Thursday, 16 November 2017

KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR



KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu Ainul Yaqin, M.HI





Disusun Oleh :



PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYYAH
JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
NOVEMBER 2017

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb

            Alhamdulillah puji syukur atas ke hadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami (penulis) dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul Kepemimpinan Orang Kafir
            Selawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada junjungan kita. Pimpinan sekaligus, tauladan terbaik sepanjang masa, yakni Nabi besar Muhammad SAW yang  telah menuntun manusia dari zaman jahiliah menuju zaman yang terang benderang yakni Addinul Islam Wal’iman.
            Penulis mengakui dan sangat menyadari bahwa karya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena memang keterbatasan kemampuan yang penulis mililki. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
            Untuk itu penulis berharap semoga karya makalah ini dapat memberi manfaat baik kepada pembaca dan penulis pribadi.  Aamiiin
WassalamualaikumWr. Wb



Pamekasan, 14 November 2017


Penyusun









DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................ 1
C.     Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB  II PEMBAHASAN
A.    Dasar dan Dalil ................................................................................................ 3
B.  Pendekatan Hadis  ......................................................................................... . 6
C. Pendekatan Ushul Fiqh dan Fiqh ....................................................................  7
D. Syarat-Syarat Pemimpin ..................................................................................  8
BAB III  PENUTUP
A.    Kesimpulan ...................................................................................................  10
DAFTAR RUJUKAN ........................................................................................ … 12
 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Agar kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah pemimpin yang diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telah ditetapkan. Pemimpin adalah sosok yang sangat penting dalam sebuah kelompok baik lingkup sempit maupun luas. Pemimpin adalah komponen yang paling urgen yang harus melangengkan keadilan, prinsip persamaan sebagaimana yang dianjurkan dalam Al-Quran dan merupakan pemegang amanah dari Tuhan. Bahkan jika ada tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh, Rasulullah menganjurkan agar salah seorang mereka diangkat sebagai pemimpin.
Eksitensi kelompok sangat ditentukan oleh pemimpinnya, akankah nanti akan dibawa ke arah kebaikan, kesejahteraan. Oleh karena itu, sudah merupakan tanggung jawab setiap personal untuk selektif dan berhat-hati dalam memilih pemimpin. Prinsip kepempimpinan yang paling pokok adalah keadilan, jadi setiap personal memilik porsi hak dan kewajiban yang linear. Dalam era globalisasi ini, masalah kepimpinan bukan hanya masalah lokal  atau wilayah suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang pemimpin yang akan diangkat adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Saja Dasar dan Dalil dalam Kepemimpinan Orang Kafir?
2.      Bagaimana Pendekatan menggunakan Hadis?
3.      Bagaimana Pendekatan menggunakan Ushul Fiqh dan Fiqh?
4.      Apa saja Syarat-Syarat Pemimpin?



C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Dasar dan Dalil dalam Kepemimpinan
Non-Muslim
2.      Untuk Mengetahui bagaimana Pendekatan menggunakan Hadis
3.      Untuk Mengetahui bagaimana Pendekatan menggunakan Ushul Fiqh dan Fiqh.
4.      Untuk mengetahui Syarat-Syarat dari Pemimpin.























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Dasar dan Dalil
Al-Qur’an telah memberikan aturan umum atau prinsip-prinsip dasar terhadap permasalahan hidup. Tidak ditemukan dalam Al-Qur’an kata rais,  mudir, atau amir untuk pemimpin serta ayat yang secara sharih memerintahkan atau mengatur cara pemilihan mudir, rais, atau amir tersebut. Ketika berbicara masalah kepemimpinan maka bahasa yang digunakan adalah auliya dan ulil amri.  Kata auliya adalah bentuk jamak dari wali yang mempunyai banyak arti. Diantaranya pemimpin, penolong, teman dekat, kerabat, yang mengikuti, yang menta’ati, penanggungjawab.[1]

1.      Surah Ali Imran ayat 28
لا يتخذ المؤمنون الكافرين أولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذلك فليس من الله في شيء الا ان تتقوالا ان تتقوا منهم تقة ويحذركم الله نفسه والي الله المصير    
Artinya: Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir menjadi pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun  dari Allah, kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali.

