KATAGORISASI ILMU : ILMU HUMANIORA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Integrasi Sains Dan
Agama
Yang dibina oleh Edi Susanto
Oleh:
Imam Hanafi
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
secara eksplisit humaniora tercantum di dalam KIPD II, dalam
rangkaian humaniora, filsafat, metodologi, etik dan hukum kedokteran. Hal ini
bertujuan untuk memberi landasan bagi
pemahaman tentang ilmu dan profesi kedokteran. Akan tetapi tidak ada ketetapan
lebih lanjut tentang arahan, tujuan, lingkup bahasan cabang ilmu, dan buku ajar
sebagai rujukan. Hal-hal tersebut diserahkan kepada masing-masing fakultas
kedokteran.
Dalam KIPDI III, yang dikenal dengan kurikulum berbasis kompetensi,
kata humaniora tidak lagi secara eksplisit dicantumkan, tetapi terdapat 2
kompetensi yang berkaitan dengan etika, yakni 1) kompetensi komunikasi,
kemampuan berkomonikasi efektif secara etis, dan 2) etika, moral, medikolegal,
profesionalisme dan kesalamatan pasien.
Perubahan ini mencerminkan lebih difokuskannya humaniora kepada
etik, yang antara keduanya bersinggungan, bahkan adanya bagian yang bertumpang
tindih.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dan katagori dalam humaniora?
2.
Bagaimana sejarah
singkat ilmu humaniora?
3.
Bagaimana
karakteristik ilmu humaniora?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian dan katagori dalam humaniora.
2.
Mengetahui
sejarah singkat ilmu humaniora.
3.
Mengetahui
karakteristik ilmu humaniora.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan
katagori dalam humaniora
Humaniora, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka: 1988),
adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat
manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.
Kategori yang tergolong dalam ilmu
ini antara lain: Teologi. Filsafat.
·
Teologi
·
Filsafat
·
Hukum
·
Sejarah
·
Filologi
·
Kesenian
B.
Sejarah
singkat ilmu humaniora
Penelusuran atas pengertian
humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu titik tolak
yang sangat penting. Woodhouse dalam artikelnya yang berjudul The Nature of
Humanities: Historical Perspektive menegaskan bahwa istilah humaniora
yang berasal dari program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya
humanitas sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal.
Penggunaan istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna
dalam cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas,
perasaan, dan peningkatan martabat kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif
daripada deskriptif.
Gellius mengidentikkan humanitas
dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora) yang
ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara yang
bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program
pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora
berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman
Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas,
sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup
gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara
apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan
esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas
dan studi humanitatis.
Pada zaman modern, pengertian
humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu:
- Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah lakuyang mengarah pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan.
- Tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu pada
perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama
pendidikan liberal. Selanjutnya da;am sistem pendidikan di Barat dikenal
istilah artes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon
disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggapmempunyai fungsi
pengembangan “humanitas” dalam diri manusia. Meskipun pada zaman Aufklarung humaniora
banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar pendidikan pada abad
ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan perbedaan antara ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua kelompok yakni
Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft. Setelah itu humaniora
tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi lebih
dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities
menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi
dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak
dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi
bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala
ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan
yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s
International Conference on Cultural Studies dikemukakan bahwa bidang humaniora sebagaimana
halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan
fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini
mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya
terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun
unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam
kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial,
juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun sebagian besar
masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge. Kendatipun
demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak yang
ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di Indonesia
dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat memperdayakan
ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih luas.
Sastrapratedja menegaskan bahwa humaniora pada abad XX mengalami perubahan yang
mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti:
proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX; perkembangan ilmu
pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan
ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan;
universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas.
Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan
memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih
cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula dirasakan
kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya otonomisasi
kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas akan dihargai
kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia kerja dengan
masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan lagi seberapa
besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik seorang
lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan memiliki
keahlian dalam bidang x.
C.
Karakteristik
ilmu humaniora
Humaniora merupakan studi yang
memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas,
kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai,
sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak
hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil
aka, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da
Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh
sebelum ditemukannya helikopter. Humanities sebagai kelompok ilmu pengetahuan
mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik, linguistik, kesusastraan,
sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial
yang memiliki isi humanitis dan menggunakan metode humanitis. J. Drost dalam
artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang
menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada
mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika.
Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai
sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia
terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat
dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik
agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan
diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Kemudian dari Trivium
berkembang ke quadvirium yaitu geometri, aritmatika, musik (teori
akustik), dan astronomi. Drost menegaskan bahwa seorang mahasiswa harus
memiliki kematangan baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh
studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur
yang telah terbentuk. Mahasiswa yang siap mulai studi di perguruan tinggi
adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang
kritis adalah seorang yang antara lain mampu membedakan macam-macam pengertian
dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan.
Ignas Kleden menyitir pendapat J.
Habermas menunjukka lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori
hitoris-hermeneutis sebagai berikut.
- Jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti.
- Ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta).
- Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan prapengertian. Pemahaman situasi orang (Rizal Mustansyir, Refleksi Filosofis atas Ilmu Ilmu Humaniora 213) lain halnya mungkin tercapai melalui pemahaman atas situasi diri sendiri terlebih dahulu. Pemahaman terjadi apabila tercipta komunikasi antara kedua situasi tersebut.
- Komunikasi tersebut akan menjadi intensif apabila situasi yang hendak dipahami oleh pihak yang memahaminya diaplikasikan kepada dirinya sendiri.
- Kepentingan yang ada disini adalah kepentingan untuk mempertahankan dan memperluas intersubjektivitas dalam komunikasi yang dijamin dan diawasi oleh pengakuan umum tentang kewajiban yang harus ditaati. Kesimpulannya ilmu humaniora akan menghasilkan interpretasi-interpretasi yang menungkinkan adanya suatu orientasi bagi tindakan manusia dalam kehidupan bersama.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Humaniora ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia
lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini semoga menjadi bahan pembelajaran bagi
pembaca dan bermanfaat. Dalam pembuatan makalah ini penulis membutuhkan proses
agar sesuai dengan isi dari tema pembahasan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan
oleh pembaca jika ada kesalahan-kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis. Amin.
DAFTAR RUJUKAN