Thursday 15 December 2016

Pengertian Positivisme


A.      Pengertian  Positivisme
Filsafat  positivisme  lahir  pada  abad  ke-19.  Titik   tolak   pemikirannya, apa yang telah diketahui  adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya maksud positif adalah segala gejala dan segala yang  tampak  seperti  apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif jadi  setelah fakta diperolehnya fakta-fakta tesebut kita atur dapat memberikan  semacam  asumsi  (proyeksi)  kemasa  depan.
Positivisme di perkenalkan oleh Auguste comte (1798-1857) yang  tertuang  dalam  karya  utama  Auguste comte adalah cours de philosophic positive  yaitu  kursus  tentang  filsafat  positif  (1830-1842)  yang  di  terbitkan dalam  enam  jilid.
Positivisme  berasal dari  kata  “positif”.  Kata  positif   disini  sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta, menurut positivisme  pengetahuan  kita  tidak  boleh  melebihi  fakta-fakta dengan demikian ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa  dalam bidang  pengetahuan.  Filsafat  juga  harus  meneladani  contoh  itu, oleh karena itu pulalah  positivisme  menolak  cabang  filsafat  metafisika.  Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya” bagi positivisme  tidaklah   mempunyai  apa-apa.
Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang  beragam coraknya, positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniyah tersebut, ia hanya mengandalkan fakta-fakta  belaka.
B.       Tokoh  dan  Pemikiran  Positivisme
1.    August  Comte
Ia  lahir di Montpellier, Prancis tahun 1798 keluarganya beragama  katholik  yang   berdarah   bangsawan.  Meskipun  demikian   Auguste comte tidak   terlalu   peduli  dengan   kebangsawanannya.  Dia  mendapat  pendidikan  di  Ecole   polytechnique  di  Paris   dan  lama  hidup  disana. Di  kalangan  teman- temannya  Auguste  comte  adalah  mahasiswa  yang  keras  kepala dan  suka  memberontak,  yang   meninggalkan   Ecole   sesudah  seorang   mahasiswa    yang   memberontak  dalam  mendukung  Napoleon  di pecat.
Sebuah  karya  Auguste  comte  adalah  Cours de  philosophia  positive  (kursus  tentang  filsafat  positif) dan  berjasa  dalam  mencipta  ilmu  sosiologi. Menurut  pendapatnya,   perkembangan   pemikiran  manusia  berlangsung   dalam  tiga  tahap:  tahap  teologis,  tahap  metafisis,  dan  tahap  ilmiah/positif.
Pada  tahap  teologis  manusia mengarahkan pandangannya kepada  hakikat yang batiniah (sebab pertama). Di sini manusia percaya kepada kemungkinan  adanya  sesuatu yag mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat  adanya  maksud  tertentu.
Pada  tahap   metafisis   manusia   hanya  sebagai   tujuan   pergeseran   dari  tahap  teologis.  Sifat  yang   khas  dalam  kekuatan  yang  tadinya bersifat adi kodrati, diganti dengan kekuatan-kekuatan yang mempunyai pengertian abstrak,   yang  di  integrasikan   dengan  alam.   Pada   tahap   ilmiah/positif   telah mulai mengetahui  dan sadar bahwa upaya pengenalan teologis dan  metafisis  tidak  ada gunanya. Sekarang manusia berusaha mencari hukum- hukum  yang  berasal  dari  fakta-fakta  pengamatan  dengan  memakai  akal.
Pada tahap-tahap  tersebut  berlaku  pada setiap individu (dalam  perkembangan  rohani)  juga di  bidang  ilmu  pengetahuan.  Pada  akhir hidupnya, ia   berupaya  untuk   membangun  agama  baru  tanpa  teologi atas dasar  filsafat  positifya.  Agama  baru  tanpa   teologi  ini  mengagungkan  akal dan  mendambakan  kemanusiaan  dengan semboyan “cinta sebagai prinsip, teratur  sebagai  basis,  kemajuan  sebagai  tujuan.”
 Titik tolak ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya atas perkembangan manusia, baik perorangan maupun umat manusia secara keseluruhan  melalui  tiga  zaman.  Menurutnya  perkembangan  menurut   tiga zaman  atau   tiga  stadia   ini   merupakan  hukum  yang  tetap,   ketiga  zaman  itu  adalah  zaman  teologis,  zaman  metafisis  dan  zaman  ilmiah  atau  positif.
