Tuesday, 31 October 2017

SOKRATES & METODE DIALEKTIK/ INTEROGASI


SOKRATES & METODE DIALEKTIK/ INTEROGASI
MAKALAH
Di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Umum
Yang diampu oleh Bapak H. Umar Bukhory.M.ag




Oleh:



 















PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017

KATA PENGANTAR
بسم ا لله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan nikmatnya, sehingga kami sebagai penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “SOKRATES & METODE DIALEKTIK/ INTEROGASI” dengan maksimal. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Muhammad SAW. keluarga, sahabat, serta umat beliau sampai akhiruz zaman.
Dalam makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik kepada para pembaca, tetapi kami sebagai makhluk biasa yang tidak lepas dari kesalahan, baik segi teknik penulisan ataupun bahasa, akan tetapi kami memberikan yang semaksimal mungkin untuk menyusun dengan sempurna.
Kami menyadari, tanpa adanya kerja sama dari semua bagian yang berpartisipasi dalam membuat makalah ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang terkait yang telah bersedia meluangkan waktu dan tenanganya dalam pembuatan makalah ini, sehingga dapat tercipta makalah ini.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca pada umumnya. Kami berharapa kritik, saran, dari berbagai pihak yang sifatnya membangun terhadap hasil makalah kami.

                   Pamekasan, 30 September 2017

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filsafat adalah mater scientiarum atau induk atu induk ilmu. Filsafat disebut induk ilmu pengetahuan yang ada. Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memuliakan filsafat, kehadirannya yang terus-menerus disepanjang sejarah peradaban manusia sejak kelahirannya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi kesaksian yang meyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia.
Filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang jenius. Filsafat hanya dapat dipelajari oleh orang-orang yang memiliki intelektual luar biasa. Sehubungan dengan anggapan itu banyak mahasiswa yang sengaja menghindari mata pelajaran filsafat karena dianggap terlampau sukar dan pelik.
Dengan demikian kita sebagai generasi bangsa seharusnya mampu mengembangkan intelektual kita, karena dengan berfikir kita akan bersilsafat, dan berfilsafat adalah pemikiran
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Sokrates ?
2.      Bagaimana Metode Pembelajaran Sokrates ?
3.      Apa Saja Poin-poin Yang Lahir dari Metode Pembelajaran Sokrates ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan Biografi Sokrates.
2.      Menjelaskan Metode Pembelajaran Sokrates.
3.      Menjelaskan Poin-poin Metode Pembelajaran Sokrates.






