SOKRATES
& METODE DIALEKTIK/ INTEROGASI
MAKALAH
Di
susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Yang
diampu oleh Bapak H. Umar
Bukhory.M.ag
Oleh:
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
KATA
PENGANTAR
بسم
ا لله الرحمن الرحيم
Segala
puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan nikmatnya,
sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“SOKRATES & METODE DIALEKTIK/ INTEROGASI” dengan maksimal. Sholawat dan
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. keluarga,
sahabat, serta umat beliau sampai akhiruz zaman.
Dalam
makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang
terbaik kepada para pembaca, tetapi kami sebagai makhluk biasa yang tidak lepas
dari kesalahan, baik segi teknik penulisan ataupun bahasa, akan tetapi kami
memberikan yang semaksimal mungkin untuk menyusun dengan sempurna.
Kami
menyadari, tanpa adanya kerja sama dari semua bagian yang berpartisipasi dalam
membuat makalah ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu, saya mengucapkan
banyak terimakasih kepada pihak yang terkait yang telah bersedia meluangkan
waktu dan tenanganya dalam pembuatan makalah ini, sehingga dapat tercipta
makalah ini.
Demikian
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca pada
umumnya. Kami berharapa kritik, saran, dari berbagai pihak yang sifatnya
membangun terhadap hasil makalah kami.
Pamekasan, 30 September 2017
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat adalah
mater scientiarum atau induk atu induk ilmu. Filsafat disebut induk ilmu
pengetahuan yang ada. Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memuliakan
filsafat, kehadirannya yang terus-menerus disepanjang sejarah peradaban manusia
sejak kelahirannya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi kesaksian yang
meyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia.
Filsafat hanya
dapat dipahami oleh orang-orang jenius. Filsafat hanya dapat dipelajari oleh
orang-orang yang memiliki intelektual luar biasa. Sehubungan dengan anggapan
itu banyak mahasiswa yang sengaja menghindari mata pelajaran filsafat karena
dianggap terlampau sukar dan pelik.
Dengan demikian kita sebagai generasi
bangsa seharusnya mampu mengembangkan intelektual kita, karena dengan berfikir
kita akan bersilsafat, dan berfilsafat adalah pemikiran
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Biografi Sokrates ?
2.
Bagaimana Metode Pembelajaran Sokrates ?
3.
Apa Saja Poin-poin Yang Lahir dari Metode Pembelajaran Sokrates ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan Biografi Sokrates.
2.
Menjelaskan Metode Pembelajaran Sokrates.
3.
Menjelaskan Poin-poin Metode Pembelajaran Sokrates.
PEMBAHASAN
A.
Biaografi Sokrates
Sokrates adalah
seorang guru filsafat Yunani kono yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode
dealektik untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak sampai hal-hal yang meragukan
terjawab atau menjadi jelas. Ia mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum
muda bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan. Dalam
pemahaman Socrates filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif
atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia.[1]
Sokrates berasal
dari keluarga sederhana: ayahnya seorang pemahat patung, ibunya seorang bidan.
Ia jelek rupa dan menurut tradisi perkawinannya dengan Xantipe tidak
berbahagia. Ia seorang warga negara yang baik, yang ikut ambil bagian dalam
berbagai pertempuran. Ternyata ia memperoleh pendidikan yang baik dan dengan
cepat ia memberi pelajaran dimana-mana di Athena. Berlawanan dengan sikap kaum
sofis, ia tidak memungut bayaran untuk pelajaran-pelajaran yang diberikannya,
meskipun selanjutnya karena pergaulannya dengan aneka macam manusia juga menyebabkan
ia dipandang sebagai seorang sofis. Ia pun menaruh perhatian semata-mata pada
manusia. Baginya yang pokok bukanlah masalah mempengaruhi orang lain, melainkan
agar manusia mengenal diri sendiri. Ia berusaha menyingkapkan sikap semu yang
melekat pada segenap pengetahuan semu dan melacak sumber-sumber pengetahuan
yang sebenarnya.[2]
Di dalam komedi
“awan”, Aristhophanes memandang Sokrates sebagai seorang sofis, dan sudah tentu
yang demikian ini tidak begitu aneh seperti yang dianggap orang kemudian. Namun
tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang khas antara Socrates dengan kaum sofis.
