BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari pergumulan sejarah
diceritakan bahwa berlakunya sistem hukum Adat, hukum Islam, dan hukum-hukum
yang disahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada masa kolonialisme hingga
terciptanya beberapa undang-undang pada masa kemerdekaan Indonesia, hal ini tidak
luput dari kontribusi para pemikir-pemikir besar yang telah ikut serta
memberikan kontribusi positifnya dalam formulasi sistem hukum di
Indonesia. mereka memberikan perhatian yang spesial terhadap keabsahan hukum
adat dan hukum Islam bagi masyarakat pribumi, meskipun berangkat dari ini
terjadi berbagai polimik diantara mereka. Tetapi dari polimik itu yang patut
untuk dicontohi adalah bermunculannya berbagai macam teori-teori dari kalangan
akademisi waktu itu, ini terepleksi dari timbulnya beberapa teori, seperti
teori Receptie in Complexu yang diperkenalkan oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927), ia seorang yang ahli dibidang hukum Islam
yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1870-1887, Teori ini menyatakan
bahwa bagi orang Islam berlaku sepenuhnya hukum Islam, walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. karena hukum Islam telah
berlaku pada masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan adanya Regeering
Reglement, dan hukum perkawinan dan kewarisan Islam dalam Compendium
freijer tahun 1706.[1]
kemudian muncullah
teori Receptie yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936), kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Snouck
Hurgronje sendiri dikenal sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang
soal-soal Islam dan anak negeri tahun 1898. Ia pernah belajar ke Makkah
sehingga berganti namanya menjadi Abdul Ghaffur (1884-1885), Keahliannya dalam
hukum Islam dan hukum adat, terepleksi dalam karyanya De Atjehers dan De
Gojoand. Inti dari teorinya adalah bagi masyarakat pribumi pada dasarnya
berlaku hukum adat, dan hukum Islam akan berlaku apabila norma-norma hukum
Islam telah diterima atau diserap oleh masyarakat hukum adat. Teori ini muncul
untuk mengkritisi atas teori Receptie in Complexsu-nya van den Berg.
kemudian timbullah teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin
untuk membantah teori Receptie Snouck, menurut torinya ini ia mengatakan
bahwa Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari pengaruh hukum
lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan sumber dan metode hukum Islam.
dan terakhir munculnya teori Receptie a Contrario yang dimunculkan oleh
Sayuti Thalib merupakan pengembangan dari teori Receptie Exit dan
menegaskan atas teori Receptie adalah teori Iblis. Inti dari teorinya
Sayuti adalah bagi orang Islam berlaku hukum Islam; hukum Islam berlaku sesuai
dengan cita hukum, cita moral dan batin umat Islam; dan hukum Adat berlaku jika
sesuai dengan hukum Islam.[2]
Telaah hukum dalam
perspektif kesejarahan tidak saja melihat hukum dari sudut perkembangan, tetapi
juga memahami hukum yang ada pada saat tertentu sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan
sejarah dan kita perlu melihatnya dalam kerangka konsep budaya yang
berubah-ubah. Aliran sejarah hukum melihat hukum suatu bangsa sebagai suatu
unikum, dan oleh karenanya senantiasa hukum yang satu berbeda dari hukum yang
lain. Perbedaan itu terletak pada karaktristik pertumbuhan yang dialami oleh
masing-masing sistem hukum. Jika dikatakan hukum itu tumbuh, itu berarti ada
hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu.[3]
B. Pokok Permasalahan
Bertitik tolak dari
latar belakang masalah di atas, karena makalah ini akan menggunakan pendekatan
sejarah dalam melihat perjalanan hukum perkawinan Islam di Indonesia. Maka,
pokok bahasan pada makalah ini adalah: pertama, bagaimana legitimasi
hukum perkawinan Islam pada masa kolonialisme,?. Kedua, Bagaimanakah
hukum perkawinan Islam pada masa kemerdekaan,?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kolonialis Belanda
Hasil dari penjajahan
kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh
penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living
Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun Hukum Islam.
Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas
sistem hukum yang dianut oleh masyarakat pribumi yang dikuasai oleh
pemerintahan kolonialis Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat,
Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat
berupa hukum sipil (civil law).[4] Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda
dalam menjalankan roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam
instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya
disebelah utara pantai Jawa, yang intinnya adalah agar memberi kesempatan
kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk
menurut ajaran Islam. Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk
Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad
tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama),
walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut
paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi
masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.[5]
Namun,
peradilan-peradilan di atas mendapat ujian dari masyarakat pribumi sendiri yang
berada di beberapa daerah di luar Jawa yang masih mempunyai peradilan
asli di daerah-daerah tertentu. sehingga dalam renah pidana peraturan yang
berupa Wetboek van Strafrecht tidak diberlakukan pada daerah tersebut,
hanyan saja ada rangkaian pasal-pasal yang oleh undang-undang tahun 1932 No. 80
dinyatakan berlaku. Dalam bidang keperdataan permasalahan di atas juga menjadi
ancaman yang serius bagi peraturan perundang-undang yang dibangun pada masa
pemerintahan hindia belanda, sehingga, muncullah beberapa keputusan atau
peraturan baru dari pemerintahan Hindia Belanda, yakni:[6]
1.
Hukum yang berlaku untuk semua penduduk, misalnya Undang-Undang Hak
Pengarang undang-undang milik perindustrian, dan lain sebagainya.
2.
Hukum Adat yang berlaku untuk semua orang asli Indonesia.
3.
Hukum Islam untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai
beberapa bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 I.S.)
berlakunya hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang
tersebut menganut hukum Islam.
4.
Hukum yang khusus diciptakan untuk orang Indonesia asli, yang berupa
undang-undang seperti undang-undang (ordonansi) tentang maskapai andil
Indonesia, undang-undang (ordonansi) perkawinan orang Indonesia Kristen,
dan lain sebagainya.
