BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Latar
belakang
Hadis
adalah pedoman hidup umat islam setelah Al qur’an. Segala sesuatu yang tidak di
sebutkan atau di jelaskan dalam Al qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara
mengamalkannya, dan petunjuk dalilnya,maka semua itu dijelaskan dalam hadis Rasulullah
SAW. Intinya, hadis adalah penjelas dari
Al qur’an. Al qur’an dan hadis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadis sebagai petunjuk untuk
kehidupan umat islam.
Dapat
diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadis Nabi tidaklah
sama dengan sejarah pencatatan dan penghimpunan Al qur’an. Pada zaman nabi, tidaklah
seluruh hadis dicatat oleh para sahabat Nabi, hal ini di karenakan karena Nabi
sendiri pernah secara umum melarang para sahabat menulis hadis beliau, hanya
orang-orang tertentu saja dari kalangan sahabat yang di izinkan oleh nabi
melakukan pencatatan hadis.
Setelah
itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadis, sejarah menyatakan bahwa pada
zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab periwayatan hadis Nabi berjalan
dengan sangat hati-hati, dikarenakan pada saat itu bagi kalangan sahabat yang
ingin menyampaikan riwayat hadis diminta untuk menghadirkan saksi dan bahkan
sampai melakukan sanksi, dengan demikian periwayatan hadis menjadi sangat
terbatas pada waktu itu, namun seiring berjalannya waktu ditengah-tengah roda
pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadis secara resmi, dan karena setelah
kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan sahabat Nabi maupun
para sahabat Khalifah sendiri.
Seiring
berkembangnya zaman banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadis.
Dengan cara membuat hadis-hadis palsu, peristiwa awal mula banyaknya terjadi
pemalsuan hadis yaitu pada masa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib.
2. Rumusan Masalah
a. Apa saja syarat-syarat Seorang Perawi
b. Apa saja Tahammul wal Ada’
c. Apa saja Periwayatan Hadist secara
lafadz dan makna
d. Apa saja Istilah dalam Periwayatan
Hadist
e. Apa saja Gelar Ulama’ Hadist
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui tentang syarat-syarat
seorang perawi
b. Untuk mengetahui tentang Tahammul wal
Ada’
c. Untuk mengetahui periwayatan hadist
secara lafadz dan makna
d. Untuk mengetahui tentang istilah dalam
periwayatan hadist
e. Untuk mengetahui gelar ulama’ hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A. Syarat-Syarat Seorang Perawi
Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur
ahli Hadis, asli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat-syarat bagi
periwayatan hadist, yakni sebagai berikut :
1) Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadist,
maka seorang pewai harus muslim, dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah.
Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh tawaquf , maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan
masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut :
يآاآيُهَالْذِيْنَ
اآمَنُوْا أِنْ جآَءَ كُمْ فآ سِقُ بِنَبَأٍ فَتَبَىُوْا أَنْ تُصِىْبُوْا قَوْمًآ
بِجَهَآلَةٍ فَتُصْبِحُوْا اعَلاَ مآ فَعَلْتُمْ نآ دِمِىْنَ (آلاحجرات)
Hai
orang-orang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal
atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujurat
(49):6)
2) Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah
perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum
baligh. Hal ini didasarkan pada hadis Rasul:
رُفِعَ الْقَلَمٌ عَنْ
ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَحْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَىْ عَقْلِهِ حَتَّى ىَفِىْىقُ وَ فَىْقَ
وَ عَنِ انآَءِمِ حَتَّى ىَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِىَّ حَتَّي ىَحْتَلِمَ (رواه
ابو داود)
Hilang
kewajiban menjalankan syariat Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila,
sampai dia sembuh, orang yag tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi”
(HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3)
‘adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu
sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai
sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri
dan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan
selalu menjaga kepribadian.
4) Dhabit
Dhabit adalah
تَىْقُظُ الرَّوِى حَىْنَ
تَحٌمِّلِهِ وَفَهْمِهِ لِمَآ سَمِعَهُ وَحَفِظٌهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ
الْتَحَمُّلِ اِلَى وَقْتِ اْلاَداءِ
Teringat
kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima
hingga menyampaikannya.
Jalannya
mengetahui ke-dhabit-an perawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya
dengan berita-berita yang tsi-qat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan,
bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi
dengan perawi lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz, tidak
ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat
Alqur’an. [1]
B. Tahammul
wal ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode
penerimaan hadits. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadist.
Cara penerimaan hadist dan
penyampaiannya .
a. Al-sima
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan
cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik
dari hafalannya maupun dari tulisannya.
b. Al-Qira’ah ‘Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh
Al-Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan
cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang
membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya,
baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui
tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
c. Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau
orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau
tidak mendengar bacaan gurunya, seperti (saya mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku)
d. Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau
beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan.
e. Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri
atau menyuruh orang lain menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada
murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat
melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
f. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan guru terhadap
muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkan dia terima dari seseorang
(guru) dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau
menyuruhnya.
g. Al-Wasiyah
Yakni seorang guru, ketikan akan
meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk
meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian.
h. Al-Wijadah
Yakni seorang memperoleh hadis orang
lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-sama’,
al-ijazaha atau al-munawalah. [2]
C. Periwayatan Hadits secara lafadz dan
maknawi
Ada dua jalan para sahabat dala
meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama dengan periwayatan lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasul SAW.) dan kedua, dengan jalan periwayatan
maknawi (maknanya saja).
a. Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa
periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya
oersis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa dilakukan apabila
mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW. kebanyakan sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW bukan dari redaksi mereka.
Diantara para sahabat yang paling keras
meriwayatkan hadis dengan jalan lafzhi adalah ibnu Umar. Ia seringkali menegur
sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah
di dengarnya dari Rasul SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir.
b. Periwayatan maknawi
Diantara sahabat lainnya ada yang
berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti
yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan
maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang
didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan
sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat
melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu mas’ud misalnya, ketika ia
meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk
menguatkan penulikannya, seperti dengan kata : qala Rasul SAW hakadza (Rasul
SAW bersabda begini) , atau nahwan atau qariban min hadza. [3]
D. Istilah dalam Periwayatan Hadist
Untuk lebih
jelasnya lagi masing-masing istilah ini akan dipaparkan secara terperinci :
1. Sanad
Sanad menurut
bahasa adalah : sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman.
Dalam bidang
ilmu hadis sanad merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau
dhaifnya suatu hadis. Andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau
yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai
sanad tidak bertemu langsung , maka hadis tersebut dhaif
sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa
hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa,
tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan memiliki daya ingat yang kredibel,
sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada
sumber berita pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.
Sanad ini sangat penting dalam hadis,
karena hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis
ini mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas hadis pada zaman nabi
tidak tertulis sebagaimana Al-qur’an dan diterima secara individu (ahad)
tidak secara mutawatir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara
ingat-ingatan dan hapalan para sahabat yang andal. Oleh karena itu, tidak semua
hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali memiliki kriteria yang ditetapkan,
diantaranya disertai sanad yang dapat dipertanggungjawabkan
kesashihannya. Para ulama memberikan berbagai komentar tentang pentingnya sanad, antara lain:
1.
Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) berkata:
اِنَّ
هَذَا الْعِلْمَ ذِيْنُ فآنْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
Sesungguhnya
ilmu ini hadis adalah agama, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu
itu.
2.
Abdullah bin Al-Mubarak (w. 181 H/797 M) berkata:
الاْءسْنَآدُ
مِنَ الْذِيْنَ وَلَوْلاَ الاْءسْنَآدُ لَقَآلَ مَنْ شآءَ مآشآءَ
Sanad itu
bagian dari agama, jika tidak ada sanad maka siapa saja dapat mengatakan apa
yang dikehendakinya.
3.
Az-Zuhri setiap menyampaikan hadis disertai dengan
sanad dan mengatakan :
لاَيَصْلُحٌ
أنْ يُرْقَي السَّطْحُ اِلاَّ بِدَرَجَهِ
Tidak layak
naik ke loteng/atap rumah kecuali dengan tangga.
Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang
tidak mungkin akan sampai kepada Rasulullah dalam periwayatan hadis melainkan
harus melalui sanad. Pertnyataan diatas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad
suatu hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, maka
hadis itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan untuk
menolaknya. Studi sanad hanya dimiliki umat Muhammad. Umat-umat dahulu sekalipun
dalam penghimpunan kitab suci mereka yang juga tidak ditulis pada masa Nabinya
tidak disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa
Nabinya.
2.
Lambang Periwayatan
Penyandaran
berita yang dilakukan oleh setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad
menggunakan ungkapan kata-kata yang melambangkan pertemuan langsung (mustahil)
atau tidaknya yaitu misalnya:
حَدَّ
ثَنَآ/حَدَّ ثَنِيْ, اخْبَرَنَآ/أَخْبَرَنِيْ,أنْبَأَنَآ/أنْبَأنِيْ
Memberitahukan
kepada kami/memberitahukan kepadaku, mengabarkan kepada kami/mengabarkan
kepdaku, memberitakan kepada kami/memberitakan kepadaku.
Ketiga ungkapan periwayatan hadis (ada’) diatas pada
umumnya digunakan dalam keadaan jika seorang periwayat mendapat hadis secara
langsung dan bertemu langsung dari seorang gurunya. Hanya bedanya jika
menggunakan kata haddatsa/na berarti penerimaan secara berjamaah dan haddatsa/ni
bermakna bahwa penerimaannya sendirian. Secara umum memang ungkapan
kata-kata periwayatan diatas diartikan sama yaitu bertemu langsung. Namun
kemudian masing-masing mempunyai metodologis yang khusus, misalnya sebagai
berikut :h
a.
Lambang periwayatan : ثَمِعْتُ/حَدَّ ثَنِيْ/حَدَّ ثَنآ dipergunakan dalam metode as-sama’ artinya seorang murid mendengarkan penyampaian
hadis dari seorang guru (syaikh) secara langsung.
b.
Lambang periwayatan : أَخْبَرَنِيْ/أخْبَرَنآ dipergunakan dalam
metode Al-qira’ah atau Al-‘Ardh (القِرَاءَةُأؤْالعَرْضُ)
artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut mendengarkan dan
didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika benar dan meluruskan jika
terjadi kesalahan.
c.
Lambang periwayatan : انْبَأنِيْ/أنْبَآنآَ dalam metode ijazah (الاْجآَرَةُ)
seorang guru memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa
orang muridnya.
d.
Lambang periwayatan :
قَآلَ لِيْ ia
berkata kepadaku atau : ذَكَرَلِيْia menyebutkan kepadaku dipergunakan dalam menyampaikan hadis metode sama’
Al-Mudzakarah سَمَآعُ الْمُذَاكَرَةِ artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek
mudzakarah bukan dalam konteks menyampaikan periwayatan yang tentunya tidak
siap kedua belah pihak.
e.
Lambang periwayatanعَنْ : Hadis yang diriwayatkan menggunakan kata ‘an
= disebut hadis mu’an’anah.
3.
Matan
Kata matan atau
al-matan الْمَتَنُ menurut bahasa berarti : keras, kuat, sesuatu yang
nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan
ada matan dan ada syarah. Matan disini di
maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan
bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarahnya dimaksudkan
penjelasan yang lebih terurai dan terperinci.
Menurut istilah
matan adalah :
مَآيَنْتَهِي
اِلَيْهِ اسَّنَدُ مِنَ الًقَلاَمِ
Sesuatu kalimat
setelah berakhirnya sanad
Berbagai redaksi
definisi matan yang di berikan para ulama,tetapi intinya sama yaitu materi atau
isi berita hadist itu sendiri yang datang dari nabi.
4.
Mukharrij atau Perawi Hadis
Kata mukharrij
isim fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj
dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan, dan
menarik. Maksud mukharrij adalah seorang yang menyebutkan suatu
hadis dalam kitabnya dengan sanadnya.
Misalnya
jikasuatu hadis mukharrij-nya Al-Bukhari berarti hadis tersebut
dituturkan Al-Bukhari dalam kitabnya dengan sanadnya. Oleh karena itu, biasanya
pada akhir periwayatan suatu hadis disebutkan hadis di-takhrij oleh
Al-Bukhari dan seterusnya. [4]
E.
Gelar Ulama’ Hadis
a.