Kalau dilihat dari Asbab Al-Nuzul riwayat Jubair, maka larangan menjadikan mereka wali maksudnya adalah meminta bantuan kepada mereka dalam menghadapi musuh. Namun menurut Abdurrrahman Al-Sa’di larangan di sini tidak hanya terbatas seperti dalam Asbab Al-Nuzul, tetapi mencakup larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin.[2] Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang terpaksa untuk berwali kepada non-Muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia dibolehkan Allah. Mengakui hal tersebut secara lahir, tetapi tidak secara bathin.
Pendapat senada antara lain didukung oleh Al-Maududi, Partisipasi dalam Negara sekuler tidak jauh berbeda dengan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sewaktu meninggalkan Pakistan, sebagaimana dikutip Asghar Ali Enginer,  dia menyapa kaum Muslim yang tinggal di India dengan mengatakan:
Khusus bagi saudara saudaraku kaum Muslimin, perlu saya sampaikan bahwa kekufuran (sekularisme) masa kini dan konsep demokrasi nasional sama sekali bertentangan dengan agama kita. Jika kalian tunduk kepadanya, kalian sama halnya menentang ajaran Al-Qur’an. Jika kalian turut serta mendirikan dan mendukungnya, kalian sama halnya memproklamirkan pengingkaran terhadap Tuhan. [3]
Dengan demikian, menurutnya semua Muslim yang ada di India di tempat lain yang berpartisipasi dalam pemerintahan sekuler adalah orang-orang yang mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup dengan bergelimang dosa dan halal dibunuh, karena dalam Islam hukuman yang setimpal bagi orang-orang yang ingkar terhadap agamanya adalah hukuman mati.
Namun, ketika harus memilih, umat Islam yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut posisi strategis, utamanya posisi sebagai kepala Negara. Sebagaimana kaum non-Muslim selalu berusaha menguasai posisi-posisi strategis semacam itu di negara-negara Muslim. Pendapat di atas agaknya tidak menyimpang dari tuntutan Al-Qur’an. Sebab di masa lalu Nabi Yusuf, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an (Q.S. Yusuf: 55-56), pernah berpartisipasi menjadi bendaharawan (mentri keuangan) negara Mesir yang dulu kala di pimpin raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.[4]


2.      Surah Al-Mumtahanah ayat 8
لا ينهكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الذين ولم يخرجوكم من دياركم ان تبروهم وتقسطو االيهم ان الله يهب المقسطين.
Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
انما ينهكم الله عن الذين قا تلوكم في اذين واخرجوكم من ذياركم وظاهرواعلى اخراجك ان تولوهم ومن يتولهم فاولىك هم الظلمون.
Artinya: Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang dzalim (Surah Al-Mumtahanah 9)  

Dengan keterangan ini, nyatalah salahnya tuduhan orang yang menyatakan agama Islam disiarkan dengan pedang dan menyuruh, supaya memusuhi segala orang yang bukan beragama Islam.
Dengan ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolonglah dan berkasih-sayang dengan mereka, bahwa mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin.[5]

Sebenarnya pelanggaran non-Muslim menjadi pemimpin tidak mencuat sejak kasus pencalonan Gubernur Jokowi-Ahok, Ahok, dan Susan, namun pembahasan mengenai hal ini telah lama dan jauh dilakukan oleh masyarakat Islam, bahkan telah ditulis dalam buku-buku Islam klasik. Salah satu karya kontomporer membahas ini dapat ditemukan dalam buku
“Al-Qur’an dan Kenegaraan: Tafsir Al-Qur’an Tematik, yang menyatakan salah satu syarat pemimpin negara adalah beriman dan bertaqwa. Dalam buku tersebut lebih dijelaskan lagi bahwa Al-Qur’an telah memberikan panduan, yaitu Surah Al-Imran: 28 yang menerangkan bahwa orang-orang beriman dilarang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, karena yang demikian akan merugikan mereka sendiri  dan kepentingan umat secara umum. [6]
Dalam buku Al-Adalah Al-Ijtoma’iyyah Fi Al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam) karya Sayyid Qutb (1906), yang dikutip oleh Munawir Sjadzali, dikatakan bahwa tolak ukur sebuah pemerintahan yang baik adalah kesejatraan dan keadilan sosial  dan dalam banyak hal tidak mengenal fanatisme ras, kedaerahan, dan keagamaan. Terdapat kesamaan hak antara pemeluk berbagai agama. [7]

