Monday, 20 March 2017

STRATIFIKASI MASYARAKAT MADURA




STRATIFIKASI MASYARAKAT MADURA

ARTIKEL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Budaya Madura
Yang diampu Oleh Bapak Moh.Hafid Effendy, M.Pd

Oleh:
Royhanatus Sakinah 20160701040195
Moh. Jamaluddin Setiady 20160701040141
Khairun Nisyak 20160701040097








PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2017


RINGKASAN
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji, orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya. Selain itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat bahkan Prof. Dr Deliar Noer menyebutkan :Madura adalahbenteng Islam di Indonesia sebab kekentalan agamis masyarakat dan akar faham yang sangat kuat sekalipun kadang melakukan ritual Pethik Laut atau Rokat Tasse (sama dengan Larung Sesaji).
Jadi tidak perlu heran jika Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka Madura adalah Serambi Madinah-nya. Tak banyak daerah yang mendapat kehormatan dilekati label istimewa ini. Dari kedua atribut tersebut dengan mudah terlihat posisi dan kultur yang khas, yakni kelekatannya dengan tradisi keislaman, bahkan menurut Rasul Junaidy suku Madura memiliki tiga nilai yang sangat menjadi acuan berpikir dan bertindak, ketiga nilai tersebut di tuangkan kedalam unsur-unsur prilaku kehidupan sehari-hari yaitu :
Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini Nampak dari ungkapan ta’tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah :pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao acaca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tau saatnya berbicara). Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama  dalam setiap tindakannya.
Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata karma yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagasse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube’, ma’celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya).
Dasar utama dari niali-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial.
Kehormatan
Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. Contohnya ungkapan madu ben dara  (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.
Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesame manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat Nampak dari ajaran ja’ nobi’ oreng mon aba’na e tobi’ sake’ (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri sendiri merasa sakit jika disakiti orang).[1]
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate’ (obatnya malu adalah mati). Lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air.

Agama
Simbol keagamaan yang sringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kyai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati.
Kepemimpinan yang dipandang para kyai adalah bersifat berpengarug penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal diluar pulau Madura. Namun tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak ahwal yang sering ‘membidani’ perbedaan mencolok dengan etnis lain, salah satunya adalah harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa “Lebbi Bagus Pote Tollang, atembeng Pote Mata”. Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), tradisi carok juga berasal dari sifat itu[3]
















PENDAHULUAN
Suku bangsa atau etnisitas adalahsuatu golongan manusia yang anggota – anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak pulau tentulah memiliki banyak suku atau etnis pula sebab pasti dari jumlah pulau maupun suku tersebut pastilah ada perbedaan yang menimbulkan ketidaksamaan identitas  dan ciri khas. Antara suku satu dan suku yang lainnya pastilah muncul adanya masyhurul ahwal baik dari segi sejarah, system teknologi, mata pencaharian, kesenian dan agama. Maka sehubungan dengan tugas paper mata kuliah peradapan islam, maka kami susun warna warni etnisitas Madura yang merupakan suku penulis. 

PEMBAHASAN
Pada umumnya orang-orang yang belum mengenal masyarakat Madura yaitu orang-orang yang di luar pulau Madura, orang-orang itu cenderung beranggapan bahwa Madura itu gersang, tandus, serta orang-orangnya keras sulit untuk diajak kompromi. Pokoknya hal-hal yang negative sering diarahkan kepada masyarakat Madura, utamanya bagi orang Madura yang diperantauan. Tapi kenyataan ini tidak semuanya benar kebanyakan hanya isu-isu saja.
Pulau Madura terdiri dari empat kabupaten yaitu :
Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep. Letaknya ditimur laut pulau jawa dengan koordinat 7o lintang selatan antara dan 112o dan 114o bujur timur. Panjang pulau Madura kurang lebih 190 km jarak terlebar kurang lebih 40km, luasnya keseluruhan kurang lebih 5.304km.
Tingginya dari permukaan laut yaitu 2 meter sampai dengan 350 meter, ketinggian yang paling rendah didaerah pantai. Daerah-daerah yang tersebar di bagian tengah pulau berupa deretan pegunungan-pegunungan kecil.
Pulau-pulau kecil yang berada di kepulauan Madura mencapai lebih dari 100, diantara Pulau tersebut ada yang tidak berpenduduk.

Stratifikasi sosial / pelapisan masyarakat Madura :
-          Oreng kene’ : sebagai lapisan terbawah yaitu masyarakat yang biasanya bekerja sebagai petani, nelayan, pengrajin, dan orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.
-          Ponggaba : yaitu orang yang bekerja normal terutama di instansi kantor pemerintah.
-          Perjaji : yaitu orang yang bekerja dalam lapisan teratas.

Perjaji ada 2 macam pengertiannya :
1.      Orang-orang yang masih keturunan raja di Madura pada saat itu. Biasanya tingkatan gelar ke Bangsawanan nya seperti RA-RP-RB-R.mas-R (untuk laki-laki) R.Ayu/R.Ajeng, R.roro (untuk wanita)
2.      Orang-orang berpangkat menengah sampai dengan tinggi pada saat Pemerintahan Belanda, seperti Asisten Wedana (camat) – Wedana Patih – Kanjeng / Bupati, dsb.