5.
Burgerlijk Werboek van Koophandel, yang diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku
untuk orang Tionghoa, sedangkan beberpa bagian (terutama dari W.v.K.) juga
telah dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnnya hukum perkapalan
(hukum laut).
Pada masa penjajahan
Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara
perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam renah perkawinan untuk
menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama,
namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik atau
ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti
yang telah dikatakan di atas bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang
beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para ulama untuk
menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri.[7] Namun, bukan berarti pada masa ini tidak
ada undang-undang perkawinan yang berlaku, pemerintahan hindia belanda
menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan
hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk
dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C), atas
usul Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe
Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di
Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh
V.O.C diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk
surat V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan
sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.[8]
Masalah pengebirian
hukum Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda ada yang berpendapat bahwa
sejak lahirnya Stbl 1820 No.24 pasal 13 yang diperjelas dalam Stbl 1835 No.58
yang berisi sebagai berikut: apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa
satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan
sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka
pendeta memberi putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul
dari keputusan para pendeta itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan
biasa. Pada perkembangan berikutnya muncul Stbl 1882 No.152 tentang pembentukan
peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan
lahirnya Stbl ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan Hindia Belanda masih
mengakui keberadaan Hukum Islam dan dijadikan dasar dalam menyelesaikan
masalah-masalah di kalangan orang Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pengebirian
terjadi sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan dicabut berlakunya Compendium
Freijer, sebab dengan pencabutan itu secara tekstual, hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum adat, keculai orang-orang kristen, berlaku undang-undang
kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang berpendapat pengebirian terjadi
sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S. (Indische Staatsregeling) tahun
1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam diadili oleh Pengadilan
Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh hukum adat mereka. Sejauh
tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische Staatsregeling).[9]
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para
sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan
hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam
banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus
berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh
VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim
Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan
adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal Mustaqim”
yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi
syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin”
yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar
Masin, kemudian kitab “Sajirat al-Hukmu” yang
digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan
Mataram.[10]
Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer,
mengikuti nama penghimpunnya.[11]
Pada awalnya Belanda melalui
VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan
masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka
berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan
peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan
Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama
hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam
masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya. [12]
Masa VOC berakhir dengan
masuknya Inggris pada tahun1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali
berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun
melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat
dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu
Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).[13] Dalam
perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori
ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”.[14]
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui
hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah
yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling
pasal 131 ayat 6 ditulis:
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi
mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum
adat”[15]
Dalam Indesche
Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; Untuk golongan bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Kemudian dalam
ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.[16]
Pada Kongres Perempuan
Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada
Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun
mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.[17]
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie op de
Ingeschrevern Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu
pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim.[18]
Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan
orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis.
Namun, rancangan ordonansi tersebut
di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang
setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi
dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).[19]
Sampai berakhirnya masa
penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang
berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa
Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan
ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum
perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi
Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang
beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi
warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. [20]
B. Masa Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Untuk mengawali pembahasan tentang Hukum Perkawinan
Indonesia setelah masa Proklamasi, ada ungkapan yang sangat menarik dari
Kansil, dia mengatakan bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus
mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam
bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup
Bangsanya. Kalau Prnacis dapat menggunakan Code Civil yang menjadi
kebanggaannya. Swiss mempunyai Zivil Gezetzbuch yang juga terkenal. RRC
dan Philipina sudah mempunyai Code Civil juga. Maka bagaimana dengan
Indonesia, sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu
asingnya Kitab Undang-Undang Nasional, baik dalam bidang kepidanaan maupun
dalam bidang keperdataan.[21]
Prof. A. Qodri mengatkan, memang harus diakui Indonesia setelah merdeka lebih
dari setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh yang berisi
hukum nasional yang asli produk bangsa ini, undang-undang yang ada masih berupa
peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga Legislatif.[22]
Berangkat dari pemikiran adanya tiga pilar penyangga
hukum setelah era kemerdekaan, maka aparat penegak hukum mulai dibenahi atau
berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demi satu mulai
dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu. Harus diakui bahwa
ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak lagi berjalan di
tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan keberadaannya,
yaitu Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN (Pegawai Pencatat
Perkawinan) adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum perkawinan dan
perwakafan. PPN diberi tanggung jawab selaku pegawai pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW), lembaga ini berperan besar dalam membentuk keluarga muslim dan ikut
serta secara fisik dalam pembangunan nasional melalui lembaga perwakafan
dibidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, sekaligus penyelamatan tanah-tanah
wakaf yang berjumlah ribuan hektar.[23]
Pada tanggal 3 Januari 1946 berdirilah Departemen
Agama, Amrullah Ahmad mengatakan bahwa pada saat itu Departemen Agama tidak
sajak mengurusi agama Islam saja, tetapi mengurusi semua agama yang diakui di
negara ini. Pada tanggal 21 November 1946 ketika bangsa Indonesia menghadapi
Belanda yang bermaksud menjajah kembali bangsa ini, seiring dengan realita ini
juga dikeluarkan undang-undang tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk,
yaitu undang-undang No.22 tahun 1946. Sedianya, undang-undang tersebut hendak
diberlakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia. Namun, karena situasi belum
memungkinkan, maka untuk sementara hanya diberlakukan di Jawa dan Madura.
