Friday, 2 December 2016

Pengertian Dari Perceraian Faktor-Faktor Penyebab Perceraian Dan Dampak Perceraian Pada Anak




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sebuah hubungan rumah tangga tentunya tidak selamnya berjalan baik sesuai dengan apa yang telah kita inginkan dari kejauhan hari, namun ternyata ada beberapa faktor lain yang secara sengaja atau tidak di sengaja penghambat keharmonisan hubungan keluarga tersebut. Salah satu akibat yang di timbulkan dengan adanya konflik tersebut ialah adanya perceraian, dimana perceraian bukan lagi hal yang asing di Indonesia namun perceraian bisa dikatakan sebagai hal yang lumrah dan sudah memasyarakat.
Perceraian tidak saja terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-orang berkelas atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat biasa tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang figur salah satunya artis, musisi, bahkan terjadi pada ustad-ustad.
Perceraian bukan saja akan merugikan beberapa pihak namun perceraian juga sudah jelas dilarang oleh agama (agama islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi tetap saja perceraian di kalangan masyarakat terus semakin banyak bahkan dari tahun ketahun terus meningkat. Kita sebagai pelajar mestinya tahu bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan bahwa akibat dari perceraian itu sangat fatal sekali salah satunya terhadap sibuah hati yang dimana pada saat orang tuanya terjadi perceraian si anak akan merasa terganggu dan merasa kurangnya perhatian bahkan kasih sayang dari orang tua.
Secara psikis tentu perceraian akan sangat mempengaruhi pada perkembangan anak, baik itu ketika masih anak-anak atau ketika sianak sudah mulai remaja.dalam makalah ini akan mencoba membahas bagaimana pengaruh perceraian orang tua terhadap perkembangan anak remaja, yang dimana pada remaja akibat yang ditimbulkannya lebih banyak dibanding pada anak anak karena mungkin anak remaja sudah mulai berfikir.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari perceraian?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab perceraian?
3.      Bagaimana dampak perceraian pada anak?
4.      Bagaimana upaya mengatasi masalah pada anak akibat perceraian?

C.    Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian perceraian.
2.      Menjelaskan faktor-faktor penyebab perceraian.
3.      Menjelaskan dampak perceraian pada anak.
4.      Menjelaskan upaya mengatasi masalah pada anak akibat perceraian.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami ataupun istri.
Bagi anak-anak yang belum mengerti maksud dari “perceraian” mereka mungkin sering bertanya-tanya kenapa kedua orangtua mereka tidak pernah bersama-sama lagi. Mereka hanya menuruti apa yang diucapkan oleh orangtuanya. Bagi seorang remaja yang dalam keadaan emosinya masih sangat labil, mereka menganggap hal tersebut adalah kehancuran dalam hidupnya, hidup akan jauh berbeda paska perceraian, merasa segalanya menjadi kacau, dan merasa kehilangan. Bagi anak yang telah dewasa, mereka akan lebih mudah diajak berkomunikasi, lebih bisa memahami situasi dan kondisi, lebih bisa menjaga dirinya sendiri, bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dan bisa menasehati kedua orangtuanya sesuai apa yang ia rasakan.
Intinya pada berapapun usia dari anak-anak yang mengalami perpecahan dalam keluarganya, disatu sisi “kehilangan” adalah masalah pertama yang mereka jumpa. Di sisi lain mereka menunjukkan kesulitan dalam menyesuaikan diri seperti kesedihan, kesepian, kesendirian, keterpurukan, kerinduan, ketakutan, kekhawatiran,dan depressi. Itu semua adalah hanya bagian dari rasa kekecewaan terhadap orangtuanya. Yang akan menjadi trauma apabila mereka menyaksikan perkelahian orangtuanya yang begitu dasyat, mereka hanya bisa menangis, mengurung diri di kamar, atau pergi melarikan diri dari rumah untuk menenangkan diri mereka.
Sedangkan dalam islam, perceraian adalah melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau selamanya.[1]

