BAB III
BEBERAPA TANTANGAN
MASA DEPAN PENDIDIKAN
A. Tantangan yang
Berhubungan dengan Sistem Pendidikan.
Pendidikan merupakan
suatu proses bimbingan yang tidak akan berakhir dan mengikuti denyut kehidupan
manusia. Proses bimbingan itu tentu selalu dilakukan secara sadar dan terencana
oleh seseorang dan atau sekelompok orang terhadap orang lain agar dapat berubah menjadi lebih baik. Al-Syaibani (Zuhairini dkk. 1995 h.
120) menjelaskan bahwa dalam proses pendidikan itu harus menumbuhkan
3 potensi yang ada pada diri manusia yaitu
potensi jasmaniyah, potensi akliyah (akal) dan potensi akhlakiyah
(akhlak). Perubahan ke hal yang lebih baik dalam makna pendidikan itu adalah
jasmani dapat sehat dan kuat, akal dapat mengetahui dan dapat beramal dengan
akhlak yang mulia. Karena itulah maka Ki Mohammad Said R.
(Dr. M. Sukardjo,2009) mengemukakan hakekat pendidikan yang
sesungguhnya yaitu seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi)
yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk-bentuk prilaku yang bernilai positif
di masyarakat.
1 Dr. M Sukardjo, dan
Ukim Komarudin, M.Pd. Landasan Pendidikan
Konsep dan Aplikasinya (2009), hlm 9.
2 Prof. Suyanto,
M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam,
M.Pd, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III (2000), hlm 6.
|
Bila kita memaknai hakekat pendidikan seperti tersebut di atas lalu dikaitkan
dengan realita yang ada disekitar kita maka proses pendidikan kita belum
memaknai hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Kolberg (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000)
menjelaskan bahwa
praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara yang terjadi dalam keseharian
belum mencerminkan tingkat yang tertinggi pada tataran post-conventional atau principled yang mendasarkan
diri pada nilai-nilai yang universal, akan tetapi praktik-praktik moral
berbangsa dan bernegara dewasa ini justru berada pada tataran preconventional
yang mendasarkan diri pada kalkulasi dan pertimbangan moral yang sangat rendah.
Hal yang sama juga dijelaskan oleh Sudarminta, SJ (Dalam Sukardjo, 2009, h.79)
bahwa masalah besar yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia dewasa ini adalah
mutu pendidikan yang masih rendah, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang
belum memadai dan krisis moral yang melanda masyarakat. Kita memang tidak patut
menimpakan fenomena masalah yang terjadi dewasa ini pada seseorang atau
sekelompok orang atau suatu lembaga teretentu bertanggung jawab atas masalah tersebut, namun
setidaknya dunia pendidikanlah yang memiliki porsi terbesar dalam mengambil
peran untuk memecahkan masalah tersebut.
Bila kita menelaah sistem dan konsep yang tertuang dalam Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta seluruh Peraturan yang
menjadi turunan dari kedua Undang Undang tersebut memiliki muatan
yang sangat baik dan cukup meyakinkan. Namun bila diterpakan dalam
tataran oprasional maka seluruh komponen pelaksana sistim tersebut
terutama bagi seorang guru sangatlah sulit.
Berbicara masalah
kurikulum bila dikaitkan dengan berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dewasa ini, sudahkah kita memahaminya secara tepat ?
Dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1:19 menjelaskan bahwa kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum dalam
pengertian tersebut hanya merupakan seperangkat rencana dan peraturan yang berakaitan
dengan masalah tujuan, isi serta bahan pelajaran. Rencana dan
pengaturan tersebut selanjutnya hanya digunakan sebagai acuan dalam
kegiatan pembelajaran. Makna kurikulum seperti ini terlalu sempit bahkan mungkin
dipahami oleh guru dan kepala sekolah dalam pengertian yang sempit pula bahwa
kurikulum itu hanya berupa rencana atau aturan yang telah disusun oleh guru
seperti menyusun KTSP, membuat silabus, membuat program tahunan dan program
smester, membuat SAP/RPP, melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai program
semester yang telah dibuat, membuat soal ujian, melaksanakan ujian, memeriksa
bahan ujian dan menganalisis hasil ujian, menyususn program pengayaan dan
melaksanakannya dan pada akhirnya guru dan pihak sekolah terlalu terfokus pada
pencapaian tujuan dari pendidikan yang dimaksud dalam pengertian kurikulum
tersebut adalah siswa dapat memperoleh nilai yang baik dan dapat berpindah ke
kelas yang lebih tinggi dan atau dapat lulus pada Ujian nasional.
Makna kurikulum yang
dipahami oleh seluruh komponen sekolah seperti ini tentu telah mengaburkan
konsep taksonomi pendidikan seperti yang disebutkan oleh Bloom bahwa pendidikan
itu setidak-tidaknya harus menyentuh pada tiga ranah yakni ranah kognitif,
afektif dan psikomotor atau oleh Al-Syaibany bahwa pendidikan harus
menumbuhkan potensi jasmani, akal dan akhlak. Pemahaman guru dalam konteks
melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti dijelaskan diatas telah memaksa daya
dan kemampuan untuk berusaha menyelesaikan seluruh bahan/materi pembelajaran yang
telah disusun sesuai program semester yang lebih cendrung pada aspek kognitif
sehingga aspek afektif dan psikomotor pasti terabaikan. Dan bahkan masalah
moral dan akhlak tidak dipedulikan lagi oleh sang guru.
4 Ibid, Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan
Reformasi …… hlm. 80.
|
Sesungguhnya hakekat kurikulum bila dikaitkan dengan
proses pendidikan maka tidak dapat kita pahami dalam konsep yang sempit seperti
ini. Sudarsono (M.Sukardjo 2009, h.80) menjelaskan bahwa pendidikan dasar dan
menengah yang seharusnya menjadi dasar penyemaian dan penyuburan nilai-nilai
luhur dalam dimensi budaya, sosial, dan kemanusiaan kepada anak didik, menjadi
tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan perkembangan
kondisi sosial budaya baik lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu agar
adanya relevansi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dengan pemahaman
konsep kurikulum yang baik maka Beane (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, h.59)
menjelaskan bahwa kurikulum harus dipahami sebagai sebuah produk, sebagai
program, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai pengalaman belajar
bagi siswa.
Dalam pengertian
kurikulum dlama arti produk dapatlah kita mengacu pada Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37:1 menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan
menengah wajib memuat: Pendidikan Agama; Pendidikan Kewarganegaraan; Bahasa;
Matematika; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya;
Pendidikan Jasmani dan Olahraga; Ketrampilan/Kejuruan; dan Muatan Lokal. Pada
sisi lain dalam pasal 35 memberi kewenangan pada Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP) menyusun standar isi, standar proses dan standar kelulusan
yang harus digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum. Dari sini kemudian
BSNP memproduksi sejumlah standar kompetensi untuk seluruh mata pelajaran
sesuai pasal 37:1 yang selanjutnya diwajibkan bagi seluruh sekolah dan guru
untuk menyususn seluruh perangkat pembelajaran harus seuai dengan standar isi
yang diproduksi oleh BSNP. Standar isi tersebut selanjutnya menjadi acuan dalam
penyusunan standar kelulusan bagi siswa, maka tidak heran guru harus wajib
dituntut untuk melaksanakan seluruh programnya harus selesai pada setiap tahun
pelajaran dan harus sesuai dengan apa yang telah di tetapkan BSNP.
Memaknai kurikulum
dari aspek produk seperti hal tersebut benar-benar telah menghilangkan
kemandirian sekolah dalam membuat kebijakannya. Bahkan mungkin guru tidak lagi
berperan sebagai seorang pendidik akan tetapi guru hanya menjadi seorang
pengajar dalam memenuhi tuntutan kurikulum dimaksud. Selain itu pemahaman kita
tentang sekolah otonom dengan merubah konsep sentralistik menjadi
desentralisasi adalah suatu ilusi semata. Apalagi kewenangan yang amat
berlebihan yang dipahami oleh Dinas Pendidikan baik tingkat propinsi maupun
tingkat kabupaten kota terhadap pasal 38 dalam hal koordinasi dan supervisi
sering menginterfensi kebijakan sekolah dalam mengelola dan mengembangkan
program dan kurikulum sekolahnya. Dalam konteks inilah maka Suyanto dan Djihad
Hisyam menjelaskan bahwa akibat kurikulum hanya dipahami sebagai produk oleh
berbagai pihak terutama guru, maka sekolah terlalu memusatkan diri pada
pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata, sedangkan masalah
sistim nilai, kreatifitas dan kompetensi prilaku kurang mendapat perhatian
secara proporsional.
Selanjutnya kurikulum
dari aspek proses dalam artian akan terkait dengan kegiatan pembelajaran di
kelas. Kurikulum dalam aspek produk hanya merupakan blueprint dari sebuah konsep
yang dijadikan dasar dan acuan dalam pelaksanaan sebuah kegiatan selanjutnya.
Meskipun blueprint dari konsep kurikulum pendidikan kita cukup baik dan
berkualitas, namun tidak dipahami secara tepat oleh guru dan seluruh unsur
pendidikan dan sekolah yang menjadi pelaksana konsep blueprint tersebut maka
dapat dipastikan bahwa hasil produkpun akan menjadi rendah. Oleh karena itu
dalam artian proses maka seluruh komponen sekolah terutama guru sebagai ujung
tombak dari proses pelaksana pendidikan harus memiliki pemahaman yang utuh
tentang konsep kurikulum.
Kenyataan membuktikan
bahwa hingga dewasa ini dalam artian proses kegiatan pembelajaran sebagaian
besar orintasinya masih bermuara pada aspek kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor umumnya yaitu yang menjadi dasar dalam penentuan kelulusan seorang siswa
adalah dapat memperoleh nilai minimal sesuai kriteria kelulusan yang telah
ditetapkan oleh pihak sekolah dalam kenaikan kelas dan atau oleh BSNP dalam
kelulusan seorang siswa. Faktor inilah yang memaksa seluruh komponen sekolah
terutama guru dalam merekayasa berbagai strategi agar seluruh kriteria
kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa. Dan aspek ini pula yang
mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi menjadi seorang pendidik
yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar yang baik.
Faktor lain yang
menjadi penyebab aspek kognitif sebagai target utama dalam proses pendidikan
adalah bahwa kenyataan membuktikan bahwa yang menjadi
ukuran dari sebuah supervisi baik oleh pihak kepala sekolah,
pengawas pendidikan, dinas pendidikan bahkan sampai pada inspektorat di tingkat
kementrian pada proses pendidikan di sekolah adalah kesesuaian antara apa yang
di rencanakan secara tertulis oleh guru atau kepala sekolah dengan kenyataan
yang ada di lapangan. Bagi seorang guru pada saat supervisi materi yang
diajarakan di kelas pada saat supervisi harus sesuai dengan apa yang telah di
susun dalam silabus, program tahunan, program semester, dan bahkan harus sesuai
dengan apa yang di tulis dalam SAP atau RPP. Kasus-kasus seperti inilah yang
menyebabkan hingga kini sesungguhnya pendidikan nasional kita tidak bisa
memberikan proses kearah tujuan pendidikan nasional. Paulo Freire (Suyanto dan
Djihad Hisyam, 2000, h.63) menjelaskan bahwa model pembelajaran kita masih
menganalogi dengan banking concept yakni guru masih menjadi
deposito berbagai informasi ke benak peserta didik tanpa mengetahui maksud dari
informasi itu untuk apa bagi kehidupan mereka, sehingga informasi itu hanya
menjadi pengetahuan saja dan tidak mewujudkan sikap, minat, dan memotivasi
untuk mengembangkan diri.
B. Tantangan Pendidikan
Yang berhubungan dengan Tenaga Kependidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru
sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya
pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan
sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai
pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya.
Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain
sebagai berikut:
a. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup
untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang.
Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar,
merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari
aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki
pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari
2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya
(1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi
S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari
aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar
sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih
terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus
diajarkan.
b. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang
dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1)
kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2)
kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan
jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah
Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan
guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai
tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang
bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah
terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban
mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak
(misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja
atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi
kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
c. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan
yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma
pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari
aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara
sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan
pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan
antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih
selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek
kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam
jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru
secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal
masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan
egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung
membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
d. Penghargaan
terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh
penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan
penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas
guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru.
Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan
ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil,
terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang
terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri,
sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
e. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum
memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping
belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih
terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan
kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan
lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada
paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru
yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini
mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber
keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya
pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi
ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih
terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan,
mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi.
Sebagai akibat
dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan
kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan
kebutuhan nyata.
f. Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains,
rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke
jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan
secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas.
Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih
seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam
jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus
dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana
anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa
jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru
pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang
membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama
sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam
pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang
penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan
aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak
diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.
g. Kurang dialog mengenai pengajaran.
Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi
berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya
seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat
Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak
bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal
yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai
peraturan, ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau terjadi dialog
sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan santai
membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan dsb.
Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog
instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali
lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.
h. Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan
pengajaran.
Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling
melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja
dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan
keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat
kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada digarda terdepan
pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak
ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang
seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai
penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru
dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan peluang bagi
guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap,
dan apakah ada pembinaan sistematis?
BAB IV
BEBERAPA SOLUSI
PENTING PENGEMBANGAN SEKOLAH MENJAWAB TANTANGAN PENDIDIKAN.
A. Memahami Sekolah Sebagai Sebuah Sistem.
Untuk memahami sebuah
konsep sekolah yang efektif maka kita harus dapat mengerti secara
konprehensif tentang sistem yang berlaku dalam sekolah tersebut.
Sistem itu terdiri atas sejumlah komponen yang saling terkait antara satu
dengan yang lain dan tidak dapat berfungsi secara sendiri-sendiri. Yang menjadi
permasalahan selanjutnya mampukah kita berperan untuk memfungsikan
komponen-komponen sistem yang ada dalam sekolah tersebut sehingga dapat
mendorong sekolah untuk tetap berkembang secara efektif dan berkualitas ?
Mendasari pada
permasalahan tersebut maka yang perlu kita pahami sekarang sebelum kita
mengkaji permasalahan tentang sekolah yang efektif, maka terlebih dahulu kita
memahami permasalahan yang berkaitan dengan komponene-komponen sekolah sebagai
sebuah sistem yang efektif. Kemudian permasalahan peran manajemen
untuk mewujudkan sekolah yang efektif, permaslahan pengelolaan unsur-unsur
pendukung untuk mewujudkan sekolah yang efektif. Selanjutnya permasalahan
seberapa pentingkah biaya dalam memenej sekolah yang efektif dan terakhir
adalah tentang bagamana sekolah itu dapat dikatakan sebagai sekolah yang
efektif, berkualitas atau bermutu.
1 Aan Komariah dan
Cepi Triatna, Visionary Leadership
Menuju Sekolah Efektif, April 2008 hlm.1.
|
Terkait dengan permasalahan sistem maka William A.
Shrode dan D. Voich (Aan Komariah, 2008, h.1) menjelaskan bahwa sistem
mengandung makna bagian-bagian yang saling terkait, berfungsi dan bekerja
secara independen dan secara bersama-sama dalam satu lingkaran kesatuan yang
komplek untuk mencapai tujuan yang menyeluruh secara sinergi. Ini berarti bahwa
di dalam sistem itu sendiri terdapat bagian-bagian atau disebut
komponen-komponen yang saling terkait. Aan Komariah menyebutkan bahwa sekolah
merupakan sebuah sistem yang kompleks yang di dalamnya mencakup komponen yang
terdiri atas input-proses-output dan juga memiliki akuntabilitas terhadap
konteks pendidikan dan outcom pendidikan.
Pendidikan dalam
konteksnya sangatlah berbeda dengan organisasi lain, karena pendidikan tidaklah
menghasilkan semata-mata hanya dengan jumlah secara kuantitatif yang banyak
akan tetapi outcome atau hasil kelulusannya benar-benar harus bermanfaat untuk
kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Bila outcome yang diharapkan dapat
dijadikan barometer sebuah sekolah dikatakan berkualitas atau
tidak maka hal ini sangat terkait dengan proses dari sistem
yang berlaku dalam sekolah itu sendiri yang dimaulai dari akuntabilitas dari
kontek pendidikan, imput pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan.
Dalam sistem imput pendidikan hal-hal yang menjadi perhatian terpenting dalam
sebuah sekolah terdiri atas sejumlah komponen yang meliputi manusia
yaitu siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan dan semua stekholder
yang berperan aktif dalam menciptakan sistem sekolah yang efektif.