PEMBAHASAN
A.    Biaografi Sokrates
Sokrates adalah seorang guru filsafat Yunani kono yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode dealektik untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak sampai hal-hal yang meragukan terjawab atau menjadi jelas. Ia mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum muda bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan. Dalam pemahaman Socrates filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia.[1]
Sokrates berasal dari keluarga sederhana: ayahnya seorang pemahat patung, ibunya seorang bidan. Ia jelek rupa dan menurut tradisi perkawinannya dengan Xantipe tidak berbahagia. Ia seorang warga negara yang baik, yang ikut ambil bagian dalam berbagai pertempuran. Ternyata ia memperoleh pendidikan yang baik dan dengan cepat ia memberi pelajaran dimana-mana di Athena. Berlawanan dengan sikap kaum sofis, ia tidak memungut bayaran untuk pelajaran-pelajaran yang diberikannya, meskipun selanjutnya karena pergaulannya dengan aneka macam manusia juga menyebabkan ia dipandang sebagai seorang sofis. Ia pun menaruh perhatian semata-mata pada manusia. Baginya yang pokok bukanlah masalah mempengaruhi orang lain, melainkan agar manusia mengenal diri sendiri. Ia berusaha menyingkapkan sikap semu yang melekat pada segenap pengetahuan semu dan melacak sumber-sumber pengetahuan yang sebenarnya.[2]
Di dalam komedi “awan”, Aristhophanes memandang Sokrates sebagai seorang sofis, dan sudah tentu yang demikian ini tidak begitu aneh seperti yang dianggap orang kemudian. Namun tetap terdapat perbedaan-perbedaan yang khas antara Socrates dengan kaum sofis. Di dalam kesusateraan Yunani kata “sofis” mempunyai dua macam arti. Kata ini dapat berarti “ahli”, dan didalam makna ini sering dipakai, juga oleh Plato, untuk menunjukkan sesuatu yang sangat baik. Tetapi disamping itu tersebar pula pemakaian kata ini dalam arti yang khusus, yaitu seorang “guru bayaran”, dan didalam makna ini kata tersebut terdengar tidak baik. Berlawanan dengan para pemikir yang lebih tua, kaum sufis meminta upah bagi pelajaran yang mereka berikan, dan dimata orang-orang Yunani yang demikian ini dinilai rendah. Di samping itu pelajaran yang mendapat imbalan upah ini harus membawa hasil, sehingga sofistika beralih menjadi retorika yang tidak mengutamakan masalah kebenaran, melainkan mementingkan masalah cara mempengaruhi orang lain.
Sokrates pernah mempunyai sekolompok murid yang besar jumlahnya, namun tulisan-tulisan para muridnya dalam banyak hal tidak sesuai antara yang satu dengan yang lain.[3]
Ada beberapa ahli yang menekankan bahwa tulisan-tulisan Xenophon tentang Sokrates dapat dijadikan sumber informasi utama, namun ada juga yang mengatakan bahwa tulisan-tulisan Plato dan Aristoteles adalah sumber utama yang paling dapat diandalkan untuk mengenal Sokrates. Saat ini pada umumnya para ahli menggunakan keempat sumber yang tersedia itu, namun ada kesepakatan bersama yang menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran Sokrates hampir lengkap ditemukan lewat berbagai karya tulis Plato, peristiwa dalam dialog-dialog yang pertama, yang disebut sebagai dialog-dialog sokratik. Dari dialog-dialog tersebut memang harus diakui bahwa betapa sulitnya membedakan mana yang merupakan gagasan pemikiran Sokrates yang murni dan mana yang merupakan gagasan dan pemikiran Plato. Yang jelas Plato, yang begitu mengagumi Sokrates, hendak mengabadikan gurunya itu lewat dialog-dialognya sehingga yang pertama Plato berupaya menampilkan Sokrates. Baru kemudian dalam dialog-dialog yang ditulisnya pada usia lebih lanjut, Plato mulai mengembangkan gagasan dan pemikirannya sendiri.[4]
Lewat berbagai karya tulis Plato, yang terlihat jelas ialah bahwa pemikiran-pemikiran Sokrates terpusat kepada manusia. Dengan kata lain, manusia menjadi satu titik perhatian paling utama dalam filsafat Sokrates. Sambil menempatkan manusia dipusat perhatian filsafatnya, Sokrates berangkat dari kehidupan sehari-hari yang konkrit. Dari kehidupan itu, Sokrates berupaya menggapai kebenaran objektif. Sokrates menolak subjektivesme dan relativisme dari kaum sofis yang menyebabkan timbulnya skeptisisme. Bagi Sokrates, kebenaran objektif yang hendak digapai bukanlah semata-mata untuk membangun suatu ilmu pengetahuan teoretis yang abstrak, tetapi justru untuk meraih kebajikan karena, menurut Sokrates, filsafat adalah upaya untuk mencapai tingkah laku manusia yang pantas, yang baik, dan yang terpuji. Kebajikan mengantar manusia kegerbang kebahagiaan sejati. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa barang siapa mengetahui dan oleh sebab itu memiliki kebenaran objektif dan bertingkahlaku sesuai dengan kebenaran objektif itu, merekalah yang dapat mengecap kebahagiaan sesungguhnya.
Untuk menggapai kebenaran objektif itu, Sokrates menggunakan suatu metode yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang amat erat digenggamnya. Sokrates begitu yakin bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif iru tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa praeksistensinya. Karena itu, Sokrates tidak pernah mengajar tentang kebenaran itu, melainkan berupaya menolong untuk mengungkapkan apa yang memang ada dan tersimpan didalam jiwa seorang. Sokrates mengatakan bahwa seperti apa yang dilakukan oleh ibunya, yang sering menolong orang melahirkan, demikianlah pula yang dilakukannya. Ia menolong orang untuk “melahirkan” pengetahuan akan kebenaran yang dikandung oleh jiwanya. Sokrates merasa terpanggil untuk melakukan tugas yang mirip dengan tugas ibunya itu, maka cara yang digunakannya pun disebut maieutika tekhne (teknik kebidanan).[5]
Sokrates tidak bermaksud untuk memaksakan orang lain menerima sesuatu ajaran.Ia memakai siasat ibunya seorang bidan. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia bermaksud agar manusia memperoleh penglihatan dalam bahwa pendapat yang sudah terpateri dalam dirinya sesungguhnya kurang berisi kebijakan serta mengandung pertentangan-dalam. Namun ia tidak tetap bertahan pada kegiatan yang negatif ini. Ia melangkah lebih maju dan seraya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ia berusaha agar teman berbicaranya memperoleh keinsyafan yang lebih dalam mengenai sesuatu masalah yang sedang dihadapi, yang pada umumnya bertalian dengan perilaku manusia. Yang selalu diutamakannya ialah agar teman berbicaranya menginsyafi, bahwa berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Sokrates, ia sendiri telah berhasil memperoleh penglihatan-dalamnya. Sokrates yakin bahwa hanya dengan cara yang demikian penglihatan-dalam dapat menjadi milik rohani seseorang. Dan yang demikian ini terutama penting bial menyangkut penglihatan-dalam dibidang kesusilaan, yang mempunyai arti penentu bagi seluruh kehidupan manusia.
Daya pikir Sokrates membatasi apa yang dinamakan mazhab-mazhab Socrates. Mazhab-mazhab ini tidak merupakan satuan-satuan tertutup seperti yang terdapat dikalangan para penganut ajaran Pythagoras dan kemudian terdapat pada akademi Plato. Yang paling terkenal ialah dua buah mazhab yang mempunyai pengaruh yang sangat besar: mazhab Sinik dengan tokohnya Antisthenes dan mazhab Cyrene dengan tokohnya Aristippus.[6]
Tampaknya dalam usia lanjut Antisthenes menjadi murid Sokrates. Setelah Socrates meninggal, Antithenes mengajar digymnasium kunosarges (kunos=anjing, pen.) di Athena . kata tersebut dijabarkan menjadi nama bagi para pengikutnya (Cynic scool=mazhab sinik, pen.), yang baru terjadi kemudian dan pada waktu itu juga berdasar perilaku mereka yang meniru anjing. Ia hanya menaruh perhatian pada etika. Manusia harus dapat membebaskan diri dari apa saja. Tidak boleh ada sesuatu pun yang dapat menjadi penyebab baginya untuk bergembira atau bersedih. Ia harus puas dengan dirinya sendiri dan memandang satu-satunya tujuan hidupnya ialah membebaskan diri sepunuhnya dari pendapat orang-orang lain serta dari hukum yang mereka buat. Puncak ajaran Antisthenes berupa pandangan monoteistik mengenal Tuhan Diogenes dari Sinope menyimpulkan ajaran tersebut secara ekstrim menjadi pendirian yang merendahkan manusia. Hidupnya dijalin dengan bermacam-macam dengeng (ia pernah berdiam didalam sebuah tong). Tiadak ada satu pun diantara ajarannya yang dapat dipastikan kebenarannya.
Pendapat-pendapat Aristippus dari Cyrene berlawanan dengan pendapat-pendapat Antisthenes. Satu-satunya tujuan perbuatan kita ialah kenikmatan, dan karena tangkapan inderawi kita berubah-ubah, maka sudah tentu kenikmatan tersebut merupakan kenikmatan sementara. Ada dalil pokok ini tidak berarti bahwa pertimbangan pikiran tidak diperlukan. Banyak faktor yang harus kita pertimbangkan yang satu terhadap yang lain. Hendaknya diingat bahwa banyak kenikmatan yang kemudian diikuti oleh kesedihan. Karena itu orang yang bijaksana tidak mau dikuasai oleh kenikmatan, melainkan ia sendirilah yang menguasai kenikmatan.
Kurun waktu para penganut ajaran Sokrates adalah penting, antara lain karena merupakan penghubung antara pemikiran Pra-Sokrates dengan pemikiran Hellenistik. Dalam banyak hal aristippus sepaham sengan Democritus, dan dalam hal ini juga mendahului pendapat Epicurus. Dikemudian hari pendirian sinik yang diajarkan Antisthenes juga ditemukan kembali dalam bentuk yang lebih lunak pada kaum Stoa.[7]

