Sunday, 22 October 2017

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK


https://drive.google.com/drive/folders/0B-zJD8KL1TOoNXkxbzk1dFdMc2M?usp=sharing

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Yang di ampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I

Oleh :


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN 2017KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul: perangkat hardware komputer”.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT. yaitu agama Islam.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya karya ilmiah ini, penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun semangat penulis yang sangat penulis harapkan.
Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Moch Cholid Wardi, M.H.I selaku Dosen mata kuliah Akhlak Tasawuf yang telah membimbing dan mendidik penulis sehingga penulis menjadi siswa yang berilmu.
Semoga bimbingan dan bantuan serta dorongan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin



Pamekasan, 14 September 17
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...........................................................................1
B.     Rumusan Masalah......................................................................1
C.     Tujuan Masalah..........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Maqamat............................................................2
B.     Pengertian Ahwal................................................................7
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................10
B.     Saran.................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................11







ii





 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Tasawwuf merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian pada pembembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawwuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tinjauan analitis terhadap tasawwuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah Swt. Perjalanan menuju Allah Swt.  merupakan metode pengenalan secara rasa yang benar terhadap Allah Swt. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah Swt. walaupun ia adalah orang yang beriman secara akliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam antara iman secara akliyah atau logis.
Dalam makalah yang kami buat, disini kami tidak hanya menjelaskan tentang Maqamat dan Ahwal saja, melainkan kami akan menjelaskan bagaimana cara kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah menuju tuhan.
A.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dibuat diatas maka kami dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf?
2.      Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf?
B.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf.
2.      Untuk mengetahui apa itu ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN MAQAMAT
Ketika kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah untuk Tuhan, maka mereka harus melewati jalan panjang dengan beberapa terminal. Hal itu disebabkan karena maqamat adalah pengalaman individu atau pribadi sang sufi yang hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai derajat yang dengan Allah Swt.[1] Berikut akan dijelaskan macam-macam maqam dalam ilmu tasawwuf:
1)      Al Zuhud
Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniaan. Perilaku zuhud diteladani oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang sederhana, hidup miskin dan tidak mau bergelimang dengan harta. Sedangkan Sayyidina Abu Bakar, khalifah pertama terkanal dengan kata mutiaranya: “Saya mendapatkan kedermawanan dalam takwa, kecukupan dalam yaqin dan kehormatan dalam rendah hati”. Demikian juga Sayyidina Umar ibn Khattab juga diriwayatkan ketika beliau menjabat sebagai khalifah ketiga ummat islam, namun kesederhanaannya masih tetap nampak. Demikian juga ‘Uthman ibn Affan juga dikenal dengan  zuhud yaitu ia dengan segala kemampuan dan kekayaan yang dimilikinya menafkahkan hartanya dijalan Allah Swt.
2)      Al Taubah
Al Taubah adalah memohon ampun kepada Allah Swt. atas segala kesalahan yang telah dilakukan pada saat yang lampau, dan inilah taubat yang paling rendah.
                          