Komponen lainnya yaitu uang (money) yang menjadi suplai penting dalam
pemrosesan raw input atau manusianya. Selanjutnya adalah komponen barang/bahan
(materials) sebagai pnunjang dalam proses pembelajaran berupa saran prasarana,
alat-alat/media pendidikan dan sumber-sumber pendidikan. Kemudian komponen
metode-metode (methods) yang meliputi cara, teknik dan strategi yang
dikembangkan sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan. Dan komponben
terakhir adalah mesin-mesin yaitu perangkat yang mendukung terjadinya proses
pembelajaran.
2 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (2008)
3 Prof. Dr. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen
Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik,(2008)
|
Prof. Dr. Sudarwan Danim menjelaskan bahwa mutu
masukan (input)
dapat dilhat pada beberapa sisi yaitu kondisi baik atau tidaknya sumber daya
manusia berupa guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan siswa.
Terpenuhinya masukan material
berupa alat praga, buku-buku, kurikulum, sarana dan prasarana. Tersediannya
perangkat lunak yang meliputi peraturan, struktur organisasi, dan diskripsi
kerja. Serta terpenuhi mutu masukan seperti visi dan misi, motivasi, ketekunan
dan cita-cita. Semua komponen imput tersebut memiliki peran yang sangat penting
dalam mewujudkan sekolah yang efektif. Bila komponen-komponen tersebut telah
berfungsi secara bersama-sama dan saling terkait dalam proses maka akan
tercipta suasana sekolah yang kondusif dimana sekolah dapat berkembang secara
efektif menuju tujuan sebagaimana yang diharapkan.
Selain komponen input
dalam menentukan berfungsi tidaknya sistem dalam sekolah ada juga komponen
proses yang berperan dalam penyelenggaraan sekolah. Dalam konteks pendidikan,
kiat manajemen sekolah sangat menentukan pengelolaan masukan-masukan sekolah
agar terpenuhinya harapkan output yang bernilai secara outcome dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal-hal yang sangat diharapkan dalam output pendidikan menurut
Sudarwan Danim adalah terbentuknya derjata kesehatan, keamanan, disiplin,
keakraban, saling menghormati, dan kepuasan pada setiap unsur imput dalam
memberi dan menerima jasa layanan.
3 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah …. hlm. 2-3.
|
Oleh karena itu seorang manajemen pendidikan harus
berlaku sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk menciptakan difusi
inovasi bagi seluruh unsur imput. Roe
dan Norton (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2008, h. 2-3) berpendapat bahwa dalam mengelola program sebagai proses
penyelenggaranan sekolah yang efektif, manajemen sekolah harus mampu
melaksanakn pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah secara holistik
dan integratif meliputi perencanaan,
pengembangan dan evaluasi program, pengembangan kurikulum dan proses belajar
mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan fasilitas, pengelolaan
hubungan dengan stekholder, pengelolaan keuangan dan pengelolaan siswa. Dengan
demikian maka sistem sekolah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah proses dimana
kelulusan siswa dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat dengan
terpenuhinya harapan sebagaimana dikemukakan oleh Sudarwan Danim di atas.
B. Manajemen Dalam
Sekolah Yang Efektif.
Pembicaraan tentang
manajemen di tulisan ini dapat disamakan pengertiannya dengan masalah
kepemimpinan sekolah meskipun banyak para pakar memberikan pengertian yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh pokok pembahasan pada tema tulisan ini lebih
mengarah pada permasalahan bagaimana peran manajemen atau kepemimpinan sekolah
dalam mengelola sistem sekolah yang terkait dengan komponen input, proses dan output dalam sekolah itu sendiri sehingga dapat mewujudkan
sekolah yang efektif dan murah agar dapat dijangkau oleh sebagaian masyarakat
Islam Indonesia yang terancam putus sekolah karena faktor mahalnya biaya
pendidikan.
Setelah kita memahami
sekolah sebagai sebuah sistem yang didalamnya mencakup permaslahan
akuntabilitas dari konteks pendidikan yang unik dalam mengelola imput, dan
proses secara baik sehingga akan menghasilkan output pendidikan
yang tercermin jiwa outcome untuk
dapat bernilai dalam kehidupan bermasyarakat, maka selanjutnya akan
kita membicarakan bagaimana peran manajemen/kepemimpinan pendidikan dalam
mengelola sistem sekolah secara baik untuk menjadi sekolah yang efektif.
4 Dr. E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, (2009), hlm. 19.
|
Manajemen pendidikan menurut Gaffar (E. Mulyasa)
mengandung pengertian bahwa sebagai suatu proses kerja sama dalam pengelolaan
proses pendidikan yang sistematik,
sistemik dan konprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Secara sistematik berarti bahwa dalam pengelolaan proses tersebut harus
dilakukan secara teratur dan berurut sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Secara
sistemik artinya bahwa dalam proses pengelolaan tersebut setiap komponen
pendidikan selalu terkait dan berhubungan serta saling mempengaruhi satu dengan
lainnya. Oleh karena itu setiap komponen pendidikan baik terkait masalah imput, proses maupun output harus
dipandang sama perannya dalam pengelolaan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Selanjutnya pengelolaan dalam makna komprehensif berarti semua komponen
pendidikan dalam sistem sekolah harus dikembangkan dalam proses secara
keseluruhan, sehingga tidak terpandang oleh seorang manajemen sekolah bahwa ada
komponen tertentu lebih diutamakan dari komponen yang lainnya.
Selain itu pengertian
manajemen pendidikan yang lebih luas lagi seperti yang dikemukakan oleh
Knezevich (Wahyudi, 2009, h.8) merupakan sebagai sekumpulan fungsi untuk
menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan pendidikan, melalui perencanaan,
pengambilan keputusan, prilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumberdaya,
koordinasi personil, penciptaan iklim organisasi yang kondusif serta penentuan
pengembangan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat di
masa depan. Sejalan dengan makna manajemen pendidikan seperti yang di kemukakan
oleh Knezevich di atas maka Engkoswara (Wahyudi, 2009, h.9) menjelaskan bahwa
manajemen pendidikan dalam arti luas yaitu suatu cara untuk
menata sumberdaya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang kondusif bagi manusia di dalam
mencapai tujuan yang telah disepakati. Menata mengandung makna mengatur,
memimpin, mengelola sumber daya. Sedangkan sumber daya meliputi manusia yang
terdiri dari peserta didik, pendidik, kepala sekolah, tenaga kependidikan dan
pemakai jasa pendidikan. Sumberdaya juga meliputi sumber belajar, kurikulum dan
fasilitas atau sarana prasarana pendidikan.
5 Dr. Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajaran, (2009)
|
Baik knezvich ataupun Engkoswara memahami makna
manajemen pendidikan merupakan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang
lebih terbaik dalam menata sumberdaya yang ada dalam pendidikan yang termasuk
didalamnya adalah komponen-komponen imput dalam sistem pendidikan. Pelayanan
yang diberikan tersebut dapat menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif
melalui perencanaan, pengambilan keputusan, prilaku kepemimpinan, penyiapan
alokasi sumberdaya, koordinasi personil, penciptaan iklim organisasi yang sehat
dan dinamis sehingga dapat terpenuhi kebutuhan bagi sistem imput untuk seluruh
komponene manusianya.
Dalam konsep manajemen
pendidikan dimaksud maka kepala sekolah memiliki peran yang cukup penting untuk
menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif, sehat dan dinamis. Kepala
sekolah dalam konteks ini tentu harus menjadi agent of change untuk menciptakan
difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Kepala sekolah harus menjadi agen
perubahan bagi sebuah dinamika yang lebih kondusif dalam menata serta
memberdayakan manusianya, uang, maetrials, methods dan machines sebagai unsur
imput secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan sekolah itu sendiri.
Dengan demikian jiwa kepala sekolahlah yang menjadi taruhan dalam sebuah proses
dari pemberdayaan unsur imput. Untuk itu sebagai pemimpin dalam manajemen
sekolah, ia harus mengetahui, memahami dan mengerti semua hal yang berkaitan
dengan potensi-potensi yang dimilki oleh semua komponen yang terdapat dalam
unsur manusia.
Selain itu dalam
konsep manajemen juga seorang kepala sekolah harus dapat menjadi seorang
administraur yang baik yang dapat mengerti dan memahami tentang bagaimana
mengelola seluruh hal yang terkait proses dalam sistem sebuah
sekolah. Sebagai administratur dalam manajemen pendidikan kepala
sekolah harus dapat melaksanakan prinsip-prinsip administrasi seperti
disebutkan oleh Prof. Dr. Agus Salim Mansyur, M.Pd dalam pengantarnya yang
ditulis oleh Herabudin yaitu:
1.
Berprinsip efisiensi yaitu menggunakan
semua sumber tenaga, dana dan fasilitas yang ada secara efisien.
2.
Berprinsip pengelolaan yaitu mengelola
langkah-langkah manajemen secara baik meliputi merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, dan mengontrol semua
proses secara dinamis untuk mencapai tujuan.
3.
Berprinsip pengutamaan tugas pengelolaan
yaitu lebih mengutamakan pada skala prioritas dengan lebih mengutamakan
tugasnya sebagai kepala sekolah bukan tugas lainnya.
4.
Berprinsip kepemimpinan yang efektif
yaitu mampu menjadikan dirinya sebagai human relationship dengan membangun
hubungan yang baik dengan seluruh unsur imput dalam sistem serta senantiasa
bijaksana dalam membuat keputusan, tegas, lugas, tuntas dan berkualitas.
5.
Berprinsip kerja sama yang dilakukan
secara sinergi, profesional, dan proporsional. Dapat melaksanakan tugas sesuai
kemampuan dan pengetahuannya serta mendistribusikan kewenangan kepada stafnya
untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka. Mampu
melaksanakan hubungan dengan pihak luar baik secara horisontal maupun secara
vertikal untuk mencari peluang-peluang baru dalam mengembangkan sekolah.
6 Drs. Herabudin, M.Pd, Administrasi dan Supervisis
Pendidikan (2009)
|
Bila prinsip-prinsip seperti ini benar-benar
dilaksanakan oleh seorang kepala sekolah dalam manajemen sekolah tentu upaya
untuk mencapai sekolah yang efektif dengan sendirinya akan terwujud. Dengan
demikian dalam konsep manajemen sekolah yang terpenting bukanlah keuangan
sekolah yang menjadi domai utama untuk mencapai sekolah yang efektif dalam
proses dari sebuah sistem sekolah, karena keuangan (money) hanyalah satu dari 5
unsur utama dalam komponen imput dari sebuah sistem pendidikan. Akan tetapi
yang terpenting bagi seorang manajemen dalam pendidikan adalah bagaiman sekolah itu diberdayakan
secara sistematik, sistemik dan konprehensif seperti yang dikemukakan oleh
Gaffar agar semua unsur imput merasakan nyaman dan terpenuhi rasa kepuasannya
dalam dinamika lingkungan sekolah yang lebih harmonis.
Dengan prinsip
pengelolaan secara efektif dan efisien maka oleh Prof. Dr. H.
Muhaimin, M.A, dkk. menjelaskan bahwa seorang manajemen sekolah akan
dapat membuat keputusan yang bijaksana mengutamakan yang lebih utama dari
segala yang ada serta kerjasama yang baik akan melahirkan sebuah pemehaman yang
utuh dari semua unsur imput dalam melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada
niat yang tulus dari hati yang bersih dan ikhlas serta hanya mengharapkan Ridha
Allah SWT, bekerja hanya untuk mencarai derajat yang paling mulia disisi Allah
SWT sebagai hamba yang muttaqin, dan bekerja adalah sebagai sesuatu yang
menjadi nilai ibada kepada Allah SWT dan hanya Allah SWT. Sajalah yang memebri
penilaiannya dan bukan atas dasar materi yang ingin didapat. Tiga konsep ini
hanya akan dapat lahir dari setuap unsur imput bila manajemen sekolah juga
benar-benar bekerja dengan mengacu pada tiga prinsip yang sama. Dengan demikian
maka matarantai yang menjadi lingkaran setan yang meliputi kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan akan dapat kita putuskan. Dan semua lapisan
masyarakat dapat menikmati pendidikan secara baik.
C. Pengelolaan
Unsur-unsur Pendukung Sekolah Efektif.
7 Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A,
Dr.Hj. Suti’ah, M.Pd. Dr. Sugeng Listio Prabowo, M.Pd. Manajemen Pendidikan, (2009)
|
Kunci penting dalam sebuah lembaga organisasi sekolah
agar dapat berkembang secara dinamis dalam kehidupan persekolahan adalah
bagaimana seorang kepala sekolah mampu memberikan perannya yang berpusat pada
penggerak atau pemberdayaan seluruh unsur-unsur yang ada dalam sekolah agar
dapat bergerak secara sadar menuju pada tujuan yang diharapkan. Unsur-unsur
penting dalam sebuah sekolah adalah unsur imput yang terdapat dalam sistem
sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah dapat berkomunikasi, melatih,
membimbing, membina, memotivasi unsur manusia sebagai raw imput atau sebagai
unsur utama dalam sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah mampu
member-dayakan unsur uang (money) secara efektif dan efisien serta dapat
mempertanggung-jawabkannya secara akuntable dihadapan semua komponen sekolah.
Bagaimana seorang kepala sekolah dapat mengelola methods dan materials yang
dimiliki sekolah secara berdaya guna dan berhasil guna. Dan seorang kepala
sekolah yang baik dalam mengelola organisasi sekola secara efektif adalah ia
mampu mengelola dan memenafaatkan potensi mechines yang dimiliki oleh sekolah
secara baik dalam kerangka pengembangan dinamika sekolah yang lebih sehat dan
dinamis.
Sekolah yang baik
adalah sekolah yang mampu menghasilkan kelulusan yang bukan hanya memiliki
nalar yang tinggi dengan memperoleh nilai kelulusan yang didapat melalui
ujian-ujian akhir atau mampu memasuki suatu tingkat sekolah yang lebih tinggi
dengan standar sekolah lebih baik di setiap daerah saja. Akan tetapi sekolah
yang baik adalah sekolah yang mampu menjadikan siswanya sebagai investasi dalam
pertumbuhan kekuatan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini
ukuran sekolah yang baik dapat dilihat dari bagaiman sekolah itu mampu
menempatkan seluruh komponen sekolahnya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga
masyarakatpun merasa nyaman dengan keberadaan sebuah sekolah tersebut. Dalam
hal ini Slamet (Aan Komariyah, h.7) dapat memberi batasan kinerja bagi sebuah
sekolah yang baik adalah sebuah sekolah yang mampu mengembangkan dan
memberdayakan secara utuh konsep efektivitas, produktifitas,
efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, surplus dan moral kerjanya secara
baik dalam budya kehidupan sekolah yang sehat dan dinamis.
8 Lihat Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, April 2008.
|
Efektifitas merupakan kemampuan organisasi secara
aktif memberdayakan seluruh unsur dan komponen-komponen sekolah untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati bersama. Didalam konsep efektifitas yang
terpenting bagi sebuah organisasi sekolah adalah bagaiman sekolah itu mampu
menciptakan suasana kerja dimana para guru, siswa, tenaga kependidikan,
stekholder dan kepala sekolah tidak hanya dapat melksanakan tugas yang telah
dibebankan kepadanya akan tetapi jauh lebih besar lagi sebuah sekolah dapat
membuat suasana agar semua pekerja dan pengguna kerja lebih fleksibel,
bertanggung jawab, bertindak secara kreatif, dengan suasana batin yang lebih
nyaman demi peningkatan efisiensi dalam usahanya untuk mencapai tujuan.
Dengan suasana batin
yang lebih nyaman akan memotivasi seluruh unsur sekolah lebih leluasa dalam
melaksanakan seluruh program sekolah untuk mencapai tujuan maka akan melahirkan
tingkat produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Produktifitas merupakan
suatu perbandingan nilai yang terbaik dari hasil yang diperoleh dari output
sekolah dengan jumlah sumber yang digunakan dalam pemberdayaan imput. Output
yang dimaksud adalah kelulusan siswa yang dihasilkan benar-benar dapat menjadi
daya saing kuat dan bermanfaat dalam percaturan pasar. Sedangkan imput yang
dimaksud adalah seluruh komponen yang digunakan selama proses untuk memproduksi
output yang meliputi guru, peralatan, perlengkapan, uang, dan lain sebagainya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah tidak memenuhi unsur
produktifitas bila memiliki sarana prasarana yang lengkap, tenaga pendidik dan
kependidikan yang profesional, mengeluar-kan biaya yang besar akan tetapi hasil
produksinya hanya menjadi beban dan bahkan hanya menjadi sumber masalah bagi
masyarakat.