Kemudian pada tahun 1954, dengan undang-undang No. 32, diberlakukan di seluruh
kawasan Indonesia. Apabila dicermati secara eksplisit, sebenarnya undang-undang
tersebut tidak hanya mengenai masalah pencatatan saja, namun menegaskan bahwa: pertama,
PPN harus mengawasi nikah yang dilakukan menurut hukum Islam; dan mencatat
nikah, talak dan talak yang diberitahukan kepadanya. Mengawasi yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut yaitu, PPN harus hadir pada saat akad nikah
dilangsungkan, lalu mencatatnya; kedua, memeriksa ketika pihak-pihak
yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya untuk menikah, apakah terdapat halangan
atau larangan baik menurut hukum Islam ataukah menurut undang-undang, maka
dengan alasan itu PPN dapat menolak pelaksanaan pernikahan itu. Untuk
memperkuat wewenang PPN sebagai penegak pernikahan apakah pernikahan itu boleh
dilakukan atau tidak, maka undang-undang perkawinan memperkuat pengaturannya
dalam pasal 20 undang-undang perkawinan.[24]
Keadaan demikian rupanya
mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946
atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh
Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.[25]
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama
No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. [26]Kemudian
pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946
tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus
1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali
peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena
desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat
Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam.[27] Panitia ini menyusun suatu Rancangan
Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri
dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan
Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.[28]
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang
Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan
dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai
golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari
1953.[29] Rancangan yang dimajukan itu selain
berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki
keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
- Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat
dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan
batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
- Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan
yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
- Poligami diizinkan bila diperbolehkan
oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian
hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
- Harta bawaan dan harta yang diperoleh
selama perkawinan menjadi milik bersama;
- Perceraian diatur dengan keputusan
Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak
dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
- Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan
anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.[30]
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953
Panitia memutuskan untuk
menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku
:
- Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang
berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
- Undang-Undang Organik, yang
mengatur soal perkawinan menurut
agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
- Undang-Undang untuk golongan
netral, yaitu yang tidak
termasuk suatu golongan agama agama.[31]
Tahun 1954 akhirnya panitia
telah berhasil membuat
Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan Umat
Islam yang kemudian
disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet
akhir bulan September
1957 dengan penjelasan masih akan
ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi
sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah
mengenai soal undang-undang perkawinan itu.[32]
Pada tahun 1967 dan 1968 pemerintah menyampaikan dua
buah rancangan undang-undang kepada DPRGR (DPR Gotong Royong), RUU tentang
pernikahan umut Islam dan RUU tentang pokok perkawinan. Hal ini untuk merespon
TAP MPRS No. XXVIII/MPRS?1966 yang menyatakan dalam pasal 1 ayat 3 bahwa negara
perlu diadkan UU tentang perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPRGR di
tahun 1968, yang akhirnya tidak mendapat persetujuan dari DPRGR berdasarkan
keputusan tanggal 5 Januari 1968. Adapun alasan tidak dapat disahkannya, karena
ada salah satu fraksi yang menolak, dan dua fraksi yang absen, meskipun
sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya. Kemudian pada awal tahun 1967, Mentri
Agama KH. Moh. Dahlan, mengajukan kembali RUU penikahan umat Islam untuk
dibahas oleh dewan. Dalam waktu yang hampir sama Departemen Kehakiman menyusun
RUU tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berjiwa Pancasila dan
disampaikan ke DPR pada September 1967, dengan maksud RUU dari Departemen
Kehakiman sebagai RUU Pokok dan dari Departemen Agama sebagai RUU Pelaksana.
Rancangan ini kembali gagal disahkan, sebab anggota DPR tidak bergairah
membahas alasannya karena penyusunannya didasarkan pada perbedaan pandangan.
Akhirnya kerja keras membuatkan hasil, pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah
dapat menyiapkan RUU Perkawinan No. R. 02/PU/VII/1973 dan disampaikan kepada
DPR yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Hasil ini tidak bisa dipisahkan dari
partisipasi ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) yang mendesak pemerintah
pada tanggal 22 Pebruari 1972. RUU ini mempunyai tujuan yakni, memberikan
kepastian hukum bagi permasalahan perkawian, sebab sebelumnya undang-undang
bersifat Judge Made Law; memenuhi hak-hak kaum wanita dan memenuhi harapannya;
menciptakan undang-undang yang memenuhi tuntunan zaman. Keterangan tentang RUU
di sampaikan oleh Mentri Kehakiman Umar Senoaji S.H. pada tanggal 30 Agustus
1973. Kemudian di jawab oleh Pemerintah diberikan oeh Mentri Agama Mukti Ali
pada tanggal 27 September 1973, dan hasil akhir yang disahkan oleh DPR adalah
terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal.[33]
Namun, RUU ini tidak mulus dalam perancangannya
kontroversi terjadi di dalam maupun di luar gedung baik secara perseorangan
maupun organisai-organisasi. Protes yang besar-besaran muncul dari organisasi
Sarekat Istri Jakarta yang mengecam tentang pasal-pasal yang melarang tentang
poligami. Begitu juga dengan Ratna Sari sebagai ketua Persatuan Muslim
Indonesia (Permi) yang tidak setuju kalau poligami dianggap merendahkan
status wanita, dengan alasan bahwa Islam membolehkan poligami, bukan
menganjurkan. Demikian juga saat-saat RUU di DPR sejumlah respon negatif
muncul, baik melalui perseorangan maupun organisai. Di antara kritik tersebut
misalnya dapat dicatat pandangan Asmah Sjahroni, wakil dari fraksi persatuan
pembangunan (FPP), yang menyebut bahwa RUU tersebut menjadi Indikasi pencabutan
Hukum Perkawinan Adat dan Perkawian Hukum Islam. Lebih dari itu sejumlah
demonstran di jalanan dengan seruan Allahu Akbar mengutuk rancangan itu sebagai
perbuatan Sekular. Bahkan pada tanggal 27 September 1973 telah terjadi
keributan di dalam gedung DPR. Awalnya para mahasiswa ini hanya duduk-duduk di
balkon memperhatikan jalannya sidang umum. Akan tetapi, ketika Mentri Agama
R.I. Mukti Ali ketika itu naik mimbar menyampaikan pendiriannya mengenai
rancangan tersebut, para mahasiswa mulai berteriak-teriak. Karena sejumlah
aparat keamanan tidak mampu membendung keributan, maka sidang ditunda sewaktu
Mukti Ali menyampaikan pidatonya.[34]
Demikian perjalanan hukum perkawinan Indonesia
walaupun penuh dengan kontroversi dan rintangan yang ada, sehingga pada 2
Januari 1974 RUU ini disahkan oleh DPR RI. Namun, undang-undang ini mulai
berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, alasan yang diberikan
seperti tertulis dalam penjelasan umum Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun
1975). Karena untuk pelaksanaan peraturan ini perlu langkah-langkah persiapan
dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari beberapa Departemen atau
Instansi yang terkait.[35]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
hukum
perkawinan Islam pada era kolinialisme Belanda
a.
