MAKALAH
SEJARAH HUKUM PERKAWINAN DI
INDONESIA
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas UAS Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dengan Dosen
Pengampu : MOH.AFANDI M.H.I
Disusun Oleh:
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
KATA
PENGANTAR
بسم الله الر حمن الر حيم
Hamdan
wasyukran laka ya Allah merupakan kalimat pertama yang penyusun haturkan kepada
sang maha segalanya, Ilahi Rabbi Azza Wajalla, karena berkat limpahan maunah,
rahmat dan maghfirah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Sholawatullah
semoga selalu tetap tercurah limpahkan kepada sang reformis dunia pembawa
kedamaian dengan Agama Islam, Muhammad SAW., serta keluarga, sahabat, tabi’in
dan orang-orang shaleh yang telah meneruskan ajarannya di permukaan bumi ini.
Dengan
Ridho dan maunah Allah, makalah ini dapat penyusun selesaikan. Makalah ini
menjelaskan secara ringkas tentang “Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”Meskipun saya menyadari bahwa makalah
kami masih jauh dari kesempurnaan.
Saya
ingin mengucapkan terima kasih, khususnya kepada dosen pengampu mata
kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia
yaitu Moh.Afandi, M.H.I yang tiada henti memberikan sumbangsih
ilmu dan motivasi sehingga makalah ini dapat terealisasi. Dan juga kepada
teman-teman saya yang terus menerus memberikan bantuan dan dukungan kepada saya
terhadap penyusunan makalah ini.
Seperti yang telah di kutip di awal
bahwa dalam penulisan makalah ini
sebenarnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan
kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat mindidik. Akhirnya dari saya apabila ada kesalahan saya mohon
maaf karena saya juga manusia yang tidak
pernah lepas dari salah dan lupa.
DAFTAR
ISI
Halaman Judul……………………………………………………………………………………i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………..ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang……………………………………………………………………...……iv
B.
Rumusan Masalah…………………………………………………………………………v
C.
Tujuan
Penulisan…………………………………………………………………………..v
BAB II PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahirnya UU No.
1 tahun 1974 Tentang Perkawinan………………………...…..1
B.
Sejarah Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan……………………………………………………………………………...6
C.
Sejarah Lahirnya
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia………………………...………14
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan………………………………………………………………..………...16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...…………17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam hukum Indonesia hukum kelurga mendapatkan perhatian tersendiri.
Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga
dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar
jika bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan,
termasuk dalam perkawinan.
Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan
perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan
spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan
secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya
dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka
menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan perlindungan
dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata lain, UU
Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing anggota
keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif lainnya.
Maka dalam makalah ini penulis mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum
kelurga islam ini.
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua
lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat,
bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua
orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang
didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah
tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi
masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan
berwawasan nusantara.
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus
globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat
cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah,
hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua
bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis. Untuk memelihara dan melindungi
serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah
undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga. Telah lama umat Islam di
Indonesia ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul
pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai
pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru
dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Telaah hukum dalam
perspektif kesejarahan tidak saja melihat hukum dari sudut perkembangan, tetapi
juga memahami hukum yang ada pada saat tertentu sebagai hasil dari
kekuatan-kekuatan sejarah dan kita perlu melihatnya dalam kerangka konsep
budaya yang berubah-ubah. Aliran sejarah hukum melihat hukum suatu bangsa
sebagai suatu unikum, dan oleh karenanya senantiasa hukum yang satu berbeda
dari hukum yang lain. Perbedaan itu terletak pada karaktristik pertumbuhan yang
dialami oleh masing-masing sistem hukum. Jika dikatakan hukum itu tumbuh, itu
berarti ada hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang
lalu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan ?
2. Bagaimana Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa
Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan ?
3. Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. Untuk Mengetahui Sejarah Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Pada Masa
Kolonialisme dan Pada Masa Kemerdekaan
3. Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial
bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia.
Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk
melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan
tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa,
berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial
yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era
globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis,
kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan
anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang
mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia
ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa
kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat
terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH
LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A.
Sejarah
Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang
dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai
berikut:
1.
Masa
Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada
abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab
Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat
Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian
timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]
2.
Masa
Penjajahan
Pada masa
kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di
Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga
pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan
Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium
Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).
Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur
berubah terhadap hukum Islam.
Pada
Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.
Pada
permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan
Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan
berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan
oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang
beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh
organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan hukum Islam.
3.