Agar efektifitas dalam
pengelolaan sumber daya sekolah yang seimbang dengan produktifitas sekolah yang
memuaskan kebutuhan pembangunan masyarakat maka prinsip efisiensi perlu
dikembangkan. Efisiensi merupakan kekuatan penyeimbang antara
efektifitas dengan produktifitas.
Simon dan Engkuswara (Aan Komariah, 2009, h.
18)menjelaskan makna efisiensi yang bermuara pada sebuah
perbandingan antara tenaga dan hasil, pembelanjaan dan masukan, biaya dan
kesenangan dimana terciptanya suatu kondisi sekolah yang dengan sendirinya akan
muncul kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat
kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak dan pembiayaan, waktu
serta tenaga yang sekecil mungkin untuk mendapatkan produktifitas hasil yang
lebih besar dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.
Dari konsep efisiensi
ini akan melahirkan berbagai ide dan kreasi baru bagi setiap individu yang ada
dalam sebuah organisasi sekolah. Ide dan pikiran-pikiran yang dilahirkan oleh
setiap komponen sekolah itu merupakan sebuah konsep baru yang perlu di
kembangkan sebagai sebuah inovasi bagi sekolah. Dengan ide dan kreasi komponen
sekolah akan melhirkan keragaman dan nuansa yang lebih dinamis shingga upaya
untuk mencapai produktifitas sekolah akan lebih terwujud secara efektif dan
efisien. Oleh karena itu sebuah inovasi yang berkembang dalam organisasi
sekolah harus memenuhi karakteristik inovasi seperti yang disebutkan Rogers
(Aan Komariah, 2009, h. 21) yaitu memberi dampak keuntangan yang ekonemis,
mengandung unsur kesesuaian dengan nilai-nilai dan kebutuhan semua unsur
sekolah, memiliki tingkat complexity yang rendah dalam penerimaannya, dapat
diterima secara cepat, dan mudah diamati dalam pelaksanaannya. Oleh karena
itu inovasi harus dapat memberi dampak ekonomis dan bernilai guna dalam
mewujudkan produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Inovasi jauga harus
bersifat kompleks dan dapat diterima secara cepat oleh penggunanya. Dan pada
akhirnya sebuah inovasi harus dapat membukrtikan sebuah keunggulan yang
kompetitif.
Bila unsur-unsur
pendukung sekolah benar-benar difungsikan secara baik dengan menggunakan
prinsip efektifitas, produktifitas, efisiensi dan inovatif maka dengan
sendirinya akan melahirkan suatu kualitas kehidupan kerja dalam organisasi
sekolah yang lebih baik. Moralitas personal dalam kehidupan kerja yang
berkualitas dapat menjamin sebuah keberlangsungan interaksi yang lebih
harmonis, empati dan selalu berada pada jalur moral dan lebih etis serta sesuai
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, adat istiadat dan kesantunan
yang tinggi. Kulaitas kehidupan kerja juga memberi makna akan pentingnya sebuah
martabat dan pertumbuhan manusia dimana dapat mendorong kita untuk dapat
memahami bahwa sebuah pekerja adalah amat penting bagi kita akan tetapi dengan
memperhatikan kepuasan hati bagi setiap pekerja dalam organisasi sekolah jauh
lebih penting kedudkannya dalam pelaksanaan manajemen sekolah.
Apabila
manajemen berbasis sekolah dapat berfungsi pada tingkatan yang maksimal, maka
sebagian besar keputusan akan bergerak dari bawah ke atas dan hanya ada sedikit
keputusan yang turun dari atas ke bawah. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa
setiap individu akan terlibat dalam upaya pemecahan masalah yang mereka hadapi,
dengan tingkat kemampuan problem solving mereka masing-masing.
Peran
Pendidikan dalam peningkatan Kualitas SDM dalam pembangunan
1) Pertama; pendidikan menyiapkan manusia
sebagai sumber daya pembagunan, kemudian manusia selaku sumber daya pembangunan
membangun lingkungannya,
2) Kedua; manusia menjadi kunci pembangunan.
Kesuksesan pembangunan sangat tergantung pada manusianya.
3) Ketiga; pendidikan memegang peranan
penting karena merekalah yang mencitakan
manusia pencipta pembangunan.
22
D.
MSDM untuk Meningkatkan Mutu
Pendidikan di Sekolah
Sebagai upaya untuk mengembangkan SLB ke arah yang
diharapkan makadiperlukan pengelolaan yang efektif. Pengelolaan yang
dimaksud adalah suatuteknis atau langkah-langkah yang tepat untuk mengembangkan
sekolah agarmenjadi lembaga pendidikan yang bermutu sesuai dengan yang
diharapkan.Sebagai stakeholders pendidikan anak berkebutuhan khusus tidak ada
alasanuntuk mengabaikan masalah mutu dalam menyelenggarakan
pendidikannya,karena dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada pasal 5 ayat 1
ditegaskan
bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang ber
mutu”.
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam makalah ini
maka pembahasann selanjutnya akan menyoroti masalah manejen sumber
daya manusiadi sekolah. Dengan manajemen yang baik maka sumber daya yang ada
akansecara sinergi berdayaguna menuju keberhasilan suatu sekolah mencapai
tujuan pendidikan yang telah dituangkan dalam kurikulum sekolah.Dengan
kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer di
sekolah semuasumber daya yang ada semestinya dikelola dengan baik.
Pembenahan untukmenuju ke arah itu diantaranya dilakukan dengan cara-cara
sebagai berikut :a. Kepala sekolah diupayakan harus memiliki sikap, pengetahuan,
danketerampilan sebagai seorang manajer yang harus mengelola sekolah
sebagaisuatu organisasi yang bermutu demi mencapai tujuan pendidikan yang
telahdituangkan dalam kurikulum sekolah. Hal ini dapat dilakukan
denganmengikuti prinsip
life long education.
23
b. Personil sekolah harus mengerti dan menguasai tugas dan fungsinya, yaitumelalui
pembinaan-pembinaan, diklat, seminar, diskusi, dan sejenisnya.c. Adanya
pembagian tugas yang baik kepada semua personil sekolah. Artinya pembagian
tugas itu dilakukan secara tepat (
the right man on the rihgt place
)serta tugas-tugas tersebut dilaksanakan sebaik-baiknya dengan penuh
tangung jawab.d. Dilaksanakannya fungsi-fungsi manajemen dengan baik mulai
dari
planning,organizing, actuating, controling, dan evaluating.
Untuk membina bidang ketenagaan secara khusus maka perlu dikelola
denganmenerapkan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Untuk lebih
jelasnyatentang MSDM kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan dibahas
padauraian-uraian di bawah ini.
1.
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM) adalah bagian dari ilmumanajemen yang secara khusus mengelola
tentang pengaturan peranan sumberdaya manusia dalam kegiatan
organisasi, dalam hal ini sekolah. Hal ini berkaitandengan sumber
daya manusia dalam proses pendidikan merupakan salah
satu bagian yang sangat penting, baik itu guru maupun tenaga administratif. Olehkarena
itu, sumber daya manusia dalam dunia pendidikan di sekolah khususnyamemerlukan
pengelolaan dan pengembangan yang baik sebagai upayameningkatkan kinerjanya,
agar mereka dapat memberikan kontribusi
bagi pencapaian tujuan sesuai dengan
yang diharapkan. Meningkatnya
kinerja sumberdaya manusia akan berdampak positif pada
kinerja suatu lembaga dalam
24
menjalankan peranannya. Meningkatnya kinerja sumber daya manusia
bukanlahsesuatu yang dapat terjadi dengan sendirinya, namun memerlukan
pengelolaanyang terencana, sistematis dan terarah agar proses pencapaian tujuan
organisasidapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Ini berarti bahwa
MSDMmerupakan hal yang sangat penting dalam upaya mengelola sumber daya
manusiaguna membentuk tenaga-tenaga yang profesional untuk kepentingan proses
danhasil pendidikan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pengertian MSDM
yangdikemukakan oleh Hasibuan dalam Ratama Arifin (Tersedia
:http//fhinzzoepoe.wordpress.com) sebagai berikut :
”
Manajemen sumber dayamanusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan
peranan tenaga kerja agarefektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan
perusahaan, karyawan dan
masyarakat.”
Dalam definisinya Hasibuan menekankan bahwa MSDMmerupakan
ilmu dan seni untuk mengatur sumber daya manusia secara efektif danefisien
dalam suatu organisasi guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.Sejalan dengan
definisi MSDM tersebut di atas dikemukakan
oleh Nitisesmito (Tersedia : http//www.propotenzia.com) sebagai berikut :
“Manajemen
adalah suatu ilmu dan seni untuk mencapai tujuan melalui kegiatan
orang lain.” Dalam definisi tersebut mengandung pengertian bahwa untuk
mencapai tujuan
organisasi, baru dapat terwujud apabila ada kerjasama dari semuaorang sebagai
anggota organisasi. Namun demikian untuk menciptakan
kinerjayang baik dari semua personil maka harus dilakukan
suatu pengelolaan yaknimelalui MSDM.
Dengan demikian dalam
konsep manajemen sekolah unsur-unsur pendukung sekolah sebagai komponen penting
harus dikelola secara baik dan diberdayak secara efektif, produktif, efisien
dan inofatif agar kulaitas kehidupan kerja dapat diwujudkan dalam kehidupan organisasi
sekolah maka akan mendorong terciptanya surplus dan moral kerja yang baik dalam
budaya kehidupan sekolah. Unsur-unsur penting yang menjadi komponen utama
sekolah yang harus diperhatikan dalam pengembangan manajemen sekolah seperti
yang disebutkan E. Muliyasa adalah Kurikulum dan program pengajaran, Tenaga
pendidik dan kependidikan, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat,
serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan. Sedangkan dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35
yang dikutip di dalam bukunya Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan,
menyebutkan bahwa pendidikan yang dikelola sebuah lembaga pendidikan harus
memenuhi standar nasional pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi
kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasaran, pengelolaan, pembiyayaan,
dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
9 Lihat Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (1997)
|
Bila dihubungkan dengan pandangan E. Muliyasa diatas
maka yang lebih terpenting yaitu bagaimana manajemen sekolah dapat mengelola
semau standar tersebut sesuai kondisi masing-masing sekolah. Sekolah tidak
dapat memaksakan dirinya harus memenuhi seluruh standar yang telah ditetapkan
dalam pasal 35 tersebut, akan tetapi yang terpenting bagi sekolah adalah
bagaimana sekolah mampu memberdayakan semua komponen yang dimilikinya secara
efektif, produktif, efisien dan inovatif guna menumbuhkan kualitas kehidupan
kerja sehingga terbentuk budya sekolah yang sehat dan dinamis. Bila sekolah
teramat jauh menentukan target yang tidak berimbang pada kondisi objektif
sekolah maka akan menjadi beban yang amat berat bagi orang tua dan masyarakat.
Hal ini akan mengakibatkan jumlah putus sekolah menjadi meningkat dan tingkat
pengangguran yang semakin tingga dan selanjutnya menjadi beban bangsa maka
tentu tingkat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakngan masyarakat Indonesia dan
umat Islam secara khusus juga menjadi meningkat.
D. Biaya Pendidikan Dalam
Memenej Sekolah Efektif.
Memasuki era reformasi
segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara telah berubah paradigmanya,
termasuk bidang pendidikan. Konsep sentralisasi yang menjadi basis kebijakan
pelaksanaan pemerintahan negara ini dinilai telah merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sentralisasi juga telah mengebiri peran daerah
diseluruh aspek pembangunan secara mandiri dan otonom memberdayakan potensinya
untuk membangun dan mensejahterakan kehidupan yang lebih baik. Menyertai
perubahan tersebut dunia pendidikanpun ikut merubah paradigma lama dalam konsep
kebijakannya dengan konsep baru yang menyertai lahirnya otonomisasi
daerah-daerah yang berpusat pada kebijakan desentralisasi.
Melalui konsep
desentralisasi ini semua aspek pembangunan menjadi kewenangan daerah dalam
menentukan semua kebijakannya dan merencanakan berbagai strategi dalam kerangka
sebuah perubahan yang berpihak pada pengembangan dan pemberdayaan potensi
daerah demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat
yang ada didaerahnya masing-masing. Paradigama baru pendidikanpun ikut merubah
konsep kebijakan. Dengan desntralisasi maka sekolah memiliki kewenangan lebih
leluasa dalam menyususn segala kegiatannya sesuai kondisi dan kemampuan sekolahnya
masing-masing. Dengan demikian maka lahirlah apa yang disebut Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS), meskipun hingga kini masih terdapat penafsiran
beragam dengan manifestasinyapun akan muncul dengan keragaan pula sesuai
karakteristik daerah, koitmen pembuat keputusan dan potensi sekolah. Betapa
tidak terjadi defiasi yang berlebihan dimana masih banyak sekolah di daerah
yang belum siap dari aspek ketenagaannya, sarana prasarananya, bahkan dari
aspek pembiayaanpun sangat minim membuat kebijakan dan pengelolaan program
sekolah semakin tidak stabil. Hal inilah yang dapat menyebabkan lahirlah
sejumlah masalah yang dihadapi pendidikan nasional dewasa ini.
Selain itu kemampuan
manajemen sekolah juga sangat minim dalam mengelola sumberdaya sekolah
mengakibatkan sekolah memiliki visi, misi dan program yang tidak
jelas sehingga dapat mengaburkan tujuan sekolah yang ingin dicapai. Kekaburan
makna dalam pengelolaan manajemen sekolah ini pula membuat sekolah tdak mampu
mensinergikan antara kebutuhan yang strategis dan prioritas dalam menyusun
program sekolah dengan kemampuan finansial sekolah dalam konsep pengelolaan
anggaran yang berimbang. Dalam kerangka inilah maka sekolah dituntut untuk
menyusun anggaran sekolahnya pada setiap awal tahun pelajaran yang disebut
RAPBS yang disesuaikan dengan kemampuan dan sumber pendapatan secara rasional
agar lembaga sekolah dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang
berorintasi pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang berorintasi pada
pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat.
Dalam aspek
ketidakmampuan manajemen sekolah dalam mengelola sekolah yang didasarkan pada
minimnya pendanaan di sekolah, juga kerap kali ditemukan diberbagai
sekolah akan adanya distorsi dan deviasi penggunaan anggaran
mengakibatkan sekolah mengalami kesulitan dalam mengembangkan programnya dan
bahkan sering kali muncul konflik dan hubungan yang disharmonis antara pihak
manajemen sekolah dengan seluruh raw input terutama guru dan tenaga
kependidikan lainnya. Dan pada akhirnya proses penyelenggaraan pendidikan di
sekolahpun menjadi terganggu dan dapat mempengaruhi secara langsung kinerja dan
kualitas pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh misalnya terdapat beberapa
sekolah di daerah terpencil lebih banyak menggunakan anggaran sekolahnya untuk
kepentingan perjalanan dinas kepala sekolah, atau contoh lain misalnya masih
banyak sekolah SD dan SMP yang walaupun telah mendapat dana BOS dengan jumlah
yang cukup signifikan namun tetap memberlakukan biaya tambahan dari orang tua
sebagai alasan adanya wujud partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap
sekolah.
Mengacu pada sistem
anggaran sekolah yang berimbang yang disesuaikan dengan terbatasnya
kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki sekolah maka
dalam menyusun RAPS perlu digerakkan oleh visi dan
misisnya yang jelas dan disertai dengan implemen-tasi programpun harus sesuai
dengan prinsip efektifitas, produktifitas, dan efisiensi biaya. Dalam konteks
ini maka Osborne dan Gaebler (Sudarwan Danim, 2009) berpendapat bahwa khusus
untuk sekolah dalam pengelolaan anggarannya perlu didasarkan pada konsep
anggaran yang digerakkan oleh visi dan misi sekolah yang berorientasi pada:
1.
Mendorong kepada setiap komunitas
sekolah untuk menghemat uang.
2.
Membebaskan komunitas sekolah untuk
menguji berbagai gagasan baru.
3.
Memberikan otonomi kepada unsur
manajemen sekolah untuk merespons setiap kondisi lingkungan yang berubah.
4.
Memberikan peluang kepada komunitas
sekolah untuk dapat menciptakan lingkungan yang secara relatif dapat
diramalkan.
5.
Menyederhanakan proses anggaran.
6.
10 Lihat Osborn dan Geabler dalam Prof. Dr. Sudarwan
Danim, 7 konsep anggran yang
digerakan oleh visi dan misi sekolah Visi Baru
Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik,Juli 2008.
|
7.
Menghemat dana untuk auditor atau
belanja pegawai yang kurang relefan.
8.
Membebaskan komunitas sekolah dari
belenggu pengucuran dana yang tidak relevan dengan tugas pokok persekolahan.
