PINJAMAN (`ARIYAH)
Disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliahFiqh Muamalah
yang di ampuoleh :
BapakImam Hanafi, S.Pd.I., M.HI
Disusun oleh
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017/2018
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah puji syukur bagi Allah
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalahdengan judul “Pinjaman (`Ariyah)”ini
dengan penuh keyakinan serta usaha maksimal. Semoga dengan terselesaikannyamakalah ini dapat memberi pelajaran positif bagi kita semua.
Selawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga, sahabat, ayah, bunda,
serta semua pihak yang penuh kebaikan yang telah membantu penulis.
Namun demikian pembuatanmakalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu, saran, nasihat dan kritik dan
konstruktif dari pembaca yang budiman sangat penulis harapkan untuk perbaikan
tugas selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,
Amin.
WassalamualaikumWr. Wb.
Pamekasan, 28 Oktober 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 1
C. TujuanPenulisan........................................................................ 1
BABII:PEMBAHASAN............................................................................... 2
A. Pengertian `Ariyah.................................................................... 2
B. Dasar Hukum `Ariyah............................................................... 2
C. Rukun dan Syarat `Ariyah........................................................ 4
D. Jenis-jenis `Ariyah..................................................................... 4
E. Pembayaran Pinjaman............................................................... 5
F.
Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya.............................. 6
G. Tanggung Jawab Peminjam....................................................... 6
H. Tatakrama Berutang.................................................................. 7
BAB III:PENUTUP..................................................................................... 8
A. Kesimpulan............................................................................... 8
B. Saran-saran................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Hidup dimuka bumi ini pasti selalu
melakukan yang
namanya kegiatan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa
kita sadari
pula kita melakukan
yang namanya `Ariyah (pinjam-meminjam). Pinjam meminjam kita lakukan baik itu barang,
uang atau pun lainnya. Terlebih saat ini banyak kejadian pertikaian atau pun kerusuhan
di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam.
Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya kemeja hijau.
Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban terhadap
yang dipinjamkan. Berbicara mengenai pinjaman (`Ariyah), penulis berminat untuk
membahas tuntas mengenai `ariyah itu sendiri dan pengertian, hukum, syarat, rukun,
macam-macam, kewajiban dan lainnya mengenal pinjam meminjam (`Ariyah) agar
tidak ada kesalah pahaman mengenai pinjam meminjam ini.
A. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Pengertian `Ariyah?
2.
Bagaimana Dasar Hukum `Ariyah?
3.
Bagaimana Rukun dan Syarat `Ariyah?
4.
Bagaimana Pembayaran Pinjaman dalam `Ariyah?
5.
Bagaimana Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya dalam `Ariyah?
6.
Bagaimana Tanggung Jawab Peminjam dalam `Ariyah?
7.
Bagaimana Tatakrama Berutang dalam `Ariyah?
B. Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan
Pengertian`Ariyah?
2.
Menjelaskan Dasar Hukum `Ariyah?
3.
Menjelaskan Rukun dan Syarat `Ariyah?
4.
Menjelaskan Pembayaran Pinjaman dalam `Ariyah?
5.
Menjelaskan Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya dalam `Ariyah?
6.
Menjelaskan Tanggung Jawab Peminjam dalam `Ariyah?
7.
Menjelaskan Tatakrama Berutang dalam `Ariyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ariyah
Menurut etimologi,`ariyah
adalah (اَلْعَارِيَةُ) diambil dari
kata (عَارَ)yang
berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, `ariyah
berasal dan kata (التَّعَاوُرُ) yang sama
artinya dengan(التَّنَاوُلُ اَوِالتَّنَاوُبُ) (saling menukar dan mengganti), yakni dalam tradisi
pinjam-meminjam.[1]
Menurut terminology syara `ulama fìqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. antara lain:
Menurut Syarkhasyi danulama Malikiyah:
تَمْلِكُ الْمَنْفَعَةِ بِغَيْرِعَوْضٍ
Artinya: “pemilikan
atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”
Menurut ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah:
اِبَاحَةُالْمَنْفَعَةِ بِلَاعَوْضٍ
Artinya: “pembolehan (untuk mengambil) manfaat
tanpa mengganti”
Jadi, `ariyah adalah transaksi atas manfaat
suatu barang tanpa disertai imbalan. Jika barang dipinjamkan itu menuntut
imbalan tertentu, maka transaksi tersebut berubah menjadi sewa-menyewa (al-ijarah).
Dengan demikian, transaksi dalam bentuk `ariyah ini adalah upaya tolong-menolong.[2]
Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:[3]
1. orang yang
meminjamkan adalah pemilik.
2. Materi yang
dipinjamkan dapat dimanfaatkan.
