BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Dalam hukum
Indonesia hukum kelurga mendapatkan
perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga dalam
Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika
bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk
dalam
perkawinan.
Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan
perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan
spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan
secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya
dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka
menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan
perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata
lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing
anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif
lainnya. Maka dalam makalah ini penulis
mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum kelurga islam ini.
- Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembaruan Hukum
keluarga Islam Di Idonesia
2. Apa latar belakang lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
3. Apa latar belakang lahirnya Kompilasi
Hukum Islam
- Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Pembaruan Hukum
Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam DI Indonesia
Dalam literatur hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan”
silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi, modernisasi,
reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan tajdid.
Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi,
islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation”
yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Tajdid mengandung arti
membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki agar
dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan
dengan perbaikan atau memperbaiki.
Maka pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan
melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam
dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat
hukum yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil
lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi
al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan)[1].
Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :
1.
Untuk
mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah
yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh
globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya,
terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya.
3. Pengaruh
reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam
untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh
pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid
baik tingkat internasional maupun tingkat nasional.
Pembaruan hukum keluarga islam disebabkan karena
adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari
faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaru hukum keluarga islam
di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga
islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution,
Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya[2].
Adapun
fase-fase pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai
berikut :
1. Sebelum
Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum
muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam).
Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim.
Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk
peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan
Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat
dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa
sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan
dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat
sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem
Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di
Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah
hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan
Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk
menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium
Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan
waris menurut Islam)[3].
2. Masa
Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium
Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut
Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen
Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek.
Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri,
begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun
1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus
sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat
yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa hukum yang
berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan
agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda,
penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang
eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan
sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku
hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus
bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda datang ke
Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya
ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit,
dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu
juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji.
Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun
sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang
berlaku hanya hukum adat[4].
3. Masa
Kemerdekaan
a. Masa
Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir
pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946
tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya
untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun
1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun
1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie
Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama,
keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai
yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk[5].
Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada
muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan
Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada
Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati
diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi
materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama
menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan
di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang
mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada
juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan
Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang
poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu.
Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian
Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak
semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan
tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR
beku karena Dekrit 5 juli 1959.
b. Masa
Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa
pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada
tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3)
bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai
respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR
Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU
tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1
fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU
tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU
pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR
tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan).
Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah
menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal[6].
RUU ini bertujuan:
- Memberikan kepastian hukum bagi
masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge
made law.
- Melindungi hak kaum wanita dan
keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan
tuntutan zaman.
Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan
tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan
Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU
Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda
yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon
terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan
kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku
secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No.
10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI
mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun
1991.
c.
Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998
yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati,
SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :
- Menghendaki PP dihapus dan
membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional.
- Setuju PP dihapus dengan alasan
poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
- PP
dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
- PP
dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara
berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
- golongan
mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat
menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah
Muhammadiyah seluruh Indonesia.
Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974
dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun
1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama[7].
Lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang
peradilan agama membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan wewenang
peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan
semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
kedudukannya sama seperti lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan
dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
B.
Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang sebelumnya telah
dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang melelahkan. Perjuangan
dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU Nomor 1 tahun 1974
disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU perkawinan yang masuk dan
dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan Umat Islam (22 Mei 1967) dan
RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan (7 September 1968). Namun kedua
RUU tersebut tidak bisa diselesaikan sebagaimana yang diharapkan karena tidak
ada kata sepakat di antara anggota Parlemen ketika itu sehingga Presiden
menarik kembali kedua RUU tersebut pada tanggal 31 Juli 1973.
Ketidaksepakatan anggota parlemen tersebut lebih
disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula telah
menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah
Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU
Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana
kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal
perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan
bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan
agama, adat, dan suku bangsa[8].
Sebagai respon atas kegagalan diundangkannya dua RUU
perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk segera
membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia.
Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia)
dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia)[9].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Pemerintah mengajukan
kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR kurang lebih selama
tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada sidang paripurna
(tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan sebagai UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1 Tahun 1974,
Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa secara
historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974
antara lain:
1. Kebutuhan Bersama
2. Semangat Nasionalisme (menjaga kebinnekaan)
3. Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4. Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
C.
Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991)
hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan harapan suatu
saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang lebih permanen.
Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak dan dibutuhkan,
dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan
badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata
tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara nasional,
sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara pengadilan agama yang
satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping itu juga
membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi tidak
terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar
menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD
1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif
yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat
legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya
jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft
RUU-nya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor
non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang
mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional
kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di
segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat
reaktif terhadap keharusan adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu
singkat, jika jalur yang ditempuh melalui saluran formil perundang-undangan[10].
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut,
serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka
dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu
untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi,
maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah
Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun
1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum
Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan
seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian dijadikan
orientasi, bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai
negara-negara yang berbasis Islam[11].
Untuk melegalkan, maka direkayasalah Kompilasi
tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan
pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun
1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab Kompilasi
Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan
oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan benang merah sebagai
gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:
1. Kekosongan Hukum
2. Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di
Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum
Islam, antara syariat dengan fiqh
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum Islam selalu mampu bergerak
dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat
dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip
ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat
pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan
berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena
nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok
saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah yang dipenuhi oleh
mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri, serta
anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah
ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan pada
masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara muslim di dunia
untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk perundang-undangan sehingga
ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat adalah upaya yang
sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata undang-undang dan aturan yang
dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan, itu adalah suatu proses yang
harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua kalangan untuk mewujudkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Sofyan dan
Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
Usaha Nasional, 1994)
Manan, Abdul, Reformasi
Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia &
Tazzafa, 2009)
Wahid,
Abdurrahman,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990)
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Dalam hukum
Indonesia hukum kelurga mendapatkan
perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga dalam
Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika
bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk
dalam
perkawinan.
Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan
perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan
spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan
secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya
dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka
menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan
perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata
lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing
anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif
lainnya. Maka dalam makalah ini penulis
mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum kelurga islam ini.
- Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembaruan Hukum
keluarga Islam Di Idonesia
2. Apa latar belakang lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
3. Apa latar belakang lahirnya Kompilasi
Hukum Islam
- Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Pembaruan Hukum
Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam DI Indonesia
Dalam literatur hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan”
silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi, modernisasi,
reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan tajdid.
Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi,
islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation”
yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Tajdid mengandung arti
membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki agar
dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan
dengan perbaikan atau memperbaiki.
Maka pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan
melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam
dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat
hukum yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil
lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi
al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan)[1].
Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :
1.
Untuk
mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah
yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh
globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya,
terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya.
3. Pengaruh
reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam
untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh
pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid
baik tingkat internasional maupun tingkat nasional.
Pembaruan hukum keluarga islam disebabkan karena
adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari
faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaru hukum keluarga islam
di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga
islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution,
Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya[2].
Adapun
fase-fase pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai
berikut :
1. Sebelum
Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum
muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam).
Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim.
Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk
peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan
Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat
dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa
sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan
dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat
sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem
Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di
Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah
hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan
Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk
menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium
Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan
waris menurut Islam)[3].
2. Masa
Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium
Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut
Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen
Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek.
Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri,
begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun
1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus
sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat
yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa hukum yang
berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan
agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda,
penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang
eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan
sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku
hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus
bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda datang ke
Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya
ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit,
dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu
juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji.
Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun
sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang
berlaku hanya hukum adat[4].
3. Masa
Kemerdekaan
a. Masa
Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir
pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946
tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya
untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun
1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun
1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie
Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama,
keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai
yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk[5].
Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada
muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan
Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada
Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati
diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi
materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama
menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan
di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang
mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada
juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan
Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang
poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu.
Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian
Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak
semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan
tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR
beku karena Dekrit 5 juli 1959.
b. Masa
Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa
pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada
tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3)
bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai
respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR
Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU
tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1
fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU
tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU
pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR
tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan).
Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah
menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal[6].
RUU ini bertujuan:
- Memberikan kepastian hukum bagi
masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge
made law.
- Melindungi hak kaum wanita dan
keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan
tuntutan zaman.
Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan
tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan
Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU
Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda
yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon
terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan
kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku
secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No.
10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI
mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun
1991.
c.
Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998
yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati,
SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :
- Menghendaki PP dihapus dan
membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional.