Kesadaran untuk
mewujudkan institusi pendidikan sebagai sekolah yang totalitas bertanggung
jawab terhadap mutu tertinggi dari proses dan produk yang dihasilkan oleh
sekolah harus diprioritaskan oleh semua manajemen sekolah. Dan ini hanya
terwujud pada kepala sekolah yang memiliki tingkat profesinalitas yang tinggi
yang dalam dunia kerjanya senantias didasarkan pada niat yang ikhlas dan hanya
mencari keridhoaan dari Allah SWT. Dalam konteks inilah maka seluruh komponen
sekolah hanya menjadikan sekolah sebagai wujud dari sebuah pengabdian dengan
hanya mencari kemuliaah hidup di sisi Allah SWT bukan materi hingga ia akan
mendapat derajat ketaqwaan.
Agar anggaran sekolah
selalu berimbang yang didasarkan pada perinsip efisiensi dan efektifitas serta
berorientasi pada anggaran yang digerakkan visi dan misis sekolah maka dalam
penyusunannya harus disesuaikan dengan rencana kegiatan dan program yang telah
disusun dan kemudian disesuaikan dengan jumlah biaya yang diperkirakan akan
dapat diperoleh untuk membiayaai beban kegiatan dimaksud. Dalam penyususnan
anggaran perlu dihindari pemahaman bahwa perlu menyususn kegiatan yang kemudian
menjadikan sumber pendapatan sekolah tertentu yang dibebankan untuk
membiayainya. Bila pendekatan seperti ini terjadi maka tidak heran kemudian
program itu akan menjadi beban orang tua atau masyarakat yang sesungguhnya
secara ekonomis tidak dapat memenuhi tuntutan sekolah. Untuk itu maka
langkah-langkah yang ditawarkan oleh Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, dkk yang perlu
diikuti dalam merencanakan penyususnan RAPBS secara berurut sebagai
berikut: 1) Menginfentarisasi rencana yang akan dilaksanakan; 2)
Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya; 3) Menentukan program kerja dan rincian program kerja; 4)
Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program; 5) Menghitung dana yang
dibutuhkan; 5)Menentukan sumber dana yang telah ada untuk membiayai rencana
kegiatan yang telah ditetapkan.
Hal yang paling
penting dalam penyususnan rencana angaran sekolah adalah menyesuaikan jumlah
pendapatan yang dimiliki sekolah dengan program-program yang direncanakan. Oleh
karena itu dalam penyususnan program hrus benar-benar mengidenti-fikasi program
yang harus diprioritaskan dan program yang perlu ditunda. Tentu program
tersebut harus lebih menyentuh pada aspek pengelolaan sistem sekolah pada
komponen imput yang sangat esensial dalam mendukung aspek sistem sekolah dari
komponen proses sehingg pada akhirnya dapat mendukung aspek sistem
output yang berkualitas. Untuk itulah maka pada langkah keempat dalam
penyususnan RAPBS yang disebutkan Muhaimin dkk adalah menentukan seberapa
penting kebutuhan rincian program yang telah disusun tersebut untuk kepentingan
peningkatan mutu output pendidikan. Dari rincian kebutuhan yang telah
dianalisis tersebutlah baru akan dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu
menghitung kebutuhan biaya yang akan diperlukan dan disesuaikan dengan sumber
pendapatan sekolah.
Yang menjdi persoalan
umumnya adalah sekolah cendrung memaksakan program yang notabene program
tersebut dipaksakan untuk dibiayai oleh orang tua siswa dengan alasan adanya
partisispasi orang tua, peningkatan mutu sekolah atau diprogramkan oleh dinas
terkait. Padahal program-program yang dilaksanakan tersebut bila dianalisis
lebih dalam maka sesungguhnya kurang bahkan tidak menyentuh aspek pemberdayaan
input –proses dan output sistem sekolah.
Dari konsep inilah maka tidak salah ada sebagian orang menyatakan bahwa
sesungguhnya uang yang menjadi beban sebuah program sekolah itu tidak terlalu
penting walaupun dalam pelaksanaan program tersebut dibutuhkan pembiayaan. Akan
tetapi yang terpenting adalah bagaimana manajemen sekolah mampu menciptakan
suatu kondisi sekolah yang sehat dan dinamis sehingga seluruh unsur sistem
dalam komponen raw input termotivasi untuk melukukan
inovasi-inovasi baru dalam setiap kegiatan cendrung bersifat efektif dan
efisien dengan dasar niat yang ikhlas dan kesadaran akan mencari
nilai ibadah kepada Allah SWT.
Memahami tentang
sumber-sumber anggaran juga penting artinya dalam menyusun RAPBS. Karena dengan
memahami sumber-sumber anggaran dan fungsi penggunaannya maka kita dapat
menempatkan penggunaan dana tersebut untuk membiayai program yang telah
ditetapkan. Berkaitan dengan sumber anggaran tersebut maka E.Muliyasa
menjelaskan sebagai berikut: 1) Dana langsung yaitu dana yang langsung
digunakan untuk oprasional sekolah untuk kepentingan pelaksanaan proses
belajar-mengajar. 2) Dana tidak langsung yaitu beban yang dikeluarkan oleh
peserta didik untuk menunjang kelancaran-nya dalam mengikuti
kegiatan belajar di sekolah; 3) Dana pembangunan yaitu dana yang bersumber dari
dana langsung yang digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarna sekolah; 4) Dana rutin
yaitu dana yang bersumber dari dana langsung yang
digunakan untuk membiayai kegiatan oprasional pendidikan selama satu tahun
pelajaran; 5) Dana masyarakat yaitu dana yang dikeluarkan masyarakat untuk
kepentingan pendidikan berupa uang sekolah, uang buku uang kegiatan
ekstrakurikuler dan kokurikuler.
Di dalam dana langsung
ada disebut dana pembangunan dan dana rutin. Dengan di dasarkan pada UU. Nomor
20 Tahun 2003 maka sesungguhnya antara sekolah negri dan sekolah swasta telah
disamakan kedudukan, hak dan kewajibannya dalam perlakuan pembiayaan
pendidikan. Oleh karena itu untuk memenuhi kekuranagan sarana prasaran dan
prasarana sekolah perlu dipertimbangkan kemampuan masyarakat dalam hal
penga-daannya, karena ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai PP.
Nomor 19 Tahun 2005 yang berhubungan dengan Standar Nasional pendidikan bidang
sarana prasarana. Selain itu sekolah juga harus memiliki komitmen proaktif
dalam pelaksanaan anggaran pembangunan yang didapatnya, sehingga setiap paket
pembangunan harus disisihkan sebagian kelebihan biayanya untuk menjadi sumber
paendapatan sekolah. Bila ini yang dilakukan maka post pada dana yang menjadi
beban masyarakat atau orang tua sedikit dikurangi.
Pada aspek lain
sekolah juga memiliki dana rutin yang bersumber dari bantuan pemerintah daerah
dalam bentuk dana pendidikan daerah ataupun dana bantuan pusat yang disebut
dana bantuan oprrasional sekolah (BOS), bantuan oprasional manajemen mutu
(BOMM), dana bantuan khusus murid (BKM) dana bantuan laife skil dan masih banyak
sumber dana lainnya yang diberikan melalui dana rutin. Sayangnya sebagian besar
manajemen sekolah tidak memeiliki kemampuan untuk mengatur dan memberdayakan
sumber-sumber tersebut sehingga pada setap tahun anggaran sekolah dalam
melaksanakan APBS-nya sering mengalami defisit, dan defisit itulah kemudian
dipaksakan menjadi beban masyarakat atau orang tua. Hal inilah yang emneybabkan
angka putus sekolah bagi anak usia sekolah dinegara kita semakin tinggi.
Dengan memahami kajian
tersebut maka dapat dipastikan bahwa pokok persoalan yang ada dalam manajemen
sekolah bukan karena kurangnya sarana prasarana, atau sekolah tidak memiliki
anggaran yang cukup untuk membiayai program sekolah akan tetapi seberapa
besarkah pihak manajemen sekolah memiliki kemampuan untuk mengelola sumber
pendapatan dan keuangan sekolah tersebut dalam membiayai program dan kegiatan
sekolah tersebut. Selain itu sampai sejauhmanakah kemampuan kepala sekolah
mengelola raw imput sehingga mereka dengan sadar memberdayakan diri untuk
melaksanakan tugas dan berperan dalam kehidupan persekolahan baik di dalam
maupun diluar sekolah. Pada akhirnya pihak manajemen sekolah juga dituntut
untuk mensinergikan semua program sekolah dengan mengacu pada skala prioritas
untuk memenuhi berbagai tuntutan dan menyesuaikannya dengan perkembangan dan
perubahan sebagai dampak dari tuntutan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
E. Guru Yang Berkualitas Dalam Organisasi Sekolah Yang Efektif.
Sekolah efektif adalah
menjadi harapan kita semua, menjadi harapan pemerintah, harapan pihak manajemen
sekolah, harapan guru dan tenaga kependidikan, harapan siswa dan harapan
stekholder. Betapa tidak, bahwa pada sekolah efektif ini bukan persoalan
material yang menjadi tujuan utama bagi seluruh komponen sekolah, akan tetapi
kepuas-annya dalam mendapatkan pelayanan yang menjadi target yang paling utama.
Guru merasa nyaman
melaksanakan tugasnya disekolah dan termotivasi untuk berperan dalam
kegiatannya diluar sekolah dalam membimbing siswa. Siswa merasa nyaman untuk
belajar disekolah sehingga termotivasi untuk selalu tetap hadir b di sekolah
setiap hari. Seluruh tenaga kependidikan melaksanakan seluruh tugasnya untuk
melayani semua kebutuhan pelanggang. Dengan demikian pihak manajemen sekolahpun
secara leluasa dengan prinsip demokratis melahirkan berbagai ide dan kebijakan
cerdas untuk memngembangkan program dan kegiatan sekolah. Dan lebih penting
lagi seluruh stekholder merasa optimis dan tidak ragu-ragu ikut berpartisipasi
dalam memajukan sekolah.
11 Lihat Peter Shenge, Disiplin Kelima Strategi dan Alat untuk Membangun Organisasi Pembelajaran(2002).
|
Agar organisasi sekolah dapat dimanej secara baik maka
Peter Shenge menawarkan konsep organisasi
pembelajaran perlu diberlakukan dalam manajemen organisasi sekolah sehingga efektifitas
sekolah dapat berjalan secara baik, berkualitas dan bermutu. Konsep penerapan
organisasi pembelajaran dimaksud adalah
seperti dijelaskan oleh Peter Shenge di dalam bukunya berjudul The Fifthy
Dicipline, yaitu dengan menerapkan 5 prinsip pembelajaran dalam
mengorganisasikan setiap lembaga usaha termasuk
sekolah yang meliputi:
1.
Keahlian Pribadi yaitu meningkatkan
kapasitas pribadi untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan
menciptakan suatu lingkungan organisasi yang selalu mendorong semua anggotanya
untuk mengembangkan diri.
2.
Model Mental yaitu sikap merenungkan,
mengklarifikasi dan memperbaiki gambaran-gambaran internal terhadap masalah
eksternal untuk membentuk tindakan dan keputusan yang kita ambil.
3.
Visi Bersama yaitu membangun suatu rasa
dan komitmen bersama dalam suatu kelompok dengan gambaran yang sama terhadap
masa depan yang ingin dicapai secara bersama dengan menggunakan praktek-praktek
penentu.
4.
Pembelajaran Tim yaitu mengubah keahlian
percakapan dan berpikir dari individu ke keahlian kolektif sehingga secara
berkeompok dan bersama-sama mengemb-angkan kecerdasan dan kemampuan untuk
mencapai tujuan.
5.
Pemikiran Sistem yaitu cara berpikir
untuk menguraikan dan memahami kekuatan dan hubungan antar-pribadi untuk
membentuk prilaku sistem ehingga dapat mendorong sebuah tindakan
yang selaras dengan proses untuk mencapai tujuan.
Dalam konsep manajemen
yang lebih profesional dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan secara
maksimal dan efektif maka model pembelajaran dalam berorgani-sasi seperti yang
ditawarkan Peter Shenge sangat penting untuk diterapkan. Dalam hal ini seorang
kepala sekolah harus memiliki keahlian pribadi untuk menciptakan lingkungan
sekolah dimana seluruh raw imput harus mampu memberdayakan dan mengembangkan
dirinya. Selain itu seorang kepala sekolah harus mampu mengelola emosi dan
kemampuan dirinya untuk membentuk model mentalnya yang baik sehingga mampu
memahami dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi objektif yang ada dalam
kehidupan persekolahan. Agar kemampuan keahlian pribadi dan model mental dapat
dimanifestasikan secara baik maka kepala sekolah harus dapat melahirkan sebuah
gagasan yang menjadikan sebuah komitmen bersama dalam bentuk visi dan misi
sekolah secara bersama serta membangun suatu konsep kerja dengan
sistem team untuk mewujudkan visi dan misi sekolah tersebut. Kunci pokok dari
keberhasilan sebuah keahlian pribadi, model mental, visi bersama dan
pembelajaran tim adalah terletak pada bagaiman kemampuan kepala sekolah untuk
memanej suatu pemikiran secara sistem sehingga setiap individu dalam sekolah
mampu memhami karakter dan sifat individu yang lain dalam melaksanakan program
sekolah.
Optimisme kita sangat
penting dalam mewujudkan sekolah yang efektif bila konsep pembelajaran
berorganisasi dapat kita terapkan dalam mengelola sistem organisasi sekolah.
Pendapat senada dengan Peter Shenge yaitu E. Mulyasa yang menjelaskan bahwa
berdasarkan teori sistem maka sekolah yang efektif harus mencerminkan
keseluruhan siklus imput-proses-output, tidakhanya output atau hasil saja,
serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen pihak sekolah
dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Lebih jauh lagi Thomas (E.
Mulyasa, 2009, h. 83) mengungkapkan tentang efektifitas sekolah dalam kaitannya
dengan produksi sekolah atau output lulusan dapat berfungsi ditengah masyarakat
maka ada tiga dimensi penting yang harus dipenuhi agar menjadi sekolah yang
efektif yaitu: 1) Segi output sekolah dilihat dari keluaran administrasi yaitu
suatu pelayanan baik dan maksimal yang diberikan dalam suatu proses pendidikan;
2) Segi output sekolah dilihat dari aspek prilaku yang dilakukan oleh perta
didik dimana kemampuan peserta didik dalam mengamalkan nilai-nilai yang telah
didapatnya dalam proses pembelajaran; dan 3) Segi keluaran ekonomis yang
berhubungan dengan pembiayaan layanan pendidikan yang dikeluarkan dengan perolehan
yang ditimbulkan atas layanan tersebut diukur dari aspek ekonomi.
Sesuai pendapat
tersebut maka sekolah efektif tidak terfokus pada seberapa banyak imput yang
diterima oleh sekolah yang berbanding dengan seberapa besar tingkat kelulusan
yang dikeluarkan oleh sekolah, akan tetapi konsep sekolah efektif adalah
bagaimana sekolah mampu mengembangkan konsep pemberdayaan sekolah
dalam aspek pelayanan sehingga seluruh unsur sekolah baik guru,
manajemen sekolah, tenaga kependidikan, siswa maupun stekholder lainnya merasa
nyaman dan memiliki kesadaran yang utuh dalam kerja sama membangun sekolah
tersebut. Dengan pelayanan yang menyenangkan akan mendorong pihak sekolah untuk
memproses siswa secara berkualitas dan dapat berpengaruh pada ketercapaian tiga
dimensi keberhasilan seperti yang dikemukakan oleh Thomas diatas.
Berkaitan dengan dimensi dan konsep efektifitas sebuah sekolah maka Prof. Dr.
Sudarman Danim menyebutkan beberapa kriteria sekolah yang efektif yaitu: 1)
Mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas tentang apa yang harus diketahui
dan dikerjakan siswa; 2) Mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut
standar potensi yang dimiliki oleh siswa; 3) Siswa dapat mengambil peran
tang-gungjawab dan berprilaku positif; 4) Mempunyai instrumen evaluasi dan
penilaian prestasi yang jelas; 5) Menggunakan metode pembelajaran yang
profesional; 6) Mengkre-asikan lingkungan untuk mendukung kegiatan
pembelajaran; 7) Membuat keputusan yang demokratis dan akuntabilitas untuk
kepuasan pengguna; 8) Menciptakan rasa aman dan sifat saling menghargai dalam
lingkungan yang efektif; 9) Mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf;
10) Secara aktif melibatkan keluarga untuk membantu siswa dalam meraih
kesuksesan; dan 11) Bekerja sama dengan seluruh stekholder dalam mewujudkan
tujuan sekolah.
