https://drive.google.com/drive/folders/0B-zJD8KL1TOoNXkxbzk1dFdMc2M?usp=sharing
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN AKHLAK
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Yang di ampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Oleh :
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN 2017KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah
penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, yang berjudul: “perangkat hardware komputer”.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membimbing umat dari jalan kegelapan menuju
jalan yang terang benderang yang diridhoi oleh Allah SWT. yaitu agama Islam.
Walaupun penulis sudah berupaya semaksimal mungkin, demi terselesainya
karya ilmiah ini, penulis tetap menyadari bahwa kemampuan penulis jauh dari
kesempurnaan, dan sudah pasti masih banyak kekurangannya. Sehingga kritik dan
saran yang sifatnya membangun semangat penulis yang sangat penulis harapkan.
Dan atas
terselesaikannya penyusunan makalah ini, tak lupa penulis ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Moch Cholid Wardi, M.H.I selaku Dosen mata
kuliah Akhlak Tasawuf yang telah membimbing dan mendidik penulis sehingga
penulis menjadi siswa yang berilmu.
Semoga bimbingan dan
bantuan serta dorongan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Pamekasan, 14 September 17
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.............................................................................
KATA
PENGANTAR.........................................................................
i
DAFTAR
ISI........................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang...........................................................................1
B.
Rumusan Masalah......................................................................1
C.
Tujuan Masalah..........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maqamat............................................................2
B.
Pengertian Ahwal................................................................7
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................10
B.
Saran.................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA....................................................................11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawwuf
merupakan salah satu fenomena dalam islam yang memusatkan perhatian pada
pembembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia.
Melalui tasawwuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan
pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Tinjauan analitis terhadap
tasawwuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya
memiliki suatu konsepsi tentang jalan menuju Allah Swt. Perjalanan menuju Allah
Swt. merupakan metode pengenalan secara
rasa yang benar terhadap Allah Swt. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah Swt. walaupun ia
adalah orang yang beriman secara akliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang
dalam antara iman secara akliyah atau logis.
Dalam makalah
yang kami buat, disini kami tidak hanya menjelaskan tentang Maqamat dan Ahwal
saja, melainkan kami akan menjelaskan bagaimana cara kaum sufi menjalani
berbagai ritual melalui riyadlah menuju tuhan.
A.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dibuat diatas maka kami dapat merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf?
2.
Apa yang dimaksud dengan ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf?
B.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu maqamat dan tahapannya dalam tasawwuf.
2.
Untuk mengetahui apa itu ahwal dan tahapannya dalam tasawwuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MAQAMAT
Ketika kaum sufi menjalani berbagai ritual melalui riyadlah untuk
Tuhan, maka mereka harus melewati jalan panjang dengan beberapa terminal. Hal
itu disebabkan karena maqamat adalah pengalaman individu atau pribadi
sang sufi yang hanya dapat dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah
ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum
sufi untuk mencapai derajat yang dengan Allah Swt.[1]
Berikut akan dijelaskan macam-macam maqam dalam ilmu tasawwuf:
1)
Al Zuhud
Zuhud secara istilah
bermakna tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniaan. Perilaku zuhud diteladani
oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Rasulullah dikenal sebagai sosok yang
sederhana, hidup miskin dan tidak mau bergelimang dengan harta. Sedangkan
Sayyidina Abu Bakar, khalifah pertama terkanal dengan kata mutiaranya: “Saya
mendapatkan kedermawanan dalam takwa, kecukupan dalam yaqin dan kehormatan
dalam rendah hati”. Demikian juga Sayyidina Umar ibn Khattab juga
diriwayatkan ketika beliau menjabat sebagai khalifah ketiga ummat islam, namun
kesederhanaannya masih tetap nampak. Demikian juga ‘Uthman ibn Affan juga
dikenal dengan zuhud yaitu ia
dengan segala kemampuan dan kekayaan yang dimilikinya menafkahkan hartanya
dijalan Allah Swt.
2)
Al Taubah
Al Taubah
adalah memohon ampun kepada Allah Swt. atas segala kesalahan yang telah
dilakukan pada saat yang lampau, dan inilah taubat yang paling rendah.
