum dengan hawa nafsu yang terlepas dari dalil Syar’i.
                      Imam abu zabrah (ahli usul fiqih dan kalam) mengemukakan bahwa perdebatan ini tidak berlangsung lama karena pada murid imam madzhab melakukan interaksi dengan madzhab lainnya seperti  halnya yang dilakukan oleh imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, sahabat imam Hanafi  yang sengaja mendatangi hedzjaz untuk mempelajari kitab “al-Mawatta” karangan imam Malik, imam Syafi’i, menemui imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani ke Irak dan dan imam Abu yusuf , sahabat imam Hanafi berusaha mencari hadits yang tidak  mendukung  pendapat Ahlul  Ra’yi. Oleh karena itu, terlihat banyak kitab fiqih dari kedua kelompok  ini  yang dipenuhi oleh  hadits  dan ra’yu.
                      Pada awal periode ini juga dilakukan pembukuan kitab fiqih yang dilakukan oleh setiap madzhab, diantaranya kitab al-muwatta oleh imam Malik, kitab umum oleh imam Syafi’i dan kitab fiqih yang disusun oleh Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid imam Hanafi) demikian juga sedangkan ilmu usul fiqih paling awal adalah buku ar-Risalah karangan imam Syafi’i.
                      Perkembangan yang ada juga membawa dampak yang lebih luas fiqih tidak saja di istimbatkan dan disusun sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat dan sesuai dengan kehendak perkembangan zaman, tetapi juga muncul hukum fiqih yang membahas tentang berbagai  kemungkinan dalam  masalah-masalah fiqih yang  sebelum terjadi.
                      Perhatian  yang begitu besar itu, misalkan dapat dilihat ketika khalifah ar-Rasyid memanggil imam Malik untuk mengajarkan kitab “muwattha” kepada kedua putranya al-Amin dan al-Makmun. Imam Malik dengan tegas meolak suratnya dikirim kepada al-Rasyid amirul mukminin yang mulia untuk  memperoleh ilmu yang  diperlukan  usaha.
                      Pada pemerintahan daulat Abbasiyah muncul era baru dalam penulisan fiqih, setiap ahli fiqih menulis sendiri pendapat dan fatwa mereka kemudian mengajarkannya kepada muridnya dengan demikian intensitas pengajaran fiqih semakin berkembang dan fiqih juga mulai dipelajari oleh kalangan umum, apalagi fiqih pada saat ini yang ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami.
                      Atas  metode  penulisan  fiqih  yang  berkembang  pada saat itu, antara lain :
1.    Metode pertam  penulisan fiqih bercampur  dengan hadits, dan  fatwa para sahabat dan para tabi’in dari metode ini yang sampai ke zaman kita sekarng adalah muwatta selain muwatta  jami’ kabir, karya syfyan tsauri dengan ikhtilaf dan al-Hadits karya imam Syafi’i dapat digolongkan kedalam buku yang mempergunakan metode ini.
2.    Metode kedua fiqih ditulis secara terpisah dari hadits dan antara suatu metode penulisan fiqih yang banyak digunakan oleh para fuquha hanfiyah al-Kharaj, karya Abu yusuf dapat digolongkan dalam penulisan metode ini termasuk dari metode ini juga adalah buku dhahir  al-Riwayat al-Sittah, karya Muhammad bin hasan kumpulan dari enam buku yang di tulis Muhammad bin hasan ini buku al-Ashl, al-Jami, al-Kabir, al-Jami’dan al-Saghir memuat pendapat imam abu hanifah dari riwayat yang paling mu’tabar. Buku ini disusun kembali oleh hakim syahid dalam suatu buku yang diberi judul “al-Kafi dan di syarah secara panjang lebar sarakhsi dalam bukunya al-Mabsuth, al-Muwaddah adalah karya terbesar dalam madzhab malik yang juga di golongkan dalam metode kedua ini.
3.    Metode ketiga penulisan komparatif fiqh al-Umm adalah karya syafi’i yang pertama mengajarkan metode ini. Dalam bukunya yang disampaikan secara lisan kepada muridnya di Mesir imam Syafi’i mengemukakan pendapatnya tentang berbagai persoalan lengkap dengan dalil dan argumentasinya, kemudian mendiskusikan pendapat ulama lain dalam persoalan yang sama. Metode ini banyak mendapat sambutan dari ulama’ sesudahnya terutama pada era kebangkitan kembali fiqih.[3]
Keistimewaan dari buku yang ditulis pada periode ini adalah pengugkapannya yang mudah dan jelas artinya. Penggunaaan bahasa yang gamblang seperti yang dipakai ulama periode ini yang menjadikan fiqih mudah di pahami dan dipelajari oleh siapapun, dan ternyata buku ini atau buku klasik secara umum yang sekarang akrab disebut kitab kuning, yang sulit dipahami karena menggunakan bahasa arab yang rumit itu ditulis sesudah periode ini, yaitu ketika fiqih mengalami kemujudan.
       1. Perhatikan khilafah dinasti Abbasiah terhadap fiqih dan fuqaha’
                   Para khalifah dinasti Abbasiah sangat memberikan perhatian kepada fiqh, berbeda dengan khalifah Umayyah yang lebih konsentrasi dengan masalah politik sehingga mereka mampu memberi corak Islam pada negara dan menjadikan agama sebagai poros rotasi semua pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek di bawah ini.
a.    Semua undang-undang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah, terutama yang terkait    dengan urusan pemerintahan.
b.    Memberikan perhatian terhadap as-Sunnah dan mengumpulkan hadits, ditulis dan di bukukan seperti musnad imam Ahmad , Shahih al-Bukhori, dan yang lainnya.
c.    Para khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama’ memberi mereka kafalah (bantuan) dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam menentukan hukum.
