Sunday, 18 December 2016

MAKALAH SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA -MAKALAH SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA


MAKALAH


 SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UAS Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dengan Dosen Pengampu : MOH.AFANDI M.H.I



Disusun Oleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN



KATA PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Hamdan wasyukran laka ya Allah merupakan kalimat pertama yang penyusun haturkan kepada sang maha segalanya, Ilahi Rabbi Azza Wajalla, karena berkat limpahan maunah, rahmat dan maghfirah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawatullah semoga selalu tetap tercurah limpahkan kepada sang reformis dunia pembawa kedamaian dengan Agama Islam, Muhammad SAW., serta keluarga, sahabat, tabi’in dan orang-orang shaleh yang telah meneruskan ajarannya di permukaan bumi ini.
Dengan Ridho dan maunah Allah, makalah ini dapat penyusun selesaikan. Makalah ini menjelaskan secara ringkas tentang “Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”Meskipun saya menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan.
            Saya  ingin mengucapkan terima kasih, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia  yaitu Moh.Afandi, M.H.I yang tiada henti memberikan sumbangsih ilmu dan motivasi sehingga makalah ini dapat terealisasi. Dan juga kepada teman-teman saya yang terus menerus memberikan bantuan dan dukungan kepada saya terhadap penyusunan makalah ini.
            Seperti yang telah di kutip di awal bahwa dalam penulisan makalah  ini sebenarnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat mindidik. Akhirnya dari  saya apabila ada kesalahan saya mohon maaf  karena saya juga manusia yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa.           









           

DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………………………i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………..ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang……………………………………………………………………...……iv
B.     Rumusan Masalah…………………………………………………………………………v
C.     Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………..v
BAB II PEMBAHASAN
A.    Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan………………………...…..1
B.     Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan……………………………………………………………………………...6
C.     Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia………………………...………14
BAB III PENUTUP
A.           Kesimpulan………………………………………………………………..………...16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...…………17















BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam hukum Indonesia hukum kelurga mendapatkan perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan. 
Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif lainnya. Maka dalam makalah ini penulis mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum kelurga islam ini.
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis. Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga. Telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Telaah hukum dalam perspektif kesejarahan tidak saja melihat hukum dari sudut perkembangan, tetapi juga memahami hukum yang ada pada saat tertentu sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan sejarah dan kita perlu melihatnya dalam kerangka konsep budaya yang berubah-ubah. Aliran sejarah hukum melihat hukum suatu bangsa sebagai suatu unikum, dan oleh karenanya senantiasa hukum yang satu berbeda dari hukum yang lain. Perbedaan itu terletak pada karaktristik pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Jika dikatakan hukum itu tumbuh, itu berarti ada hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu.
B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan ?
2.      Bagaimana Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan ?
3.       Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
C.  Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan
3.      Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
.




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.      Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.      Mengetahui Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A.    Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
1.      Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]


2.      Masa Penjajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.      Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[8][8]
4.      Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (9).[11][11]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.      Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.      Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.      Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:
a.       Ayat (1) : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
b.      Ayat (2): tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.

B.     Sejarah Lahirnya KHI
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare” yang  mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]








                             






BAB III
PENUTUP

Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya bangsa Indonesia.









DAPTAR PUSTAKA

Abdurrahman,  kompilasi hukum Islam di Indoesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006).
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata : Prenada Media, 2004).
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo, R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.      Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.      Mengetahui Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A.    Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
1.      Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]


2.      Masa Penjajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.      Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[8][8]
4.      Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (9).[11][11]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.      Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.      Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.      Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:
a.       Ayat (1) : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
b.      Ayat (2): tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.

B.     Sejarah Lahirnya KHI
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare” yang  mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]








                             






BAB III
PENUTUP

Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya bangsa Indonesia.









DAPTAR PUSTAKA

Abdurrahman,  kompilasi hukum Islam di Indoesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006).
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata : Prenada Media, 2004).
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo, R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).


















 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.      Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.      Mengetahui Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A.    Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
1.      Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]


2.      Masa Penjajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.      Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[8][8]
4.      Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (9).[11][11]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.      Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.      Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.      Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.      Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:
a.       Ayat (1) : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
b.      Ayat (2): tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.      Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.

B.     Sejarah Lahirnya KHI
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare” yang  mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]








                             






BAB III
PENUTUP

Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya bangsa Indonesia.









DAPTAR PUSTAKA

Abdurrahman,  kompilasi hukum Islam di Indoesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Ihromi, T.O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006).
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata : Prenada Media, 2004).
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo, R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990).
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).