- Setuju PP dihapus dengan alasan
poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
- PP
dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
- PP
dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara
berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
- golongan
mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat
menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah
Muhammadiyah seluruh Indonesia.
Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974
dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun
1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama[7].
Lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang
peradilan agama membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan wewenang
peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan
semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
kedudukannya sama seperti lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan
dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
B.
Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang sebelumnya telah
dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang melelahkan. Perjuangan
dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU Nomor 1 tahun 1974
disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU perkawinan yang masuk dan
dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan Umat Islam (22 Mei 1967) dan
RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan (7 September 1968). Namun kedua
RUU tersebut tidak bisa diselesaikan sebagaimana yang diharapkan karena tidak
ada kata sepakat di antara anggota Parlemen ketika itu sehingga Presiden
menarik kembali kedua RUU tersebut pada tanggal 31 Juli 1973.
Ketidaksepakatan anggota parlemen tersebut lebih
disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula telah
menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah
Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU
Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana
kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal
perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan
bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan
agama, adat, dan suku bangsa[8].
Sebagai respon atas kegagalan diundangkannya dua RUU
perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk segera
membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia.
Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia)
dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia)[9].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Pemerintah mengajukan
kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR kurang lebih selama
tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada sidang paripurna
(tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan sebagai UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1 Tahun 1974,
Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa secara
historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974
antara lain:
1. Kebutuhan Bersama
2. Semangat Nasionalisme (menjaga kebinnekaan)
3. Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4. Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
C.
Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991)
hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan harapan suatu
saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang lebih permanen.
Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak dan dibutuhkan,
dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan
badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata
tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara nasional,
sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara pengadilan agama yang
satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping itu juga
membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi tidak
terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar
menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD
1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif
yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat
legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya
jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft
RUU-nya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor
non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang
mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional
kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di
segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat
reaktif terhadap keharusan adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu
singkat, jika jalur yang ditempuh melalui saluran formil perundang-undangan[10].
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut,
serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka
dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu
untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi,
maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah
Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun
1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum
Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan
seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian dijadikan
orientasi, bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai
negara-negara yang berbasis Islam[11].
Untuk melegalkan, maka direkayasalah Kompilasi
tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan
pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun
1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab Kompilasi
Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan
oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan benang merah sebagai
gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:
1. Kekosongan Hukum
2. Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di
Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum
Islam, antara syariat dengan fiqh
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum Islam selalu mampu bergerak
dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat
dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip
ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat
pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan
berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena
nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok
saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah yang dipenuhi oleh
mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri, serta
anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah
ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan pada
masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara muslim di dunia
untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk perundang-undangan sehingga
ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat adalah upaya yang
sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata undang-undang dan aturan yang
dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan, itu adalah suatu proses yang
harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua kalangan untuk mewujudkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Sofyan dan
Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
Usaha Nasional, 1994)
Manan, Abdul, Reformasi
Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia &
Tazzafa, 2009)
Wahid,
Abdurrahman,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990)
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Dalam hukum
Indonesia hukum kelurga mendapatkan
perhatian tersendiri. Secara substantif, hukum keluarga Indonesia merupakan penjabaran hukum keuarga dalam
Islam. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, wajar jika
bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai rujukan perundang-undangan, termasuk
dalam
perkawinan.
Dalam tujuannya, UU perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksanaan
perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam
perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan
berkualitas; keluarga yang berkualitas. secara spiritual dan juga material.
Secara spiritual, keluarga adalah wadah yang akan memberikan nuansa kesalehan
spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama. Dan
secara material keluarga memberikan kesejahteraan bagi segenap anggotanya
dengan terpenuhinya kebutuhan keluarga. UU Perkawinan disusun dalam rangka
menjaga semangat tersebut. Bahwa melalui UU Perkawinan itu diberikan
perlindungan dari hal-hal yang dapat merusak nilai keluhurannya. Dengan kata
lain, UU Perkawinan bertujuan melindungi hak dan kewajiban masing-masing
anggota keluarga dari kemungkinan sebuah ketidakadilan dan hal-hal destruktif
lainnya. Maka dalam makalah ini penulis
mencoba membahasa sejarah pembaharuan dari hukum kelurga islam ini.
