KEPEMIMPINAN ORANG
KAFIR
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu Ainul
Yaqin, M.HI
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
NOVEMBER 2017
KATA
PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah
puji syukur atas ke hadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami (penulis) dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang
berjudul Kepemimpinan Orang Kafir
Selawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita. Pimpinan sekaligus,
tauladan terbaik sepanjang masa, yakni Nabi besar Muhammad SAW yang telah menuntun manusia dari zaman jahiliah menuju
zaman yang terang benderang yakni Addinul
Islam Wal’iman.
Penulis
mengakui dan sangat menyadari bahwa karya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena memang keterbatasan kemampuan yang penulis mililki. Oleh karena itu kritik
dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Untuk
itu penulis berharap semoga karya makalah ini dapat memberi manfaat baik kepada
pembaca dan penulis pribadi. Aamiiin
WassalamualaikumWr. Wb
Pamekasan, 14 November 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
COVER
KATA
PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR
ISI .............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................
1
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Dasar
dan Dalil ................................................................................................ 3
B. Pendekatan Hadis ......................................................................................... .
6
C. Pendekatan Ushul Fiqh dan Fiqh .................................................................... 7
D. Syarat-Syarat Pemimpin .................................................................................. 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 10
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................ …
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agar kehidupan suatu umat berjalan secara
teratur dan hubungan sesama manusia berjalan dengan rukun dan damai. Maka
diangkatlah pemimpin yang diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan
aturan yang telah ditetapkan. Pemimpin adalah sosok yang sangat penting dalam
sebuah kelompok baik lingkup sempit maupun luas. Pemimpin adalah komponen yang paling
urgen yang harus melangengkan keadilan, prinsip persamaan sebagaimana yang
dianjurkan dalam Al-Quran dan merupakan pemegang amanah dari Tuhan. Bahkan jika
ada tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh, Rasulullah menganjurkan agar
salah seorang mereka diangkat sebagai pemimpin.
Eksitensi kelompok sangat ditentukan oleh
pemimpinnya, akankah nanti akan dibawa ke arah kebaikan, kesejahteraan. Oleh
karena itu, sudah merupakan tanggung jawab setiap personal untuk selektif dan
berhat-hati dalam memilih pemimpin. Prinsip kepempimpinan yang paling pokok
adalah keadilan, jadi setiap personal memilik porsi hak dan kewajiban yang
linear. Dalam era globalisasi ini, masalah kepimpinan bukan hanya masalah lokal atau wilayah suatu negara saja. Pengangkatan
seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia.
Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang pemimpin yang akan diangkat
adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Saja Dasar dan Dalil dalam Kepemimpinan
Orang Kafir?
2. Bagaimana Pendekatan menggunakan Hadis?
3. Bagaimana Pendekatan menggunakan Ushul Fiqh
dan Fiqh?
4. Apa saja Syarat-Syarat Pemimpin?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk Mengetahui Dasar dan Dalil dalam
Kepemimpinan
Non-Muslim
Non-Muslim
2. Untuk Mengetahui bagaimana Pendekatan
menggunakan Hadis
3. Untuk Mengetahui bagaimana Pendekatan
menggunakan Ushul Fiqh dan Fiqh.
4. Untuk mengetahui Syarat-Syarat dari
Pemimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar dan
Dalil
Al-Qur’an telah memberikan aturan umum atau
prinsip-prinsip dasar terhadap permasalahan hidup. Tidak ditemukan dalam
Al-Qur’an kata rais, mudir, atau amir
untuk pemimpin serta ayat yang secara sharih memerintahkan atau mengatur cara
pemilihan mudir, rais, atau amir tersebut. Ketika berbicara masalah
kepemimpinan maka bahasa yang digunakan adalah auliya dan ulil amri. Kata auliya adalah bentuk jamak dari wali
yang mempunyai banyak arti. Diantaranya pemimpin, penolong, teman dekat,
kerabat, yang mengikuti, yang menta’ati, penanggungjawab.[1]
1. Surah Ali Imran ayat 28
لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين
ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء الا ان تتقوالا ان تتقوا منهم تقة ويحذركم الله
نفسه والي الله المصير
Artinya: Janganlah orang-orang beriman menjadikan
orang-orang kafir menjadi pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa
berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga
diri dari sesuatu yang kamu ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
akan diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali.