Seiring
dengan masuknya penjajah ke Indonesia yang di awali dengan VOC ternyata hukum
perkawinan mengalami kemajuan, khususnya bagi umat Islam pada masa itu,
ditandai dengan VOC tetap meberlakukan hukum perkawinan yang telah dibuat para
penguasa kerajaan-kerajaan Islam bahkan VOC pada waktu menerbitkan beberapa
kitab-kitab karangan ulama Islam agar dijadikan pedoman bagi para penghulu atau
Hakim pada Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama dalam struktur masyarakat
pada saat itu, hal ini berjalan selama 2 abad pendudukan VOC di Nusantara.
b. Setelah masa VOC berakhir, maka pemerintahan Hindia Belanda
menggantikannya. Pada masa ini pemerintah colonial Belanda membuat beberapa
hukum perkawinan yaitu : Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan
Kristen (HOCI), bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW), bagi perkawinan campuran berlaku peraturan
perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Sampai berakhirnya masa
penjajahan ternyata tidak satupun hukum perkawinan yang dapat mengayomi cita
hukum seluruh masyarakat di Indonesia
2.
Pada era
reformasi atau kemerdekaan Indonesia
a.
Setelah
berakhirnya masa penjajahan atau setelah kemerdekaan hukum perkawinan mendapat
perhatian dari pemerintah, terkhusus bagi umat Islam karena setahun setelah
kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946 pemerintah membuat peraturan perkawinan
dengan menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, yang pada akhirnya
berdasarkan undaang-undang No. 32 tahun 1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
b. Pada tahun
1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas RUU perkawinan nasioanal,
karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali
peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. RUU Gagasan
pemerintah tersebut ternyata menuai banyak perdebatan dari lapisan rakyat
Indonesia yang akibatnya sampai tahun 1965 atau masa berakhirnya rezim orde
lama tersebut, hukum perkawinan nasional yang dicita-citakan rakyat Indonesia
tidak terwujud.
c.
Pada masa kemerdekaan selanjutnya keinginan untuk mewujudkan UU
perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan diajukannya RUU perkawinan
oleh Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun
1973 terlaksana. Meskipun demikian ternyata
draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam
yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam. Dengan
perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2
Januari 1974 RUU perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang.
.
DAFTAR PUSTAKA
Manan Abdul., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2012).
Amrullah Ahmad., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996).
Rofiq Ahmad., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2006).
Rosyadi A. dan Rais Ahmad., Formalisasi Syari’at Islam dalam perspektif
Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006).
Azizy, A. Qodri., Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum
Umum”, (Bandung: Teraju, 2004).
Sosroatmodjo Arso dan Aulawi A. Wait., Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975).
Habiburrahman., Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011).
Nasution, Khairuddin., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan
ACAdeMIA, 2009).
Subadyo, Maria Ulfah., Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Suwondo Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992).
Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
(Jakarta: PT. Intermasa, 1987).
Syahuri Taufiqurrahman., Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2013).
Jafizham T., Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977).
Tjok, dkk., Hukum dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk
menyambut hari ulang tahun ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003).
[1] Habiburrahman., Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 28. Baca juga, A. Rosyadi dan Rais Ahmad., ed. Formalisasi
Syari’at Islam dalam perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), hlm. 73-74.
[3] Tjok, dkk., Hukum dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk
menyambut hari ulang tahun ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003), hlm. 126
[4] Baca, A. Qodri Azizy., ed. Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan
Hukum Umum”, (Bandung: Teraju, 2004), hlm. 137-139
[5] Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 55.
[8] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan
ACAdeMIA, 2009), hlm. 20-21.
[10]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2012), hlm. xii.
[11] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 11.
[17] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 9-10.
[18] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 77.
[20] Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 100.
[27]Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Di Indonesia, (BulanBintang,
Jakarta, 1978), hlm. 9.
[31] T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan
Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977), hlm. 180.
[33] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, 2009, hlm. 37-40.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari pergumulan sejarah
diceritakan bahwa berlakunya sistem hukum Adat, hukum Islam, dan hukum-hukum
yang disahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada masa kolonialisme hingga
terciptanya beberapa undang-undang pada masa kemerdekaan Indonesia, hal ini tidak
luput dari kontribusi para pemikir-pemikir besar yang telah ikut serta
memberikan kontribusi positifnya dalam formulasi sistem hukum di
Indonesia. mereka memberikan perhatian yang spesial terhadap keabsahan hukum
adat dan hukum Islam bagi masyarakat pribumi, meskipun berangkat dari ini
terjadi berbagai polimik diantara mereka. Tetapi dari polimik itu yang patut
untuk dicontohi adalah bermunculannya berbagai macam teori-teori dari kalangan
akademisi waktu itu, ini terepleksi dari timbulnya beberapa teori, seperti
teori Receptie in Complexu yang diperkenalkan oleh Lodewijk Willem
Christian van den Berg (1845-1927), ia seorang yang ahli dibidang hukum Islam
yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1870-1887, Teori ini menyatakan
bahwa bagi orang Islam berlaku sepenuhnya hukum Islam, walaupun dalam
pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. karena hukum Islam telah
berlaku pada masyarakat asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan adanya Regeering
Reglement, dan hukum perkawinan dan kewarisan Islam dalam Compendium
freijer tahun 1706.[1]
kemudian muncullah
teori Receptie yang diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronje
(1857-1936), kemudian dikembangkan oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Haar. Snouck
Hurgronje sendiri dikenal sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang
soal-soal Islam dan anak negeri tahun 1898. Ia pernah belajar ke Makkah
sehingga berganti namanya menjadi Abdul Ghaffur (1884-1885), Keahliannya dalam
hukum Islam dan hukum adat, terepleksi dalam karyanya De Atjehers dan De
Gojoand. Inti dari teorinya adalah bagi masyarakat pribumi pada dasarnya
berlaku hukum adat, dan hukum Islam akan berlaku apabila norma-norma hukum
Islam telah diterima atau diserap oleh masyarakat hukum adat. Teori ini muncul
untuk mengkritisi atas teori Receptie in Complexsu-nya van den Berg.