2.    John  Stuart mill
Karena  filsafat  Inggris  sudah  mempunyai  suatu  tradisi   empiristis  yang  mirip  dengan  positivisme  Comte, dapat dimengerti bahwa di Inggris terdapat  perhatian  besar  untuk  karya-karya  Comte.  Demikian  juga  John Stuart   mill  (1806-1873)   sangat   mengagumi   usaha  positivisme  dan   menjadi  salah  seorang  sahabat   Comte,  ia juga mengarang buku tentang  filsafat  Comte.
Bertetangan  dengan  Comte, Mill menerima psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi sebagai ilmu, bahkan menurut dia psikologi merupakan ilmu yang paling fundamental. Dalam hal ini Mill meneruskan pemikiran  ayahnya,  James  Mill  (1773-1836),  seorang  filsuf dan psikolog  yang   terkenal   pada   waktu  itu.  Psikologi   mempelajari   penginderaan dan cara  susunannya.  Susunan   penginderaan  terjadi  menurut  asosialisasi. Psikologi  harus  memperlihatkan  bagaimana asosiasi penginderaan lain  diadakan   menurut  hukum-hukum  tetap.  Itulah  sebabnya   psikologi  merupakan  dasar  bagi  semua ilmu  lain termasuk  juga  logika.
Disini pantas juga disebut usaha Mill untuk meneruskan prinsip positivisme  dalam  bidang   logika  karena  seluruh   pengetahuan  kita berasal dari pengalaman, maka satu-satunya metode  dalam ilmu pengetahua adalah metode  induktif,   berati   metode yang merumuskan  suatu  hukum umum  dengan  bertitik   tolak  dari  dan  berdasar  pada  sejumlah  kasus  khusus.  Juga hukum-hukum  logika merupakan buah hasil induksi, diantaranya hukum kausalitas   (sebab akibat).  Secara  teliti  Mill  melukiskan  lima   metode   induktif  untuk  mencapai  hubungan  kausal  antara  gejala-gejala.
3.    Herbert  Spencer
Seluruh  pemikiran  Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori  evolusi.  Dalam   hal  itu ia mendahului Charles  Darwin, sembilan  tahun  sebelum  terbitnya  karya  Darwin  yang  terkenal, the origin  of spesies (1859), Spencer  sudah  menerbitkan  sebuah  buku tentang evolusi. Ketika ia  menginsyafi   pentingnya   pentingnya  prinsip  evolusi  dan   terdorong   pula  oleh  buku  baru  karangan  Darwin  yang  terbit  pada  tahun 1859  ia memutuskan  untuk menulis karya yang menerapkan  prinsip evolusi secara sistematis  pada  semua  lapangan  ilmu   pengetahuan.  Hasilnya  ialah  karya yang  berjudul  a system of  synthetic  philosophy,  yang  terdiri  dari sepuluh   jilid  (1862-1896)
Menurut  Spencer  kita  hanya   bisa   mengenal  fenomena-fenomena   atau  gejala-gejala  saja. Secara  prisipfil   pengenalan  kita  menyangkut  tidak   lebih  dari  pada  relasi-relasi  antara   gejala.   Dibelakang  gejala   tinggallah    apa  yang  disebut  Spencer  “the  great  unknowable”  sudah  nyata   kiranya  bahwa   dengan   demikian  Spencer   menganggap  mustahil  tiap-tiap    percobaan   untuk   merancang   suatu  metafisika  dan  dalam  bidang   religius   ia  menolak  baik  teisme,  maupun  panteisme,  maupun  juga  ateisme.
Setiap  ilmu  harus  membatasi  diri   pada   pengertian  tentang   gejala-gejala. Tugas  filsafat  ialah  mempersatukan pengertian kita tentang  gejala-gejala.  Spencer  mengartikan  evolusi  secara  mekanistis  berarti  bahwa   hukum-hukum gerak mengakibatkan bagian-bagian meterfil mencapai  diferensiasi  dan  integrasi  yang  semakin  besar.
Perbedaan   materialisme  dengan  positivisme  dapat   diterangkan  sebagai  berikut. Diatas  sudah  diuraikan bahwa positivisme  membatasi diri   pada  fakta-fakta,  yang  ditolaknya  ialah  tiap-tiap  keterangan  yang    melampaui  fakta,  karena  alasan itulah dalam rangka positivisme tidak ada tempat  untuk  metafisika

















DAFTAR PUSTAKA

Drs.  Atang  abdul  hakim, M.A. dan  Drs.  Beni  ahmad saebani, M.Si/ Filsafat umum  dari  mitologi  sampai  teofilosof/  Desember 2008:- Bandung: Pustaka  setia

Asmoro  Achmadi/  Filsafat  Umum. 2008  Jakarta