B.
Dasar Hukum Ariyah
Menurut
kebiasaan (urf),`ariyah dapat diartikan dengan dua cara yaitu secara hakikat dan secara majazi:[4]
a.
Secara Hakikat.
`Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya.[5] Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah
manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki
sesuatu yang semaksa dengan manfaat menurut kebiasaan .
Al-Kurkhi, ulama
Syafiiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah
kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
Dari perbedaan
pandangan di atas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertarma, barang
yang dipinjam (musta’ar) boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan
menurut Imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan
sesuai fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak
mengizinkannya.
Alasan ulama
Hanafìyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman (mu’ir) telah memberikan hak penguasaan barang kepada peminjam
untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa
penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik
oleh dirinya maupun orang lain.
Menurut golongan kedua, pinjam-meminjam
hanya sebatas,maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain. seperti halnya
seorang tamu yang tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada
orang lain.
Golongan
pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana
pada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya
saja dan ia tidak memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama, gadai adalah
akad yang lazim (resmi). Sedangkan ariyah adalah akad tabarru’(derma)
yang dibolehkan. Tetapi tidak lazim. Demikian peminjam
tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana pada akad lazim sebab hal itu akan
mengubah tabiat `ariyah. Selama itu, peminjampun tidak boleh
menyewakannya.
b.
Secara Majazi
`Ariyah secara “majazia” adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran,
timbangan, hitungan, dan lain-lain. Seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau senilai. Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan
tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
Sedangkan Menurut
Sayyid Sabiq, tolong menolong (`ariyah) adalah sunnah. Sedangakan
menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutip oleh Taqiyah al-Din, bahwa `ariyah hukumnya
wajib ketika awal Islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah:
وَتَعَا وَنُوْا عَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوَى
وَلاَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (المائدة: ٢)
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa
dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan”.[6](Al-Maidah:
2)
C.
Rukun dan Syarat Ariyah
Rukun `ariyah Menurut ulama hanafiyah ialah ijab dari meminjamkan barang bukan merupakan rukun. Menurut Syafi’iyah ialah adanya lafad sighat akal, yakni ucapan ijab qobul dari kedua belah pihak.
1.
Mu’ir (peminjam).
2.
Musta’ir (yang meminjamkan)
3.
Mu’ar (barang yang dipinjam)
4.
Sighat yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Syarat ‘ariyah Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a. Mu’ir berakal sehat
b. Pemegangan
barang oleh peminjam
c. Barang atau
(musta`ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya. Jika mustaar tidak dapat dimanfaatkan maka akad tidak sah.
1.
Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata,“saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata.“saya mengaku berutang benda (anu) kepada kamu”. Syarat bendanya ialah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.
Mu`ir yaitu orang yang mengutangkan
(berpiutang) dan musta`ir yaitu orang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat –syarat bagi mu`ir dan musita’ir adalah:
a. Baligh, maka batal ‘ariyah yang
dilakukan anak kecil atau shabiy;
b. Berakal, maka batal‘ ariyah
yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila;
c. Orang tersebut tidak di mahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan
oleh orang yang berada di bawah perlindungan (curatelle),
seperti pemboros.
3.
Benda yang diutangkan. Pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
a.
Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak
sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
sah ‘ariyah yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi;
b.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah
yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’, seperti meminjam benda-benda najis.
D.
Jenis-jenis Ariyah
Adapun
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar bergantung pada jenis pinjaman,
apakah muir meminjamkan secara mukayyat atau mutlak.
a.
`Ariyah mutlak.
`Ariyah mutlak
yaitu pinjam meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan persyaratan apapun.
b. `Ariyah mukayyad
`Ariyah
mukayyad
meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya
disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya:[9]
1.
Batasan penggunaan `ariyah oleh diri peminjam
2.
Pembatasan waktu atau tempat
3.
Pembatasan ukuran berat dan jenis
E.
Pembayaran Pinjaman
Setiap
orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang
kepada yang berpiutang (mu`ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga
berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran
utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu
perbuatan dosa. Rasulullah Saw, bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيُّ ظٌلْمٌ(رواه البخارى ومسلم)
“orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(HR. Bukhari Muslim).
Melebihkan
bayaran dan sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan
kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang
membayar utang. Rasulullah Saw. bersabda;
فَإِنَّ مِنْ خَيْرِكُمْ
اَحْسَنَكُمْ قَضَاءً(رواه البخارى و مسلم)
“Sesungguhnya di antara orang yang terbaik dari kamu
adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”.
(Riwayat Bukhari danMuslim).