kemudian timbullah teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin
untuk membantah teori Receptie Snouck, menurut torinya ini ia mengatakan
bahwa Hukum Islam adalah hukum yang mandiri dan lepas dari pengaruh hukum
lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan sumber dan metode hukum Islam.
dan terakhir munculnya teori Receptie a Contrario yang dimunculkan oleh
Sayuti Thalib merupakan pengembangan dari teori Receptie Exit dan
menegaskan atas teori Receptie adalah teori Iblis. Inti dari teorinya
Sayuti adalah bagi orang Islam berlaku hukum Islam; hukum Islam berlaku sesuai
dengan cita hukum, cita moral dan batin umat Islam; dan hukum Adat berlaku jika
sesuai dengan hukum Islam.[2]
Telaah hukum dalam
perspektif kesejarahan tidak saja melihat hukum dari sudut perkembangan, tetapi
juga memahami hukum yang ada pada saat tertentu sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan
sejarah dan kita perlu melihatnya dalam kerangka konsep budaya yang
berubah-ubah. Aliran sejarah hukum melihat hukum suatu bangsa sebagai suatu
unikum, dan oleh karenanya senantiasa hukum yang satu berbeda dari hukum yang
lain. Perbedaan itu terletak pada karaktristik pertumbuhan yang dialami oleh
masing-masing sistem hukum. Jika dikatakan hukum itu tumbuh, itu berarti ada
hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang dengan yang lalu.[3]
B. Pokok Permasalahan
Bertitik tolak dari
latar belakang masalah di atas, karena makalah ini akan menggunakan pendekatan
sejarah dalam melihat perjalanan hukum perkawinan Islam di Indonesia. Maka,
pokok bahasan pada makalah ini adalah: pertama, bagaimana legitimasi
hukum perkawinan Islam pada masa kolonialisme,?. Kedua, Bagaimanakah
hukum perkawinan Islam pada masa kemerdekaan,?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Kolonialis Belanda
Hasil dari penjajahan
kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum yang dianut oleh
penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah masyarakat (Living
Law) atau berupa Hukum Adat (customary law), maupun Hukum Islam.
Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan terjadinya pluralitas
sistem hukum yang dianut oleh masyarakat pribumi yang dikuasai oleh
pemerintahan kolonialis Belanda, hingga diberlakukanlah sistem Hukum Adat,
Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum Barat
berupa hukum sipil (civil law).[4] Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda
dalam menjalankan roda kekuasaannya mereka memanfaatkan beberapa macam
instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan kepada para Bupati, khususnya
disebelah utara pantai Jawa, yang intinnya adalah agar memberi kesempatan
kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan perdata di kalangan penduduk
menurut ajaran Islam. Bahkan, konon keputusan Raja Belanda (Koninkelijk
Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari1882 yang kemudian diumumkan dalam Staatsblad
tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama),
walaupun hal ini didasarkan atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut
paham receptio in complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi
masyarakat pribumi adalah hukum agama yang dipeluknya.[5]
Namun,
peradilan-peradilan di atas mendapat ujian dari masyarakat pribumi sendiri yang
berada di beberapa daerah di luar Jawa yang masih mempunyai peradilan
asli di daerah-daerah tertentu. sehingga dalam renah pidana peraturan yang
berupa Wetboek van Strafrecht tidak diberlakukan pada daerah tersebut,
hanyan saja ada rangkaian pasal-pasal yang oleh undang-undang tahun 1932 No. 80
dinyatakan berlaku. Dalam bidang keperdataan permasalahan di atas juga menjadi
ancaman yang serius bagi peraturan perundang-undang yang dibangun pada masa
pemerintahan hindia belanda, sehingga, muncullah beberapa keputusan atau
peraturan baru dari pemerintahan Hindia Belanda, yakni:[6]
1.
Hukum yang berlaku untuk semua penduduk, misalnya Undang-Undang Hak
Pengarang undang-undang milik perindustrian, dan lain sebagainya.
2.
Hukum Adat yang berlaku untuk semua orang asli Indonesia.
3.
Hukum Islam untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai
beberapa bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 I.S.)
berlakunya hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang
tersebut menganut hukum Islam.
4.
Hukum yang khusus diciptakan untuk orang Indonesia asli, yang berupa
undang-undang seperti undang-undang (ordonansi) tentang maskapai andil
Indonesia, undang-undang (ordonansi) perkawinan orang Indonesia Kristen,
dan lain sebagainya.
5.
Burgerlijk Werboek van Koophandel, yang diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku
untuk orang Tionghoa, sedangkan beberpa bagian (terutama dari W.v.K.) juga
telah dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnnya hukum perkapalan
(hukum laut).