d.   Perhatian para khalifah juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqoha’ untuk meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam  mengatur  urusan negara.
2. Perhatian dan semangat tinggi  untuk mendidik para Penguasa dan keturunannya dengan pendidikan Islam
     Hal  ini dapat  dilihat dari beberapa indikator  dan contoh sebagai berikut.
                 Pertama, al-Mahdi mengirimkan anaknya al-Hadi dan ar-Rasyid  kepada seorang alim dan memintanya untuk mengajari mereka al-Qur’an, sunnah, dan menjelaskan keagungan para ahli hikmah serta nasihat-nasihat mereka.
                 Kedua, khalifah Harun ar-Rasyid mengirimkan kedua anaknya al-Amin dan al-Makmun untuk ikut majelis ilmu imam Malik di Madinah, ketika ia tidak mau dating ke istana mengajarkan anaknya.
                 Ketiga, ketika imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani menulis kitab as-Siyar (sejarah), khalifah ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya menemui sang imam mendengarkan pelajarannya tidak di ragukan lagi bahwa perhatian para khalifah terhadap fiqih dan fuqaha’ berpengaruh besar terhadap kemajuan ilmu pada zaman ini.
3.    Iklim kebebasan berpendapat
Para ulama pada zaman ini mempunyai kebebasan menyatakan pendapat dalam melakukan kajian ilmiah, tidak ada satu penguasa pun yang dapat mengikat mereka, siapa pun ia. Oleh karena itu mereka melakukan istimbat hukum dari berbagai sumber, mengamalkan dan mengajarkan  kepada orang banyak  tanpa ada perasaan sungkan jika bertentangan dengan pendapat ahli fiqih yang lain sehingga dalam satu masalah bisa ditemukan  banyak pendapat di sebabkan banyaknya mujtahid
4.    Maraknya diskusi dan debat ilmiah di antara  para  fuqaha’
Perbedaan dalam kitab fiqh sudah terjadi sejak  zaman  sahabat dan tabi’in seperti yang sudah kami jelaskan, seperti perbedaan mereka tentang warisan kakek bersama saudara kandung dan memerangi orang-orang yang tidak mau membayar  zakat, akan  tetapi perbedaan ini semakin menguat ketika muncul madrasah logika di Irak dan madrasah ahli hadits  di Hijaz.
a)    Dinamika debat ilmiah pada masa dinasti Abbasiah
Debat atau polemik pada masa ini berkisar pada masalah lafal dari segi bahasa, apakah ia bermakna hakikat atau majaz (kiasan) yang mencakup beberapa hal, diantaranya :
a.    Al-Qur’an  dan sunnah serta hubungan diantara keduanya.
b.    Pendapat para sahabat dan amalan penduduk Madinah serta tingkat ke-hujjah-annya.
c.    Qiyas, istihsan, maslahat, mursalah, dan yang lainnya yang di jadikan sebagai rujukan   fuqaha’  dan meng-istinbat hukum.
b)   Pengaruh debat ilmiah bagi
          Perdebatan fiqh secara meluas diantara fuqaha’ pada zaman ini telah melahirkan dua fenomena
         Pertama, kecenderungan para fuqaha’ untuk  menggunakan metode debat ketika mereka menulis buku. Hal ini dapat di lihat secara jelas dalam kitab al-Umm yang ditulis oleh imam asy-Syafi’i  yang memuat banyak  perdebatan antara beliau dengan fuqaha’ dan juga dan juga dalam kitab-kitab lain yang ditulis pada zaman ini.
          Kedua, luasnya ruang lingkup kajian fiqh dan munculnya pendapat-pendapat fiqh sehingga semakin menambah kemajuan fiqh itu sendiri.
c)  Tujuan debat ilmiah
Debat ilmiah yang terjadi pada masa ini sebenarnya bertujuan  agar bisa sampai kepada kebenaran dan memahami hukum syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap jawaban terhadap masalah yang muncul.
Kondisi ini mulai menyimpang pada zaman muta’akhirin sebagai pengikut ulama madzhab, dimana mereka menjadikan debat ini sebagai wasilah (cara) untuk menguatkan pendapat dan memenangkan imam yang di ikuti dan tidak siap menerima pendapat orang lain.
5.    Banyaknya  permasalah baru  yang  muncul
Penaklukan yang dilakukan pasukan Islam semakin meluas pada zaman dinasti Abbasiah, cahaya Islam memancar ke seluruh negeri membawa peradaban yang gemilang para fuqaha’ yang sudah menyebar ke berbagai negeri kemudian menemukan banyak adat istiadat, aturan sosial, hukum, dan ekonomi yang  sebelumnya tidak  mereka temukan sehingga mereka harus memberikan jawaban dan pendapat sesuai dengan syari’at Islam.
6.    Akulturasi budaya dengan bangsa-bangsa lain
Umat Islam terdiri dari beberapa ras, seperti Arab, Persia, Romawi, dan penganut agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, dan yang lain.
Ketika Islam mengikat dan melunakkan hati mereka dalam satu barisan politik serta menghilangkan segala perbedaan yang ada  mereka pun saling bertukar adat istiadat, ilmu, dan pengalaman hidup. Sudah tentu hal ini akan  memberikan  pengaruh terhadap kematangan berpikir dan  pengembangan intelektualitas, ditambah lagi dengan kerapnya komunikasi ilmiah dan sosial diantara mereka, kitab-kitab ilmu di terjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti kedokteran, kimia, filsafat dan  mantiq.
7.    Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab
Berdasarkan perjalanan sejarah dan catatan peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah Islam, disebutkan bahwa pada masa Rasulullah ilmu belum ditulis kecuali al-Qur’an, sedangkan sunnah dan hukum fiqh tersimpan dalam dada para sahabat.