Masa Awal
Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang
perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai
Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4
tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan
Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau
kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan.
Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19
tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga
dan seterusnya.
Pada tanggal
6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang
secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei
1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan
oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah
perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon
pengantin.[8][8]
4.
Masa
Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang.
Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa
dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah
mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan
yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo
mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah
mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam
perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal
tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian
pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan
dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu
berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar
supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan
Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara
lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
(BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI,
1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso
Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk
memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak
berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU
tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan
undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada
rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium
Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar
supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal
11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya,
setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal
31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73
(tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum
bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan
hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi
keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang
yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan
Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri
Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan
Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September
1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan.
Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR.
Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal
dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama
yang dianut.
Menurut
Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam
(fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan
(9).[11][11]
Kemudian
pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil
fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri
Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR
untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan
tersebut.
Secara
bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan
lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi
PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.
Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.
Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat
pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946
dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.
Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak
mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.
Pasal 2 ayat
(1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai
berikut:
a.
Ayat (1) :
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu;
b.
Ayat (2):
tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5.
Mengenai
perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari
14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti
dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang
rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
B.
Sejarah
Lahirnya KHI
Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI
ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian
kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare”
yang mempunyai arti mengumpulkan
bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi
adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian
atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu
pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih
sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal
ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga
tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama.
Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para
hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya
kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan
kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini
disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara
material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil
dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini
didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.
Untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman
dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2.
Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3.
Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.
Di dalam
sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1).
Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan
Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3).
Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim
pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI
dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya
menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama,
cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti
dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres
tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22
Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai
sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI
itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama
adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di
Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan
hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai
pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya
mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai
perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka
menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara
singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya
di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai
pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah
terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah
menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap
terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah
sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu
kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya
bangsa Indonesia.
DAPTAR PUSTAKA
Abdurrahman, kompilasi hukum Islam di Indoesia,
(Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka,
1989).
Ihromi, T.O.
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana,
2006).
Nuruddin,
Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata
: Prenada Media, 2004).
Poesponegoro,
Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta:
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo,
R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum
dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi
Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990).
Sosroatmodjo,
Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial
bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia.
Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk
melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan
tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa,
berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial
yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era
globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis,
kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan
anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang
mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia
ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa
kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat
terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH
LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A.
Sejarah
Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang
dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai
berikut:
1.
Masa
Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada
abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab
Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat
Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian
timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]
2.
Masa
Penjajahan
Pada masa
kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di
Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga
pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan
Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium
Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).
Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur
berubah terhadap hukum Islam.
Pada
Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.
Pada
permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan
Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan
berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan
oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang
beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh
organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan hukum Islam.
3.
Masa Awal
Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang
perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai
Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4
tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan
Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau
kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan.
Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19
tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga
dan seterusnya.
Pada tanggal
6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang
secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei
1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan
oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah
perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon
pengantin.[8][8]
4.
Masa
Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang.
Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa
dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah
mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan
yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo
mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah
mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam
perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal
tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian
pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan
dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu
berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar
supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan
Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara
lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
(BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI,
1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso
Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk
memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak
berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU
tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan
undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada
rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium
Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar
supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal
11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya,
setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal
31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73
(tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum
bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan
hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi
keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang
yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan
Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri
Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan
Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September
1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan.
Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR.
Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal
dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama
yang dianut.
Menurut
Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam
(fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan
(9).[11][11]
Kemudian
pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil
fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri
Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR
untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan
tersebut.
Secara
bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan
lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi
PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.
Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.
Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat
pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946
dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.
Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak
mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.
Pasal 2 ayat
(1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai
berikut:
a.
Ayat (1) :
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu;
b.
Ayat (2):
tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5.
Mengenai
perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari
14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti
dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang
rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
B.
Sejarah
Lahirnya KHI
Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI
ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian
kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare”
yang mempunyai arti mengumpulkan
bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi
adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian
atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu
pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih
sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal
ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga
tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama.
Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para
hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya
kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan
kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini
disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara
material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil
dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini
didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.
Untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman
dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2.
Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3.
Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.
Di dalam
sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1).
Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan
Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3).
Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim
pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI
dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya
menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama,
cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti
dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres
tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22
Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai
sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI
itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama
adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di
Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan
hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai
pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya
mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai
perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka
menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara
singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya
di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai
pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah
terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah
menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap
terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah
sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu
kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya
bangsa Indonesia.