Stratifikasi sosial di lingkungan masyarakat Agama/pesantren :
1.      Keyae yaitu orang yang dikenal sebagai pemuka agama (ulama) karena mempunyai banyak ilmu agama islam. Selain itu juga sebagai pembina, penerus, pengajar ajaran nabi pada santri-santrinya.
2.      Bindarah yaitu orang yang telah mentamaatkan pendidikan di dalam pondok pesantren, dan mempunyai ilmu yang banyak atau cukup tetapi tidak setaradengan pengetahuan keaye.
Ada pula Bindarah yang sudah banyak didatangi orang untuk NYABIS terutama di Desa/Dusun yang agak jauh dari seorang Keyae.
3.      [4]Santre yaitu orang yang sedang menuntut ilmu agama di sebuah pondok pesantren.
4.      Banne santre yaitu orang yang tidak pernah menuntut ilmu keagamaan di sebuah pondok pesantren.


Tingkatan Bahasa (Dag-ondaggha Basa)
Dalam bahasa Madura kita kenal 5 tingkatan Bahasa :
1.      Bahasa Kraton = Abdi Dalem – Junan Dalem; biada digunakan di linggkungan keluarga kraton.
2.      Bahasa Tinggi = Abdina – Panjennengan; Biasa digunakan oleh ponggawa / bawahan pada atasan, baik di lingkungan kraton maupun di Lingkungan Pemerintahan, atau Santre pada Keyae.
3.      Bahasa halus = Kaula – Sampeyan; Biasa dugunakan oleh yang lebih muda pada yang lebih tua / pada yang dihormati.
4.      Bahasa menengah = Bula – Dika; Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda tetapi di hormati. Misal : Mertua pada menantunya.
5.      Bahasa Mapas / Kasar = Sengko’ – Ba’na – Kakeh – Sedeh; Biasa digunakan oleh yang lebih tua pada yang lebih muda, orang yang mempunyai posisi yang lebih tinggi pada bawahannya, dan orang yang seumur / sebaya (teman).

Kesenian Masyarakat Madura
Madura memiliki kekayaan kesenian tradisional yang amat banyak, beragam dan amat bernilai. Dalam menghadapi dunia global yang membawa pengaruh materalisme dan pragmatism, kehadiran kesenian tradisional dalam hidup bermasyarakat di Madura sangat diperlukan, agar kita tidak terjebak pada moralitas asing yang bertentangan dengan moralitas local. Berikut contoh keseniannya :
1.      Tembeng Macapat
Tembeng macapat adalah tembeng yang dipakai sebagai media untuk memuji Allah sebelum melaksanakan shalat wajib, tembeng tersebut penuh sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa. Selain berisi puji-pujian tembang tersebut juga berisi ajaran, anjuran serta ajakan untuk mencintai ilmu pengetahuan, ajaran untuk bersama-sama membenahi kerusakan moral dan budi pekerti, mencari hakekat kebenaran serta membentuk manusia berkepribadian dan berbudaya

2.      Saronen
Sarenen adalah music sangat serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingan. Walaupun sesuai dengan kepentingannya. Walaupun music saronen adalah perpaduan dari beberapa alat music, namun yang paling dominan adalah liuk-liukan alat tiup berupa kerucut sebagai alat music utama, alat music tersebut bernama saronen yang berasal dari desa Sendang Kecamatan Pragaan Sumenep dengan akar senninan (hari senin) sebab kebanyakan dilantunkan pada hari seinin.

3.      Duplang
Tari Duplang merupakan tari yang spesifik, unik dan langka. Keunikan dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupakan sebuah penggambaran kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang bekerja keras sebagai tani yang selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai.

4.      Upacara Sandhur Panthel
Upacara Sandhur Panthel merupakan sebuah upacara ritual untuk para masyarakat Madura yang berprofesi sebagai petani atau nelayan. Upacara ritual ini merupakan upacara yang menghubungkan manusia dengan makhluk gaib atau sebagai sarana komunikasi manusia dan Tuhan Pencipta Alam Semesta.

5.      Kerapan Sapi
Sebuah perlombaan dengan menggunakan sapi sebagai media, akan tetapi sekarang jangan dilakukan karena dianggap menyakiti hewan yang juga makhluk hidup. Masalah agama di Pulau Garam Madura tidak perlu di ragukan lagi kentalnya bahkan akhir-akhir ini beberapa kabupaten sedang merintis daerah berbasis syari’at islam seperti di Bangkalan dengan prakarsa R.KH.[5]















DAFTAR PUSTAKA

http://bangkalanmemory.blogspot.com/2013/10/adat-istiadat-dan-stratifikasi-social_29.html?m=1
http:lontarmadura.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-madura/orang-madura-2/


[1]http://bangkalanmemory.blogspot.com/2013/10/adat-istiadat-dan-stratifikasi-social_29.html?m=1
[2] http://bangkalanmemory.blogspot.com/2013/10/adat-istiadat-dan-stratifikasi-social_29.html?m=1