B.     Metote Dialektik
Istilah dialektika barasal dari kata kerja yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap. Kata dialektik dalam ungkapan “metode dialektik” Sokrates memiliki arti yang sangat dekat dengan arti harfiyah kata yunani tersebut. Ada pula yang menyebut metode dialektik sebagai “metode interogasi” (interrogation method). Kendati metode dialektik bukanlah ciptaan Sokrates, dapat dikatakan bahwa Sokrateslah yang mempraktekkan dan mengembangkan metode tersebut dengan baik.[8]
Metode pembelajaran Sokrates bukanlah dengan cara menjelaskan, melainkan dengan cara mengajukan pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta dengan menanyakan lebih jauh lagi, sehingga para siswanya terlatih untuk mampu memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang mereka maksud dengan mendetail. Selain menanyakan atau mengajukan pertanyaan Sokrates acap kali berdebat dengan orang. Dalam perdebatan, ia menggunakan sendirian, melalui desakan pertanyaan tiada henti, agar pihak lawan bertentangan sendiri, mengakui tidak tahu sama sekali terhadap pertanyaan tersebut.
Melalui bentuk tanya jawab, teknik bantuan yakni membantu pihak lawan bicara membuang pandangan yang salah, menemukan kebenaran yang sebenarnya, menyimpulkan melalui perbandingan terhadap analisa masing-masing untuk mencari hukum universal.
Dalam kamus istilah filsafat dan ilmu dikatakan bahwa metode dialektika ini diartikan sebagai metode dialog yang dilakukan oleh seorang guru yang dengan sabar bertanya kepada murid, sehingga murid tersebut mengetahui kesimpulan yang benar tanpa guru itu memberitahuinya.
Dialektika berbeda dengan dualisme, karena dualisme membicarakan dua pikiran yang saling berlawanan dan tidak dapat dipadukan, sedangkan dialektika berbicara tentang dua pikiran yang saling berlawanan namun dapat saling direlasikan dan diperoses. Hegel mengemukakan dialektika dapat dimengerti seperti tesis, antitesis dan sintesis.
Misalnya terdapat sebuah memikran A (tesis) maka pasti terdapat pemikiran kontra A (antitesis). Untuk menyelesaikan kedua pemikiran tersebut maka dibuatlah pemikiran baru diantara keduanya, sebut saja pemikiran B (sintesis). Selanjutnya, dengan adanya pemikiran B (tesis) pasti terdapat pula pemikiran kontra B (antitesias) yang akan menghasilkan pemikiran baru lagi (sintesis) dan seterusnya. Melalui gambaran ini kita dapat melihat bahwa pemikiran dialektika selalu bersifat bergerak terus menerus atau berproses.
Adapun metode dialektika yang dipelopori oleh Sokrates adalah metode dialektika metafisis. Dikarenakan dengan metode ini Sokrates dapat menemukan dasar pengetahuan tentang metafisika. Dan metode ini ia terapkan bukan saja kepada murid-muridnya tapi juga kepada orang-orang dari berbagai kalangan baik itu ahli politik, pejabat pemerintahan, pedagang, tukang maupun petani sekalipun, setiap kali ia menjumpai mereka.
Dengan berdialektika seperti ini, Sokrates mampu membuktikan kebenaran yang objektif, dimana kebenaran tersebut tergantung kepada manusia itu relatif. Selain itu, ia juga dapat menyingkapi kepalsuan dari peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang semu dan mengajak orang untuk menelusurinya hanya melalui metode yang bersifat praktis ini.
Sokrates lebih suka menyebut metode pembelajarannya dengan nama “maieutike tekhne atau seni kebidanan”. Ini disebabkan Sokrates mengqiyaskan apa yang ia lakukan dengan ibunya sebagai orang bidan, dimana tugas kesehariannya hanyalah menolong manusia dan menarik keluar bayi. Artinya membantu orang “melahirkan” wawasan yang benar. [9]