B.     Faktor-Faktor Penyebab Perceraian
Terdapat banyak penyebab perceraian yang telah tampak dari kasus-kasus yang sering terjadi di Indonesia, diantaranya adalah :
1.      Kurangnya berkomunikasi
Dalam rumah tangga, komunikasi sangat penting dan sangat dibutuhkan antara suami-istri. Sekecil apapun itu masalah harus memberitahu satu sama lain. Jika tidak, akan memicu terjadinya perceraian. karena dengan berkomunikasi membuat rasa saling percaya, saling mengerti, tidak ada kebohongan, dan tidak ada hal yang disembunyikan. Namun sebaliknya jika dalam rumah tangga gagal berkomunikasi, maka akan sering terjadi pertengkaran karena tidak saling percaya, tidak saling mengerti, banyaknya rahasia yang disembunyikan satu sama lain. Hal ini akan beruung pada perceraian jika kedua pihak kurang atau gagal berkomunikasi.
2.      Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
KDRT adalah kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikis,dan ekonomi.  Hal tersebut menjadi salah satu penyebab utama perceraian.[2]
3.       Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah perzinahan, yaitu hubungnan seksual diluar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun istri. hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dikarenakan mungkin seperti yang kita bahas sebelumnya yaitu kurangnya atau gagal berkomunikasi, ketidak harmonisan, tidak adanya perhatian atau kepedulian suami terhadap istri atau sebaliknya, saling sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, merasa tidak tercukupinya kebahagiaan lahir dan batin, ketidaksetiaan, atau hanya untuk bersenang-senang bersama orang lain.
4.      Masalah ekonomi
Uang memang tidak dapat membeli kebahagiaan. Namun bagaimana lagi, uang termasuk kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, faktor ekonomi masih menjadi penyebab paling dominan terjadinya perceraian pasutri di masyarakat.
5.      Krisis moral dan akhlak
Faktor-faktor  terjadinya perceraian di atas seperti halnya masalah ekonomi, perzinahan, kurangnya atau gagal berkomunikasi, dan kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan landasan berupa krisis moral dan akhlak yang dilalaikan oleh suami mapun istri atas peran dan tanggung jawab.[3]

C.    Dampak Perceraian pada Anak
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul beberapa kategori anak adalah:
a.       Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:
1.      Mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan mau melampiaskannya.
2.      Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar.
3.      Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan.
4.      Dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
5.      Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
b.      Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.
Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orangtua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka. Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, tidak sabar, impulsif,. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah guilty feeling dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. Orangtua harus harus hati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura. Anak juga bisa jadi tidak pe-de dan takut menjalin kedekatan (intimacy) dengan lawan jenis. Kedepannya, setelah dewasa, anak cenderung tidak berani untuk commit pada suatu hubungan. Pacaran-putus, pacaran-putus. Self esteem anak juga bisa turun. Jika self esteem-nya jadi sangat rendah dan rasa bersalahnya sangat besar, anak bisa jadi akan dendam pada orangtuanya, terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri. Apalagi jika anak sudah besar dan punya keinginan untuk menyelamatkan perkawinan orangtuanya, tapi tidak berhasil. Ia akan merasa sangat menyesal, merasakan bahwa omongannya tak digubris, merasa diabaikan, dan merasa bukan bagian penting dari kehidupan orangtuanya. Perasaan marah dan kecewa pada orangtua merupakan sesuatu yang wajar, Ini adalah proses dari apa yang sesungguhnya ada di hati anak. Jadi, biarkan anak marah, daripada memendam kemarahan dan kemudian mengekspresikannya ke tempat yang salah.
Bagi kebanyakan remaja, perceraian orangtua membuat mereka kaget sekaligus terganggu. Masalah yang ditimbulkan bagi fisik tidak terlalu tampak bahkan bisa dikatakan tidak ada karena ini sifatnya psikis, namun ada juga berpengaruh pada fisik setelah si remaja tersebut mengalami beberapa akibat dari tidak terkendalinya psikis atau keperibadiannya yang tidak terjaga dengan baik, salah satu contoh si remaja karena seringkali meminum-minuman beralkohol maka lambat laun si remaja akan mengalami penurunan system kekebalan tubuh yang akhirnya menimbulkan sakit.[4]
Keadaan tersebut jelas akan mempengaruhi psikologi remaja untuk keberlangsungan kehidupannya, ada beberapa kebutuhan utama remaja yang penting untuk dipenuhi yaitu:

a.       Kebutuhan akan adanya kasih sayang
b.       Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok
c.       Kebutuhan untuk berdiri sendiri
d.      Kebutuhan untuk berprestasi
e.       Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain
f.       Kebutuhan untuk dihargai
Kehidupan mereka sendiri berkisar pada berbagai masalah khas remaja yang sangat nyata, seperti bagaimana menyesuaikan diri dengan teman sebaya, apa yang harus dilakukan dengan seks atau narkoba, ataupun isu-isu kecil tetapi sangat penting, seperti jerawat, baju yang akan dikenakan, atau guru yang tidak disenangi. Remaja sudah merasa cukup sulit mengendalikan kehidupan mereka sendiri sehingga pasti tidak ingin diganggu dengan kehidupan orangtua yang mengungkapkan perceraian. Mereka tidak memiliki ruang atau waktu lagi terhadap gangguan perceraian orangtua dalam kehidupan mereka.
Selain itu, remaja secara psikologis sudah berbeda dari sebelumnya. Meskipun masih bergantung pada orangtua, saat ini mereka memiliki suara batin kuat yang memberitahu mereka untuk menjadi mandiri dan mulai membuat kehidupan mereka sendiri. Tetap bergantung tidak sesuai lagi untuk rasa aman dan kesejahteraan diri mereka.[5]

D.    Upaya Mengatasi Masalah pada Anak Korban Perceraian
Perceraian tentu disebabkan oleh orang tua itu sendiri sebaiknya orang tua bisa mengkomunikasikan pada anak dan juga memberikan sebuah penjelasan kenapa mereka bisa bercerai, berikut ada beberap poin yang bisa dikomunikasikan orang tua kepada anak :
a.       Komunikasikan bahwa perceraian adalah berat bagi setiap anggota keluarga termasuk orang tua. Perceraian terjadi di banyak keluarga sehinnga beri motivasi anak agar tidak malu menghadapi pergaulan di lingkungan sosialnya.
b.      Orang tua bercerai sama sekali bukan karena alasan anak. Karena anak merasa sangat terpukul sekali apabila merasa karena merekalah orang tua bercerai. Katakan kepada mereka fakta tentang penyebab perceraian dengan kata-kata yang tidak vulgar dan menjelekan salah satu orang tua
c.       Yakinkan bahwa mereka masih memiliki orang tua yang masih menyayangi. Walaupun diantara mereka tidak lagi tinggal serumah dengannya.
d.      Katakan maaf kepada mereka apabila anda mudah marah, sangat kritis dan cepat naik darah. Katakan bahwa anda juga mencoba mengatasi peristiwa perceraian dengan mengontrol diri lebih baik.
e.        Berusaha mengenali teman-teman dekat tempat mereka  biasa mengadu dan bercerita. Karena umumnya remaja lebih percaya perkataan temannya ketimbang orangtua yang dianggap bermasalah.
Namun perlu diingat sebaik apapun upaya untuk menangani perceraian dan berbagai hal yang sudah dilakukaan, pengaruh terhadap perceraian akan selalu membekas pada diri seorang anak dan akan mempengaruhi keperibadian menjelang dewasa. Bahkan ketika pertengkaran hebat dan permasalahan orang tua sudah selesai dengan baik.[6]












BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perceraian merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami ataupun istri.
Terdapat banyak penyebab perceraian yang telah tampak dari kasus-kasus yang sering terjadi di Indonesia, diantaranya adalah : Kurangnya berkomunikasi, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perzinahan, dan lain-lain.
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul beberapa kategori: anak menjadi sangat nakal, suka merenung, sedih, senang menyendiri, dan lain-lain.
Upaya mengatasi masalah pada anak korban perceraian, Perceraian tentu disebabkan oleh orang tua itu sendiri sebaiknya orang tua bisa mengkomunikasikan pada anak dan juga memberikan sebuah penjelasan kenapa mereka bisa bercerai, yakinkan anak bahwa sekalipun orang tua bercerai, kasih sayang orang tua tidak akan berubah.

B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan pada mahasiswa agar lebih mudah memahami secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji di dalam Psikologi Keluarga. Hal itu akan mempermudah mahasiswa dalam melaksanakan kewajibannya.








DAFTAR PUSTAKA
Save, Dagun M, Psikologi Keluarga, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990.
Sri, Lestari, Psikologi Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.



[1] Dagun M.Save, Psikologi Keluarga, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990), hlm.117.
[2] Ibid. 200
[3] Ibid. 201
[4] Lestari Sri, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 72-73
[5] Ibid. 74
[6] Dagun, Psikologi Keluarga,, hlm. 205