DAPTAR PUSTAKA
Abdurrahman, kompilasi hukum Islam di Indoesia,
(Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka,
1989).
Ihromi, T.O.
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana,
2006).
Nuruddin,
Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata
: Prenada Media, 2004).
Poesponegoro,
Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta:
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo,
R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum
dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi
Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990).
Sosroatmodjo,
Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial
bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia.
Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk
melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan
tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa,
berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1][1]
Keluarga merupakan lembaga sosial
yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era
globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis,
kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan
anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2][2] Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang
mengatur perkawinan dan keluarga.[3][3]
Telah lama umat Islam di Indonesia
ingin memiliki hukum perkawinan tertulis. Keinginan ini sudah muncul pada masa
penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa
kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat
terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.
Bagaimana
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2.
Mengetahui
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam.
BAB II
SEJARAH
LAHIRNYA UU NO.1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A.
Sejarah
Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang
dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai
berikut:
1.
Masa
Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam
sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup
dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di
Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada
abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab
Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat
Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.
Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala
urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian
timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4][4]
2.
Masa
Penjajahan
Pada masa
kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di
Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga
pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan
Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium
Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5][5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan
kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).
Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur
berubah terhadap hukum Islam.
Pada
Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta
mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang
perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir
penjajah.
Pada
permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan
Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern
huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan
berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak
meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan
oleh hakim.[6][6] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya
diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang
beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh
organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan
dengan hukum Islam.
3.
Masa Awal
Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang
perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai
Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam
pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4
tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7][7]
Pada bulan
Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau
kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan.
Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19
tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga
dan seterusnya.
Pada tanggal
6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang
secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei
1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus
dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan
oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan
Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah
perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon
pengantin.[8][8]
4.
Masa
Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran
Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang.
Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa
dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah
mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan
yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo
mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah
mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam
perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal
tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9][9]
Kemudian
pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan
dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu
berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar
supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan
Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara
lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga
(1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian
(BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI,
1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang
Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso
Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk
memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak
berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU
tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan
undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada
rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium
Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar
supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal
11 Februari 1973.[10][10]
Akhirnya,
setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal
31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73
(tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum
bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan
hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi
keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang
yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan
Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri
Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan
Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September
1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan.
Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR.
Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal
dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama
yang dianut.
Menurut
Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam
(fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan
(9).[11][11]
Kemudian
pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil
fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri
Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR
untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan
tersebut.
Secara
bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan
lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi
PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
1.
Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
2.
Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat
pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946
dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
3.
Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak
mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
4.
Pasal 2 ayat
(1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai
berikut:
a.
Ayat (1) :
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu;
b.
Ayat (2):
tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
5.
Mengenai
perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah
terjadinya kesewenang-wenangan.[12][12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari
14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti
dicatat sebelumnya.[13][13]Sedang
rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
B.
Sejarah
Lahirnya KHI
Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI
ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian
kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare”
yang mempunyai arti mengumpulkan
bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar
berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi
adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian
atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14][14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu
pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih
sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal
ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat
ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga
tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama.
Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para
hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka
hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya
kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan
kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini
disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara
material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil
dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini
didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.
Untuk
berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi
yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman
dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2.
Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3.
Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat
yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.
Di dalam
sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1).
Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan
Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3).
Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang[15][15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim
pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI
dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya
menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah
Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama,
cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti
dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres
tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22
Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai
sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI
itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama
adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat
Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah
diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi
bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat
Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16][16]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perlu diketahui bahwa lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di
Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan
hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai
pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya
mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai
perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka
menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara
singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya
di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai
pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah
terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah
menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap
terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah
sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu
kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya
bangsa Indonesia.
DAPTAR PUSTAKA
Abdurrahman, kompilasi hukum Islam di Indoesia,
(Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
Cansil, C.S.T. Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,cet. VIII (Jakarta: Balai Pustaka,
1989).
Ihromi, T.O.
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999).
Manan,Abdul, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana,
2006).
Nuruddin,
Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata
: Prenada Media, 2004).
Poesponegoro,
Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta:
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984).
Prawirohamidjojo,
R. Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988)
Raharjo,Sajtipto, Hukum
dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979).
Soekanto,Soerjono, Sosiologi
Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990).
Sosroatmodjo,
Arso dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang).
Suwondo,Nani, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia).