JUAL BELI GHARAR RIBA DAN MENIMBUN
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadits
Ahkam Muamalah
Yang diampu oleh Bapak. AH.KUSYAIRI, M.HI
Oleh:
PROGRAM
STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
JURUSAN
SYARIAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN
AKADEMIK 2017KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr. wb
Alhamdulillah puji syukur kami
tuturkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan taufik dan hidayah-Nya
pada saat yang berbahagia ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah limpahkan kepada Nabiyullah Muhammad SAW, yang telah
berhasil dengan sukses membawa manusia dari alam jahiliyah menuju alam yang penuh barokah
ini, seperti saat sekarang ini.
Dalam
penulisan makalah Tafsir Ahkam Muamalah dengan judul
jual beli gharar riba dan menimbun
, kami
banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Bantuan tersebut telah turut
serta memperlancar penulisan makalah ini, oleh karena itu kami menyampaikan
banyak terima kasih terutama kepada:
1. Dosen pengampu: AH. Kusyairi, M.HI
2. Teman-teman penulis makalah ini yang
telah memberikan support serta motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan
tugas makalah ini.
Kami menyadari bahwa pembahasan
dalam penyusunan makalah ini tidak menutupi kemungkinan masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan akibat keterbatasan pengetahuan kami tentang
penyusunan makalah, oleh karena itu kami senantiasa mengharapkan saran dan
kritik konstruktif dari pembaca, demi kesempurnaan makalah penulis di masa yang
akan datang.
Akhirnya kepada Allah kami memohon
semoga penyusunan makalah ini di catat sebagai amal kebaikan dan bermanfaat
bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum wr. Wb
Pamekasan, 12.November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................... ………….. i
DAFTAR ISI.................................................................................................. …………. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang..................................................................................... ……………1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. ……………1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian gharar dan dasar hukum gharar.................………………………..........3
B.
Hadits gharar dan
macam-macam gharar..................................................................4
C.
Pengertian riba beserta
haditsnya..............................................................................5
D.
Jenis-jenis riba,hukum riba dan hikmah di haramkannya riba.................................6
E.
Pengertian menimbun dan hadits
tentang menimbun................................................8
F.
Jenis barang yang haram ditimbun............................................................................9
G.
Hikmah dari larangan menimbun.............................................................................10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................12
B. Saran..........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................13
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hadirnya transaksi-transaksi yang serba canggih pada era modern
ini, bahkan juga timbulnya konsep perbankan ala Barat yang berbasis bunga di
negara-negara yang dikuasai Muslim, mengundang para cendekiawan-cendekiawan Muslim untuk
beradu argumen mengenai bunga yang disajikan oleh bank-bank ala Barat. Menjadi
titik tolaknya adalah apakah bunga itu riba atau bukan. Kaum neo-Revivalis
berpedoman bahwa bunga adalah riba (diharamkan), karenanya mereka
menuntut penghapusan bunga. Sedangkan kaum
modernis berpendapat bahwa tidak semua bentuk bunga adalah riba. Mereka
mengatakan hanya bunga yang dinilai tidak adil yang bisa dikatakan riba.
Bahkan
masalah riba-pun para ulama masih berbeda pendapat, ada yang mengatakan riba
haram kalau bersifat eksploitasi (yang berlebihan). Sedangkan yang lain
mengatakan, semua riba haram baik itu sedikit ataupun banyak. Bisnis
konvensional (non syariah) modern sekarang ini pada umumnya mengandung tiga
unsur yang dilarang dalam ideologi perekonomian Islam, yakni menimbun,
gharar dan riba. Hal ini terjadi tidak lepas dari realitas trend
perkembangan bisnis konvensional dan belum meluasnya kesadaran serta cakupan
layanan perekonomian berbasis perekonomian Islam.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana pengertian gharar dan dasar hukum gharar?
2.
Apakah pengertian
riba dan bagaimana dasar hukum serta haditsnya?
3.
Bagaimana jenis-jenis, hukum dan
hikmah di haramkannya riba?
4.
Apakah definisi dari menimbun dan bagaimana haditsnya?
5.
Bagaiman pembagian jenis barang yang haram ditimbun ?
6.
Bagaimana hikmah dari larangan menimbun?
C.
Tujuan penulisan
1.
memahami pengertian gharar dan dasar hukum gharar?
2.
Mengetahui pengertian riba dan bagaimana dasar hukum serta haditsnya?
3.
Memahami jenis-jenis, hukum dan
hikmah di haramkannya riba?
4.
Mengetahui definisi dari
menimbun dan bagaimana haditsnya?
5.
Memahami pembagian jenis
barang yang haram ditimbun dan apakah hikmah dari larangan menimbun?
6.
Mengetahui hikmah dari larangan menimbun?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gharar dan Dasar Hukum Gharar
Kata gharar berarti
halayan atau penipuan, tetapi juga berarti risiko. Dalam keuangan biasanya
diterjemahkan tidak menentu, spekulasi atau risiko. Keuntungan yang terjadi
disebabkan kesempatan dengan penyebab tak dapat ditentukan, adalah dilarang.
Karena mengandung risiko yang terlampau besar dan tidak pasti. Gharar dilarang
dalam Islam bukan untuk menjauhi risiko. Tentu saja risiko yang sifatnya
komersil disetujui dan didukung dalam Islam. Setiap jenis kontrak yang bersifat
open-ended mengandung unsur gharar.[1]
Alquran dengan tegas telah melarang semua transaksi bisnis yang
mengandung unsur kecurangan dalam segala bentuk terhadap pihak lain: hal itu
mungkin dalam segala bentuk penipuan atau kejahatan, atau memperoleh keuntungan
dengan tidak semestinya atau risiko yang menuju ketidakpastian di dalam suatu
bisnis atau sejenisnya. Dalam Q.s. al-An’am [6]: 152 dijelaskan sebagai
berikut:
wur (#qç/tø)s? tA$tB ÉOÏKuø9$# wÎ) ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4Ó®Lym x÷è=ö7t ¼çn£ä©r& ( (#qèù÷rr&ur @øx6ø9$# tb#uÏJø9$#ur ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( w ß#Ïk=s3çR $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr ( #sÎ)ur óOçFù=è% (#qä9Ïôã$$sù öqs9ur tb%2 #s 4n1öè% ( ÏôgyèÎ/ur «!$# (#qèù÷rr& 4 öNà6Ï9ºs Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 crã©.xs? ÇÊÎËÈ
Dan janganlah kamu dekati harta
anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan
beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu
berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah, yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat. (Q.s. al-An’am [6]: 152)
B.
Hadits Gharar dan
Macam-Macam Gharar
a.
Hadits gharar
Gharar hukumnya dilarang dalam Islam, oleh karenanya melakukan transaksi
atau memberikan syarat dalam akad yang ada unsur ghararnya hukumnya
tidak boleh. Sebagaimana hadis menyebutkan:
نَهَي
رسول الله صلي الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْغَرَّرِ
Rasulullah Saw. melarang jual beli yang
mengandung gharar. (H.r. Bukhâri
Muslim).[2]
Bisnis yang sifatnya
gharar tersebut merupakan jual beli yang tidak memenuhi perjanjian dan
tidak dapat dipercaya, dalam keadaan
bahaya, tidak diketahui harganya, barangnya, keselamatannya-kondisi barang,
waktu memperolehnya. Dengan demikian antara yang melakukan transaksi tidak
mengetahui batas-batas hak yang diperoleh melalui transaksi tersebut. Sedangkan
dalam konsepsi fikih yang termasuk ke dalam jenis gharar adalah membeli
ikan dalam kolam, membeli buah-buahan yang masih mentah di pohon. Praktik gharar
ini, tidak dibenarkan salah satunya dengan tujuan menutup pintu lagi
munculnya perselisihan dan perbuatan kedua belah pihak. Lebih jelasnya,
gharar merupakan situasi dimana terjadi uncomplete information karena
adanya ketidak pastian kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam gharar ini,
kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki kepastian mengenai sesuatu yang di
transaksikan. Gharar bisa terjadi bila kita mengubah sesuatu yang
seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Contoh: sebagai karyawan pastinya menandatangani
suatu kontrak kerja di suatu perusahaan dengan gaji Rp. 400 ribu per-bulan.
Kontrak ini bersifat pasti dan mengikat kedua belah pihak, sehingga tidak ada
pihak yang mengubah kesepakatan yang sudah pasti itu menjadi tidak pasti.
Misalnya, mengubah sistem gaji menjadi Rp. 400 ribu/per-bulan tersebut menjadi
sistem bagi hasil dari keuntungan perusahaan.[3]
Kalau dilihat dari hukum keharaman dan kehalalannya, jual beli yang
sifatnya gharar terbagi menjadi tiga:
1)
Bila
kuantitasnya banyak, hukumnya dilarang berdasarkan ijmâ’. Seperti menjual ikan yang masih dalam air dan
burung yang masih di udara.
2)
Bila jumlahnya
sedikit, hukumnya dibolehkan menurut ijmâ’. Seperti pondasi rumah (dalam
transaksi jual beli rumah).
3)
Bila kuantitasnya sedang-sedang saja, hukumnya
masih diperdebatkan. Namun parameter untuk mengetahui banyak sedikitnya
kuantitas, dikembalikan kepada kebiasaan.[4]
b.
Macam –macam
gharar
1)
Gharar dalam
transaksi, contoh: saya jual rumah ini kepada si A tapi si A harus jual
rumahnya kepada saya (terkadang mengandung sesuatu tidak jelas ).
2)
Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya,
contoh: jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.[5]
C.
Pengertian Riba
Beserta Haditsnya
Kata riba berasal dari
bahasa Arab, artinya tambahan (ziyadah) secara etimologis berarti
tambahan (azziyadah),[6]
berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)[7]
dan meningkat (al-irtifa'). Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa
tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan sebagai berikut; arba
fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan riba terhadap orang
lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu ma
a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu
yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Menurut terminologi ilmu fiqh, riba
merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa
adanya imbalan tertentu.
Riba sering
juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan
arti tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh
syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah
tambahan banyak. Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering
kita dengar di tengah-tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba.
Pendapat itu disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena
mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.[8]
Sunnah Rasulullah saw :
عَنْ جَا بِرِ قَالَ لَعَنَ رسولُ الله صلي لله عليه وسلم اَكَلَ الرِّبَا
وَمَعَءكُلِهِ وَكُنْيَةٍ وَشَا هَدِيْهٍ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari jabir dia berkata , “Rasulullah saw bersabda melaknat pemaan
riba, orang yang menyuruh makan riba juru tulisanya dan saksi-saksinya.”dia
berkata,”mereka semua sama.” (HR.muslim)[9]
D. Jenis-Jenis Riba, Hukum dan Hikmah
diharamkannya Riba
a.
jenis-jenis
riba
secara garis besar riba dikelompokkan
menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli.kelompok pertama
ternagi menjadi riba qaradh dan riba dan jual beli. Kelompok pertama terbagi
menjadi riba qaradh dan riba jahiliyah, sedangkan kelompok kedua ada dua macam,
yaitu riba fadl dan nasia’ah.
1)
Riba qaradh:
suatu manfaat yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh)
2)
Riba jahiliyah:
utang di bayar lebih dari pokoknya arena si peminjam tidak dapat membayar pada
waktu yang ditentukan
3)
Riba fadl : Riba Fadl disebut juga riba buyû’, yaitu riba yang
timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama
kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitasnya (sawâ-an bi
sawâ-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran
semisal ini mengandung gharar, yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak
akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan.
4)
Riba Nasi’ah :Istilah nasî’ah berasal dari kata (نساء ) yang berarti menunda
menangguhkan, atau menunggu, dan mengacu pada waktu yang diberikan bagi
pengutang untuk membayar kembali utang dengan memberikan “tambahan” atau
“premi”. Karena itu, riba nasî’ah mengacu kepada bunga dalam utang.
Dalam arti inilah, istilah riba dipergunakan dalam Q.s. al-Baqarah [2]:
275 “…dan Allah mengharamkan riba”. Arti ini juga yang ditunjukkan oleh
sabda Rasulullah Saw. ketika beliau mengatakan, “Tidak ada riba kecuali
nasî’ah”.[10]
b.
Secara garis besar pandangan tentang hukum riba ada dua kelompok
1)
Kelompok pertama: mengharamkan riba yang berlipat ganda/ ad’afan
muda’afa, karena yang diharamkan Al-Qur’an adalah riba yang berlipat ganda
saja, yakni riba nasi’ah, terbukti juga dengan hadist tidak ada riba
kecuali nasi’ah. Karenanya, selain riba nasi’ah maka diperbolehkan.
2)
Kelompok kedua: mengharamkan riba, baik yang besar maupun kecil. Riba
dilarang dalam islam, baik besar maupun kecil, berlipat ganda atau tidak. Riba
yang berlipat ganda/ ad’afan muda’afa haram hukumnya karena zatnya,
sedang riba kecil tetap haram karena menutup pintu ke riba yang lebih besar (haramun
lisyadudzari’ah)[11]
c.
Hikmah di
haramkannya riba
1)
menghindari tipu daya diantara sesama manusia
2)
melindungi harta sesama muslim agar tidak dimakan dengan batai
3)
motivassi orang muslim untuk menginvestasi hartanya pada
usaha-usaha yang bersih dari penipuan, jauh dari apa saja yang dapat
menimbulkan kesulitan dan dan kemarahan diantara kaum muslim.
4)
menjauhkanorang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan
karena pemakan riba adlah orang yang zalim dan akbat kezaliman adalah
kesusahan.
5)
Membuka pintu-pintu kebaikan didepan orang muslim agr iya mencari
bekal untuk akhirat
6)
Rajin mensyukuri nikmat Allah dengan cara memanfaatkan untuk
kebaikan serta tidak menyianyiakan nikmat tersebut.
7)
Melakukan praktek jual beli dan utang piutang secara baik menurut
islam[12]
E.
Pengertian Menimbun dan Hadits
tentang Menimbun
Menimbun secara etimologi
adalah ikhtikar,pengumpulan (brang-barang ) atau tempat untuk menimbun
sedangkan secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang pokok
manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan hartanya serta menunggu
melonjaknya harga pasaran[13]
Beberapa definisi menimbun barang (ikhtikar) menurut beberapa
pendapat:
a)
Imam Al-Ghazali (Mazhab Syafi’e) mendefinisikan menimbun sebagai
penyimpanan barang dagang oeh penjual makanan untuk menunggu melonjakkanya
harga dan penjualnya ketika harga menunjak.
b)
Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan menimbun adalah menyimpan barang
oleh produsen baik, makanan, pakaina dan segala barang yang merusak pasar.
c)
As-Said Sabik dalam fiqih ah sunnah menyatakan menimbun sebagai membeli
suatu barang dan menyimpannya agar barang terebut berkurang di masyarakat
sehingga harganya meningkat sehingga manusia akan mendapatkan kesulitan akibat
kelangkaan dan mahalnya harga barang tersebut[14]
d)
Adi Warman Karim mengatakan
bahwa menimbun adalah mengambil keuntungan normal dengan cara menjual lebih
sedikit barang yang lebih tinggi ata istilah ekonominya monopolis rent. [15]
e)
Fathi-adduraini (guru besar fiqih di universitas damaskus suruah)
mendefinisikan menimbun dengan tindakan
menyimpan harta, manfaat atau jasa dan
enggan menjual dan memberikannya dengan orang lain dan nggan menjual dan
memberikannya kepada orang laoin yamng mengakibatkan melonjakkanya hrga pasar
secara derastis, disebabkan persediaatau setok barang terbatas hilang sama
sekali dari pasar sementra rakyat, negara. Ataupun hewan (peternakan) sangat membutuhkan prodak, atau manfaat dari
jasa tersebut. [16] hadits
yang diriwayatkansa’id bin musayyab
عَنْ
سَعِيْدِ بْنِ المِسِيِبْ يَحْدَ ثُ أَنَّ مُعَمَّرَا قاَلَ قاَلَ صَلَي اللهُ عَلَيْه
ِوَسَلَّمْ مْنْ اِحْتَكَرَ فَهُوَ خاَ طِئ ْ
Dari saib bin musayyab ia
meriwayatkan:bahwa ma’mar,, ia berkata “rasulullah SAW bersabda “barang siapa
menimbun barang, maka ia berdosa” (HR.Muslim) [17]
F.
Jenis Barang yang Haram Ditimbun dan Hikmah dari Larangan
Menimbun
1.
Jenis barang yang ditimbun
Dalam masalh ini fuqha
berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu jenis barang yang diharamkan orang
menimbn. Para ulama berbeda pendapat mengenai objek yang di timbun yaitu:
a.
Kelompok yang pertama mendefinisikan menimbun yang hanya terbatas
pada bahan pokok (primer) saja.
b.
Kelompok yang kedua mendefinisikan menimbun segala barang –barang
keperluan manusia baik primer maupun skunder.
Kelompok ulama yangg
mendefinisikan iktikar terbatas pada makanan pokok antaranya imam al-ghazali
(ahli fikih mazhab asy-syafi’i) sebagian madzhab hambali sebagian dimana beiau
berpendapat bahwa yang dimaksud menimbun hanyalah terbatas ada pada makanan
pokok saja sedangkan pada selain bahan makanan
pokok(sekunder) obat obatan,jamu-jamuan dan lain sebagainya tidak
termasuk objek yang dilarang dalam penimbunan barang waalaupun sama-sama barang
yang bisa dimakan karena yang dilarang dalam nash hanyalah dalam bentuk makanan
saj. Menurut beliau masalah menimbun adallh menyangkut kebebasan pemilik barang
untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus terbatas pada apa yang
ditunjuk oleh nash.
Sedangkan kelompok ulama
yang mendifinisikan ikhtikar secara luas dan umum diantarnya adalah iama abu
yusuf (ahli fiqih madzhab hanafi), madzhab maliki berpendapat bahwa larangan
menimbun tidak tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi
melalui produk yang dibutuhkan oleh masyarakat.menurutnya yang menjadi ilat
(motivasi hukum) dalam larangan melakukan menimbun adalah kemudaratan yang
menimpa orang banyak oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak
tidak hanya terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh
produk yang dibutuhkan orang banyak.[18]
G.
Hikmah Larangan Menimbun
Imam nawawi mengatakan
hikmah larangan menimbun adalah mencegah hal apabila ada orang yang memiliki
makanan lebih, sedangkan manusia lain sedang kelaparan dan tidak ada
makanankcuali yang ada pada pada orang tadi, maka wajinb bagi orang tersebut
menjual atau memberikan dengan Cuma-Cuma makanannya kepada manusia supaya
manusia tidak kesulitan. Demikian juaga apabila ada yang menimbun selain bahan
makannan (seperti makanan musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia
kesulitan mendapatkannya, dan membahayakan meteka maka hal ini dilarang dalam
islam.
Menimbun harta maksudnya
membekukannya, manahannya dan menjauhakn dari peredarannya . padahal, jika
harta itu disertakan dalam usaha –usaha produktif seperti dalam perencanaan
produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan banyak
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatn bru lagi pekerjaan ini bisa
menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat
rencana –rencana maupun dengn memperluas rencana yang telah ada . dengan
demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam
masyarkat.
Penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan
persaingan dalam padsar islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar
dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang. Yang mana beberapa negara kaya
dari maju secara ekonomimonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan
pokok bahkan, negara-negara tersebut monopoli pembelian bahan-bahan baku dari
negara yang kurang maju perekonomiannya
dan monopoli pnjualan komoditas industri yang dibutuhkan oleh negara-negara
tadi. Hal itu menimbulkan bahaya besar terhadap keadilan distribusi kekayaan
dan pendapat dalam tingkat dunia.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kata gharar berarti
halayan atau penipuan, tetapi juga berarti risiko. Dalam keuangan biasanya
diterjemahkan tidak menentu, spekulasi atau risiko. Keuntungan yang terjadi
disebabkan kesempatan dengan penyebab tak dapat ditentukan, adalah dilarang.
Karena mengandung risiko yang terlampau besar dan tidak pasti. Gharar dilarang
dalam Islam bukan untuk menjauhi risiko. Tentu saja risiko yang sifatnya
komersil disetujui dan didukung dalam Islam. Setiap jenis kontrak yang bersifat
open-ended mengandung unsur gharar.
Kata riba berasal dari
bahasa Arab, artinya tambahan (ziyadah) secara etimologis berarti
tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)
dan meningkat (al-irtifa').
Menimbun secara
etimologi adalah ikhtikar,pengumpulan (brang-barang ) atau tempat untuk
menimbun sedangkan secara terminologis adalah menahan (menimbun) barang-barang
pokok manusia untuk dapat meraih keuntungan dengan menaikkan hartanya serta
menunggu melonjaknya harga pasaran.
B. Saran
Yang bisa
disampaikan melalui makalah ini adalah sebaiknya dan sudah sepatutnya
bagi semua orang untuk mempelajarinya dan mengembangkannya, jangan hanya
sekadar mengetahui nama tanpa mengenalnya. Dalam makalah ini pasti ada
kekurangan yang disampaikan pada materi-materi di dalamnya. Sesungguhnya manusia
itu tidak luput dari kesalahan. Bagi seseorang yang membaca makalah ini semoga
mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman dkk, Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi,
Chapra Umar, Sistem Moneter Islam, Jakarta: Gema Insani
Press, 2000
Dahlan Abdul Aziz, ensiklopedi hukum islam jakarta: PT.
Ikhtikar baru,1996
http://asyairihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-iktikar-dalam-hukum.html diakses tanggal 12 november 2017
Muslim bin al-Hajjaj Abû Husain al-Qusyairi, Shahîh Muslim, juz
5.
Karim Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004\
Kementrian
agama RI,fikih jakarta:kementrian agama RI2014
Muhammad Abduh, cet.
I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996
Nasution Khoiruddin, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas
Pemikiran
Sura'i Abu, Abdul Hadi, Bunga
Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993)
Syafi’i Rahmat,
fiqih muamalah.Bandung,cv pustaka setia2001
diana nur Ilif,
hadits-hadits ekonomi,malang,UIN MALIKI PRESS, cetakan pertama 2008
Sabik As-Said, fiqih
ah-sunnah Lebanon: Dar Al-Fikr, 1981
warman Adi karim
ekonomi mikro islam, Jakarta: III T Indonesia 2000 Al- muslim,shahih muslim,
juz II beirut: dar ihya’ turatsal-araby
[2] Muslim bin
al-Hajjaj Abû Husain al-Qusyairi, Shahîh Muslim, juz 5, hlm. 135.
[3] Adiwarman
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 31
[4] Adiwarman A.
Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar dan Kaidah-kaidah Ekonomi, hlm.
82-83.
[5] Ibid. 84
[6] Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa
M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 125.
[7] Menurut Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah
pertumbuhan dan Al-'Uluw adalah tinggi, lihat, Bicara Tentang Bunga
Bank dan Riba, hlm. 110.
[8] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas
Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama
dengan ACAdeMIA, 1996), hlm. 37.
[9] Rahmat syafi’i, fiqih muamalah.(Bandung,cv pustaka
setia2001)hlm.260-270
[11] Ilif nur diana, hadits-hadits ekonomi,(malang,UIN MALIKI PRESS,
cetakan pertama 2008)hlm136
[12] Kementrian agama RI,fikih (jakarta:kementrian agama RI2014)hlm.155-156
[13] http://asyairihasanpas.blogspot.com/2009/02/monopoli-dan-iktikar-dalam-hukum.html diakses tanggal 12 november 2017
[14] As-Said Sabik, fiqih ah-sunnah (Lebanon: Dar Al-Fikr,
1981), hlm. 162
[15] Adi warman karim ekonomi mikro islam, (Jakarta: III T Indonesia
2000). Hlm 154
[16] Ibid hlm.20
[17] Al- muslim,shahih muslim, juz II (beirut: dar ihya’ turatsal-araby)
hlm 756
[18] Abdul Aziz Dahlan, ensiklopedi hukum islam (jakarta: PT.
Ikhtikar baru,1996)hlm 665