Pada akhirnya sekolah
yang efektif bukanlah sekolah yang dapat meluluskan siswa 100 % pada setiap
tahun dan atau sekolah yang memiliki sarana dan parasarana sekolah yang lebih
lengkap. Akan tetapi dengan srana parasarana yang ada sekolah mampu
mengelolanya sedimikian rupa sehingga proses yang berlangsung dalam sekolah
tersebut dapat berjalan secara sehat dan dinamis. Proses tersebut akan
mendorong kesadaran siswa secara aktif melaksanakan budaya belajar dan dengan
budaya belajar tersebut siswa secara sadar memahami seluruh bahan yang
dipelajari dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi
manusia yang dapat hidup manidir serta bertanggung jawab atas apa yang
dilakukannya untuk kemaslahatan hidupnya dan kemaslahatan masyarakat yang ada
disekitarnya. Maka sangat tepat apa yang dijelaskan oleh Bill Crech bahwa untuk
membangun sekolah yang efektif dan bermutu maka perlu mengkonstruksikan lima
pilar utama untuk mewujudkan output dan outcome pendidikan yang lebih baik yaitu
pilar produk, proses, organisasi, pemimpin dan komitmen. Dimana produk
merupakan titik pusat tujuan pencapaian organisasi, yang didapat melalui proses
yang berkualitas. Organisasilah yang berperan dalam proses tersebut yang
dikelolah oleh manajemen atau pemimpin yang profesional. Dan tentu pemimpin itu
harus mendapat dukungan dan komitmen yang kuat dari seluruh unsur yang terlibat
dalam proses tersebut25. Dengan memahami konsep pemberdayaan
untuk mengefektifkan lima pilar tersebut maka produktifitas yang dihasilkan
sekolah melalui proses yang dikelolah sebuah organisasi sekolah di bawah
kepemimpinan yang didukung sepenuhnya oleh seluruh unsur yang terlibat dalam
proses dimaksud.
BAB III
BEBERAPA TANTANGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
A. Tantangan yang Berhubungan dengan Sistem Pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses bimbingan yang tidak akan berakhir dan mengikuti denyut kehidupan manusia. Proses bimbingan itu tentu selalu dilakukan secara sadar dan terencana oleh seseorang dan atau sekelompok orang terhadap orang lain agar dapat berubah menjadi lebih baik. Al-Syaibani (Zuhairini dkk. 1995 h. 120) menjelaskan bahwa dalam proses pendidikan itu harus menumbuhkan 3 potensi yang ada pada diri manusia yaitu potensi jasmaniyah, potensi akliyah (akal) dan potensi akhlakiyah (akhlak). Perubahan ke hal yang lebih baik dalam makna pendidikan itu adalah jasmani dapat sehat dan kuat, akal dapat mengetahui dan dapat beramal dengan akhlak yang mulia. Karena itulah maka Ki Mohammad Said R. (Dr. M. Sukardjo,2009) mengemukakan hakekat pendidikan yang sesungguhnya yaitu seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk-bentuk prilaku yang bernilai positif di masyarakat.
1 Dr. M Sukardjo, dan Ukim Komarudin, M.Pd. Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya (2009), hlm 9.
2 Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan Reformasi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III (2000), hlm 6.
|
Bila kita memaknai hakekat pendidikan seperti tersebut di atas lalu dikaitkan dengan realita yang ada disekitar kita maka proses pendidikan kita belum memaknai hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Kolberg (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000) menjelaskan bahwa praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara yang terjadi dalam keseharian belum mencerminkan tingkat yang tertinggi pada tataran post-conventional atau principled yang mendasarkan diri pada nilai-nilai yang universal, akan tetapi praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara dewasa ini justru berada pada tataran preconventional yang mendasarkan diri pada kalkulasi dan pertimbangan moral yang sangat rendah. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Sudarminta, SJ (Dalam Sukardjo, 2009, h.79) bahwa masalah besar yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia dewasa ini adalah mutu pendidikan yang masih rendah, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai dan krisis moral yang melanda masyarakat. Kita memang tidak patut menimpakan fenomena masalah yang terjadi dewasa ini pada seseorang atau sekelompok orang atau suatu lembaga teretentu bertanggung jawab atas masalah tersebut, namun setidaknya dunia pendidikanlah yang memiliki porsi terbesar dalam mengambil peran untuk memecahkan masalah tersebut.
Bila kita menelaah sistem dan konsep yang tertuang dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta seluruh Peraturan yang menjadi turunan dari kedua Undang Undang tersebut memiliki muatan yang sangat baik dan cukup meyakinkan. Namun bila diterpakan dalam tataran oprasional maka seluruh komponen pelaksana sistim tersebut terutama bagi seorang guru sangatlah sulit.
Berbicara masalah kurikulum bila dikaitkan dengan berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, sudahkah kita memahaminya secara tepat ? Dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 1:19 menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum dalam pengertian tersebut hanya merupakan seperangkat rencana dan peraturan yang berakaitan dengan masalah tujuan, isi serta bahan pelajaran. Rencana dan pengaturan tersebut selanjutnya hanya digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pembelajaran. Makna kurikulum seperti ini terlalu sempit bahkan mungkin dipahami oleh guru dan kepala sekolah dalam pengertian yang sempit pula bahwa kurikulum itu hanya berupa rencana atau aturan yang telah disusun oleh guru seperti menyusun KTSP, membuat silabus, membuat program tahunan dan program smester, membuat SAP/RPP, melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai program semester yang telah dibuat, membuat soal ujian, melaksanakan ujian, memeriksa bahan ujian dan menganalisis hasil ujian, menyususn program pengayaan dan melaksanakannya dan pada akhirnya guru dan pihak sekolah terlalu terfokus pada pencapaian tujuan dari pendidikan yang dimaksud dalam pengertian kurikulum tersebut adalah siswa dapat memperoleh nilai yang baik dan dapat berpindah ke kelas yang lebih tinggi dan atau dapat lulus pada Ujian nasional.
Makna kurikulum yang dipahami oleh seluruh komponen sekolah seperti ini tentu telah mengaburkan konsep taksonomi pendidikan seperti yang disebutkan oleh Bloom bahwa pendidikan itu setidak-tidaknya harus menyentuh pada tiga ranah yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor atau oleh Al-Syaibany bahwa pendidikan harus menumbuhkan potensi jasmani, akal dan akhlak. Pemahaman guru dalam konteks melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti dijelaskan diatas telah memaksa daya dan kemampuan untuk berusaha menyelesaikan seluruh bahan/materi pembelajaran yang telah disusun sesuai program semester yang lebih cendrung pada aspek kognitif sehingga aspek afektif dan psikomotor pasti terabaikan. Dan bahkan masalah moral dan akhlak tidak dipedulikan lagi oleh sang guru.
4 Ibid, Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan Reformasi …… hlm. 80.
|
Sesungguhnya hakekat kurikulum bila dikaitkan dengan proses pendidikan maka tidak dapat kita pahami dalam konsep yang sempit seperti ini. Sudarsono (M.Sukardjo 2009, h.80) menjelaskan bahwa pendidikan dasar dan menengah yang seharusnya menjadi dasar penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur dalam dimensi budaya, sosial, dan kemanusiaan kepada anak didik, menjadi tidak berdaya akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan perkembangan kondisi sosial budaya baik lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu agar adanya relevansi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dengan pemahaman konsep kurikulum yang baik maka Beane (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, h.59) menjelaskan bahwa kurikulum harus dipahami sebagai sebuah produk, sebagai program, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai pengalaman belajar bagi siswa.
Dalam pengertian kurikulum dlama arti produk dapatlah kita mengacu pada Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37:1 menjelaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: Pendidikan Agama; Pendidikan Kewarganegaraan; Bahasa; Matematika; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya; Pendidikan Jasmani dan Olahraga; Ketrampilan/Kejuruan; dan Muatan Lokal. Pada sisi lain dalam pasal 35 memberi kewenangan pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun standar isi, standar proses dan standar kelulusan yang harus digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum. Dari sini kemudian BSNP memproduksi sejumlah standar kompetensi untuk seluruh mata pelajaran sesuai pasal 37:1 yang selanjutnya diwajibkan bagi seluruh sekolah dan guru untuk menyususn seluruh perangkat pembelajaran harus seuai dengan standar isi yang diproduksi oleh BSNP. Standar isi tersebut selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan standar kelulusan bagi siswa, maka tidak heran guru harus wajib dituntut untuk melaksanakan seluruh programnya harus selesai pada setiap tahun pelajaran dan harus sesuai dengan apa yang telah di tetapkan BSNP.
Memaknai kurikulum dari aspek produk seperti hal tersebut benar-benar telah menghilangkan kemandirian sekolah dalam membuat kebijakannya. Bahkan mungkin guru tidak lagi berperan sebagai seorang pendidik akan tetapi guru hanya menjadi seorang pengajar dalam memenuhi tuntutan kurikulum dimaksud. Selain itu pemahaman kita tentang sekolah otonom dengan merubah konsep sentralistik menjadi desentralisasi adalah suatu ilusi semata. Apalagi kewenangan yang amat berlebihan yang dipahami oleh Dinas Pendidikan baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten kota terhadap pasal 38 dalam hal koordinasi dan supervisi sering menginterfensi kebijakan sekolah dalam mengelola dan mengembangkan program dan kurikulum sekolahnya. Dalam konteks inilah maka Suyanto dan Djihad Hisyam menjelaskan bahwa akibat kurikulum hanya dipahami sebagai produk oleh berbagai pihak terutama guru, maka sekolah terlalu memusatkan diri pada pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata, sedangkan masalah sistim nilai, kreatifitas dan kompetensi prilaku kurang mendapat perhatian secara proporsional.
Selanjutnya kurikulum dari aspek proses dalam artian akan terkait dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Kurikulum dalam aspek produk hanya merupakan blueprint dari sebuah konsep yang dijadikan dasar dan acuan dalam pelaksanaan sebuah kegiatan selanjutnya. Meskipun blueprint dari konsep kurikulum pendidikan kita cukup baik dan berkualitas, namun tidak dipahami secara tepat oleh guru dan seluruh unsur pendidikan dan sekolah yang menjadi pelaksana konsep blueprint tersebut maka dapat dipastikan bahwa hasil produkpun akan menjadi rendah. Oleh karena itu dalam artian proses maka seluruh komponen sekolah terutama guru sebagai ujung tombak dari proses pelaksana pendidikan harus memiliki pemahaman yang utuh tentang konsep kurikulum.
Kenyataan membuktikan bahwa hingga dewasa ini dalam artian proses kegiatan pembelajaran sebagaian besar orintasinya masih bermuara pada aspek kognitif. Hal ini dipengaruhi oleh faktor umumnya yaitu yang menjadi dasar dalam penentuan kelulusan seorang siswa adalah dapat memperoleh nilai minimal sesuai kriteria kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dalam kenaikan kelas dan atau oleh BSNP dalam kelulusan seorang siswa. Faktor inilah yang memaksa seluruh komponen sekolah terutama guru dalam merekayasa berbagai strategi agar seluruh kriteria kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa. Dan aspek ini pula yang mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi menjadi seorang pendidik yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar yang baik.
Faktor lain yang menjadi penyebab aspek kognitif sebagai target utama dalam proses pendidikan adalah bahwa kenyataan membuktikan bahwa yang menjadi ukuran dari sebuah supervisi baik oleh pihak kepala sekolah, pengawas pendidikan, dinas pendidikan bahkan sampai pada inspektorat di tingkat kementrian pada proses pendidikan di sekolah adalah kesesuaian antara apa yang di rencanakan secara tertulis oleh guru atau kepala sekolah dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bagi seorang guru pada saat supervisi materi yang diajarakan di kelas pada saat supervisi harus sesuai dengan apa yang telah di susun dalam silabus, program tahunan, program semester, dan bahkan harus sesuai dengan apa yang di tulis dalam SAP atau RPP. Kasus-kasus seperti inilah yang menyebabkan hingga kini sesungguhnya pendidikan nasional kita tidak bisa memberikan proses kearah tujuan pendidikan nasional. Paulo Freire (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, h.63) menjelaskan bahwa model pembelajaran kita masih menganalogi dengan banking concept yakni guru masih menjadi deposito berbagai informasi ke benak peserta didik tanpa mengetahui maksud dari informasi itu untuk apa bagi kehidupan mereka, sehingga informasi itu hanya menjadi pengetahuan saja dan tidak mewujudkan sikap, minat, dan memotivasi untuk mengembangkan diri.
B. Tantangan Pendidikan Yang berhubungan dengan Tenaga Kependidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai berikut:
a. Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang. Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar, merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari 2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya (1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S-1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
b. Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1) kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2) kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara, dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja, hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
c. Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang “kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
d. Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru. Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil, terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
e. Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi.
Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
f. Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa, dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.
g. Kurang dialog mengenai pengajaran.
Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan lebih banyak bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak obrolan santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga, lingkungan dsb.
Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.
h. Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan pengajaran.
Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas, maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada digarda terdepan pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?
BAB IV
BEBERAPA SOLUSI PENTING PENGEMBANGAN SEKOLAH MENJAWAB TANTANGAN PENDIDIKAN.
A. Memahami Sekolah Sebagai Sebuah Sistem.
Untuk memahami sebuah konsep sekolah yang efektif maka kita harus dapat mengerti secara konprehensif tentang sistem yang berlaku dalam sekolah tersebut. Sistem itu terdiri atas sejumlah komponen yang saling terkait antara satu dengan yang lain dan tidak dapat berfungsi secara sendiri-sendiri. Yang menjadi permasalahan selanjutnya mampukah kita berperan untuk memfungsikan komponen-komponen sistem yang ada dalam sekolah tersebut sehingga dapat mendorong sekolah untuk tetap berkembang secara efektif dan berkualitas ?
Mendasari pada permasalahan tersebut maka yang perlu kita pahami sekarang sebelum kita mengkaji permasalahan tentang sekolah yang efektif, maka terlebih dahulu kita memahami permasalahan yang berkaitan dengan komponene-komponen sekolah sebagai sebuah sistem yang efektif. Kemudian permasalahan peran manajemen untuk mewujudkan sekolah yang efektif, permaslahan pengelolaan unsur-unsur pendukung untuk mewujudkan sekolah yang efektif. Selanjutnya permasalahan seberapa pentingkah biaya dalam memenej sekolah yang efektif dan terakhir adalah tentang bagamana sekolah itu dapat dikatakan sebagai sekolah yang efektif, berkualitas atau bermutu.
1 Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, April 2008 hlm.1.
|
Terkait dengan permasalahan sistem maka William A. Shrode dan D. Voich (Aan Komariah, 2008, h.1) menjelaskan bahwa sistem mengandung makna bagian-bagian yang saling terkait, berfungsi dan bekerja secara independen dan secara bersama-sama dalam satu lingkaran kesatuan yang komplek untuk mencapai tujuan yang menyeluruh secara sinergi. Ini berarti bahwa di dalam sistem itu sendiri terdapat bagian-bagian atau disebut komponen-komponen yang saling terkait. Aan Komariah menyebutkan bahwa sekolah merupakan sebuah sistem yang kompleks yang di dalamnya mencakup komponen yang terdiri atas input-proses-output dan juga memiliki akuntabilitas terhadap konteks pendidikan dan outcom pendidikan.
Pendidikan dalam konteksnya sangatlah berbeda dengan organisasi lain, karena pendidikan tidaklah menghasilkan semata-mata hanya dengan jumlah secara kuantitatif yang banyak akan tetapi outcome atau hasil kelulusannya benar-benar harus bermanfaat untuk kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Bila outcome yang diharapkan dapat dijadikan barometer sebuah sekolah dikatakan berkualitas atau tidak maka hal ini sangat terkait dengan proses dari sistem yang berlaku dalam sekolah itu sendiri yang dimaulai dari akuntabilitas dari kontek pendidikan, imput pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan. Dalam sistem imput pendidikan hal-hal yang menjadi perhatian terpenting dalam sebuah sekolah terdiri atas sejumlah komponen yang meliputi manusia yaitu siswa, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan dan semua stekholder yang berperan aktif dalam menciptakan sistem sekolah yang efektif. Komponen lainnya yaitu uang (money) yang menjadi suplai penting dalam pemrosesan raw input atau manusianya. Selanjutnya adalah komponen barang/bahan (materials) sebagai pnunjang dalam proses pembelajaran berupa saran prasarana, alat-alat/media pendidikan dan sumber-sumber pendidikan. Kemudian komponen metode-metode (methods) yang meliputi cara, teknik dan strategi yang dikembangkan sekolah dalam melaksanakan proses pendidikan. Dan komponben terakhir adalah mesin-mesin yaitu perangkat yang mendukung terjadinya proses pembelajaran.