- Rumusan
Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pembaruan Hukum
keluarga Islam Di Idonesia
2. Apa latar belakang lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974
3. Apa latar belakang lahirnya Kompilasi
Hukum Islam
- Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah Pembaruan Hukum
Keluarga Islam di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui latar
belakang lahirnya Kompilasi Hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Pembaruan Hukum Keluarga Islam DI Indonesia
Dalam literatur hukum islam kontemporer, kata “pembaharuan”
silih berganti di pergunakan dengan kata reformasi, modernisasi,
reaktualisasi, dekonstruksi, rekonstruksi, tarjih, islah, dan tajdid.
Diantara kata-kata tersebut yang paling banyak dipergunakan adalah kata reformasi,
islah, dan tajdid. Reformasi berasal dari bahasa inggris “Reformation”
yang berarti membentuk atau menyusun kembali. Tajdid mengandung arti
membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali atau memperbaiki agar
dapat dipergunakan sebagaimana yang diharapkan. Sedangkan kata islah diartikan
dengan perbaikan atau memperbaiki.
Maka pembaruan hukum keluarga islam dapat diartikan sebagai upaya dan perbuatan
melalui proses tertentu dengan penuh kesungguhan yang dilakukan oleh mereka
yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam pengembangan hukum keluarga islam
dengan cara-cara yang telah di tentukan berdasarkan kaidah-kaidah istinbat
hukum yang di benarkan sehingga menjadikan hukum keluarga islam dapat tampil
lebih segar dan modern, tidak ketinggalan zaman. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan pembaruan hukum keluarga islam adalah pembaruan yang dilakukan meliputi
al i’adah (mengembalikan), al ibanan (memurnikan) dan al ihya (menghidupkan)[1].
Adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya pembaruan hukum adalah :
1.
Untuk
mengisi kekosongan hukum karena norma norma yang ada dalam kitab fiqih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah
yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan.
2. Pengaruh
globalisasi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya,
terutama masalah yang belum ada aturan hukumnya.
3. Pengaruh
reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum islam
untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional.
4. Pengaruh
pembaruan pemikiran hukum keluarga islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid
baik tingkat internasional maupun tingkat nasional.
Pembaruan hukum keluarga islam disebabkan karena
adanya perubahan kondisi, situasi, tempat dan waktu sebagai akibat dari
faktor-faktor di atas. Dan adapun beberapa orang pembaru hukum keluarga islam
di indonesia yang banyak memberi kontribusi dalam perkembangan hukum keluarga
islam, diantaranya : Hasbi ash-Shiddieqy, Hasan Bangil, Harun Nasution,
Hazairin, Ibrahim Husen, Munawir Syadzali, Busthanul Arifin dan pembaru lainnya[2].
Adapun
fase-fase pembaruan hukum kelurga islam di Indonesia dapat dibagi sebagai
berikut :
1. Sebelum
Penjajahan Belanda
Adapun cara penyelesaian sengketa di kalangan kaum
muslim pada awal Islam datang ke Indonesia adalah dalam bentuk perdamaian (hakam).
Maka lembaga peradilan pertama muncul di Indonesia adalah lembaga tahkim.
Kemudian yang kedua, lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd, dalam bentuk
peradilan adat. Ketiga lembaga Peradilan Swapraja pada masa kerajaan-kerajaan
Islam. Kemudian yang ke empat Peradilan Agama sampai sekarang.
Diterimanya hukum Islam di Indonesia dapat dilihat
dari bukti-bukti; pertama, Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan bahwa
sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan
dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat
sehari-hari. Kedua, dipergunakannya kitab Muharrar dan papakem
Cirebon 1768 serta peraturan dibuat B.J.D Clotwijjk untuk Bone dan Gowa di
Sulsel. Ketiga, diterbitkannya kitab hukum Islam sebagai pegangan dalam masalah
hukum keluarga dan waris di kesultanan Palembang dan Banten, diikuti kerajaan
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, dan ngampel. Keempat, 25 Mei 1760 VOC mengeluarkanperaturan
Resolutie der Indische Regeering (mengakui keberadaan hukum Islam untuk
menyelesaikan masalah di kalangan muslim), dan memberlakukan Compedium
Freijer bagi muslim (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan
waris menurut Islam)[3].