Sedangkan taubat tertinggi adalah taubat untuk berusaha menjauhkan
diri dari bujukan setan dan kelalaian
dari mengingat Allah Swt. Ketika seseorang bertaubat dari dosa-dosa yang
berkaitan hubungannya dengan Allah Swt, maka harus diopenuhi persayaratan
berikut:
a.
Meninggalkan kemaksiatan yang dilakukan.
b.
Menyesali perbuatan maksiat yang dilakukan.
c.
Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan makasiat yang telah
dilakukan.
3)
Al-Wara’[2]
Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah Swt.
Seseorang yang bersikap wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati
dalam perilakunya sehingga tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak disenangi
Allah Swt. baik yang hukumnya makruh apalagi haram.
4)
Al-Faqr
Al-Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang
telah diterima dan dianugerahi oleh Allah Swt, sehingga tidak mengharapkan atau
meminta suatu yang bukan haknya. Sikap ini sangat penting sehingga manusia
dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Selain itu sifat al-faqr
akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang
dianugerahkan Allah Swt. kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan
menuntut suatu yang bukan haknya.
5)
Al-Shabr
Sifat al-shabr
adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi, karena kesabaran sangat didalam
menapaki jalan menuju jalan Allah.[3]
Sifat kesabaran merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul.
Mereka yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulu al-‘azmi.
Seorang nabi
yang terkenal sabar dalam menerima cobaan dari Allah Swt adalah Nabi Ayyub,
yang ketabahannya menerima cobaan bertubi-tubi dari Allah Swt, mulai dari
hancurnya kekayaannya, kematian anak-anaknya sehingga menderita penyakit yang
tak kunjung sembuh dalam waktu yang lama. Namun dengan kesabarannya, beliau
dapat menjalani semua itu dan menjadi nabi dan Rasul yang lulus dari ujian
berat dari Allah Swt.
Dalam ajaran Tasawwuf sifat sabar dibagi tiga macam, yaitu:
a)
Sabar dalam beribadah kepada Allah Swt.
b)
Sabar dalam menjauhi larangan Allah Swt.
c)
Sabar dalam menerima cobaan dari Allah Swt.
6)
Tawakkal
Secara
terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan
kepada selain Allah Swt. Dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada
Allah Swt. Seorang yang bertawakkal akan selalu merasa Allah Swt didekatnya,
meskipun ia diderita berbagai kesusahan dan kesedihan, dia yakin bahwa Allah
Swt. sebagai maha pencipta merencanakan dan melaksanakan sesuatu yang terbaik
bagi kehidupannya.
Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati untuk menyerahkan diri kepada qada’
dan qadar Allah Swt. Sifat tawakkal ini dipraktekkan oleh para Rasul dan
Nabi. Dalam riwayat kenabian, terdapat banyak kisah yang menggambarkan betapa
para nabi dan rasul berjuang dan berperang dijalan Allah Swt. untuk menghadapi
kaum kafir dalam menegakkan agama Allah Swt. Dengan sikap tawakkal tersebut,
seseorang memiliki kekuatan yang kokoh dan tahan lama, karena ia menyandarkan
segala seuatunya kepada Allah Swt, segala sesuatu yang maha menentukan.
7)
Kerelaan
Secara harfiah ridha adalah rela, suka, senang. Harun Naton
mengatakan ridho berarti tidak berusaha,tidak menentang kada dan
kadar Tuhan. Manusia biasanya merasa sukar menerima keadaan-keadaan yang biasa
menimpa dirinya,seperti kemiskinan,kerugian,kehilangan barang,pangkat dan kedudukan,kematian
dan lain-lain yang dapat mengurangi kesenangannya.Yang dapat bertahan dari
berbagai cobaan itu hanyalah orang-orang yang telah memiliki sifat ridha.
Dalam Hadist
Qudsi, Nabi Saw. mengatakan:
اننى انا الله لا ا له الا انا من لم يصبر على بلا ثى ولم يشكر لنعما
ثى ولم يرضى بقضا ثى فليخرج من تحتى سما ثى وليطلب ربا سوا ي
“Sesungguhnya Aku ini Allah Swt,tiada Tuhan selain Aku. Barang
siapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku,tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku
serta tidak rela terhadapkeputusan-Ku, maka hendaknya ia keluar dari kolong
langit dan cari Tuhan selain aku.”
8)
Mahabbah
Mahabbah adalah
kedudukan yang paling tinggi dan mulia guna menuju keridhaan Allah Swt, karena
hanya Allah Swt. yang maha besar, maha penguasa, maha suci, maha pencipta dan
maha pemberi. Kecintaan kepada Allah Swt. akan mendapatkan ketenangan dan
kedamaian dalam hati , hal ini merupakan nikmat yang terbesar dalam kehidupan
seseorang.
Seorang
hamba yang sangat cinta kepada Allah Swt, ia dengan senang hati rela untuk
berkorban di jalan Allah Swt. dan siap menerima kemungkinan terjelek yang akan
di terimanya.
Kecintaan
kepada Allah Swt. sudah pasti harus di buktikan dengan mencintai kalamullah
atau aya- ayatnya baik yang
tertulis maupun tidak tertulis. Dalam praktek ibadah sehari-hari ada beberapa
amalan yang dapat mengantarkan cinta Allah Swt. yaitu :
a.
Mengamalkan kewajiban-kewajiban yang qath’i wajib maktubah dengan
memperhatikan keikhlasan dan kekhusuan, selain itu juga di upayakan membaca
al-Qur’an secara istiqomah yang di
sertai dengan upaya memahami kandungan dan tafsirnya.
b.
Berusaha mengamalkan ibadah yang bersifat nawafil atau mustahab
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
c.
Selalu mengingat Allah Swt. baik dengan lisan, terutama dzikir
dengan hati dalam setiap keadaan.
d.
Lebih mengutamakan untuk mencintai Allah Swt. dari pada dirinya
ketika hawa nafsunya menguasai dirinya.
e.
Memahami dan mendalami dengan hati tenang nama dan sifat-sifat
Allah Swt.
f.
Melihat kebaikan dan nikmat-Nya baik yang lahir maupun yang batin
g.
Merasakan kehinaan dan
kerendahan hati di hadapan Allah Swt.
h.
Melakukan shalat, dzikir pada sepertiga malam dan membaca al-Qur’an.
i.
Bergaul dengan orang-orang yang memiliki kecintaan yang tulus kepada
Allah Swt.
9)
Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifat berasal dari kata arafah, ya’rifu,
irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuaan dan pengalaman. Dari akar kata
ini, ma’rifat dapat dimaknai sebagai pengetahuan tentang rahasia dan hakikat
ketuhanan.
Ma’rifat berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan dengan pengamalan
tasawwuf, maka istilah ma’rifat disini berarti mengenal Allah ketika
Shufi mencapai maqam dalam tasawwuf. Menurut sebagian ulama’,
ma’rifat adalah kemampuan seorang shufi untuk mengenal Allah Swt,
sifat-sifatnya, kemudian ia membenarkan Allah Swt. dengan keyakinan dan iman
yang sejati dan dengan suka rela melaksanakan ajarannya dalam segala perbuatan.
B.
PENGERTIAN AHWAL
Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah keadaan
yang dialami oleh kaum sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang
dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian
hal adalah pemberian dari Allah Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju
Allah Swt.
Dalam ilmu tasawwuf dikenal beberapa hal yaitu:[4]
a.
Mawas diri dan waspada (muhasabah muraqabah)
kaum sufi
menyebutkan berbarengan terhadap kedua istilah ini mengungat keduanya saling
berkaitan erat. Ketikan seorang sufi selalu mawas diri, bercermin pada
diri sendiri, mencari kesalahan dan kekhilafan diri sendiri, maka akan
melahirkan sikap waspada agar kesahan dan kekhilafan yang pernah dilakukannya
tidak dilakukan lagi. Mawas diri diartikan sebagai keyakinan bahwa Allah Swt mengetahui segala pikiran, perbuatan dan
rahasia dalam hati, dan hal ini menjadikan seseorang takut, hormat dan taat
kepada Allah Swt.
b.