Kalau dilihat dari Asbab Al-Nuzul riwayat Jubair,
maka larangan menjadikan mereka wali maksudnya adalah meminta bantuan kepada
mereka dalam menghadapi musuh. Namun menurut Abdurrrahman Al-Sa’di larangan di
sini tidak hanya terbatas seperti dalam Asbab Al-Nuzul, tetapi mencakup
larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin.[2]
Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang terpaksa untuk berwali
kepada non-Muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia dibolehkan Allah. Mengakui
hal tersebut secara lahir, tetapi tidak secara bathin.
Pendapat senada antara lain didukung oleh
Al-Maududi, Partisipasi dalam Negara sekuler tidak jauh berbeda dengan
penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sewaktu meninggalkan Pakistan,
sebagaimana dikutip Asghar Ali Enginer,
dia menyapa kaum Muslim yang tinggal di India dengan mengatakan:
Khusus bagi saudara saudaraku kaum Muslimin, perlu
saya sampaikan bahwa kekufuran (sekularisme) masa kini dan konsep demokrasi
nasional sama sekali bertentangan dengan agama kita. Jika kalian tunduk
kepadanya, kalian sama halnya menentang ajaran Al-Qur’an. Jika kalian turut
serta mendirikan dan mendukungnya, kalian sama halnya memproklamirkan
pengingkaran terhadap Tuhan. [3]
Dengan demikian, menurutnya semua Muslim
yang ada di India di tempat lain yang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler
adalah orang-orang yang mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup
dengan bergelimang dosa dan halal dibunuh, karena dalam Islam hukuman yang
setimpal bagi orang-orang yang ingkar terhadap agamanya adalah hukuman mati.
Namun, ketika harus memilih, umat Islam
yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan
berusaha seoptimal mungkin untuk merebut posisi strategis, utamanya posisi
sebagai kepala Negara. Sebagaimana kaum non-Muslim selalu berusaha menguasai
posisi-posisi strategis semacam itu di negara-negara Muslim. Pendapat di atas
agaknya tidak menyimpang dari tuntutan Al-Qur’an. Sebab di masa lalu Nabi
Yusuf, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an (Q.S. Yusuf: 55-56), pernah
berpartisipasi menjadi bendaharawan (mentri keuangan) negara Mesir yang dulu
kala di pimpin raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.[4]
2. Surah Al-Mumtahanah ayat 8
لا ينهكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الذين
ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطو االيهم ان الله يهب المقسطين.
Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan
agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.
انما ينهكم الله عن الذين قا تلوكم في اذين واخرجوكم من ذياركم وظاهرواعلى
اخراجك ان تولوهم ومن يتولهم فاولىك هم الظلمون.
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan
agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang
yang dzalim (Surah Al-Mumtahanah 9)
Dengan keterangan ini, nyatalah salahnya
tuduhan orang yang menyatakan agama Islam disiarkan dengan pedang dan menyuruh,
supaya memusuhi segala orang yang bukan beragama Islam.
Dengan ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman
mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolonglah dan
berkasih-sayang dengan mereka, bahwa mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi
dan kaum Muslimin.[5]
Sebenarnya pelanggaran non-Muslim menjadi
pemimpin tidak mencuat sejak kasus pencalonan Gubernur Jokowi-Ahok, Ahok, dan
Susan, namun pembahasan mengenai hal ini telah lama dan jauh dilakukan oleh masyarakat
Islam, bahkan telah ditulis dalam buku-buku Islam klasik. Salah satu karya
kontomporer membahas ini dapat ditemukan dalam buku
“Al-Qur’an dan Kenegaraan: Tafsir Al-Qur’an Tematik, yang menyatakan salah satu syarat pemimpin negara adalah beriman dan bertaqwa. Dalam buku tersebut lebih dijelaskan lagi bahwa Al-Qur’an telah memberikan panduan, yaitu Surah Al-Imran: 28 yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, karena yang demikian akan merugikan mereka sendiri dan kepentingan umat secara umum. [6]
“Al-Qur’an dan Kenegaraan: Tafsir Al-Qur’an Tematik, yang menyatakan salah satu syarat pemimpin negara adalah beriman dan bertaqwa. Dalam buku tersebut lebih dijelaskan lagi bahwa Al-Qur’an telah memberikan panduan, yaitu Surah Al-Imran: 28 yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, karena yang demikian akan merugikan mereka sendiri dan kepentingan umat secara umum. [6]
Dalam buku Al-Adalah Al-Ijtoma’iyyah Fi
Al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) karya Sayyid Qutb (1906), yang dikutip oleh
Munawir Sjadzali, dikatakan bahwa tolak ukur sebuah pemerintahan yang baik
adalah kesejatraan dan keadilan sosial
dan dalam banyak hal tidak mengenal fanatisme ras, kedaerahan, dan
keagamaan. Terdapat kesamaan hak antara pemeluk berbagai agama. [7]
B. Pendekatan Hadis
1. Al-Imam Abu Bakar Al-Jashshosh Al-Hanafi
r.a (w.370 H) berkata:
وفي هده الاية دلالة علي أن الكافر لا يكون
وليا للمسلم
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa
orang kafir tidak boleh menjadi wali bagi seorang muslim.