2. Masa
Penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan Belanda berlaku Compedium
Freijer (kitab hukum yang berisi aturan hukum perkawinan dan waris menurut
Islam) yang ditetapkan 25 Mei 1760 untuk dipakai VOC. Atas usul residen
Cirebon, Mr. P.C Hasselar (1757-1965) dibuat kitab Tjicebonce Rechtboek.
Untuk Landraad (sekarang Pengadilan Umum) di Semarang dibuat Compedium tersendiri,
begitu juga Makasar. Compedium diperkuat dengan sepucuk surat VOC tahun
1808 yang memerintahkan agar para penghulu Islam harus dibiarkan mengurus
sendiri perkara-perkara perkawinan dan warisan.
Berdasarkan berbagai pendapat
yang dikemukakan dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa hukum yang
berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat, sengketa diselesaikan di Pengadilan
agama asalkan hukum adat menghendaki, sejauh tidak ditentukan lain oleh
ordonansi.
Pada masa kekuasaan Belanda,
penduduk indonesia dibagi menjadi tiga golongan yaitu; pertama orang-orang
eropa berlaku Bugerlijk Wetboek, kedua orang-orang Tionghoa berlaku BW dengan
sedikit pengecualian, ketiga orang Arab dan timur asing bukan Tionghoa berlaku
hukum adat mereka. Dari pengelompokan tersebut tidak ada aturan khusus
bagi orang-orang Islam indonesia.
Sebelum Belanda datang ke
Indonesia hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Kemudian dengan kedatangannya
ke Indonesia pemberlakuan hukum Islam termajinalisasikan sedikit demi sedikit,
dan akhirnya hanya diberlakukan untuk kasus-kasus yang sangat terbatas. Begitu
juga hakim-hakimnya, hakim eropa digaji sedangkan hakim agama tidak digaji.
Pada mulanya Belanda mengakui hukum Islam di indonesia namun lambat laun
sedikit demi sedikit dicabut, tahun 1913 dicabut secara keseluruhan hingga yang
berlaku hanya hukum adat[4].
3. Masa
Kemerdekaan
a. Masa
Orde Lama (Orla)
Setelah merdeka UU tentang perkawinan pertama lahir
pada masa orde lama (pemerintahan Ir. Sukarno) adalah UU No. 22 tahun 1946
tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, UU ini diperluas pemberlakuannya
untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954. Keberadaan UU No. 22 tahun
1946 merupakan pengganti dari Huwelijks Ordonantie Stbl No. 348 tahun
1929 jo. Stbl No 467 tahun 1931, dan Vorstenlandse Huwelijks Ordonantie
Stbl No. 98 tahun 1933. Adapun isi UU No. 22 tahun 1946 ada dua pasal, pertama,
keharusan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk. Kedua, penetapan pegawai
yang ditugasi melakukan pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk[5].
Ada kebijaksanaan lain sebagai penghargaan kepada
muslim yakni penetapan No. 5/ SD tanggal 26 maret 1946 tentang perpindahan
Mahkamah Islam Tinggi yang dulu berada di Departemen Kehakiman dialihkan kepada
Departemen Agama. Demikian juga penghulu agama dahulu pada Residen dan Bupati
diserahkan kepada Menteri Agama.
UU No. 1 tahun 1974 adalah UU pertama yang berisi
materi perkawinan. Meskipun baru ada tahun 1974 tapi masyarakat telah lama
menginginkannya misalnya organisasi-organisasi wanita yang sampai membicarakan
di Dewan Rakyat (Volkskraad). Sebelumnya ada RA.kartini dan Rohana kudus yang
mengkritik perkawinan di bawah umur, perkawinan paksa, poligami dan talak. Ada
juga kerjasama antara puteri Indonesia dengan Persaudaraan isteri, Persatuan
Isteri dan Wanita Sejati di Bandung 13 oktober 1929 membicarakan tentang
poligami dan pelacuran. Tahun 1931 Kongres Isteri sedar sejalan dengan itu.