2 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, (2008)
3 Prof. Dr. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik,(2008)
|
Prof. Dr. Sudarwan Danim menjelaskan bahwa mutu masukan (input) dapat dilhat pada beberapa sisi yaitu kondisi baik atau tidaknya sumber daya manusia berupa guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan siswa. Terpenuhinya masukan material berupa alat praga, buku-buku, kurikulum, sarana dan prasarana. Tersediannya perangkat lunak yang meliputi peraturan, struktur organisasi, dan diskripsi kerja. Serta terpenuhi mutu masukan seperti visi dan misi, motivasi, ketekunan dan cita-cita. Semua komponen imput tersebut memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan sekolah yang efektif. Bila komponen-komponen tersebut telah berfungsi secara bersama-sama dan saling terkait dalam proses maka akan tercipta suasana sekolah yang kondusif dimana sekolah dapat berkembang secara efektif menuju tujuan sebagaimana yang diharapkan.
Selain komponen input dalam menentukan berfungsi tidaknya sistem dalam sekolah ada juga komponen proses yang berperan dalam penyelenggaraan sekolah. Dalam konteks pendidikan, kiat manajemen sekolah sangat menentukan pengelolaan masukan-masukan sekolah agar terpenuhinya harapkan output yang bernilai secara outcome dalam kehidupan bermasyarakat. Hal-hal yang sangat diharapkan dalam output pendidikan menurut Sudarwan Danim adalah terbentuknya derjata kesehatan, keamanan, disiplin, keakraban, saling menghormati, dan kepuasan pada setiap unsur imput dalam memberi dan menerima jasa layanan.
3 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah …. hlm. 2-3.
|
Oleh karena itu seorang manajemen pendidikan harus berlaku sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Roe dan Norton (Aan Komariah dan Cepi Triatna, 2008, h. 2-3) berpendapat bahwa dalam mengelola program sebagai proses penyelenggaranan sekolah yang efektif, manajemen sekolah harus mampu melaksanakn pengkoordinasian dan penyerasian program sekolah secara holistik dan integratif meliputi perencanaan, pengembangan dan evaluasi program, pengembangan kurikulum dan proses belajar mengajar, pengelolaan sumberdaya manusia, pengelolaan fasilitas, pengelolaan hubungan dengan stekholder, pengelolaan keuangan dan pengelolaan siswa. Dengan demikian maka sistem sekolah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah proses dimana kelulusan siswa dapat diterima dalam kehidupan bermasyarakat dengan terpenuhinya harapan sebagaimana dikemukakan oleh Sudarwan Danim di atas.
B. Manajemen Dalam Sekolah Yang Efektif.
Pembicaraan tentang manajemen di tulisan ini dapat disamakan pengertiannya dengan masalah kepemimpinan sekolah meskipun banyak para pakar memberikan pengertian yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh pokok pembahasan pada tema tulisan ini lebih mengarah pada permasalahan bagaimana peran manajemen atau kepemimpinan sekolah dalam mengelola sistem sekolah yang terkait dengan komponen input, proses dan output dalam sekolah itu sendiri sehingga dapat mewujudkan sekolah yang efektif dan murah agar dapat dijangkau oleh sebagaian masyarakat Islam Indonesia yang terancam putus sekolah karena faktor mahalnya biaya pendidikan.
Setelah kita memahami sekolah sebagai sebuah sistem yang didalamnya mencakup permaslahan akuntabilitas dari konteks pendidikan yang unik dalam mengelola imput, dan proses secara baik sehingga akan menghasilkan output pendidikan yang tercermin jiwa outcome untuk dapat bernilai dalam kehidupan bermasyarakat, maka selanjutnya akan kita membicarakan bagaimana peran manajemen/kepemimpinan pendidikan dalam mengelola sistem sekolah secara baik untuk menjadi sekolah yang efektif.
4 Dr. E. Mulyasa, M.Pd, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, (2009), hlm. 19.
|
Manajemen pendidikan menurut Gaffar (E. Mulyasa) mengandung pengertian bahwa sebagai suatu proses kerja sama dalam pengelolaan proses pendidikan yang sistematik, sistemik dan konprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Secara sistematik berarti bahwa dalam pengelolaan proses tersebut harus dilakukan secara teratur dan berurut sesuai prosedur yang telah ditetapkan. Secara sistemik artinya bahwa dalam proses pengelolaan tersebut setiap komponen pendidikan selalu terkait dan berhubungan serta saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Oleh karena itu setiap komponen pendidikan baik terkait masalah imput, proses maupun output harus dipandang sama perannya dalam pengelolaan untuk mencapai tujuan pendidikan. Selanjutnya pengelolaan dalam makna komprehensif berarti semua komponen pendidikan dalam sistem sekolah harus dikembangkan dalam proses secara keseluruhan, sehingga tidak terpandang oleh seorang manajemen sekolah bahwa ada komponen tertentu lebih diutamakan dari komponen yang lainnya.
Selain itu pengertian manajemen pendidikan yang lebih luas lagi seperti yang dikemukakan oleh Knezevich (Wahyudi, 2009, h.8) merupakan sebagai sekumpulan fungsi untuk menjamin efisiensi dan efektifitas pelayanan pendidikan, melalui perencanaan, pengambilan keputusan, prilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumberdaya, koordinasi personil, penciptaan iklim organisasi yang kondusif serta penentuan pengembangan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat di masa depan. Sejalan dengan makna manajemen pendidikan seperti yang di kemukakan oleh Knezevich di atas maka Engkoswara (Wahyudi, 2009, h.9) menjelaskan bahwa manajemen pendidikan dalam arti luas yaitu suatu cara untuk menata sumberdaya agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara produktif dan bagaimana menciptakan suasana yang kondusif bagi manusia di dalam mencapai tujuan yang telah disepakati. Menata mengandung makna mengatur, memimpin, mengelola sumber daya. Sedangkan sumber daya meliputi manusia yang terdiri dari peserta didik, pendidik, kepala sekolah, tenaga kependidikan dan pemakai jasa pendidikan. Sumberdaya juga meliputi sumber belajar, kurikulum dan fasilitas atau sarana prasarana pendidikan.
5 Dr. Wahyudi, Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajaran, (2009)
|
Baik knezvich ataupun Engkoswara memahami makna manajemen pendidikan merupakan sebagai upaya untuk memberikan pelayanan yang lebih terbaik dalam menata sumberdaya yang ada dalam pendidikan yang termasuk didalamnya adalah komponen-komponen imput dalam sistem pendidikan. Pelayanan yang diberikan tersebut dapat menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif melalui perencanaan, pengambilan keputusan, prilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumberdaya, koordinasi personil, penciptaan iklim organisasi yang sehat dan dinamis sehingga dapat terpenuhi kebutuhan bagi sistem imput untuk seluruh komponene manusianya.
Dalam konsep manajemen pendidikan dimaksud maka kepala sekolah memiliki peran yang cukup penting untuk menciptakan suasana sekolah yang lebih kondusif, sehat dan dinamis. Kepala sekolah dalam konteks ini tentu harus menjadi agent of change untuk menciptakan difusi inovasi bagi seluruh unsur imput. Kepala sekolah harus menjadi agen perubahan bagi sebuah dinamika yang lebih kondusif dalam menata serta memberdayakan manusianya, uang, maetrials, methods dan machines sebagai unsur imput secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan sekolah itu sendiri. Dengan demikian jiwa kepala sekolahlah yang menjadi taruhan dalam sebuah proses dari pemberdayaan unsur imput. Untuk itu sebagai pemimpin dalam manajemen sekolah, ia harus mengetahui, memahami dan mengerti semua hal yang berkaitan dengan potensi-potensi yang dimilki oleh semua komponen yang terdapat dalam unsur manusia.
Selain itu dalam konsep manajemen juga seorang kepala sekolah harus dapat menjadi seorang administraur yang baik yang dapat mengerti dan memahami tentang bagaimana mengelola seluruh hal yang terkait proses dalam sistem sebuah sekolah. Sebagai administratur dalam manajemen pendidikan kepala sekolah harus dapat melaksanakan prinsip-prinsip administrasi seperti disebutkan oleh Prof. Dr. Agus Salim Mansyur, M.Pd dalam pengantarnya yang ditulis oleh Herabudin yaitu:
1. Berprinsip efisiensi yaitu menggunakan semua sumber tenaga, dana dan fasilitas yang ada secara efisien.
2. Berprinsip pengelolaan yaitu mengelola langkah-langkah manajemen secara baik meliputi merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, dan mengontrol semua proses secara dinamis untuk mencapai tujuan.
3. Berprinsip pengutamaan tugas pengelolaan yaitu lebih mengutamakan pada skala prioritas dengan lebih mengutamakan tugasnya sebagai kepala sekolah bukan tugas lainnya.
4. Berprinsip kepemimpinan yang efektif yaitu mampu menjadikan dirinya sebagai human relationship dengan membangun hubungan yang baik dengan seluruh unsur imput dalam sistem serta senantiasa bijaksana dalam membuat keputusan, tegas, lugas, tuntas dan berkualitas.
5. Berprinsip kerja sama yang dilakukan secara sinergi, profesional, dan proporsional. Dapat melaksanakan tugas sesuai kemampuan dan pengetahuannya serta mendistribusikan kewenangan kepada stafnya untuk melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka. Mampu melaksanakan hubungan dengan pihak luar baik secara horisontal maupun secara vertikal untuk mencari peluang-peluang baru dalam mengembangkan sekolah.
6 Drs. Herabudin, M.Pd, Administrasi dan Supervisis Pendidikan (2009)
|
Bila prinsip-prinsip seperti ini benar-benar dilaksanakan oleh seorang kepala sekolah dalam manajemen sekolah tentu upaya untuk mencapai sekolah yang efektif dengan sendirinya akan terwujud. Dengan demikian dalam konsep manajemen sekolah yang terpenting bukanlah keuangan sekolah yang menjadi domai utama untuk mencapai sekolah yang efektif dalam proses dari sebuah sistem sekolah, karena keuangan (money) hanyalah satu dari 5 unsur utama dalam komponen imput dari sebuah sistem pendidikan. Akan tetapi yang terpenting bagi seorang manajemen dalam pendidikan adalah bagaiman sekolah itu diberdayakan secara sistematik, sistemik dan konprehensif seperti yang dikemukakan oleh Gaffar agar semua unsur imput merasakan nyaman dan terpenuhi rasa kepuasannya dalam dinamika lingkungan sekolah yang lebih harmonis.
Dengan prinsip pengelolaan secara efektif dan efisien maka oleh Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, dkk. menjelaskan bahwa seorang manajemen sekolah akan dapat membuat keputusan yang bijaksana mengutamakan yang lebih utama dari segala yang ada serta kerjasama yang baik akan melahirkan sebuah pemehaman yang utuh dari semua unsur imput dalam melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada niat yang tulus dari hati yang bersih dan ikhlas serta hanya mengharapkan Ridha Allah SWT, bekerja hanya untuk mencarai derajat yang paling mulia disisi Allah SWT sebagai hamba yang muttaqin, dan bekerja adalah sebagai sesuatu yang menjadi nilai ibada kepada Allah SWT dan hanya Allah SWT. Sajalah yang memebri penilaiannya dan bukan atas dasar materi yang ingin didapat. Tiga konsep ini hanya akan dapat lahir dari setuap unsur imput bila manajemen sekolah juga benar-benar bekerja dengan mengacu pada tiga prinsip yang sama. Dengan demikian maka matarantai yang menjadi lingkaran setan yang meliputi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan akan dapat kita putuskan. Dan semua lapisan masyarakat dapat menikmati pendidikan secara baik.
C. Pengelolaan Unsur-unsur Pendukung Sekolah Efektif.
7 Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, Dr.Hj. Suti’ah, M.Pd. Dr. Sugeng Listio Prabowo, M.Pd. Manajemen Pendidikan, (2009)
|
Kunci penting dalam sebuah lembaga organisasi sekolah agar dapat berkembang secara dinamis dalam kehidupan persekolahan adalah bagaimana seorang kepala sekolah mampu memberikan perannya yang berpusat pada penggerak atau pemberdayaan seluruh unsur-unsur yang ada dalam sekolah agar dapat bergerak secara sadar menuju pada tujuan yang diharapkan. Unsur-unsur penting dalam sebuah sekolah adalah unsur imput yang terdapat dalam sistem sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah dapat berkomunikasi, melatih, membimbing, membina, memotivasi unsur manusia sebagai raw imput atau sebagai unsur utama dalam sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah mampu member-dayakan unsur uang (money) secara efektif dan efisien serta dapat mempertanggung-jawabkannya secara akuntable dihadapan semua komponen sekolah. Bagaimana seorang kepala sekolah dapat mengelola methods dan materials yang dimiliki sekolah secara berdaya guna dan berhasil guna. Dan seorang kepala sekolah yang baik dalam mengelola organisasi sekola secara efektif adalah ia mampu mengelola dan memenafaatkan potensi mechines yang dimiliki oleh sekolah secara baik dalam kerangka pengembangan dinamika sekolah yang lebih sehat dan dinamis.
Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menghasilkan kelulusan yang bukan hanya memiliki nalar yang tinggi dengan memperoleh nilai kelulusan yang didapat melalui ujian-ujian akhir atau mampu memasuki suatu tingkat sekolah yang lebih tinggi dengan standar sekolah lebih baik di setiap daerah saja. Akan tetapi sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu menjadikan siswanya sebagai investasi dalam pertumbuhan kekuatan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks ini ukuran sekolah yang baik dapat dilihat dari bagaiman sekolah itu mampu menempatkan seluruh komponen sekolahnya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masyarakatpun merasa nyaman dengan keberadaan sebuah sekolah tersebut. Dalam hal ini Slamet (Aan Komariyah, h.7) dapat memberi batasan kinerja bagi sebuah sekolah yang baik adalah sebuah sekolah yang mampu mengembangkan dan memberdayakan secara utuh konsep efektivitas, produktifitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, surplus dan moral kerjanya secara baik dalam budya kehidupan sekolah yang sehat dan dinamis.
8 Lihat Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif, April 2008.
|
Efektifitas merupakan kemampuan organisasi secara aktif memberdayakan seluruh unsur dan komponen-komponen sekolah untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Didalam konsep efektifitas yang terpenting bagi sebuah organisasi sekolah adalah bagaiman sekolah itu mampu menciptakan suasana kerja dimana para guru, siswa, tenaga kependidikan, stekholder dan kepala sekolah tidak hanya dapat melksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya akan tetapi jauh lebih besar lagi sebuah sekolah dapat membuat suasana agar semua pekerja dan pengguna kerja lebih fleksibel, bertanggung jawab, bertindak secara kreatif, dengan suasana batin yang lebih nyaman demi peningkatan efisiensi dalam usahanya untuk mencapai tujuan.
Dengan suasana batin yang lebih nyaman akan memotivasi seluruh unsur sekolah lebih leluasa dalam melaksanakan seluruh program sekolah untuk mencapai tujuan maka akan melahirkan tingkat produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Produktifitas merupakan suatu perbandingan nilai yang terbaik dari hasil yang diperoleh dari output sekolah dengan jumlah sumber yang digunakan dalam pemberdayaan imput. Output yang dimaksud adalah kelulusan siswa yang dihasilkan benar-benar dapat menjadi daya saing kuat dan bermanfaat dalam percaturan pasar. Sedangkan imput yang dimaksud adalah seluruh komponen yang digunakan selama proses untuk memproduksi output yang meliputi guru, peralatan, perlengkapan, uang, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sekolah tidak memenuhi unsur produktifitas bila memiliki sarana prasarana yang lengkap, tenaga pendidik dan kependidikan yang profesional, mengeluar-kan biaya yang besar akan tetapi hasil produksinya hanya menjadi beban dan bahkan hanya menjadi sumber masalah bagi masyarakat.
Agar efektifitas dalam pengelolaan sumber daya sekolah yang seimbang dengan produktifitas sekolah yang memuaskan kebutuhan pembangunan masyarakat maka prinsip efisiensi perlu dikembangkan. Efisiensi merupakan kekuatan penyeimbang antara efektifitas dengan produktifitas. Simon dan Engkuswara (Aan Komariah, 2009, h. 18)menjelaskan makna efisiensi yang bermuara pada sebuah perbandingan antara tenaga dan hasil, pembelanjaan dan masukan, biaya dan kesenangan dimana terciptanya suatu kondisi sekolah yang dengan sendirinya akan muncul kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak dan pembiayaan, waktu serta tenaga yang sekecil mungkin untuk mendapatkan produktifitas hasil yang lebih besar dan dapat diterima oleh masyarakat secara luas.