Pada masa penjajahan
Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk menanggapi perkara
perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam renah perkawinan untuk
menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara di pengadilan agama,
namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih klasik atau
ajaran-ajaran Islam yang ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti
yang telah dikatakan di atas bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang
beragama Islam dan diberi kewenangan khusus kepada para ulama untuk
menyelesaikan perkara perkawinan sesusai ajaran Islam itu sendiri.[7] Namun, bukan berarti pada masa ini tidak
ada undang-undang perkawinan yang berlaku, pemerintahan hindia belanda
menggunakan Compendium Freijer dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan
hukum waris menurut Islam. Kitab ini ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk
dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C), atas
usul Residen Cirebon, Mr. P.C Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe
Rechtsboek. Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di
Semarang tahun 1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh
V.O.C diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk
surat V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan
sendiri mengurus perkara perkawinan dan warisan.[8]
Masalah pengebirian
hukum Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda ada yang berpendapat bahwa
sejak lahirnya Stbl 1820 No.24 pasal 13 yang diperjelas dalam Stbl 1835 No.58
yang berisi sebagai berikut: apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa
satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan
sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka
pendeta memberi putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul
dari keputusan para pendeta itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan
biasa. Pada perkembangan berikutnya muncul Stbl 1882 No.152 tentang pembentukan
peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan
lahirnya Stbl ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan Hindia Belanda masih
mengakui keberadaan Hukum Islam dan dijadikan dasar dalam menyelesaikan
masalah-masalah di kalangan orang Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa pengebirian
terjadi sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan dicabut berlakunya Compendium
Freijer, sebab dengan pencabutan itu secara tekstual, hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum adat, keculai orang-orang kristen, berlaku undang-undang
kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang berpendapat pengebirian terjadi
sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S. (Indische Staatsregeling) tahun
1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam diadili oleh Pengadilan
Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh hukum adat mereka. Sejauh
tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische Staatsregeling).[9]
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para
sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga kedudukan
hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui
sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam
banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus
berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh
VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim
Peradilan Agama dalam memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan
adalah “al-Muharrar” di Semarang, “Shirathal Mustaqim”
yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi
syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin”
yang diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar
Masin, kemudian kitab “Sajirat al-Hukmu” yang
digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan
Mataram.[10]
Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freijer,
mengikuti nama penghimpunnya.[11]
Pada awalnya Belanda melalui
VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk menyelesaikan
masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka
berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan
peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan
Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan
lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan, sehingga selama
hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam
masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya. [12]
Masa VOC berakhir dengan
masuknya Inggris pada tahun1800-1811. Setelah Inggris menyerahkan kembali
kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda kembali
berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Namun
melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia, muncul pendapat
dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg bahwa hukum
yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka, yaitu
Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).[13] Dalam
perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat dengan teori
ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia
bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal dengan
nama teori “Receptie”.[14]
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui
hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah
yang diakui. Dalam Indesche Staatsregeling
pasal 131 ayat 6 ditulis:
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi
mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum
adat”[15]
Dalam Indesche
Staatsregeling (IS) pasal 131 ayat 2 ditulis; Untuk golongan bangsa
Indonesia asli dan Timur Asing, jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Kemudian dalam
ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.[16]
Pada Kongres Perempuan
Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada
Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun
mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.[17]
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie op de
Ingeschrevern Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu
pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim.[18]
Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan
orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis.
Namun, rancangan ordonansi tersebut
di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan hukum Islam. Suara perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang
setuju ternyata tidak cukup kuat hingga rencana ordonansi tersebut tidak jadi
dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).[19]
Sampai berakhirnya masa
penjajahan, Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang
berisi hukum material tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa
Indonesia. Perturan hukum materiil tentang perkawinan yang dibuat dan
ditinggalkan oleh Pemerintah Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum
perkawinan yang berlaku untuk golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi
Perkawinan Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang
beragama Kristen, Kitab undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi
warga keturunan Eropa dan Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran
(Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. [20]
B. Masa Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Untuk mengawali pembahasan tentang Hukum Perkawinan
Indonesia setelah masa Proklamasi, ada ungkapan yang sangat menarik dari
Kansil, dia mengatakan bahwa setiap negara yang merdeka dan berdaulat harus
mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan maupun dalam
bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan hidup
Bangsanya. Kalau Prnacis dapat menggunakan Code Civil yang menjadi
kebanggaannya. Swiss mempunyai Zivil Gezetzbuch yang juga terkenal. RRC
dan Philipina sudah mempunyai Code Civil juga. Maka bagaimana dengan
Indonesia, sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu
asingnya Kitab Undang-Undang Nasional, baik dalam bidang kepidanaan maupun
dalam bidang keperdataan.[21]
Prof. A. Qodri mengatkan, memang harus diakui Indonesia setelah merdeka lebih
dari setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh yang berisi
hukum nasional yang asli produk bangsa ini, undang-undang yang ada masih berupa
peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga Legislatif.[22]
Berangkat dari pemikiran adanya tiga pilar penyangga
hukum setelah era kemerdekaan, maka aparat penegak hukum mulai dibenahi atau
berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas satu demi satu mulai
dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu. Harus diakui bahwa
ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak lagi berjalan di
tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan keberadaannya,
yaitu Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN (Pegawai Pencatat
Perkawinan) adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum perkawinan dan
perwakafan. PPN diberi tanggung jawab selaku pegawai pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW), lembaga ini berperan besar dalam membentuk keluarga muslim dan ikut
serta secara fisik dalam pembangunan nasional melalui lembaga perwakafan
dibidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, sekaligus penyelamatan tanah-tanah
wakaf yang berjumlah ribuan hektar.[23]
Pada tanggal 3 Januari 1946 berdirilah Departemen
Agama, Amrullah Ahmad mengatakan bahwa pada saat itu Departemen Agama tidak
sajak mengurusi agama Islam saja, tetapi mengurusi semua agama yang diakui di
negara ini. Pada tanggal 21 November 1946 ketika bangsa Indonesia menghadapi
Belanda yang bermaksud menjajah kembali bangsa ini, seiring dengan realita ini
juga dikeluarkan undang-undang tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk,
yaitu undang-undang No.22 tahun 1946. Sedianya, undang-undang tersebut hendak
diberlakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia. Namun, karena situasi belum
memungkinkan, maka untuk sementara hanya diberlakukan di Jawa dan Madura.