Al-Hakim
Al-Hakim yaitu,
orang yang menguasai seluruh ilmu-ilmu hadist, sehingga tidak ada yang
tertinggal darinya. Yaitu, suatu gelar keahlian bagi imam-imamhadist yang
menguasai seluruh hadist yang marwiyah , baik matan maupun sanadnya dan
mengetahui ta’dil (terpuji) dan tarjih (tercelanya) rawi-rawi.
Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan
sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak. Ia harus dapat menghafal
hadis lebih dari 300.000 hadist beserta sanadnya. Para muhadditsiin yang
mendapat gelar ini antara lain : Ibnu Dinar (Meninggal 162 H). Al-Laits bin
Sa’ad. Seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya meninggal 175 H.
Imam Malik (179) dan Imam Syafi’i (204 H).
b.
Al Hujjah
Yaitu gelar
keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis. Baik matan,
sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, biografinya
(riwayat hidup). Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain
ialah : Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H). Abu Hudzail Muhammad bin Walid
(meninggal 149 H). Dan Muhammad Abdullah bin Amr (Meninggal 242 H).
c.
Al-Hafizh
Ialah gelar
untuk ahli hadis yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan dapat
men-ta’dil-kan men-jarh-kan rawinya. Seorang Al-Hafizh harus menghafal
hadis-hadis shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak
purbasangka), illat-illat hadist dan dan istilah-istilah muhadditsilin.
Menurut sebagian pendapat Al-hafidh harus mempunyai kapasitas hafalan 100.000
hadist. Para muhadditsiin yang mempunyai gelar ini antara lain : al-Iraqi, Syarifuddin as
Dimyathi. Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Ibnu Daqiqi al-legd.
d.
Al-Muhaddits
Menurut
muadditsiin-muadditsiin mutaqaddimin, al-hafidh dan al-muaadits itu searti.
Tetapi, menurut Muta’akhiriin, al-hafidh itu lebih khusus daripada al-muhaddist.
Kata at-Tajus Subhi, ‘Al-Muhaddist ialah orang yang dapat mengetahui
sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi), dan
naazil (rendah)-nya suatu hadis , memahami kutubus sittah, musnad ahmad, aunan
al-baihaqi, majmu thabarani, dan menghafal hadist sekurang-kurangnya 100
hadist. Muhaddisinn yang mendapat gelar ini antara lain : Atha’ bin Abi Rabbah
(wafat 115 H). Ibnu Katsir dan Imam az-Zabidi
e.
Al-Musnid
Yaitu, gelar
keahlian bagi orang-orang yang meriwayatkan sanadnya, baik menguasai ilmunya
maupun tidak. Al-Musnid juga disebut
dengan at-Thalib, al-Mubtadi’, dan ar-Rawi. [5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
ü
Syarat-syarat seorang perawi yakni :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. Dhabit
ü
Tahammul wal ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar
suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode
penerimaan hadits. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadist.
ü Periwayatan Hadits secara lafadz dan
maknawi
Ada dua jalan para sahabat dala
meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama dengan periwayatan lafzhi (redaksinya
persis seperti yang disampaikan Rasul SAW.) dan kedua, dengan jalan periwayatan
maknawi (maknanya saja).
ü Lambang
Periwayatan
Penyandaran
berita yang dilakukan oleh setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad
menggunakan ungkapan kata-kata yang melambangkan pertemuan langsung (mustahil)
atau tidaknya.
ü
Gelar ulama hadis
a)
Al-Hakim
b)
Al-Hujjah
c)
Al-Hafizh
d)
Al-Muhaddist
e)
Al-Musnid
B.
Saran
Setiap
manusia pasti tidak lepas dari kesalahan, tetapi dengan adanya ikhtiar dan doa
kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan suatu kewajiban ini. kami menyadari
bahwa makalah yang kami buat ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Namun kami
berharap kepada dosen pengampu dan bagi pembaca yang lain agar berkenan membaca
makalah ini dengan harapan agar nenjadi sesuatu yang bermanfaat. Tidak lupa
pula, saran-saran yang bersifat membagun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan
makalah ini, agar dapat kami perbaiki dalam penulisan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis,
Dr.
H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis
[1] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010)
hal 204-207
[2] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010)
hal 198-204
[3] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010)
hal 82-84
[4] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis (Jakarta, AMZAH, 2008) hal
95-103
[5] ibid