Dari konsep efisiensi ini akan melahirkan berbagai ide dan kreasi baru bagi setiap individu yang ada dalam sebuah organisasi sekolah. Ide dan pikiran-pikiran yang dilahirkan oleh setiap komponen sekolah itu merupakan sebuah konsep baru yang perlu di kembangkan sebagai sebuah inovasi bagi sekolah. Dengan ide dan kreasi komponen sekolah akan melhirkan keragaman dan nuansa yang lebih dinamis shingga upaya untuk mencapai produktifitas sekolah akan lebih terwujud secara efektif dan efisien. Oleh karena itu sebuah inovasi yang berkembang dalam organisasi sekolah harus memenuhi karakteristik inovasi seperti yang disebutkan Rogers (Aan Komariah, 2009, h. 21) yaitu memberi dampak keuntangan yang ekonemis, mengandung unsur kesesuaian dengan nilai-nilai dan kebutuhan semua unsur sekolah, memiliki tingkat complexity yang rendah dalam penerimaannya, dapat diterima secara cepat, dan mudah diamati dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu inovasi harus dapat memberi dampak ekonomis dan bernilai guna dalam mewujudkan produktifitas sekolah yang lebih berkualitas. Inovasi jauga harus bersifat kompleks dan dapat diterima secara cepat oleh penggunanya. Dan pada akhirnya sebuah inovasi harus dapat membukrtikan sebuah keunggulan yang kompetitif.
Bila unsur-unsur pendukung sekolah benar-benar difungsikan secara baik dengan menggunakan prinsip efektifitas, produktifitas, efisiensi dan inovatif maka dengan sendirinya akan melahirkan suatu kualitas kehidupan kerja dalam organisasi sekolah yang lebih baik. Moralitas personal dalam kehidupan kerja yang berkualitas dapat menjamin sebuah keberlangsungan interaksi yang lebih harmonis, empati dan selalu berada pada jalur moral dan lebih etis serta sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam agama, adat istiadat dan kesantunan yang tinggi. Kulaitas kehidupan kerja juga memberi makna akan pentingnya sebuah martabat dan pertumbuhan manusia dimana dapat mendorong kita untuk dapat memahami bahwa sebuah pekerja adalah amat penting bagi kita akan tetapi dengan memperhatikan kepuasan hati bagi setiap pekerja dalam organisasi sekolah jauh lebih penting kedudkannya dalam pelaksanaan manajemen sekolah.
Apabila manajemen berbasis sekolah dapat berfungsi pada tingkatan yang maksimal, maka sebagian besar keputusan akan bergerak dari bawah ke atas dan hanya ada sedikit keputusan yang turun dari atas ke bawah. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa setiap individu akan terlibat dalam upaya pemecahan masalah yang mereka hadapi, dengan tingkat kemampuan problem solving mereka masing-masing.
Peran Pendidikan dalam peningkatan Kualitas SDM dalam pembangunan
1) Pertama; pendidikan menyiapkan manusia sebagai sumber daya pembagunan, kemudian manusia selaku sumber daya pembangunan membangun lingkungannya,
2) Kedua; manusia menjadi kunci pembangunan. Kesuksesan pembangunan sangat tergantung pada manusianya.
3) Ketiga; pendidikan memegang peranan penting karena merekalah yang mencitakan manusia pencipta pembangunan.
22
D.
MSDM untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah
Sebagai upaya untuk mengembangkan SLB ke arah yang diharapkan makadiperlukan pengelolaan yang efektif. Pengelolaan yang dimaksud adalah suatuteknis atau langkah-langkah yang tepat untuk mengembangkan sekolah agarmenjadi lembaga pendidikan yang bermutu sesuai dengan yang diharapkan.Sebagai stakeholders pendidikan anak berkebutuhan khusus tidak ada alasanuntuk mengabaikan masalah mutu dalam menyelenggarakan pendidikannya,karena dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada pasal 5 ayat 1 ditegaskan
bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang ber
mutu”.
Sesuai dengan permasalahan yang diajukan dalam makalah ini maka pembahasann selanjutnya akan menyoroti masalah manejen sumber daya manusiadi sekolah. Dengan manajemen yang baik maka sumber daya yang ada akansecara sinergi berdayaguna menuju keberhasilan suatu sekolah mencapai tujuan pendidikan yang telah dituangkan dalam kurikulum sekolah.Dengan kepemimpinan kepala sekolah sebagai manajer di sekolah semuasumber daya yang ada semestinya dikelola dengan baik. Pembenahan untukmenuju ke arah itu diantaranya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :a. Kepala sekolah diupayakan harus memiliki sikap, pengetahuan, danketerampilan sebagai seorang manajer yang harus mengelola sekolah sebagaisuatu organisasi yang bermutu demi mencapai tujuan pendidikan yang telahdituangkan dalam kurikulum sekolah. Hal ini dapat dilakukan denganmengikuti prinsip
life long education.
23
b. Personil sekolah harus mengerti dan menguasai tugas dan fungsinya, yaitumelalui pembinaan-pembinaan, diklat, seminar, diskusi, dan sejenisnya.c. Adanya pembagian tugas yang baik kepada semua personil sekolah. Artinya pembagian tugas itu dilakukan secara tepat (
the right man on the rihgt place
)serta tugas-tugas tersebut dilaksanakan sebaik-baiknya dengan penuh tangung jawab.d. Dilaksanakannya fungsi-fungsi manajemen dengan baik mulai dari
planning,organizing, actuating, controling, dan evaluating.
Untuk membina bidang ketenagaan secara khusus maka perlu dikelola denganmenerapkan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Untuk lebih jelasnyatentang MSDM kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan dibahas padauraian-uraian di bawah ini.
1.
Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah bagian dari ilmumanajemen yang secara khusus mengelola tentang pengaturan peranan sumberdaya manusia dalam kegiatan organisasi, dalam hal ini sekolah. Hal ini berkaitandengan sumber daya manusia dalam proses pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat penting, baik itu guru maupun tenaga administratif. Olehkarena itu, sumber daya manusia dalam dunia pendidikan di sekolah khususnyamemerlukan pengelolaan dan pengembangan yang baik sebagai upayameningkatkan kinerjanya, agar mereka dapat memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Meningkatnya kinerja sumberdaya manusia akan berdampak positif pada kinerja suatu lembaga dalam
24
menjalankan peranannya. Meningkatnya kinerja sumber daya manusia bukanlahsesuatu yang dapat terjadi dengan sendirinya, namun memerlukan pengelolaanyang terencana, sistematis dan terarah agar proses pencapaian tujuan organisasidapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Ini berarti bahwa MSDMmerupakan hal yang sangat penting dalam upaya mengelola sumber daya manusiaguna membentuk tenaga-tenaga yang profesional untuk kepentingan proses danhasil pendidikan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pengertian MSDM yangdikemukakan oleh Hasibuan dalam Ratama Arifin (Tersedia :http//fhinzzoepoe.wordpress.com) sebagai berikut :
”
Manajemen sumber dayamanusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agarefektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan
masyarakat.”
Dalam definisinya Hasibuan menekankan bahwa MSDMmerupakan ilmu dan seni untuk mengatur sumber daya manusia secara efektif danefisien dalam suatu organisasi guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.Sejalan dengan definisi MSDM tersebut di atas dikemukakan oleh Nitisesmito (Tersedia : http//www.propotenzia.com) sebagai berikut :
“Manajemen
adalah suatu ilmu dan seni untuk mencapai tujuan melalui kegiatan
orang lain.” Dalam definisi tersebut mengandung pengertian bahwa untuk
mencapai tujuan organisasi, baru dapat terwujud apabila ada kerjasama dari semuaorang sebagai anggota organisasi. Namun demikian untuk menciptakan kinerjayang baik dari semua personil maka harus dilakukan suatu pengelolaan yaknimelalui MSDM.
Dengan demikian dalam konsep manajemen sekolah unsur-unsur pendukung sekolah sebagai komponen penting harus dikelola secara baik dan diberdayak secara efektif, produktif, efisien dan inofatif agar kulaitas kehidupan kerja dapat diwujudkan dalam kehidupan organisasi sekolah maka akan mendorong terciptanya surplus dan moral kerja yang baik dalam budaya kehidupan sekolah. Unsur-unsur penting yang menjadi komponen utama sekolah yang harus diperhatikan dalam pengembangan manajemen sekolah seperti yang disebutkan E. Muliyasa adalah Kurikulum dan program pengajaran, Tenaga pendidik dan kependidikan, pengelolaan hubungan sekolah dengan masyarakat, serta manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 yang dikutip di dalam bukunya Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, menyebutkan bahwa pendidikan yang dikelola sebuah lembaga pendidikan harus memenuhi standar nasional pendidikan yang meliputi standar isi, proses, kompetensi kelulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasaran, pengelolaan, pembiyayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
9 Lihat Hasbullah, M.Pd, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (1997)
|
Bila dihubungkan dengan pandangan E. Muliyasa diatas maka yang lebih terpenting yaitu bagaimana manajemen sekolah dapat mengelola semau standar tersebut sesuai kondisi masing-masing sekolah. Sekolah tidak dapat memaksakan dirinya harus memenuhi seluruh standar yang telah ditetapkan dalam pasal 35 tersebut, akan tetapi yang terpenting bagi sekolah adalah bagaimana sekolah mampu memberdayakan semua komponen yang dimilikinya secara efektif, produktif, efisien dan inovatif guna menumbuhkan kualitas kehidupan kerja sehingga terbentuk budya sekolah yang sehat dan dinamis. Bila sekolah teramat jauh menentukan target yang tidak berimbang pada kondisi objektif sekolah maka akan menjadi beban yang amat berat bagi orang tua dan masyarakat. Hal ini akan mengakibatkan jumlah putus sekolah menjadi meningkat dan tingkat pengangguran yang semakin tingga dan selanjutnya menjadi beban bangsa maka tentu tingkat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakngan masyarakat Indonesia dan umat Islam secara khusus juga menjadi meningkat.
D. Biaya Pendidikan Dalam Memenej Sekolah Efektif.
Memasuki era reformasi segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara telah berubah paradigmanya, termasuk bidang pendidikan. Konsep sentralisasi yang menjadi basis kebijakan pelaksanaan pemerintahan negara ini dinilai telah merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sentralisasi juga telah mengebiri peran daerah diseluruh aspek pembangunan secara mandiri dan otonom memberdayakan potensinya untuk membangun dan mensejahterakan kehidupan yang lebih baik. Menyertai perubahan tersebut dunia pendidikanpun ikut merubah paradigma lama dalam konsep kebijakannya dengan konsep baru yang menyertai lahirnya otonomisasi daerah-daerah yang berpusat pada kebijakan desentralisasi.
Melalui konsep desentralisasi ini semua aspek pembangunan menjadi kewenangan daerah dalam menentukan semua kebijakannya dan merencanakan berbagai strategi dalam kerangka sebuah perubahan yang berpihak pada pengembangan dan pemberdayaan potensi daerah demi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang ada didaerahnya masing-masing. Paradigama baru pendidikanpun ikut merubah konsep kebijakan. Dengan desntralisasi maka sekolah memiliki kewenangan lebih leluasa dalam menyususn segala kegiatannya sesuai kondisi dan kemampuan sekolahnya masing-masing. Dengan demikian maka lahirlah apa yang disebut Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), meskipun hingga kini masih terdapat penafsiran beragam dengan manifestasinyapun akan muncul dengan keragaan pula sesuai karakteristik daerah, koitmen pembuat keputusan dan potensi sekolah. Betapa tidak terjadi defiasi yang berlebihan dimana masih banyak sekolah di daerah yang belum siap dari aspek ketenagaannya, sarana prasarananya, bahkan dari aspek pembiayaanpun sangat minim membuat kebijakan dan pengelolaan program sekolah semakin tidak stabil. Hal inilah yang dapat menyebabkan lahirlah sejumlah masalah yang dihadapi pendidikan nasional dewasa ini.
Selain itu kemampuan manajemen sekolah juga sangat minim dalam mengelola sumberdaya sekolah mengakibatkan sekolah memiliki visi, misi dan program yang tidak jelas sehingga dapat mengaburkan tujuan sekolah yang ingin dicapai. Kekaburan makna dalam pengelolaan manajemen sekolah ini pula membuat sekolah tdak mampu mensinergikan antara kebutuhan yang strategis dan prioritas dalam menyusun program sekolah dengan kemampuan finansial sekolah dalam konsep pengelolaan anggaran yang berimbang. Dalam kerangka inilah maka sekolah dituntut untuk menyusun anggaran sekolahnya pada setiap awal tahun pelajaran yang disebut RAPBS yang disesuaikan dengan kemampuan dan sumber pendapatan secara rasional agar lembaga sekolah dapat berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang berorintasi pada pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang berorintasi pada pelayanan pendidikan bagi seluruh rakyat.
Dalam aspek ketidakmampuan manajemen sekolah dalam mengelola sekolah yang didasarkan pada minimnya pendanaan di sekolah, juga kerap kali ditemukan diberbagai sekolah akan adanya distorsi dan deviasi penggunaan anggaran mengakibatkan sekolah mengalami kesulitan dalam mengembangkan programnya dan bahkan sering kali muncul konflik dan hubungan yang disharmonis antara pihak manajemen sekolah dengan seluruh raw input terutama guru dan tenaga kependidikan lainnya. Dan pada akhirnya proses penyelenggaraan pendidikan di sekolahpun menjadi terganggu dan dapat mempengaruhi secara langsung kinerja dan kualitas pembelajaran di sekolah. Sebagai contoh misalnya terdapat beberapa sekolah di daerah terpencil lebih banyak menggunakan anggaran sekolahnya untuk kepentingan perjalanan dinas kepala sekolah, atau contoh lain misalnya masih banyak sekolah SD dan SMP yang walaupun telah mendapat dana BOS dengan jumlah yang cukup signifikan namun tetap memberlakukan biaya tambahan dari orang tua sebagai alasan adanya wujud partisipasi orang tua dan masyarakat terhadap sekolah.
Mengacu pada sistem anggaran sekolah yang berimbang yang disesuaikan dengan terbatasnya kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki sekolah maka dalam menyusun RAPS perlu digerakkan oleh visi dan misisnya yang jelas dan disertai dengan implemen-tasi programpun harus sesuai dengan prinsip efektifitas, produktifitas, dan efisiensi biaya. Dalam konteks ini maka Osborne dan Gaebler (Sudarwan Danim, 2009) berpendapat bahwa khusus untuk sekolah dalam pengelolaan anggarannya perlu didasarkan pada konsep anggaran yang digerakkan oleh visi dan misi sekolah yang berorientasi pada:
1. Mendorong kepada setiap komunitas sekolah untuk menghemat uang.
2. Membebaskan komunitas sekolah untuk menguji berbagai gagasan baru.
3. Memberikan otonomi kepada unsur manajemen sekolah untuk merespons setiap kondisi lingkungan yang berubah.
4. Memberikan peluang kepada komunitas sekolah untuk dapat menciptakan lingkungan yang secara relatif dapat diramalkan.
5. Menyederhanakan proses anggaran.
6.
10 Lihat Osborn dan Geabler dalam Prof. Dr. Sudarwan Danim, 7 konsep anggran yang digerakan oleh visi dan misi sekolah Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke lembaga akademik,Juli 2008.
|
7. Menghemat dana untuk auditor atau belanja pegawai yang kurang relefan.
8. Membebaskan komunitas sekolah dari belenggu pengucuran dana yang tidak relevan dengan tugas pokok persekolahan.
Kesadaran untuk mewujudkan institusi pendidikan sebagai sekolah yang totalitas bertanggung jawab terhadap mutu tertinggi dari proses dan produk yang dihasilkan oleh sekolah harus diprioritaskan oleh semua manajemen sekolah. Dan ini hanya terwujud pada kepala sekolah yang memiliki tingkat profesinalitas yang tinggi yang dalam dunia kerjanya senantias didasarkan pada niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhoaan dari Allah SWT. Dalam konteks inilah maka seluruh komponen sekolah hanya menjadikan sekolah sebagai wujud dari sebuah pengabdian dengan hanya mencari kemuliaah hidup di sisi Allah SWT bukan materi hingga ia akan mendapat derajat ketaqwaan.