Kemudian pada tahun 1954, dengan undang-undang No. 32, diberlakukan di seluruh
kawasan Indonesia. Apabila dicermati secara eksplisit, sebenarnya undang-undang
tersebut tidak hanya mengenai masalah pencatatan saja, namun menegaskan bahwa: pertama,
PPN harus mengawasi nikah yang dilakukan menurut hukum Islam; dan mencatat
nikah, talak dan talak yang diberitahukan kepadanya. Mengawasi yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut yaitu, PPN harus hadir pada saat akad nikah
dilangsungkan, lalu mencatatnya; kedua, memeriksa ketika pihak-pihak
yang bersangkutan memberitahukan kehendaknya untuk menikah, apakah terdapat halangan
atau larangan baik menurut hukum Islam ataukah menurut undang-undang, maka
dengan alasan itu PPN dapat menolak pelaksanaan pernikahan itu. Untuk
memperkuat wewenang PPN sebagai penegak pernikahan apakah pernikahan itu boleh
dilakukan atau tidak, maka undang-undang perkawinan memperkuat pengaturannya
dalam pasal 20 undang-undang perkawinan.[24]
Keadaan demikian rupanya
mendapat perhatian dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946
atau tepatnya satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik
Indonesia menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh
Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.[25]
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama
No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. [26]Kemudian
pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946
tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus
1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali
peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena
desakan tersebut akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat
Perintah Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam.[27] Panitia ini menyusun suatu Rancangan
Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri
dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan
Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.[28]
Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang- Undang
Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan
dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai
golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia
menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi
pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau
pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari
1953.[29] Rancangan yang dimajukan itu selain
berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki
keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :
- Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat
dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan
batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
- Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan
yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
- Poligami diizinkan bila diperbolehkan
oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian
hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
- Harta bawaan dan harta yang diperoleh
selama perkawinan menjadi milik bersama;
- Perceraian diatur dengan keputusan
Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak
dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
- Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan
anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.[30]
Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk
dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953
Panitia memutuskan untuk
menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku
:
- Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang
berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama.
- Undang-Undang Organik, yang
mengatur soal perkawinan menurut
agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
- Undang-Undang untuk golongan
netral, yaitu yang tidak
termasuk suatu golongan agama agama.[31]
Tahun 1954 akhirnya panitia
telah berhasil membuat
Rancangan Undang- Undang tentang Perkawinan Umat
Islam yang kemudian
disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet
akhir bulan September
1957 dengan penjelasan masih akan
ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi
sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah
mengenai soal undang-undang perkawinan itu.[32]
Pada tahun 1967 dan 1968 pemerintah menyampaikan dua
buah rancangan undang-undang kepada DPRGR (DPR Gotong Royong), RUU tentang
pernikahan umut Islam dan RUU tentang pokok perkawinan. Hal ini untuk merespon
TAP MPRS No. XXVIII/MPRS?1966 yang menyatakan dalam pasal 1 ayat 3 bahwa negara
perlu diadkan UU tentang perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPRGR di
tahun 1968, yang akhirnya tidak mendapat persetujuan dari DPRGR berdasarkan
keputusan tanggal 5 Januari 1968. Adapun alasan tidak dapat disahkannya, karena
ada salah satu fraksi yang menolak, dan dua fraksi yang absen, meskipun
sejumlah 13 fraksi dapat menerimanya. Kemudian pada awal tahun 1967, Mentri
Agama KH. Moh. Dahlan, mengajukan kembali RUU penikahan umat Islam untuk
dibahas oleh dewan. Dalam waktu yang hampir sama Departemen Kehakiman menyusun
RUU tentang perkawinan yang bersifat nasional dan berjiwa Pancasila dan
disampaikan ke DPR pada September 1967, dengan maksud RUU dari Departemen
Kehakiman sebagai RUU Pokok dan dari Departemen Agama sebagai RUU Pelaksana.
Rancangan ini kembali gagal disahkan, sebab anggota DPR tidak bergairah
membahas alasannya karena penyusunannya didasarkan pada perbedaan pandangan.