Di dalam kesusateraan Yunani kata “sofis” mempunyai dua macam arti. Kata ini
dapat berarti “ahli”, dan didalam makna ini sering dipakai, juga oleh Plato,
untuk menunjukkan sesuatu yang sangat baik. Tetapi disamping itu tersebar pula pemakaian
kata ini dalam arti yang khusus, yaitu seorang “guru bayaran”, dan didalam
makna ini kata tersebut terdengar tidak baik. Berlawanan dengan para pemikir
yang lebih tua, kaum sufis meminta upah bagi pelajaran yang mereka berikan, dan
dimata orang-orang Yunani yang demikian ini dinilai rendah. Di samping itu
pelajaran yang mendapat imbalan upah ini harus membawa hasil, sehingga
sofistika beralih menjadi retorika yang tidak mengutamakan masalah kebenaran,
melainkan mementingkan masalah cara mempengaruhi orang lain.
Sokrates pernah
mempunyai sekolompok murid yang besar jumlahnya, namun tulisan-tulisan para
muridnya dalam banyak hal tidak sesuai antara yang satu dengan yang lain.[3]
Ada beberapa
ahli yang menekankan bahwa tulisan-tulisan Xenophon tentang Sokrates dapat
dijadikan sumber informasi utama, namun ada juga yang mengatakan bahwa
tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles adalah sumber utama yang paling dapat
diandalkan untuk mengenal Sokrates. Saat ini pada umumnya para ahli menggunakan
keempat sumber yang tersedia itu, namun ada kesepakatan bersama yang
menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran Sokrates hampir lengkap ditemukan lewat
berbagai karya tulis Plato, peristiwa dalam dialog-dialog yang pertama, yang
disebut sebagai dialog-dialog sokratik. Dari dialog-dialog tersebut
memang harus diakui bahwa betapa sulitnya membedakan mana yang merupakan
gagasan pemikiran Sokrates yang murni dan mana yang merupakan gagasan dan
pemikiran Plato. Yang jelas Plato, yang begitu mengagumi Sokrates, hendak
mengabadikan gurunya itu lewat dialog-dialognya sehingga yang pertama Plato
berupaya menampilkan Sokrates. Baru kemudian dalam dialog-dialog yang
ditulisnya pada usia lebih lanjut, Plato mulai mengembangkan gagasan dan
pemikirannya sendiri.[4]
Lewat berbagai
karya tulis Plato, yang terlihat jelas ialah bahwa pemikiran-pemikiran Sokrates
terpusat kepada manusia. Dengan kata lain, manusia menjadi satu titik perhatian
paling utama dalam filsafat Sokrates. Sambil menempatkan manusia dipusat
perhatian filsafatnya, Sokrates berangkat dari kehidupan sehari-hari yang
konkrit. Dari kehidupan itu, Sokrates berupaya menggapai kebenaran objektif.
Sokrates menolak subjektivesme dan relativisme dari kaum sofis yang menyebabkan
timbulnya skeptisisme. Bagi Sokrates, kebenaran objektif yang hendak digapai
bukanlah semata-mata untuk membangun suatu ilmu pengetahuan teoretis yang
abstrak, tetapi justru untuk meraih kebajikan karena, menurut Sokrates,
filsafat adalah upaya untuk mencapai tingkah laku manusia yang pantas, yang
baik, dan yang terpuji. Kebajikan mengantar manusia kegerbang kebahagiaan
sejati. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa barang siapa mengetahui dan oleh
sebab itu memiliki kebenaran objektif dan bertingkahlaku sesuai dengan
kebenaran objektif itu, merekalah yang dapat mengecap kebahagiaan sesungguhnya.
Untuk menggapai
kebenaran objektif itu, Sokrates menggunakan suatu metode yang dilandaskan pada
suatu keyakinan yang amat erat digenggamnya. Sokrates begitu yakin bahwa
pengetahuan akan kebenaran objektif iru tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak
masa praeksistensinya. Karena itu, Sokrates tidak pernah mengajar tentang
kebenaran itu, melainkan berupaya menolong untuk mengungkapkan apa yang memang
ada dan tersimpan didalam jiwa seorang. Sokrates mengatakan bahwa seperti apa
yang dilakukan oleh ibunya, yang sering menolong orang melahirkan, demikianlah
pula yang dilakukannya. Ia menolong orang untuk “melahirkan” pengetahuan akan
kebenaran yang dikandung oleh jiwanya. Sokrates merasa terpanggil untuk
melakukan tugas yang mirip dengan tugas ibunya itu, maka cara yang digunakannya
pun disebut maieutika tekhne (teknik kebidanan).[5]
Sokrates tidak
bermaksud untuk memaksakan orang lain menerima sesuatu ajaran.Ia memakai siasat
ibunya seorang bidan. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia bermaksud agar
manusia memperoleh penglihatan dalam bahwa pendapat yang sudah terpateri dalam
dirinya sesungguhnya kurang berisi kebijakan serta mengandung pertentangan-dalam.
Namun ia tidak tetap bertahan pada kegiatan yang negatif ini. Ia melangkah
lebih maju dan seraya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman
berbicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih dalam mengenai sesuatu masalah
yang sedang dihadapi, yang pada umumnya bertalian dengan perilaku manusia. Yang
selalu diutamakannya ialah agar teman berbicaranya menginsyafi, bahwa
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sokrates, ia sendiri telah
berhasil memperoleh penglihatan-dalamnya. Sokrates yakin bahwa hanya dengan
cara yang demikian penglihatan-dalam dapat menjadi milik rohani seseorang. Dan
yang demikian ini terutama penting bial menyangkut penglihatan-dalam dibidang
kesusilaan, yang mempunyai arti penentu bagi seluruh kehidupan manusia.
Daya pikir Sokrates
membatasi apa yang dinamakan mazhab-mazhab Socrates. Mazhab-mazhab ini tidak
merupakan satuan-satuan tertutup seperti yang terdapat dikalangan para penganut
ajaran Pythagoras dan kemudian terdapat pada akademi Plato. Yang paling
terkenal ialah dua buah mazhab yang mempunyai pengaruh yang sangat besar:
mazhab Sinik dengan tokohnya Antisthenes dan mazhab Cyrene dengan tokohnya
Aristippus.[6]
Tampaknya dalam
usia lanjut Antisthenes menjadi murid Sokrates. Setelah Socrates meninggal,
Antithenes mengajar digymnasium kunosarges (kunos=anjing, pen.) di Athena
. kata tersebut dijabarkan menjadi nama bagi para pengikutnya (Cynic
scool=mazhab sinik, pen.), yang baru terjadi kemudian dan pada waktu itu juga
berdasar perilaku mereka yang meniru anjing. Ia hanya menaruh perhatian pada
etika. Manusia harus dapat membebaskan diri dari apa saja. Tidak boleh ada
sesuatu pun yang dapat menjadi penyebab baginya untuk bergembira atau bersedih.
Ia harus puas dengan dirinya sendiri dan memandang satu-satunya tujuan hidupnya
ialah membebaskan diri sepunuhnya dari pendapat orang-orang lain serta dari
hukum yang mereka buat. Puncak ajaran Antisthenes berupa pandangan monoteistik
mengenal Tuhan Diogenes dari Sinope menyimpulkan ajaran tersebut secara ekstrim
menjadi pendirian yang merendahkan manusia. Hidupnya dijalin dengan bermacam-macam
dengeng (ia pernah berdiam didalam sebuah tong). Tiadak ada satu pun diantara
ajarannya yang dapat dipastikan kebenarannya.
Pendapat-pendapat
Aristippus dari Cyrene berlawanan dengan pendapat-pendapat Antisthenes.
Satu-satunya tujuan perbuatan kita ialah kenikmatan, dan karena tangkapan
inderawi kita berubah-ubah, maka sudah tentu kenikmatan tersebut merupakan
kenikmatan sementara. Ada dalil pokok ini tidak berarti bahwa pertimbangan
pikiran tidak diperlukan. Banyak faktor yang harus kita pertimbangkan yang satu
terhadap yang lain. Hendaknya diingat bahwa banyak kenikmatan yang kemudian
diikuti oleh kesedihan. Karena itu orang yang bijaksana tidak mau dikuasai oleh
kenikmatan, melainkan ia sendirilah yang menguasai kenikmatan.
Kurun waktu
para penganut ajaran Sokrates adalah penting, antara lain karena merupakan penghubung
antara pemikiran Pra-Sokrates dengan pemikiran Hellenistik. Dalam banyak hal
aristippus sepaham sengan Democritus, dan dalam hal ini juga mendahului
pendapat Epicurus. Dikemudian hari pendirian sinik yang diajarkan Antisthenes
juga ditemukan kembali dalam bentuk yang lebih lunak pada kaum Stoa.[7]
B.