C.    Poin-poin Metode Pembelajaran Sokrates
Di dalam traktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode Sokrates ini. Ada dua penemuan (poin), katanya, yang menyangkut Socrates, kedua-duanya berkenaan dengan dasar pengetahuan. Yang pertama ialah menemukan induksi  dan yang kedua ia menemukan definisi.
Dalam logikanya Aristoteles menggunakan istilah induksi tatkala pemikiran bertolak dari pengetahuan yang khusus, lalu menyimpulkan pengetahuan yang umum. Itu dilakukan oleh Sokrates. Ia bertolak dari contoh-contoh kongkret, dan dari situ ia menyimpulkan pengertian yang umum. Misalnya Sokrates ingin mengetahui apa yang dimaksud orang dengan arte (keutamaan). Nah, ada banyak orang yang mempunyai keahlian tertentu yang dianggap mereka masing-masing mempunyai arete. Karena itulah Sokrates bertanya kepada tukang besi, apa keutamaan bagi mereka; kepada negarawan, filosof, pedagang, dan sebagainya, apa pengertian arete bagi mereka. Ciri-ciri keutamaan bagi mereka masing-masing tentulah tidak sama, tetapi ada ciri-ciri khusus yang sama; artinya ada ciri yang disetujui bersama dan menyisihkan ciri khusus yang tidak disetujui bersama. Itulah cara membuat definisi tentang suatu objek.
Dari usaha ini Sokrates menemukan definisi, penemuan yang kedua, kata Aristoteles. Tentu saja penemuan kedua ini berhubungan erat dengan penemuan pertama tadi karena definisi ini diperoleh dengan jalan mengadakan induksi itu.
Bagi kita, yang sudah biasa membentuk dan menggunakan definisi, barangkali merasakan definisi itu bukan sesuatu yang amat penting, jadi bukan suatu penemuan yang luar berharga. Akan tetapi, bagi Sokrates pada waktu itu penemuan definisi bukanlah hal yang kecil maknanya; penemuan inilah yang akan dihantamkannya kepada relativisme kaum sofis.
Orang sofis beranggapan bahwa semua pengetahuan adalah relatif kebenarannya, tidak ada pengetahuan yang bersifat umum. Dengan definisi itu Socrates dapat membuktikan kepada orang sofis bahwa pengetahuan yang umum ada, yaitu definisi itu. Jadi, orang sofis tidak seluruhnya benar; yang benar ialah sebagian pengetahuan bersifat umum dan sebagian bersifat khusus; yang khusus itulah pengetahuan yang kebenarannya relatif. [10]













PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sokrates adalah seorang guru filsafat yunani kono yang sangat berpengaruh. Ia memakai metode dialektik untuk membimbing orang memahami suatu pengetahuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak sampai hal-hal yang meragukan terjawab atau menjadi jelas. Ia mengajarkan kepada khalayak ramai terutama kaum muda bahwa pengetahuan adalah kebajikan dan kebajikan adalah kebahagiaan. Dalam pemahaman Socrates filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia.
Istilah dealektika barasal dari kata kerja yunani dialegesthai, yang berarti bercakap-cakap. Kata dialektik dalam ungkapan “metode dialektik” Sokrates memiliki arti yang sangat dekat dengan arti harfiyah kata yunani tersebut. Ada pula yang menyebut metode dialektik sebagai “metode interogasi”.
Metode pembelajaran Sokrates bukanlah dengan cara menjelaskan, melainkan dengan cara mengajukan pertanyaan, menunjukkan kesalahan logika dari jawaban, serta dengan menanyakan lebih jauh lagi, sehingga para siswanya terlatih untuk mampu memperjelas ide-ide mereka sendiri dan dapat mendefinisikan konsep-konsep yang mereka maksud dengan mendetail. Selain menanyakan atau mengajukan pertanyaan Sokrates acap kali berdebat dengan orang. Dalam perdebatan, ia menggunakan sendirian, melalui desakan pertanyaan tiada henti, agar pihak lawan bertentangan sendiri, mengakui tidak tahu sam sekali terhadap pertanyaan tersebut.
Di dalam traktatnya tentang metafisika, Aristoteles memberikan catatan mengenai metode Socrates ini. Ada dua penemuan (poin), katanya, yang menyangkut Socrates, kedua-duanya berkenaan dengan dasar pengetahuan. Yang pertama ialah menemukan induksi  dan yang kedua ia menemukan definisi.

DAFTAR PUSTAKA
Delfgaaunw, Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Gie, The Liang Pengantar Filsafat Ilmu,Yogyakarta:Liberti Yogyakarta,1999.
Https;afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-sokrates/diakses pada tanggal 29 Oktober 2017.
Rapar,Jan Hendrik, Pengantar Filsafat,Yogyakarta: Kanisius,1996.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003.




[1] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu,(Yogyakarta:Liberti Yogyakarta,1999), hlm.28.
[2] Bernard Delfgaaunw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm.14.
[3]Ibid, hlm.15
[4] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1996), hlm.99.
[5]Ibid, hlm.100.
[6] Bernard Delfgaaunw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm.16.
[7] Ibid, hlm.17.
[8] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,1996), hlm101.
[9] Https;afidburhanuddin.wordpress.com/2013/09/21/filsafat-sokrates/diakses pada tanggal 29 Oktober 2017.

[10] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.55.