Akhirnya kerja keras membuatkan hasil, pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah
dapat menyiapkan RUU Perkawinan No. R. 02/PU/VII/1973 dan disampaikan kepada
DPR yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Hasil ini tidak bisa dipisahkan dari
partisipasi ISWI (Ikatan Sarjana Wanita Indonesia) yang mendesak pemerintah
pada tanggal 22 Pebruari 1972. RUU ini mempunyai tujuan yakni, memberikan
kepastian hukum bagi permasalahan perkawian, sebab sebelumnya undang-undang
bersifat Judge Made Law; memenuhi hak-hak kaum wanita dan memenuhi harapannya;
menciptakan undang-undang yang memenuhi tuntunan zaman. Keterangan tentang RUU
di sampaikan oleh Mentri Kehakiman Umar Senoaji S.H. pada tanggal 30 Agustus
1973. Kemudian di jawab oleh Pemerintah diberikan oeh Mentri Agama Mukti Ali
pada tanggal 27 September 1973, dan hasil akhir yang disahkan oleh DPR adalah
terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal.[33]
Namun, RUU ini tidak mulus dalam perancangannya
kontroversi terjadi di dalam maupun di luar gedung baik secara perseorangan
maupun organisai-organisasi. Protes yang besar-besaran muncul dari organisasi
Sarekat Istri Jakarta yang mengecam tentang pasal-pasal yang melarang tentang
poligami. Begitu juga dengan Ratna Sari sebagai ketua Persatuan Muslim
Indonesia (Permi) yang tidak setuju kalau poligami dianggap merendahkan
status wanita, dengan alasan bahwa Islam membolehkan poligami, bukan
menganjurkan. Demikian juga saat-saat RUU di DPR sejumlah respon negatif
muncul, baik melalui perseorangan maupun organisai. Di antara kritik tersebut
misalnya dapat dicatat pandangan Asmah Sjahroni, wakil dari fraksi persatuan
pembangunan (FPP), yang menyebut bahwa RUU tersebut menjadi Indikasi pencabutan
Hukum Perkawinan Adat dan Perkawian Hukum Islam. Lebih dari itu sejumlah
demonstran di jalanan dengan seruan Allahu Akbar mengutuk rancangan itu sebagai
perbuatan Sekular. Bahkan pada tanggal 27 September 1973 telah terjadi
keributan di dalam gedung DPR. Awalnya para mahasiswa ini hanya duduk-duduk di
balkon memperhatikan jalannya sidang umum. Akan tetapi, ketika Mentri Agama
R.I. Mukti Ali ketika itu naik mimbar menyampaikan pendiriannya mengenai
rancangan tersebut, para mahasiswa mulai berteriak-teriak. Karena sejumlah
aparat keamanan tidak mampu membendung keributan, maka sidang ditunda sewaktu
Mukti Ali menyampaikan pidatonya.[34]
Demikian perjalanan hukum perkawinan Indonesia
walaupun penuh dengan kontroversi dan rintangan yang ada, sehingga pada 2
Januari 1974 RUU ini disahkan oleh DPR RI. Namun, undang-undang ini mulai
berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, alasan yang diberikan
seperti tertulis dalam penjelasan umum Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun
1975). Karena untuk pelaksanaan peraturan ini perlu langkah-langkah persiapan
dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari beberapa Departemen atau
Instansi yang terkait.[35]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
hukum
perkawinan Islam pada era kolinialisme Belanda
a.
Seiring
dengan masuknya penjajah ke Indonesia yang di awali dengan VOC ternyata hukum
perkawinan mengalami kemajuan, khususnya bagi umat Islam pada masa itu,
ditandai dengan VOC tetap meberlakukan hukum perkawinan yang telah dibuat para
penguasa kerajaan-kerajaan Islam bahkan VOC pada waktu menerbitkan beberapa
kitab-kitab karangan ulama Islam agar dijadikan pedoman bagi para penghulu atau
Hakim pada Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama dalam struktur masyarakat
pada saat itu, hal ini berjalan selama 2 abad pendudukan VOC di Nusantara.
b. Setelah masa VOC berakhir, maka pemerintahan Hindia Belanda
menggantikannya. Pada masa ini pemerintah colonial Belanda membuat beberapa
hukum perkawinan yaitu : Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam,
bagi orang-orang Indonesia asli beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan
Kristen (HOCI), bagi warga Negara keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW), bagi perkawinan campuran berlaku peraturan
perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Sampai berakhirnya masa
penjajahan ternyata tidak satupun hukum perkawinan yang dapat mengayomi cita
hukum seluruh masyarakat di Indonesia
2.
Pada era
reformasi atau kemerdekaan Indonesia
a.
Setelah
berakhirnya masa penjajahan atau setelah kemerdekaan hukum perkawinan mendapat
perhatian dari pemerintah, terkhusus bagi umat Islam karena setahun setelah
kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946 pemerintah membuat peraturan perkawinan
dengan menetapkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, yang pada akhirnya
berdasarkan undaang-undang No. 32 tahun 1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
b. Pada tahun
1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas RUU perkawinan nasioanal,
karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali
peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. RUU Gagasan
pemerintah tersebut ternyata menuai banyak perdebatan dari lapisan rakyat
Indonesia yang akibatnya sampai tahun 1965 atau masa berakhirnya rezim orde
lama tersebut, hukum perkawinan nasional yang dicita-citakan rakyat Indonesia
tidak terwujud.
c.
Pada masa kemerdekaan selanjutnya keinginan untuk mewujudkan UU
perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan diajukannya RUU perkawinan
oleh Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR pada tahun
1973 terlaksana. Meskipun demikian ternyata
draft RUU tersebut menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam
yang menilai RUU tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam. Dengan
perjalanan yang berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2
Januari 1974 RUU perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang.
.
DAFTAR PUSTAKA
Manan Abdul., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2012).
Amrullah Ahmad., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996).
Rofiq Ahmad., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2006).
Rosyadi A. dan Rais Ahmad., Formalisasi Syari’at Islam dalam perspektif
Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006).
Azizy, A. Qodri., Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum
Umum”, (Bandung: Teraju, 2004).
Sosroatmodjo Arso dan Aulawi A. Wait., Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975).
Habiburrahman., Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011).
Nasution, Khairuddin., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan
ACAdeMIA, 2009).
Subadyo, Maria Ulfah., Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Suwondo Nani., Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992).
Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata,
(Jakarta: PT. Intermasa, 1987).
Syahuri Taufiqurrahman., Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2013).
Jafizham T., Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977).
Tjok, dkk., Hukum dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk
menyambut hari ulang tahun ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003).
[1] Habiburrahman., Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 28. Baca juga, A. Rosyadi dan Rais Ahmad., ed. Formalisasi
Syari’at Islam dalam perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), hlm. 73-74.
[3] Tjok, dkk., Hukum dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk
menyambut hari ulang tahun ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003), hlm. 126
[4] Baca, A. Qodri Azizy., ed. Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan
Hukum Umum”, (Bandung: Teraju, 2004), hlm. 137-139
[5] Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 55.
[8] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan
ACAdeMIA, 2009), hlm. 20-21.
[10]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta
: Kencana, 2012), hlm. xii.
[11] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975), hlm. 11.
[17] Maria Ulfah Subadyo, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 9-10.
[18] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 77.
[20] Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 100.
[27]Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Di Indonesia, (BulanBintang,
Jakarta, 1978), hlm. 9.
[31] T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan
Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977), hlm. 180.
[33] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, 2009, hlm. 37-40.