Metote Dialektik
Istilah dialektika
barasal dari kata kerja yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap.
Kata dialektik dalam ungkapan “metode dialektik” Sokrates memiliki arti
yang sangat dekat dengan arti harfiyah kata yunani tersebut. Ada pula yang
menyebut metode dialektik sebagai “metode interogasi” (interrogation method).
Kendati metode dialektik bukanlah ciptaan Sokrates, dapat dikatakan bahwa
Sokrateslah yang mempraktekkan dan mengembangkan metode tersebut dengan baik.[8]
Metode
pembelajaran Sokrates bukanlah dengan cara menjelaskan, melainkan dengan cara
mengajukan pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta dengan
menanyakan lebih jauh lagi, sehingga para siswanya terlatih untuk mampu
memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang
mereka maksud dengan mendetail. Selain menanyakan atau mengajukan pertanyaan
Sokrates acap kali berdebat dengan orang. Dalam perdebatan, ia menggunakan
sendirian, melalui desakan pertanyaan tiada henti, agar pihak lawan bertentangan
sendiri, mengakui tidak tahu sama sekali terhadap pertanyaan tersebut.
Melalui bentuk
tanya jawab, teknik bantuan yakni membantu pihak lawan bicara membuang
pandangan yang salah, menemukan kebenaran yang sebenarnya, menyimpulkan melalui
perbandingan terhadap analisa masing-masing untuk mencari hukum universal.
Dalam kamus
istilah filsafat dan ilmu dikatakan bahwa metode dialektika ini diartikan
sebagai metode dialog yang dilakukan oleh seorang guru yang dengan sabar
bertanya kepada murid, sehingga murid tersebut mengetahui kesimpulan yang benar
tanpa guru itu memberitahuinya.
Dialektika
berbeda dengan dualisme, karena dualisme membicarakan dua pikiran yang saling
berlawanan dan tidak dapat dipadukan, sedangkan dialektika berbicara tentang
dua pikiran yang saling berlawanan namun dapat saling direlasikan dan
diperoses. Hegel mengemukakan dialektika dapat dimengerti seperti tesis,
antitesis dan sintesis.
Misalnya
terdapat sebuah memikran A (tesis) maka pasti terdapat pemikiran kontra A
(antitesis). Untuk menyelesaikan kedua pemikiran tersebut maka dibuatlah
pemikiran baru diantara keduanya, sebut saja pemikiran B (sintesis).
Selanjutnya, dengan adanya pemikiran B (tesis) pasti terdapat pula pemikiran
kontra B (antitesias) yang akan menghasilkan pemikiran baru lagi (sintesis) dan
seterusnya. Melalui gambaran ini kita dapat melihat bahwa pemikiran dialektika
selalu bersifat bergerak terus menerus atau berproses.
Adapun metode
dialektika yang dipelopori oleh Sokrates adalah metode dialektika metafisis. Dikarenakan
dengan metode ini Sokrates dapat menemukan dasar pengetahuan tentang
metafisika. Dan metode ini ia terapkan bukan saja kepada murid-muridnya tapi
juga kepada orang-orang dari berbagai kalangan baik itu ahli politik, pejabat
pemerintahan, pedagang, tukang maupun petani sekalipun, setiap kali ia
menjumpai mereka.
Dengan
berdialektika seperti ini, Sokrates mampu membuktikan kebenaran yang objektif,
dimana kebenaran tersebut tergantung kepada manusia itu relatif. Selain itu, ia
juga dapat menyingkapi kepalsuan dari peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang
semu dan mengajak orang untuk menelusurinya hanya melalui metode yang bersifat
praktis ini.
Sokrates lebih
suka menyebut metode pembelajarannya dengan nama “maieutike tekhne atau seni
kebidanan”. Ini disebabkan Sokrates mengqiyaskan apa yang ia lakukan dengan
ibunya sebagai orang bidan, dimana tugas kesehariannya hanyalah menolong
manusia dan menarik keluar bayi. Artinya membantu orang “melahirkan” wawasan
yang benar. [9]
C.
