A.
Pengertian
Positivisme
Filsafat positivisme lahir pada
abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan yang positif,
sehingga metafisika ditolaknya maksud positif adalah segala gejala dan segala
yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman
objektif jadi setelah fakta diperolehnya
fakta-fakta tesebut kita atur dapat memberikan
semacam asumsi (proyeksi) kemasa depan.
Positivisme di perkenalkan oleh Auguste comte
(1798-1857) yang tertuang dalam karya
utama Auguste comte adalah cours de philosophic
positive yaitu kursus tentang filsafat positif (1830-1842) yang di
terbitkan dalam enam jilid.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif
disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta, menurut positivisme pengetahuan kita tidak
boleh melebihi fakta-fakta dengan demikian ilmu pengetahuan
empiris menjadi contoh istimewa dalam
bidang pengetahuan. Filsafat
juga harus meneladani contoh itu, oleh karena itu pulalah positivisme menolak cabang filsafat
metafisika. Menanyakan “hakikat”
benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya” bagi positivisme tidaklah mempunyai apa-apa.
Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam
coraknya, positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman
batiniyah tersebut, ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.
B.
Tokoh dan
Pemikiran Positivisme
1. August
Comte
Ia lahir di Montpellier, Prancis tahun 1798
keluarganya beragama katholik yang berdarah
bangsawan. Meskipun demikian Auguste comte tidak terlalu
peduli dengan kebangsawanannya. Dia mendapat pendidikan di Ecole polytechnique
di Paris dan lama
hidup disana. Di kalangan teman- temannya Auguste
comte adalah mahasiswa yang keras
kepala dan suka memberontak,
yang meninggalkan Ecole sesudah
seorang mahasiswa yang memberontak
dalam mendukung Napoleon di pecat.
Sebuah
karya Auguste comte
adalah Cours de philosophia positive
(kursus tentang filsafat
positif) dan berjasa dalam
mencipta ilmu sosiologi. Menurut pendapatnya,
perkembangan pemikiran manusia
berlangsung dalam tiga
tahap: tahap teologis,
tahap metafisis, dan
tahap ilmiah/positif.
Pada tahap teologis manusia mengarahkan pandangannya kepada hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini
manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu
yag mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya
maksud tertentu.
Pada
tahap metafisis manusia
hanya sebagai tujuan
pergeseran dari tahap
teologis. Sifat yang
khas dalam kekuatan
yang tadinya bersifat adi
kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian
abstrak, yang di
integrasikan dengan alam.
Pada tahap ilmiah/positif telah mulai mengetahui dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis
dan metafisis tidak
ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum- hukum yang
berasal dari fakta-fakta
pengamatan dengan memakai
akal.
Pada tahap-tahap tersebut
berlaku pada setiap individu
(dalam perkembangan rohani)
juga di bidang ilmu
pengetahuan. Pada akhir hidupnya, ia berupaya
untuk membangun agama
baru tanpa teologi atas dasar filsafat
positifya. Agama baru
tanpa teologi ini
mengagungkan akal dan mendambakan
kemanusiaan dengan semboyan
“cinta sebagai prinsip, teratur
sebagai basis, kemajuan
sebagai tujuan.”
Titik
tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan manusia,
baik perorangan maupun umat manusia secara keseluruhan melalui
tiga zaman. Menurutnya
perkembangan menurut tiga zaman
atau tiga stadia
ini merupakan hukum
yang tetap, ketiga
zaman itu adalah
zaman teologis, zaman
metafisis dan zaman
ilmiah atau positif.
2. John
Stuart mill
Karena
filsafat Inggris sudah
mempunyai suatu tradisi
empiristis yang mirip
dengan positivisme Comte, dapat dimengerti bahwa di Inggris
terdapat perhatian besar
untuk karya-karya Comte.