Agar anggaran sekolah selalu berimbang yang didasarkan pada perinsip efisiensi dan efektifitas serta berorientasi pada anggaran yang digerakkan visi dan misis sekolah maka dalam penyusunannya harus disesuaikan dengan rencana kegiatan dan program yang telah disusun dan kemudian disesuaikan dengan jumlah biaya yang diperkirakan akan dapat diperoleh untuk membiayaai beban kegiatan dimaksud. Dalam penyususnan anggaran perlu dihindari pemahaman bahwa perlu menyususn kegiatan yang kemudian menjadikan sumber pendapatan sekolah tertentu yang dibebankan untuk membiayainya. Bila pendekatan seperti ini terjadi maka tidak heran kemudian program itu akan menjadi beban orang tua atau masyarakat yang sesungguhnya secara ekonomis tidak dapat memenuhi tuntutan sekolah. Untuk itu maka langkah-langkah yang ditawarkan oleh Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A, dkk yang perlu diikuti dalam merencanakan penyususnan RAPBS secara berurut sebagai berikut: 1) Menginfentarisasi rencana yang akan dilaksanakan; 2) Menyusun rencana berdasarkan skala prioritas pelaksanaannya; 3) Menentukan program kerja dan rincian program kerja; 4) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program; 5) Menghitung dana yang dibutuhkan; 5)Menentukan sumber dana yang telah ada untuk membiayai rencana kegiatan yang telah ditetapkan.
Hal yang paling penting dalam penyususnan rencana angaran sekolah adalah menyesuaikan jumlah pendapatan yang dimiliki sekolah dengan program-program yang direncanakan. Oleh karena itu dalam penyususnan program hrus benar-benar mengidenti-fikasi program yang harus diprioritaskan dan program yang perlu ditunda. Tentu program tersebut harus lebih menyentuh pada aspek pengelolaan sistem sekolah pada komponen imput yang sangat esensial dalam mendukung aspek sistem sekolah dari komponen proses sehingg pada akhirnya dapat mendukung aspek sistem output yang berkualitas. Untuk itulah maka pada langkah keempat dalam penyususnan RAPBS yang disebutkan Muhaimin dkk adalah menentukan seberapa penting kebutuhan rincian program yang telah disusun tersebut untuk kepentingan peningkatan mutu output pendidikan. Dari rincian kebutuhan yang telah dianalisis tersebutlah baru akan dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu menghitung kebutuhan biaya yang akan diperlukan dan disesuaikan dengan sumber pendapatan sekolah.
Yang menjdi persoalan umumnya adalah sekolah cendrung memaksakan program yang notabene program tersebut dipaksakan untuk dibiayai oleh orang tua siswa dengan alasan adanya partisispasi orang tua, peningkatan mutu sekolah atau diprogramkan oleh dinas terkait. Padahal program-program yang dilaksanakan tersebut bila dianalisis lebih dalam maka sesungguhnya kurang bahkan tidak menyentuh aspek pemberdayaan input –proses dan output sistem sekolah. Dari konsep inilah maka tidak salah ada sebagian orang menyatakan bahwa sesungguhnya uang yang menjadi beban sebuah program sekolah itu tidak terlalu penting walaupun dalam pelaksanaan program tersebut dibutuhkan pembiayaan. Akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana manajemen sekolah mampu menciptakan suatu kondisi sekolah yang sehat dan dinamis sehingga seluruh unsur sistem dalam komponen raw input termotivasi untuk melukukan inovasi-inovasi baru dalam setiap kegiatan cendrung bersifat efektif dan efisien dengan dasar niat yang ikhlas dan kesadaran akan mencari nilai ibadah kepada Allah SWT.
Memahami tentang sumber-sumber anggaran juga penting artinya dalam menyusun RAPBS. Karena dengan memahami sumber-sumber anggaran dan fungsi penggunaannya maka kita dapat menempatkan penggunaan dana tersebut untuk membiayai program yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan sumber anggaran tersebut maka E.Muliyasa menjelaskan sebagai berikut: 1) Dana langsung yaitu dana yang langsung digunakan untuk oprasional sekolah untuk kepentingan pelaksanaan proses belajar-mengajar. 2) Dana tidak langsung yaitu beban yang dikeluarkan oleh peserta didik untuk menunjang kelancaran-nya dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah; 3) Dana pembangunan yaitu dana yang bersumber dari dana langsung yang digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarna sekolah; 4) Dana rutin yaitu dana yang bersumber dari dana langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan oprasional pendidikan selama satu tahun pelajaran; 5) Dana masyarakat yaitu dana yang dikeluarkan masyarakat untuk kepentingan pendidikan berupa uang sekolah, uang buku uang kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler.
Di dalam dana langsung ada disebut dana pembangunan dan dana rutin. Dengan di dasarkan pada UU. Nomor 20 Tahun 2003 maka sesungguhnya antara sekolah negri dan sekolah swasta telah disamakan kedudukan, hak dan kewajibannya dalam perlakuan pembiayaan pendidikan. Oleh karena itu untuk memenuhi kekuranagan sarana prasaran dan prasarana sekolah perlu dipertimbangkan kemampuan masyarakat dalam hal penga-daannya, karena ini sudah menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai PP. Nomor 19 Tahun 2005 yang berhubungan dengan Standar Nasional pendidikan bidang sarana prasarana. Selain itu sekolah juga harus memiliki komitmen proaktif dalam pelaksanaan anggaran pembangunan yang didapatnya, sehingga setiap paket pembangunan harus disisihkan sebagian kelebihan biayanya untuk menjadi sumber paendapatan sekolah. Bila ini yang dilakukan maka post pada dana yang menjadi beban masyarakat atau orang tua sedikit dikurangi.
Pada aspek lain sekolah juga memiliki dana rutin yang bersumber dari bantuan pemerintah daerah dalam bentuk dana pendidikan daerah ataupun dana bantuan pusat yang disebut dana bantuan oprrasional sekolah (BOS), bantuan oprasional manajemen mutu (BOMM), dana bantuan khusus murid (BKM) dana bantuan laife skil dan masih banyak sumber dana lainnya yang diberikan melalui dana rutin. Sayangnya sebagian besar manajemen sekolah tidak memeiliki kemampuan untuk mengatur dan memberdayakan sumber-sumber tersebut sehingga pada setap tahun anggaran sekolah dalam melaksanakan APBS-nya sering mengalami defisit, dan defisit itulah kemudian dipaksakan menjadi beban masyarakat atau orang tua. Hal inilah yang emneybabkan angka putus sekolah bagi anak usia sekolah dinegara kita semakin tinggi.
Dengan memahami kajian tersebut maka dapat dipastikan bahwa pokok persoalan yang ada dalam manajemen sekolah bukan karena kurangnya sarana prasarana, atau sekolah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk membiayai program sekolah akan tetapi seberapa besarkah pihak manajemen sekolah memiliki kemampuan untuk mengelola sumber pendapatan dan keuangan sekolah tersebut dalam membiayai program dan kegiatan sekolah tersebut. Selain itu sampai sejauhmanakah kemampuan kepala sekolah mengelola raw imput sehingga mereka dengan sadar memberdayakan diri untuk melaksanakan tugas dan berperan dalam kehidupan persekolahan baik di dalam maupun diluar sekolah. Pada akhirnya pihak manajemen sekolah juga dituntut untuk mensinergikan semua program sekolah dengan mengacu pada skala prioritas untuk memenuhi berbagai tuntutan dan menyesuaikannya dengan perkembangan dan perubahan sebagai dampak dari tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi.
E. Guru Yang Berkualitas Dalam Organisasi Sekolah Yang Efektif.
Sekolah efektif adalah menjadi harapan kita semua, menjadi harapan pemerintah, harapan pihak manajemen sekolah, harapan guru dan tenaga kependidikan, harapan siswa dan harapan stekholder. Betapa tidak, bahwa pada sekolah efektif ini bukan persoalan material yang menjadi tujuan utama bagi seluruh komponen sekolah, akan tetapi kepuas-annya dalam mendapatkan pelayanan yang menjadi target yang paling utama.
Guru merasa nyaman melaksanakan tugasnya disekolah dan termotivasi untuk berperan dalam kegiatannya diluar sekolah dalam membimbing siswa. Siswa merasa nyaman untuk belajar disekolah sehingga termotivasi untuk selalu tetap hadir b di sekolah setiap hari. Seluruh tenaga kependidikan melaksanakan seluruh tugasnya untuk melayani semua kebutuhan pelanggang. Dengan demikian pihak manajemen sekolahpun secara leluasa dengan prinsip demokratis melahirkan berbagai ide dan kebijakan cerdas untuk memngembangkan program dan kegiatan sekolah. Dan lebih penting lagi seluruh stekholder merasa optimis dan tidak ragu-ragu ikut berpartisipasi dalam memajukan sekolah.
11 Lihat Peter Shenge, Disiplin Kelima Strategi dan Alat untuk Membangun Organisasi Pembelajaran(2002).
|
Agar organisasi sekolah dapat dimanej secara baik maka Peter Shenge menawarkan konsep organisasi pembelajaran perlu diberlakukan dalam manajemen organisasi sekolah sehingga efektifitas sekolah dapat berjalan secara baik, berkualitas dan bermutu. Konsep penerapan organisasi pembelajaran dimaksud adalah seperti dijelaskan oleh Peter Shenge di dalam bukunya berjudul The Fifthy Dicipline, yaitu dengan menerapkan 5 prinsip pembelajaran dalam mengorganisasikan setiap lembaga usaha termasuk sekolah yang meliputi:
1. Keahlian Pribadi yaitu meningkatkan kapasitas pribadi untuk menciptakan hasil yang paling kita inginkan dan menciptakan suatu lingkungan organisasi yang selalu mendorong semua anggotanya untuk mengembangkan diri.
2. Model Mental yaitu sikap merenungkan, mengklarifikasi dan memperbaiki gambaran-gambaran internal terhadap masalah eksternal untuk membentuk tindakan dan keputusan yang kita ambil.
3. Visi Bersama yaitu membangun suatu rasa dan komitmen bersama dalam suatu kelompok dengan gambaran yang sama terhadap masa depan yang ingin dicapai secara bersama dengan menggunakan praktek-praktek penentu.
4. Pembelajaran Tim yaitu mengubah keahlian percakapan dan berpikir dari individu ke keahlian kolektif sehingga secara berkeompok dan bersama-sama mengemb-angkan kecerdasan dan kemampuan untuk mencapai tujuan.
5. Pemikiran Sistem yaitu cara berpikir untuk menguraikan dan memahami kekuatan dan hubungan antar-pribadi untuk membentuk prilaku sistem ehingga dapat mendorong sebuah tindakan yang selaras dengan proses untuk mencapai tujuan.
Dalam konsep manajemen yang lebih profesional dalam mengelola organisasi untuk mencapai tujuan secara maksimal dan efektif maka model pembelajaran dalam berorgani-sasi seperti yang ditawarkan Peter Shenge sangat penting untuk diterapkan. Dalam hal ini seorang kepala sekolah harus memiliki keahlian pribadi untuk menciptakan lingkungan sekolah dimana seluruh raw imput harus mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya. Selain itu seorang kepala sekolah harus mampu mengelola emosi dan kemampuan dirinya untuk membentuk model mentalnya yang baik sehingga mampu memahami dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi objektif yang ada dalam kehidupan persekolahan. Agar kemampuan keahlian pribadi dan model mental dapat dimanifestasikan secara baik maka kepala sekolah harus dapat melahirkan sebuah gagasan yang menjadikan sebuah komitmen bersama dalam bentuk visi dan misi sekolah secara bersama serta membangun suatu konsep kerja dengan sistem team untuk mewujudkan visi dan misi sekolah tersebut. Kunci pokok dari keberhasilan sebuah keahlian pribadi, model mental, visi bersama dan pembelajaran tim adalah terletak pada bagaiman kemampuan kepala sekolah untuk memanej suatu pemikiran secara sistem sehingga setiap individu dalam sekolah mampu memhami karakter dan sifat individu yang lain dalam melaksanakan program sekolah.
Optimisme kita sangat penting dalam mewujudkan sekolah yang efektif bila konsep pembelajaran berorganisasi dapat kita terapkan dalam mengelola sistem organisasi sekolah. Pendapat senada dengan Peter Shenge yaitu E. Mulyasa yang menjelaskan bahwa berdasarkan teori sistem maka sekolah yang efektif harus mencerminkan keseluruhan siklus imput-proses-output, tidakhanya output atau hasil saja, serta harus mencerminkan hubungan timbal balik antara manajemen pihak sekolah dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Lebih jauh lagi Thomas (E. Mulyasa, 2009, h. 83) mengungkapkan tentang efektifitas sekolah dalam kaitannya dengan produksi sekolah atau output lulusan dapat berfungsi ditengah masyarakat maka ada tiga dimensi penting yang harus dipenuhi agar menjadi sekolah yang efektif yaitu: 1) Segi output sekolah dilihat dari keluaran administrasi yaitu suatu pelayanan baik dan maksimal yang diberikan dalam suatu proses pendidikan; 2) Segi output sekolah dilihat dari aspek prilaku yang dilakukan oleh perta didik dimana kemampuan peserta didik dalam mengamalkan nilai-nilai yang telah didapatnya dalam proses pembelajaran; dan 3) Segi keluaran ekonomis yang berhubungan dengan pembiayaan layanan pendidikan yang dikeluarkan dengan perolehan yang ditimbulkan atas layanan tersebut diukur dari aspek ekonomi.
Sesuai pendapat tersebut maka sekolah efektif tidak terfokus pada seberapa banyak imput yang diterima oleh sekolah yang berbanding dengan seberapa besar tingkat kelulusan yang dikeluarkan oleh sekolah, akan tetapi konsep sekolah efektif adalah bagaimana sekolah mampu mengembangkan konsep pemberdayaan sekolah dalam aspek pelayanan sehingga seluruh unsur sekolah baik guru, manajemen sekolah, tenaga kependidikan, siswa maupun stekholder lainnya merasa nyaman dan memiliki kesadaran yang utuh dalam kerja sama membangun sekolah tersebut. Dengan pelayanan yang menyenangkan akan mendorong pihak sekolah untuk memproses siswa secara berkualitas dan dapat berpengaruh pada ketercapaian tiga dimensi keberhasilan seperti yang dikemukakan oleh Thomas diatas. Berkaitan dengan dimensi dan konsep efektifitas sebuah sekolah maka Prof. Dr. Sudarman Danim menyebutkan beberapa kriteria sekolah yang efektif yaitu: 1) Mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas tentang apa yang harus diketahui dan dikerjakan siswa; 2) Mengembangkan secara tepat pembelajaran menurut standar potensi yang dimiliki oleh siswa; 3) Siswa dapat mengambil peran tang-gungjawab dan berprilaku positif; 4) Mempunyai instrumen evaluasi dan penilaian prestasi yang jelas; 5) Menggunakan metode pembelajaran yang profesional; 6) Mengkre-asikan lingkungan untuk mendukung kegiatan pembelajaran; 7) Membuat keputusan yang demokratis dan akuntabilitas untuk kepuasan pengguna; 8) Menciptakan rasa aman dan sifat saling menghargai dalam lingkungan yang efektif; 9) Mempunyai harapan yang tinggi kepada semua staf; 10) Secara aktif melibatkan keluarga untuk membantu siswa dalam meraih kesuksesan; dan 11) Bekerja sama dengan seluruh stekholder dalam mewujudkan tujuan sekolah.
Pada akhirnya sekolah yang efektif bukanlah sekolah yang dapat meluluskan siswa 100 % pada setiap tahun dan atau sekolah yang memiliki sarana dan parasarana sekolah yang lebih lengkap. Akan tetapi dengan srana parasarana yang ada sekolah mampu mengelolanya sedimikian rupa sehingga proses yang berlangsung dalam sekolah tersebut dapat berjalan secara sehat dan dinamis. Proses tersebut akan mendorong kesadaran siswa secara aktif melaksanakan budaya belajar dan dengan budaya belajar tersebut siswa secara sadar memahami seluruh bahan yang dipelajari dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi manusia yang dapat hidup manidir serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya untuk kemaslahatan hidupnya dan kemaslahatan masyarakat yang ada disekitarnya. Maka sangat tepat apa yang dijelaskan oleh Bill Crech bahwa untuk membangun sekolah yang efektif dan bermutu maka perlu mengkonstruksikan lima pilar utama untuk mewujudkan output dan outcome pendidikan yang lebih baik yaitu pilar produk, proses, organisasi, pemimpin dan komitmen. Dimana produk merupakan titik pusat tujuan pencapaian organisasi, yang didapat melalui proses yang berkualitas. Organisasilah yang berperan dalam proses tersebut yang dikelolah oleh manajemen atau pemimpin yang profesional. Dan tentu pemimpin itu harus mendapat dukungan dan komitmen yang kuat dari seluruh unsur yang terlibat dalam proses tersebut25. Dengan memahami konsep pemberdayaan untuk mengefektifkan lima pilar tersebut maka produktifitas yang dihasilkan sekolah melalui proses yang dikelolah sebuah organisasi sekolah di bawah kepemimpinan yang didukung sepenuhnya oleh seluruh unsur yang terlibat dalam proses dimaksud.