Sedangkan taubat tertinggi adalah taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan  dan kelalaian dari mengingat Allah Swt. Ketika seseorang bertaubat dari dosa-dosa yang berkaitan hubungannya dengan Allah Swt, maka harus diopenuhi persayaratan berikut:
a.       Meninggalkan kemaksiatan yang dilakukan.
b.      Menyesali perbuatan maksiat yang dilakukan.
c.       Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan makasiat yang telah dilakukan.
3)      Al-Wara’[2]
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt. Seseorang yang bersikap wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam perilakunya sehingga tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak disenangi Allah Swt. baik yang hukumnya makruh apalagi haram.
4)      Al-Faqr
Al-Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah diterima dan dianugerahi oleh Allah Swt, sehingga tidak mengharapkan atau meminta suatu yang bukan haknya. Sikap ini sangat penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Selain itu sifat al-faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang dianugerahkan Allah Swt. kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan menuntut suatu yang bukan haknya.
5)      Al-Shabr
Sifat al-shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi, karena kesabaran sangat didalam menapaki jalan menuju jalan Allah.[3] Sifat kesabaran merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulu al-‘azmi.
Seorang nabi yang terkenal sabar dalam menerima cobaan dari Allah Swt adalah Nabi Ayyub, yang ketabahannya menerima cobaan bertubi-tubi dari Allah Swt, mulai dari hancurnya kekayaannya, kematian anak-anaknya sehingga menderita penyakit yang tak kunjung sembuh dalam waktu yang lama. Namun dengan kesabarannya, beliau dapat menjalani semua itu dan menjadi nabi dan Rasul yang lulus dari ujian berat dari Allah Swt.
Dalam ajaran Tasawwuf sifat sabar dibagi tiga macam, yaitu:
a)             Sabar dalam beribadah kepada Allah Swt.
b)             Sabar dalam menjauhi larangan Allah Swt.
c)             Sabar dalam menerima cobaan dari Allah Swt.
6)      Tawakkal
Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah Swt. Dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada Allah Swt. Seorang yang bertawakkal akan selalu merasa Allah Swt didekatnya, meskipun ia diderita berbagai kesusahan dan kesedihan, dia yakin bahwa Allah Swt. sebagai maha pencipta merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang terbaik bagi kehidupannya.
Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah Swt. Sifat tawakkal ini dipraktekkan oleh para Rasul dan Nabi. Dalam riwayat kenabian, terdapat banyak kisah yang menggambarkan betapa para nabi dan rasul berjuang dan berperang dijalan Allah Swt. untuk menghadapi kaum kafir dalam menegakkan agama Allah Swt. Dengan sikap tawakkal tersebut, seseorang memiliki kekuatan yang kokoh dan tahan lama, karena ia menyandarkan segala seuatunya kepada Allah Swt, segala sesuatu yang maha menentukan.
7)      Kerelaan
Secara harfiah ridha adalah rela, suka, senang. Harun Naton
mengatakan ridho berarti tidak berusaha,tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa menimpa dirinya,seperti kemiskinan,kerugian,kehilangan barang,pangkat dan kedudukan,kematian dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya.Yang dapat bertahan dari berbagai cobaan itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha.

Dalam Hadist Qudsi, Nabi Saw. mengatakan:

اننى انا الله لا ا له الا انا من لم يصبر على بلا ثى ولم يشكر لنعما ثى ولم يرضى بقضا ثى فليخرج من تحتى سما ثى وليطلب ربا سوا ي

“Sesungguhnya Aku ini Allah Swt,tiada Tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku,tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadapkeputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain aku.”
8)      Mahabbah
Mahabbah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju keridhaan Allah Swt, karena hanya Allah Swt. yang maha besar, maha penguasa, maha suci, maha pencipta dan maha pemberi. Kecintaan kepada Allah Swt. akan mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam hati , hal ini merupakan nikmat yang terbesar dalam kehidupan seseorang.
Seorang hamba yang sangat cinta kepada Allah Swt, ia dengan senang hati rela untuk berkorban di jalan Allah Swt. dan siap menerima kemungkinan terjelek yang akan di terimanya.
Kecintaan kepada Allah Swt. sudah pasti harus di buktikan dengan mencintai kalamullah atau aya- ayatnya            baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dalam praktek ibadah sehari-hari ada beberapa amalan yang dapat mengantarkan cinta Allah Swt. yaitu :
a.       Mengamalkan kewajiban-kewajiban yang  qath’i wajib maktubah dengan memperhatikan keikhlasan dan kekhusuan, selain itu juga di upayakan membaca al-Qur’an  secara istiqomah yang di sertai dengan upaya memahami kandungan dan tafsirnya.
b.      Berusaha mengamalkan ibadah yang bersifat nawafil atau mustahab dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
c.       Selalu mengingat Allah Swt. baik dengan lisan, terutama dzikir dengan hati dalam setiap keadaan.
d.      Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Swt. dari pada dirinya ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
e.       Memahami dan mendalami dengan hati tenang nama dan sifat-sifat Allah Swt.
f.       Melihat kebaikan dan nikmat-Nya baik yang lahir maupun yang batin
g.      Merasakan kehinaan dan kerendahan hati di hadapan Allah Swt.
h.      Melakukan shalat, dzikir pada sepertiga malam dan membaca al-Qur’an.
i.        Bergaul dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada Allah Swt.
9)      Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifat berasal dari kata arafah, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuaan dan pengalaman. Dari akar kata ini, ma’rifat dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang rahasia dan hakikat ketuhanan.
Ma’rifat berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan dengan pengamalan tasawwuf, maka istilah ma’rifat disini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam tasawwuf. Menurut sebagian ulama’, ma’rifat adalah kemampuan seorang shufi untuk mengenal Allah Swt, sifat-sifatnya, kemudian ia membenarkan Allah Swt. dengan keyakinan dan iman yang sejati dan dengan suka rela melaksanakan ajarannya dalam segala perbuatan.