Demikian juga John Stuart
mill (1806-1873) sangat
mengagumi usaha positivisme
dan menjadi salah
seorang sahabat Comte,
ia juga mengarang buku tentang
filsafat Comte.
Bertetangan
dengan Comte, Mill menerima
psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi sebagai ilmu, bahkan
menurut dia psikologi merupakan ilmu yang paling fundamental. Dalam hal ini
Mill meneruskan pemikiran ayahnya, James
Mill (1773-1836), seorang
filsuf dan psikolog yang terkenal
pada waktu itu.
Psikologi mempelajari penginderaan dan cara susunannya. Susunan
penginderaan terjadi menurut
asosialisasi. Psikologi
harus memperlihatkan bagaimana asosiasi penginderaan lain diadakan
menurut hukum-hukum tetap.
Itulah sebabnya psikologi
merupakan dasar bagi
semua ilmu lain termasuk juga
logika.
Disini pantas juga disebut usaha Mill untuk
meneruskan prinsip positivisme
dalam bidang logika
karena seluruh pengetahuan
kita berasal dari pengalaman, maka satu-satunya metode dalam ilmu pengetahua adalah metode induktif,
berati metode yang
merumuskan suatu hukum umum
dengan bertitik tolak
dari dan berdasar
pada sejumlah kasus
khusus. Juga hukum-hukum logika merupakan buah hasil induksi,
diantaranya hukum kausalitas (sebab akibat). Secara teliti
Mill melukiskan lima metode
induktif untuk mencapai
hubungan kausal antara
gejala-gejala.
3. Herbert
Spencer
Seluruh
pemikiran Herbert Spencer
(1820-1903) berpusat pada teori
evolusi. Dalam hal
itu ia mendahului Charles Darwin,
sembilan tahun sebelum
terbitnya karya Darwin
yang terkenal, the origin of spesies (1859), Spencer sudah
menerbitkan sebuah buku tentang evolusi. Ketika ia menginsyafi
pentingnya pentingnya prinsip
evolusi dan terdorong
pula oleh buku baru
karangan
Darwin yang terbit pada tahun
1859 ia memutuskan untuk menulis karya yang menerapkan prinsip evolusi secara sistematis pada
semua lapangan ilmu
pengetahuan. Hasilnya ialah
karya yang berjudul a system of synthetic philosophy, yang
terdiri dari sepuluh jilid
(1862-1896)
Menurut
Spencer kita hanya
bisa mengenal fenomena-fenomena atau
gejala-gejala saja. Secara prisipfil
pengenalan kita menyangkut
tidak lebih dari
pada relasi-relasi antara gejala.
Dibelakang gejala tinggallah
apa yang disebut Spencer “the
great unknowable” sudah
nyata kiranya bahwa dengan
demikian Spencer menganggap
mustahil tiap-tiap percobaan untuk merancang
suatu metafisika
dan dalam bidang
religius ia menolak baik
teisme, maupun panteisme,
maupun juga ateisme.
Setiap
ilmu harus membatasi
diri pada pengertian tentang gejala-gejala. Tugas filsafat
ialah mempersatukan pengertian
kita tentang gejala-gejala. Spencer mengartikan evolusi secara mekanistis berarti bahwa hukum-hukum gerak mengakibatkan bagian-bagian
meterfil mencapai diferensiasi dan integrasi
yang semakin besar.
Perbedaan materialisme
dengan positivisme dapat diterangkan
sebagai berikut. Diatas sudah
diuraikan bahwa positivisme
membatasi diri pada fakta-fakta, yang ditolaknya
ialah tiap-tiap keterangan
yang melampaui fakta, karena alasan
itulah dalam rangka positivisme tidak ada tempat untuk metafisika
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Atang abdul
hakim, M.A. dan Drs. Beni
ahmad saebani, M.Si/ Filsafat umum dari
mitologi sampai teofilosof/
Desember 2008:- Bandung: Pustaka
setia
Asmoro Achmadi/
Filsafat Umum. 2008 Jakarta