B.     Pendekatan Hadis
1.      Al-Imam Abu Bakar Al-Jashshosh Al-Hanafi r.a (w.370 H) berkata:
وفي هده الاية دلالة علي أن الكافر لا يكون وليا للمسلم
Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang kafir tidak boleh menjadi wali bagi seorang muslim.
(Akhkaamul Qur’an, 4/99).
Makna wali memang memiliki cakupan makna yang luas, dan pemimpin atau penguasa termasuk dalam cakupan maknanya. Perwalian juga bermakna bersifat loyal atau lawan dari permusuhan.

2.      Al-Imam Ibnu Hazm r.a berkata:
وان يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين عل المؤمنين سبيلا والخلا فة أعظم السبيل ولأمره تعالى ياصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin haruslah seorang muslim. Karena Allah SWT berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali  tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman’.
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128)
Maka jelaslah keharaman memilih pemimpin kafir berdasarkan Al-Qur’an dan kesepakatan ulama Islam.

3.      Ahli Tafsir Mazhab Syafi’I Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i r.a (w. 774 H) berkata dalam kitab Tafsir beliau,
ينهئ تعال عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارئ
“Dalam ayat ini Allah SWT melarang hamba-hambaNya yang beriman untuk bersikap loyal kepada Yahudi dan Nashrani”. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)
Dan tidak diragukan lagi bahwa memilih pemimpin termasuk sebesar-besarnya sikap loyal. Oleh karena itu Ulama Islam Seluruhnya Sepakat Atas Haramnya Memilih Pemimpin Kafir.[8]

C.    Pendekatan Ushul Fiqh dan Fiqh
Dalam kitab-kitab fiqh imam mazhab, masalah pengangkatan khalifah jarang dibicarakan. Hal ini, barangkali karena pada masa keemasan fiqh, proses pengangkatan khalifah seringkali hanya ditunjuk oleh khalifah sebelumnya tanpa berkonsultasi dengan para fuqaha’. Di samping itu ada juga khalifah naik tahta dengan cara revolusi.
Ketika dihadapkan dengan masalah kepemipinan biasanya hal tersebut hanya dibicarakan dalam masalah syarat imam shalat serta syarat calon hakim atau qadli. Tidak banyak ditemukan tulisan para mujtahidin tentang pengangkatan seorang khalifah, apalagi presiden atau perdana mentri seperti saat ini. Di antara ulama yang membahas agak lebih rinci masalah ini adalah Al-Mawardi dan Muhammad bin Al-Husaim Al-Hanbali dalam buku “Al-Ahkam Al-Sultllaniyah”.

Menurut Muhammad Abdurrahman Al-Bakr para ulama telah sepakat untuk memasukkan Islam sebagai salah satu syarat calon qadli. Yusuf Al-Qardawi ketika menjelaskan ayat ke-28 Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa ayat ayat 138 -139, dan 144 juga menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut merupakan peringatan untuk tidak menjadikan orang kafir atau non-Muslim sebagai pemimpin. [9]

D.    Syarat-Syarat Pemimpin Ideal
Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah sebagi berikut:
1.      Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan, tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila mampu.
2.      Fasih membaca Al-Qur’an Al-Karim dan tahu bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada hukum baginya kecuali yang berdasarkan Al-Qur’an. Maka setiap masalah selalu dirujuknya kepada Al-Qur’an.  
3.      Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk cari kekayaan baik buat diri, atau keluarga.
4.      Bersikap adil kepada semua pemeluk Agama dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup dengan damai di bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi kecurangan dan pelanggaran antara sesama pemeluk agama. 
5.      Cinta kepada ilmu pengetahuan dan menggratiskan semua bentuk sekolah dan fasilitas pendidikan.
6.      Tidak menjual asset negara ini kepada pihak asing, sebab negeri ini sudah demikian kaya dan sebenarnya berlimpah dengan uang. Semua demi kepentingan anak bangsanya, bukan demi kepentingan penguasanya.