Mengharap dan takut (Al-raja’ wa al-khauf)
Dalam pandangan kaum sufi sifat mengharap dan takut berjalan secara
berbarengan. Raja’ adalah perasaan optimis tehadap rahmat Allah Swt, dan
hati merasa tentram karena menunggu suatu yang diinginkan. Namun sikap
mengharap itu diikuti oleh perasaan takut terhadap berbagai kemungkinan yang
akan membawa kebencian Allah Swt.
Selanjutnya Ibn
Taimyah menjelaskan bahwa raja’ wa al-khauf merupakan konsekuensinya
dari cinta hamba kepada Allah Swt. Ini mengajarkan bahwa dengan cinta kepada
Allah Swt, akan menumbuhkan sikap harap-harap cemas kepada Allah Swt, yaitu
sikap mengharap akan nikmatnya.[5]
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
1.
Cinta kepada apa yang di harapkan.
2.
Takut bila harapannya hilang.
3.
Berusaha mencapainya.
c.
Hubb (cinta)
Cinta dalam ilmu
tasawuf adalah pijakan dalam semua hal, sama dengan taubat yang merupakan
pangkal dari semua maqam. Menurut Mu’jam al-fasafi, mahabbah dapat berarti al
wadud yaitu yang sangat pengasih dan penyayang.
Ibn
Taimiyah membagi tingkatan-tingkatan cinta, yaitu:
1.
Al-‘alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang di cintai.
2.
Al-Shababah (kegairahan), yaitu hati selalu bergairah kepadanya.
3.
Al-Ghuram, yaitu cinta sebagaimana biasanya.
4.
Al-‘Isyq, yaitu mencintai kepadanya dengan bergairah yang berlebih.
5.
Al-Tatayyum (menjadi budak), yaitu menjadi budak kepadanya.
d.
Rindu dan Intim (syauq wa al-uns)
Dalam ajaran tasawuf
di sebutkan bahwa seorang sufi selalu merasa rindu dalam jiwanya kepada Allah
Swt. Dalam pandangan sebagian sufi menyatakan bahwa maut adalah bukti yang
benar ketika seorang sufi merasakan rindu kepadanya.
Intim merasa selalu berteman, bercengkrama dengan Allah Swt.
Seorang sufi yang memiliki perasaan intim berhubungan dengan Allah Swt. penuh
keasyikan dan kenyamanan. Mereka beribadah dengan penuh ketentraman dan
ketenangan yang tiada tandingannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Maqamat
adalah pengalaman individu atau pribadi sang sufi yang hanya dapat dirasakan
oleh pribadi yang bersangkutan. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan yang harus dilalui oleh kaum sufi untuk mencapai derajat yang
dengan Allah Swt.
Ahwal adalah
jama’ dari hal yang berarti “keadaan” hal adalah keadaan yang dialami oleh kaum
sufi ketika ia menempati maqam tertentu. Hal datang dengan sendirinya, datang
dan pergi tanpa diketahui waktunya. Dengan demikian hal adalah pemberian dari
Allah Swt. ketika sang sufi menapaki jalan menuju Allah Swt.
B.
SARAN
Untuk memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal,
hendaknya tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu
makalah ini semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun
berikutnya pada umumnya untuk lebih mendalami ilmu tasawwuf, sehingga apa yang
sudah dijelaskan dalam makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-sehari menjadi lebih baik sesuai dari tujuan ilmu tasawwuf itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sholichin, Mohammad Muchlis. Akhlak & Tasawuf dalam Wacana
Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah. Surabaya: Pena Salsabila, 2014
Ni’am, Syamsun. Tasawuf
Studies. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2014
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf dan
Karakter Mulia. Jakarta : Rajawali Pers : 2015
[1] Mohammad Muchlis Solichin, pendidikan akhlak tasawuf, (Pamekasan:
Stain Pamekasan Press, 2012), hal 151
[2] Moh Muchlis Solichin, , pendidikan akhlak dan tasawuf, (Pamekasan:
Stain Pamekasan Press, 2013), hal 156
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta :
Rajawali Pers, 2015), hlm. 173.
[4] Ibid, hal 176
[5] Syamsun Ni’am, Tasawuf studies,(Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,
2014), hlm.155