(Akhkaamul Qur’an, 4/99).
(Akhkaamul Qur’an, 4/99).
Makna wali memang memiliki cakupan makna yang luas,
dan pemimpin atau penguasa termasuk dalam cakupan maknanya. Perwalian juga
bermakna bersifat loyal atau lawan dari permusuhan.
2. Al-Imam Ibnu Hazm r.a berkata:
وان يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل
الله للكافرين عل المؤمنين سبيلا والخلا فة أعظم السبيل ولأمره تعالى ياصغار أهل
الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin haruslah seorang muslim. Karena Allah
SWT berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali
tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
yang beriman’.
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128)
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128)
Maka jelaslah keharaman memilih pemimpin
kafir berdasarkan Al-Qur’an dan kesepakatan ulama Islam.
3. Ahli Tafsir Mazhab Syafi’I Al-Imam Ibnu
Katsir Asy-Syafi’i r.a (w. 774 H) berkata dalam kitab Tafsir beliau,
ينهئ تعال عباده المؤمنين عن موالاة اليهود
والنصارئ
“Dalam ayat ini Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang
beriman untuk bersikap loyal kepada Yahudi dan Nashrani”. (Tafsir Ibnu Katsir,
3/132)
Dan tidak diragukan lagi bahwa memilih pemimpin
termasuk sebesar-besarnya sikap loyal. Oleh karena itu Ulama Islam Seluruhnya
Sepakat Atas Haramnya Memilih Pemimpin Kafir.[8]
C. Pendekatan Ushul
Fiqh dan Fiqh
Dalam kitab-kitab fiqh imam mazhab, masalah
pengangkatan khalifah jarang dibicarakan. Hal ini, barangkali karena pada masa
keemasan fiqh, proses pengangkatan khalifah seringkali hanya ditunjuk oleh
khalifah sebelumnya tanpa berkonsultasi dengan para fuqaha’. Di samping itu ada
juga khalifah naik tahta dengan cara revolusi.
Ketika dihadapkan dengan masalah
kepemipinan biasanya hal tersebut hanya dibicarakan dalam masalah syarat imam
shalat serta syarat calon hakim atau qadli. Tidak banyak ditemukan tulisan para
mujtahidin tentang pengangkatan seorang khalifah, apalagi presiden atau perdana
mentri seperti saat ini. Di antara ulama yang membahas agak lebih rinci masalah
ini adalah Al-Mawardi dan Muhammad bin Al-Husaim Al-Hanbali dalam buku
“Al-Ahkam Al-Sultllaniyah”.
Menurut Muhammad Abdurrahman Al-Bakr para
ulama telah sepakat untuk memasukkan Islam sebagai salah satu syarat calon
qadli. Yusuf Al-Qardawi ketika menjelaskan ayat ke-28 Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa ayat ayat 138 -139, dan 144 juga
menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut merupakan peringatan untuk tidak menjadikan
orang kafir atau non-Muslim sebagai pemimpin. [9]
D. Syarat-Syarat
Pemimpin Ideal
Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin adalah sebagi berikut:
1. Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak
pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan,
tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila
mampu.
2. Fasih membaca Al-Qur’an Al-Karim dan tahu
bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada
hukum baginya kecuali yang berdasarkan Al-Qur’an. Maka setiap masalah selalu
dirujuknya kepada Al-Qur’an.
3. Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk cari kekayaan baik buat
diri, atau keluarga.
4. Bersikap adil kepada semua pemeluk Agama
dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup dengan damai di
bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi kecurangan dan
pelanggaran antara sesama pemeluk agama.
5. Cinta kepada ilmu pengetahuan dan
menggratiskan semua bentuk sekolah dan fasilitas pendidikan.
6. Tidak menjual asset negara ini kepada pihak
asing, sebab negeri ini sudah demikian kaya dan sebenarnya berlimpah dengan
uang. Semua demi kepentingan anak bangsanya, bukan demi kepentingan
penguasanya.
7. Tidak menggunakan fasilitas negara untuk
masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di luar negara secara
langsng. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
8. Menegakkan selalu amar ma’ruf dan nahi
mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab, sebagai penguasa, di tangannya ada
kekuatan. [10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut Abdurrrahman Al-Sa’di larangan di
sini tidak hanya terbatas seperti dalam Asbab Al-Nuzul, tetapi mencakup
larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin. ketika harus
memilih, umat Islam yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut
berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut posisi strategis,
utamanya posisi sebagai kepala Negara. Dengan ayat ini Allah melarang
orang-orang yang beriman mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu
bertolong-tolonglah dan berkasih-sayang dengan mereka, bahwa mereka memusuhi
dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin.
2. “Syarat pemimpin haruslah seorang muslim.
karena Allah SWT berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir
untuk menguasai orang-orang yang beriman’.
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128). Oleh karena itu Ulama Islam Seluruhnya Sepakat Atas Haramnya Memilih Pemimpin Kafir.
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128). Oleh karena itu Ulama Islam Seluruhnya Sepakat Atas Haramnya Memilih Pemimpin Kafir.
3. Yusuf Al-Qardawi ketika menjelaskan ayat
ke-28 Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa ayat ayat 138
-139, dan 144 juga menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut merupakan peringatan
untuk tidak menjadikan orang kafir atau non-Muslim sebagai pemimpin.
4. Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak
pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan,
tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila
mampu.
↔ Fasih membaca Al-Qur’an Al-Karim dan tahu bahwa Al-Qur’an adalah
sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada hukum baginya kecuali yang
berdasarkan Al-Qur’an. Maka setiap masalah selalu dirujuknya kepada
Al-Qur’an.
↔ Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk cari kekayaan baik buat
diri, atau keluarga.
↔ Bersikap adil kepada semua pemeluk Agama
dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup dengan damai di
bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi kecurangan dan
pelanggaran antara sesama pemeluk agama.
↔ Cinta kepada ilmu pengetahuan dan
menggratiskan semua bentuk sekolah dan fasilitas pendidikan.
↔ Tidak menjual asset negara ini kepada
pihak asing, sebab negeri ini sudah demikian kaya dan sebenarnya berlimpah
dengan uang. Semua demi kepentingan anak bangsanya, bukan demi kepentingan
penguasanya.
↔ Tidak menggunakan fasilitas negara untuk
masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di luar negara secara
langsng. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
↔ Menegakkan selalu amar ma’ruf dan nahi
mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab, sebagai penguasa, di tangannya ada
kekuatan.
DAFTAR RUJUKAN
1. Al Qardhawi, Yusuf. 2002. Fatwa-Fatwa
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
2. Al Usairy, Ahmad.
2003. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad X. Jakarta: Akbar
Media Eka Sarana.
3. Enginer, Asghar
Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4. Muhammmad, Abd
Al-Jawwad. 2009. Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah. Solo: Pustaka Iltizam.
5. sofyanruray.info (diakses 13 November 2017, 10.18 WIB)
6. Yunus, Mahmud. 2004. Tafsir Qur’an
Karim. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
7. zulgeneralagency.blogspot.co.id (diakses 13 November 2017, 07.49 WIB)
[1] Abd. Al-Jawwad Muhammmad, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah
(Solo: Pustaka Iltizam, 2009) hlm. 191
[2] Abdurrahman bin Nashir
Al-Sa’did, Tafsir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manar,
(Mu’assasah Al-Risalah, 2001) hlm. 128
[3] Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 214
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad
XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) hlm. 52.
[6] M. Hanafi Muchlis,
Al-Qur’an dan Kenegaraan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2011) hlm.
191
[7] Munawir Sjadzali,
Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993)
hlm. 149 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: UI-Press, 1993) hlm. 149
[8] sofyanruray.info (diakses 13 November 2017, 10.18 WIB)