7.      Tidak menggunakan fasilitas negara untuk masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di luar negara secara langsng. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
8.      Menegakkan selalu amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab, sebagai penguasa, di tangannya ada kekuatan. [10]















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Menurut Abdurrrahman Al-Sa’di larangan di sini tidak hanya terbatas seperti dalam Asbab Al-Nuzul, tetapi mencakup larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin. ketika harus memilih, umat Islam yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaliknya turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut posisi strategis, utamanya posisi sebagai kepala Negara. Dengan ayat ini Allah melarang orang-orang yang beriman mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolonglah dan berkasih-sayang dengan mereka, bahwa mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin.
2.      “Syarat pemimpin haruslah seorang muslim. karena Allah SWT berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali  tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman’.
(An-Nisa” 141). Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai kaum muslimin)”. (Al-Fishol, 4/128). Oleh karena itu Ulama Islam Seluruhnya Sepakat Atas Haramnya Memilih Pemimpin Kafir.
3.      Yusuf Al-Qardawi ketika menjelaskan ayat ke-28 Surah Ali Imran dan Surah An-Nisa ayat ayat 138 -139, dan 144 juga menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut merupakan peringatan untuk tidak menjadikan orang kafir atau non-Muslim sebagai pemimpin.
4.      Minimal dia seorang muslim yang baik, tidak pernah tinggal shalat wajib 5 waktu, tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan, tidak pernah lupa atau pura-pura lupa bayar zakat dan pernah pergi haji bila mampu.
↔ Fasih membaca Al-Qur’an Al-Karim dan tahu bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum. Sehingga tidak ada hukum baginya kecuali yang berdasarkan Al-Qur’an. Maka setiap masalah selalu dirujuknya kepada Al-Qur’an. 
↔ Memanfaatkan jabatannya ini untuk ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk cari kekayaan baik buat diri, atau keluarga.
↔ Bersikap adil kepada semua pemeluk Agama dan memberikan jaminan dan hak-hak mereka untuk bisa hidup dengan damai di bawah jaminan dirinya. Tetapi bersikap tegas bila terjadi kecurangan dan pelanggaran antara sesama pemeluk agama.  
↔ Cinta kepada ilmu pengetahuan dan menggratiskan semua bentuk sekolah dan fasilitas pendidikan.
↔ Tidak menjual asset negara ini kepada pihak asing, sebab negeri ini sudah demikian kaya dan sebenarnya berlimpah dengan uang. Semua demi kepentingan anak bangsanya, bukan demi kepentingan penguasanya.
↔ Tidak menggunakan fasilitas negara untuk masalah yang bersifat pribadi atau pun kepentingan di luar negara secara langsng. Sebab semua fasilitas negara itu adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
↔ Menegakkan selalu amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam setiap kesempatan. Sebab, sebagai penguasa, di tangannya ada kekuatan.






DAFTAR RUJUKAN
1.      Al Qardhawi, Yusuf. 2002. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
2.      Al Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad X. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana. 
3.      Enginer, Asghar Ali. 2000. Devolusi Negara Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
4.      Muhammmad, Abd Al-Jawwad. 2009. Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah. Solo: Pustaka Iltizam.
5.      sofyanruray.info (diakses 13 November 2017, 10.18 WIB)
6.      Yunus, Mahmud. 2004. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: PT. Hidakarya Agung.
7.      zulgeneralagency.blogspot.co.id (diakses 13 November 2017, 07.49 WIB)




[1] Abd. Al-Jawwad Muhammmad, Trik Cerdas Memimpin Cara Rasulullah (Solo: Pustaka Iltizam, 2009) hlm. 191  
[2] Abdurrahman bin Nashir Al-Sa’did, Tafsir Al-Karim Al-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manar, (Mu’assasah Al-Risalah, 2001) hlm. 128
[3] Asghar Ali Enginer, Devolusi Negara Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 214
[4] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003) hlm. 52.
[5] Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004)  hlm. 72
[6] M. Hanafi Muchlis, Al-Qur’an dan Kenegaraan, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an, 2011) hlm. 191 
[7] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) hlm. 149 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993) hlm. 149
[8] sofyanruray.info (diakses 13 November 2017, 10.18 WIB)
[9] Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002) hlm. 571 
[10] zulgeneralagency.blogspot.co.id (diakses 13 November 2017, 07.49 WIB)