Selanjutnya 1950 lahir BPS (Badan Panasehat Pambinaan dan Pelestarian
Perkawinan) yang didorong karena praktek perkawinan di bawah umur, talak
semena-mena, poligami tidak bertanggung jawab. Sebagai respon positif tuntutan
tersebut disusun dalam RUU namun tidak sampai diajukan ke DPR dikarenakan DPR
beku karena Dekrit 5 juli 1959.
b. Masa
Orde Baru (Orba)
Peraturan peundang-undangan pada masa orde baru (masa
pemerintahan Suharto) merupakan kelanjutan dari usaha di orde lama, pada
tahun1966 sebagaimana TAP MPRS No. XXVIII/MPRS/1966 dalam pasal 1 ayat (3)
bahwa perlu segera diadakan UU tentang Perkawinan. Tahun 1967 dan 1968 sebagai
respon terhadap TAP MPRS tersebut, pemerintah menyampaikan dua RUU kepada DPR
Gotong Royong yaitu; pertama, RUU tentang Pernikahan umat Islam. Kedua, RUU
tentang ketentuan Pokok Perkawinan. RUU ini tidak mendapat persetujuan DPR (1
fraksi menolak, 2 abstain, 13 menerima), kemudian pemerintah menarik RUU
tersebut. Pada awal 1967 Menteri Agama KH. Moh. Dahlan menyampaikan kembali RUU
pernikahan umat Islam untuk dibahas di Dewan, ini kembali gagal disahkan (DPR
tidak bergairah membahas karena penyusunannya didasarkan berbagai pandangan).
Sementara itu organisasi masyarakat semakin mendesak, akhirnya pemerintah
menyiapkan RUU baru tanggal 31 juli 1973 terdiri dari 15 bab 73 pasal[6].
RUU ini bertujuan:
- Memberikan kepastian hukum bagi
masalah perkawinan sebab sebelum ada UU Perkawinan hanya bersifat judge
made law.
- Melindungi hak kaum wanita dan
keinginan/harapan wanita. Ketiga, menciptakan UU yang sesuai dengan
tuntutan zaman.
Di samping tuntutan-tuntutan tersebut ada pulan
tanggapan negatif dari berbagai organisasi misalnya Sarekat isteri Jakarta, dan
Ratna Sari ketua Persatuan Muslim Indonesia.
Adapun catatan penting dari historis UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan yaitu; pertama, muncul penolakan terhadap RUU
Perkawinan ada hubungannya dengan kebijaksanaan pemerintah hindia Belanda
yang mengebiri hukum Islam dari otoritas Peradilan agama. Kedua, UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan pertama lahir di masa orde baru yang merupakan respon
terhadap tuntutan lahirnya UU di masa orde lama. UU No. 1 tahun 1974 merupakan
kelanjutan UU No. 22 tahun 1946. Adapun isi UU No. 1 tahun 1974 yang berlaku
secara efektif sejak 1 oktober 1975 terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.
Kemudian tahun 1989 lahir UU No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No.
10 tahun 1983. Tahun 1991 berhasil disusun KHI
mengenai perkawinan, pewarisan dan perwakafan berlaku dengan Inpres No. 1 tahun
1991.
c.
Masa Reformasi
Sejak jatuhnya pemerintahan orde baru bulan Mei 1998
yaitu pada 4 masa presiden yaitu; B.J Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, Megawati,
SBY. Pada masa reformasi terjadi perdebatan PP N0. 10 tahun 1983, mereka terpecah menjadi 5 kelompok yaitu :
- Menghendaki PP dihapus dan
membolehkan poligami sesuai dengan diformulasikan ulama konvensional.
- Setuju PP dihapus dengan alasan
poligami adalah urusan pribadi tidak perlu diatur Negara.
- PP
dicabut kerena terbukti tidak dapat melindungi wanita.
- PP
dicabut karena diskriminatif, hanya berlaku bagi PNS padahal Negara
berdiri di atas semua golongan, agama dan etnik.
- golongan
mayoritas berpendapat PP dipertahankan bahkan direvisi, karena dapat
menahan laju poligami khususnya PNS, kelomok ini termasuk Aisyiyah
Muhammadiyah seluruh Indonesia.
Selain itu ada usulan revisi isi UU No. 1 tahun 1974
dan KHI. Tahun 2006 lahir UU No. 3 tahun 2006 sebagai amandemen UU No.7 tahun
1989, yang memperluas kewenangan Peradilan Agama[7].
Lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang
peradilan agama membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan wewenang
peradilan agama. Lembaga peradilan agama tidak lagi dianggap sebagai “peradilan
semu”, tetapi sudah diperhitungkan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang
kedudukannya sama seperti lembaga peradilan yang lain sebagaimana disebutkan
dalam pasal 10 UU nomor 10 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman.