Rasulullah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasul bersabda:
خِيَارُكُمْ اَحْسَنُكُمْ قَضَاءً(رواه أحمد)
“Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik”. (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan
tersebut dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjanjian dalam
akad perutangan, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya.
Rasul bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةٍ
فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا (أخرجه بيحقى)
“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah
satu cara dari sekian cara riba”. (Dikeluarkan oleh Baihaqi).[10]
F.
Meminjam Pinjaman dan Menyewakannya
Abu Hanifah
dan MaIik berpendapat bahwa peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman
kepada orang Iain sekalipun pemiliknya belum mengizinkannya jika
penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian
pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman
atau siapa saja yang menggantikan statusnya selama peminjaman berlangsung,
kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan
barang pinjaman tanpa seizin pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak di
tangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang di antara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik pemilik
barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.[11]
E. Tanggung
Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian
barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i,
dan lshaq dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw. bersabda:
عَلَى الْيَدِمَاأَخَدَتْ
حَتَّى تُؤَدِّيَ
“pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima,
hingga mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa,
peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena
tindakannya yang berlebihan, karena RasulullahSaw, bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيْرشغَيْرِالْمُغِلِّ ضَمَانٌ
وَلاَالْمُسْتَوْدِعِ غَيْرِالْمُغِلِّ ضَمَانٌ (أخرجه الدارقطنى)
“peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengangganti kerusakan”. (Dikeluarkan al-Daruqutni).
G.
Tatakrama Berutang
Ada
beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang
tentang nilai-nilai sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai
berikut.
a. Sesuai
dengan QS Al-Baqarah: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak
berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan seorang saksi
laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tersebut dibuat di
atas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas
dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang
hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan maka yang berpiutang hendaknya membebaskannya.
d. Pihak yang
berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya
karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
`Ariyah adalah transaksi atas manfaat suatu barang tanpa
disertai imbalan. Jika barang dipinjamkan itu menuntut imbalan tertentu, maka
transaksi tersebut berubah menjadi sewa-menyewa (al-ijarah).
Menurut
kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara yaitu secara hakikat dan secara majaz.
Rukun
Ariyah Menurut ulama hanafiyah ialah ijab dari meminjamkan barang bukan merupakan rukun. Menurut Syafi’iyah ialah adanya lafad sighat
akal yakni ucapan ijab qobul dan kedua belah pihak.
Adapun
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Kewenangan yang dimiliki oleh musta’ar
bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara mukayyat
atau mutlak.
Setiap orang yang meminjam sesuatu
kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu`ir).
Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar
utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya.
Dalam
meminjam pinjaman dan menyewakannya disini ada perbedaan pendapat, tapi hanya
mengambil dari salah satunya aja yaitu Abu Hanifah dan MaIik berpendapat bahwa
peminjam boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang Iain sekaIipun
pemiliknya belum mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak
berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Dalam
tanggung jawab peminjam bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian
barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya.
B. Saran-saran
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat melangsungkan
kehidupan dengan layak apabila ia tidak melakukan hubungan atau berinteraksi
dengan orang lain. Salah satu hal yang dapat di tiru dalam kehidupan kita yaitu apabila seorang
saudaramu, tetanggamu ataupun temanmu yang tidak mempunyai cukup uang untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan kemudian ingin meminjam atau berhutang
kepadamu, maka sebaiknya kamu memberikan pinjaman atau utang kepadanya agar dia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga dapat meringankan bebannya untuk
sementara waktu. Dan hal itu di dalam islam sangatlah dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe`i, Rahmat.Fiqih Muamalah, Bandung: CV Pustaka Setia,
2001.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqih & Fiqih Kontemporer, Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2008.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Depok: PT Rajagrafindo
Persada, 2002.
Sakinah, Fiqih Muamalah, Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006.
W. Alhafidz, Ahsian. Kamus Fiqih, Jakarta: Amzah, 2013.
[1] Rahmat
Syafe`i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 139.
[2] Hassan Saleh, Kajian
Fiqih & Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008),
hlm. 338.
[3] Ahsin W. Alhafidz,
Kamus Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm. 18.
[4]Syafe`i, Fiqih
Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 142.
[5] Sakinah, Fiqih Muamalah, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press,
2006), hlm. 54.
[6]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Depok: PT Rajagrafindo Persada,
2002), hlm. 93.
[7]Sakinah, Fiqih Muamalah, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press,
2006), hlm. 54.
[8]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 95.
[9]Sakinah, Fiqih Muamalah, (Pamekasan: Stain Pamekasan Press,
2006), hlm. 54.
[10]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 97.
[11] Ibid.
[12] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm. 98.