1.    Faktor utama yang menjadi  pendorong  perkembangan tasyri’ (hukum Islam)  adalah berkembang adanya penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, romawi dan lain sebagainya ke dalam bahasa arab. Di antara ilmu-ilmu yang di terjemahkan adalah ilmu kedokteran dan ilmu logika.
2.    Pada pelestarian madzhab ada sekitar 13 aliran, aliran fiqih yang masih bertahan hingga sekarang, yang jumlahnya relativ sedikit setelah itu terjadilah akhir masa keemasan fiqih Islam yang ditandai dengan ketidak  munculan  mujtahid mutlak yang dapat membangun cara dan  mikanisme berfikir  higga  tidak  ada lagi  mujtahid  pendiri  madzhab.
1.    Berdasarkan isi  dari makalah ini  hendaklah dalam menjalani kehidupan di dunia ini  lebih  memperluas dalam memahami tentang hal yang berkaitan degan ilmu agama ilmu agama seperti halnya tentang ilmu tarikh tasyrik karna hal itu sangat berkataitan dengan agama dan masa kepemimpinan Rasulullah dan para sahabat.
2.    Dalam pembuatan  makalah  ini  apabila  terdapat  beberapa kesalahan dalam cara penulisan baik penempatan kalimat maupun pembahasan penulis meminta maaf dan sekiranya pembaca dapat memperbaiki kesalahan dalam pembuatan makalah.



         










DAFTAR PUSTAKA

Tarikh tasyri’/Sejarah Legilasi hukum Islam, Dr. Rasyad Hasan Khalil, Jakarta 13220, Cet 1    Oktober 2009, cet 2, April 2011.
Himpunan intisari kuliah Tarikh tasyri’/ Drs. H. Moh. Zaini. MM,  cet 1.- Pamekasan :   STAIN  Pamekasan  press 2009, Pamekasan Madura.






[1] Nasution Harun . 1973 : 11- 12
[2] Nasution, Harun : 173
[3]  Sirry. A. Mun’im 1995 :75