B.
Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
merupakan hasil kompromi anggota-anggota Parlemen, yang sebelumnya telah
dilalui dengan perjuangan dan perdebatan panjang yang melelahkan. Perjuangan
dan Perdebatan panjang yang dimaksud karena sebelum UU Nomor 1 tahun 1974
disahkan oleh DPR (2 Januari 1974), telah ada dua RUU perkawinan yang masuk dan
dibahas di Parlemen, yakni RUU tentang perkawinan Umat Islam (22 Mei 1967) dan
RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perkawinan (7 September 1968). Namun kedua
RUU tersebut tidak bisa diselesaikan sebagaimana yang diharapkan karena tidak
ada kata sepakat di antara anggota Parlemen ketika itu sehingga Presiden
menarik kembali kedua RUU tersebut pada tanggal 31 Juli 1973.
Ketidaksepakatan anggota parlemen tersebut lebih
disebabkan oleh masalah kepentingan golongan yang sejak semula telah
menampakkan diri. Paling tidak ada tiga kelompok besar sepanjang sejarah
Indonesia yang berusaha selalu melibatkan diri untuk memunculkan wacana UU
Perkawinan, yakni kelompok keagamaan, negara dan kaum perempuan, dimana
kelompok yang menamakan dirinya nasionalis Islami menginginkan bahwa dalam hal
perkawian, umat Islam sudah ada petunjuk yang jelas, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sedangkan kelompok nasionalis sekuler tetap menginginkan
bahwa adanya UU perkawinan yang sifatnya nasional tanpa membedakan-bedakan
agama, adat, dan suku bangsa[8].
Sebagai respon atas kegagalan diundangkannya dua RUU
perkawinan di atas, muncul berbagai tuntutan kepada pemerintah untuk segera
membuat UU perkawinan dan memberlakukannya kepada seluruh warga Indonesia.
Tuntutan itu di antaranya datang dari ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia)
dan badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia)[9].
Pada tanggal 22 Desember 1973, Pemerintah mengajukan
kembali RUU perkawinan yang baru. Setelah dibahas di DPR kurang lebih selama
tiga bulan dan mengalami beberapa perubahan, akhirnya pada sidang paripurna
(tanggal 2 Januari 1974) RUU tersebut disahkan dan diundangkan sebagai UU Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara (LN) Nomor 1 Tahun 1974,
Tambahan LN Nomor Tahun 3019/1974.
Dari uraian di atas, kelihatan sekali bahwa secara
historis ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya UU Nomor 1 Tahun 1974
antara lain:
1. Kebutuhan Bersama
2. Semangat Nasionalisme (menjaga kebinnekaan)
3. Pelaksanaan pasal 29 ayat (2) UUD 1945
4. Perbedaan Pendapat Di kalangan Umat Islam
C.
Latar Belakang Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991)
hanyalah merupakan jalan pintas yang bersifat sementara, dengan harapan suatu
saat nanti akan lahir Kitab Undang-Undang Perdata Islam yang lebih permanen.
Dikatakan sebagai jalan pintas karena memang sangat mendesak dan dibutuhkan,
dimana lembaga Peradilan Agama (PA) yang dinyatakan sah berdiri sejajar dengan
badan peradilan lainnya melalui UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian dipertegas melalui UU Nomor 7 tahun 1989, ternyata
tidak memiliki hukum materiil yang seragam (unifikatif) secara nasional,
sehingga dapat menimbulkan putusan yang berbeda di antara pengadilan agama yang
satu dengan yang lain walaupun dalam kasus yang serupa, disamping itu juga
membuat kehadiran PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman menjadi tidak
terpenuhi persyaratannya.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, ada wacana agar
menempuh jalur formil sesuai dengan kententuan pasal 5 ayat 1 jo pasal 20 UUD
1945, dengan demikian hukum materiil yang akan dimiliki berbentuk hukum positif
yang sederajat dengan undang-undang dan keabsahannya benar-benar bersifat
legalistik (Legal law). Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa jauhnya
jarak yang akan dilalui. Berbagai tahap harus ditempuh, mulai dari menyusun draft
RUU-nya sampai kepada pembahasannya di Parlemen. Bukan hanya itu, faktor-faktor
non teknis pun sangat sulit untuk ditembus, seperti iklim politik yang kurang
mendukung, serta faktor psikologis. Memang satu segi secara konstitusional
kehadiran dan keberadaan Peradilan Agama telah diakui semua pihak, namun di
segi lain barangkali belum terpupus sikap alergi dan emosional yang sangat
reaktif terhadap keharusan adanya Hukum Perdata Islam dalam jangka waktu
singkat, jika jalur yang ditempuh melalui saluran formil perundang-undangan[10].