B.     PENGERTIAN AHWAL
Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah keadaan yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah Swt.
Dalam ilmu tasawwuf dikenal beberapa hal yaitu:[4]
a.    Mawas diri dan waspada (muhasabah muraqabah)
                kaum sufi menyebutkan berbarengan terhadap kedua istilah ini mengungat keduanya saling berkaitan erat. Ketikan seorang sufi selalu mawas diri, bercermin pada diri sendiri, mencari kesalahan dan kekhilafan diri sendiri, maka akan melahirkan sikap waspada agar kesahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya tidak dilakukan lagi. Mawas diri diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah Swt  mengetahui segala pikiran, perbuatan dan rahasia dalam hati, dan hal ini menjadikan seseorang takut, hormat dan taat kepada Allah Swt.
b.    Mengharap dan takut (Al-raja’ wa al-khauf)
Dalam pandangan kaum sufi sifat mengharap dan takut berjalan secara berbarengan. Raja’ adalah perasaan optimis tehadap rahmat Allah Swt, dan hati merasa tentram karena menunggu suatu yang diinginkan. Namun sikap mengharap itu diikuti oleh perasaan takut terhadap berbagai kemungkinan yang akan membawa kebencian Allah Swt.
Selanjutnya Ibn Taimyah menjelaskan bahwa raja’ wa al-khauf merupakan konsekuensinya dari cinta hamba kepada Allah Swt. Ini mengajarkan bahwa dengan cinta kepada Allah Swt, akan menumbuhkan sikap harap-harap cemas kepada Allah Swt, yaitu sikap mengharap akan nikmatnya.[5]
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
1.             Cinta kepada apa yang di harapkan.
2.             Takut bila harapannya hilang.
3.             Berusaha mencapainya.
c.    Hubb (cinta)
Cinta dalam ilmu tasawuf adalah pijakan dalam semua hal, sama dengan taubat yang merupakan pangkal dari semua maqam. Menurut Mu’jam al-fasafi, mahabbah dapat berarti al wadud yaitu yang sangat pengasih dan penyayang.
Ibn Taimiyah membagi tingkatan-tingkatan cinta, yaitu:
1.      Al-‘alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang di cintai.
2.      Al-Shababah (kegairahan), yaitu hati selalu bergairah kepadanya.
3.      Al-Ghuram, yaitu cinta sebagaimana biasanya.
4.      Al-‘Isyq, yaitu mencintai kepadanya dengan bergairah yang berlebih.
5.      Al-Tatayyum (menjadi budak), yaitu menjadi budak kepadanya.
d.   Rindu dan Intim (syauq wa al-uns)
          Dalam ajaran tasawuf di sebutkan bahwa seorang sufi selalu merasa rindu dalam jiwanya kepada Allah Swt. Dalam pandangan sebagian sufi menyatakan bahwa maut adalah bukti yang benar ketika seorang sufi merasakan rindu kepadanya.
Intim merasa selalu berteman, bercengkrama dengan Allah Swt. Seorang sufi yang memiliki perasaan intim berhubungan dengan Allah Swt. penuh keasyikan dan kenyamanan. Mereka beribadah dengan penuh ketentraman dan ketenangan yang tiada tandingannya.


















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Maqamat adalah pengalaman individu atau pribadi sang sufi yang hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai derajat yang dengan Allah Swt.
Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah keadaan yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari Allah Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah Swt.
B.     SARAN
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawwuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-sehari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawwuf itu sendiri.










DAFTAR PUSTAKA
            Sholichin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014
            Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014
            Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia. Jakarta : Rajawali Pers : 2015




[1] Mohammad Muchlis Solichin, pendidikan akhlak tasawuf, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2012), hal 151
[2] Moh Muchlis Solichin, , pendidikan akhlak dan tasawuf, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2013), hal 156

[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2015), hlm. 173.
[4] Ibid, hal 176
[5] Syamsun Ni’am, Tasawuf studies,(Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2014), hlm.155