Poin-poin Metode Pembelajaran Sokrates
Di dalam
traktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode
Sokrates ini. Ada dua penemuan (poin), katanya, yang menyangkut Socrates,
kedua-duanya berkenaan dengan dasar pengetahuan. Yang pertama ialah menemukan induksi
dan yang kedua ia menemukan definisi.
Dalam logikanya
Aristoteles menggunakan istilah induksi tatkala pemikiran bertolak dari
pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkan pengetahuan yang umum. Itu dilakukan
oleh Sokrates. Ia bertolak dari contoh-contoh kongkret, dan dari situ ia
menyimpulkan pengertian yang umum. Misalnya Sokrates ingin mengetahui apa yang
dimaksud orang dengan arte (keutamaan). Nah, ada banyak orang yang
mempunyai keahlian tertentu yang dianggap mereka masing-masing mempunyai arete.
Karena itulah Sokrates bertanya kepada tukang besi, apa keutamaan bagi mereka;
kepada negarawan, filosof, pedagang, dan sebagainya, apa pengertian arete bagi
mereka. Ciri-ciri keutamaan bagi mereka masing-masing tentulah tidak sama,
tetapi ada ciri-ciri khusus yang sama; artinya ada ciri yang disetujui bersama
dan menyisihkan ciri khusus yang tidak disetujui bersama. Itulah cara membuat
definisi tentang suatu objek.
Dari usaha ini
Sokrates menemukan definisi, penemuan yang kedua, kata Aristoteles. Tentu saja
penemuan kedua ini berhubungan erat dengan penemuan pertama tadi karena
definisi ini diperoleh dengan jalan mengadakan induksi itu.
Bagi kita, yang
sudah biasa membentuk dan menggunakan definisi, barangkali merasakan definisi
itu bukan sesuatu yang amat penting, jadi bukan suatu penemuan yang luar
berharga. Akan tetapi, bagi Sokrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah
hal yang kecil maknanya; penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada
relativisme kaum sofis.
Orang sofis
beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada
pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan
kepada orang sofis bahwa pengetahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi,
orang sofis tidak seluruhnya benar; yang benar ialah sebagian pengetahuan
bersifat umum dan sebagian bersifat khusus; yang khusus itulah pengetahuan yang
kebenarannya relatif. [10]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sokrates
adalah seorang guru filsafat yunani kono yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode
dialektik untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak sampai hal-hal yang meragukan
terjawab atau menjadi jelas. Ia mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum
muda bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan. Dalam
pemahaman Socrates filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat
reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan
bahagia.
Istilah
dealektika barasal dari kata kerja yunani dialegesthai, yang berarti
bercakap-cakap. Kata dialektik dalam ungkapan “metode dialektik”
Sokrates memiliki arti yang sangat dekat dengan arti harfiyah kata yunani
tersebut. Ada pula yang menyebut metode dialektik sebagai “metode interogasi”.
Metode
pembelajaran Sokrates bukanlah dengan cara menjelaskan, melainkan dengan cara
mengajukan pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta dengan
menanyakan lebih jauh lagi, sehingga para siswanya terlatih untuk mampu
memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang
mereka maksud dengan mendetail. Selain menanyakan atau mengajukan pertanyaan
Sokrates acap kali berdebat dengan orang. Dalam perdebatan, ia menggunakan
sendirian, melalui desakan pertanyaan tiada henti, agar pihak lawan
bertentangan sendiri, mengakui tidak tahu sam sekali terhadap pertanyaan
tersebut.
Di dalam
traktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode
Socrates ini. Ada dua penemuan (poin), katanya, yang menyangkut Socrates,
kedua-duanya berkenaan dengan dasar pengetahuan. Yang pertama ialah menemukan induksi
dan yang kedua ia menemukan definisi.
DAFTAR PUSTAKA
Delfgaaunw,
Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Gie, The Liang Pengantar
Filsafat Ilmu,Yogyakarta:Liberti Yogyakarta,1999.
Https;afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-sokrates/diakses
pada tanggal 29 Oktober 2017.
Rapar,Jan
Hendrik, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: Kanisius,1996.
Tafsir, Ahmad, Filsafat
Umum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.
[3]Ibid, hlm.15
[5]Ibid, hlm.100.
[9] Https;afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-sokrates/diakses
pada tanggal 29 Oktober 2017.