Menyikapi dan juga memperhatikan kondisi tersebut,
serta dikaitkan dengan kebutuhan yang sangat mendesak di sisi lain, maka
dicapai kesepakatan antara Menteri Agama dengan Ketua Mahkamah Agung saat itu
untuk mencarikan solusi dengan menempuh jalur singkat dalam bentuk Kompilasi,
maka kemudian lahirlah Surat Keputusan Bersama (SKB) aantara Ketua mahkamah
Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun
1985 yang menugaskan penyusunan hukum positif Perdata Islam dalam Kitab Hukum
Kompilasi kepada Panitia, dengan ketentuan harus menggali dan mengkaji sedalam dan
seluas mungkin sumber-sumber hukum Islam yang terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah, disamping kitab-kitab fiqh Imam Mazhab yang kemudian dijadikan
orientasi, bahkan juga sempat melakukan studi banding ke berbagai
negara-negara yang berbasis Islam[11].
Untuk melegalkan, maka direkayasalah Kompilasi
tersebut dalam bentuk Intruksi Presiden pada tanggal 10 Juni 1991. Dan
pernyataan berlakunya dikukuhkan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun
1991, tanggal 22 Juli 1991. Dengan demikian sejak itu pula Kitab Kompilasi
Hukum Islam (KHI) resmi berlaku sebagai hukum yang dipergunakan dan diterapkan
oleh instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam penyelesaian
masalah-masalah yang berkenaan dengan perkawinan, hibah, wakaf dan kewarisan.
Uraian di atas telah menunjukan benang merah sebagai
gambaran bahwa yang menjadi faktor penyebab lahirnya KHI tersebut antara lain:
1. Kekosongan Hukum
2. Amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
3. Banyaknya Mazhab Fiqh yang dianut di
Indonesia serta tidak adanya persamaan persepsi dalam mendefinisikan hukum
Islam, antara syariat dengan fiqh
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Hukum Islam selalu mampu bergerak
dan berjalan seiring dengan pergerakan dan perkembangan kemajuan masyarakat
dimanapun dan kapanpun, tanpa harus meninggalkan keaslian dan prinsip-prinsip
ajarannya. Hal ini dimungkinkan karena Allah yang Maha Bijaksana telah membuat
pola nash (aturan syari’at) sedemikian rupa, sehingga pada persoalan yang akan
berkembang terus, para mujtahid di setiap waktu dapat melakukan ijtihad, karena
nash yang mengatur masalah itu, hanya merupakan prinsip umum dan aturan pokok
saja, yang pengembangannya dapat dilakukan setiap saat.
Untuk tercapainya keluarga sakinah yang dipenuhi oleh
mawaddah dan rahmah, dan hubungan yang harmonis antara suami dan istri, serta
anggota keluarga, maka perlu diperhatikan dan diindahkannya aturan yang telah
ditetapkan syari’. Kreasi dan inovasi hanya dapat dilakukan pada
masalah-masalah yang belum ada ketentuannya secara pasti.
Upaya umat Islam di beberapa negara muslim di dunia
untuk memformalisasikan ajaran Islam dalam bentuk perundang-undangan sehingga
ajaran Islam menjadi hukum yang hidup di tengah masyarakat adalah upaya yang
sangat pantas disyukuri. Kalaupun ternyata undang-undang dan aturan yang
dihasilkan belum lagi seideal yang diharapkan, itu adalah suatu proses yang
harus dilalui dan membutuhkan pemikiran semua kalangan untuk mewujudkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Sofyan dan
Warkum Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia (Surabaya:
Usaha Nasional, 1994)
Manan, Abdul, Reformasi
Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006)
Manan, Abdul, Aneka
Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2006)
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Islam, (Yogyakarta: Academia &
Tazzafa, 2009)
Wahid,
Abdurrahman,Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung:Rosdakarya,1990)