Sunday, 12 November 2017

syarat-syarat Seorang Perawi DAN Periwayatan Hadist secara lafadz dan makna


BAB 1
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Hadis adalah pedoman hidup umat islam setelah Al qur’an. Segala sesuatu yang tidak di sebutkan atau di jelaskan dalam Al qur’an baik dari segi ketentuan hukumnya, cara mengamalkannya, dan petunjuk dalilnya,maka semua itu dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW. Intinya, hadis adalah  penjelas dari Al qur’an. Al qur’an dan hadis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya hadis sebagai petunjuk untuk kehidupan umat islam.
Dapat diketahui pula bahwa sejarah pencatatan dan penghimpunan hadis Nabi tidaklah sama dengan sejarah pencatatan dan penghimpunan Al qur’an. Pada zaman nabi, tidaklah seluruh hadis dicatat oleh para sahabat Nabi, hal ini di karenakan karena Nabi sendiri pernah secara umum melarang para sahabat menulis hadis beliau, hanya orang-orang tertentu saja dari kalangan sahabat yang di izinkan oleh nabi melakukan pencatatan hadis.
Setelah itu tahap selanjutnya yaitu periwayatan hadis, sejarah menyatakan bahwa pada zaman Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khattab periwayatan hadis Nabi berjalan dengan sangat hati-hati, dikarenakan pada saat itu bagi kalangan sahabat yang ingin menyampaikan riwayat hadis diminta untuk menghadirkan saksi dan bahkan sampai melakukan sanksi, dengan demikian periwayatan hadis menjadi sangat terbatas pada waktu itu, namun seiring berjalannya waktu ditengah-tengah roda pemerintahan diresmikanlah penghimpunan hadis secara resmi, dan karena setelah kejadian ini bermunculanlah banyak periwayat dikalangan sahabat Nabi maupun para sahabat Khalifah sendiri.
Seiring berkembangnya zaman banyak sekali pihak-pihak yang ingin memalsukan hadis. Dengan cara membuat hadis-hadis palsu, peristiwa awal mula banyaknya terjadi pemalsuan hadis yaitu pada masa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib.
2.      Rumusan Masalah
a.       Apa saja syarat-syarat Seorang Perawi
b.       Apa saja Tahammul wal Ada’
c.       Apa saja Periwayatan Hadist secara lafadz dan makna
d.      Apa saja Istilah dalam Periwayatan Hadist
e.       Apa saja Gelar Ulama’ Hadist
3.      Tujuan
a.       Untuk mengetahui tentang syarat-syarat seorang perawi
b.      Untuk mengetahui tentang Tahammul wal Ada’
c.       Untuk mengetahui periwayatan hadist secara lafadz dan makna
d.      Untuk mengetahui tentang istilah dalam periwayatan hadist
e.       Untuk mengetahui gelar ulama’ hadist
















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Syarat-Syarat Seorang Perawi
Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli Hadis, asli ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat-syarat bagi periwayatan hadist, yakni sebagai berikut :
1)      Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadist, maka seorang pewai harus muslim, dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh tawaquf , maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan masalah ini bisa kita bandingkan dengan firman Allah sebagai berikut :

يآاآيُهَالْذِيْنَ اآمَنُوْا أِنْ جآَءَ كُمْ فآ سِقُ بِنَبَأٍ فَتَبَىُوْا أَنْ تُصِىْبُوْا قَوْمًآ بِجَهَآلَةٍ فَتُصْبِحُوْا اعَلاَ مآ فَعَلْتُمْ نآ دِمِىْنَ (آلاحجرات)

Hai orang-orang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (Q.S. Al-Hujurat (49):6)
2)      Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadis Rasul:

رُفِعَ الْقَلَمٌ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَحْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَىْ عَقْلِهِ حَتَّى ىَفِىْىقُ وَ فَىْقَ وَ عَنِ انآَءِمِ حَتَّى ىَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِىَّ حَتَّي ىَحْتَلِمَ (رواه ابو داود)

Hilang kewajiban menjalankan syariat Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia sembuh, orang yag tidur sampai bangun dan anak-anak sampai ia mimpi” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
3)      adalah
Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4)      Dhabit
Dhabit adalah
تَىْقُظُ الرَّوِى حَىْنَ تَحٌمِّلِهِ وَفَهْمِهِ لِمَآ سَمِعَهُ وَحَفِظٌهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ الْتَحَمُّلِ اِلَى وَقْتِ اْلاَداءِ
Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu  yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabit-an perawi dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsi-qat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat Alqur’an. [1]
B.     Tahammul wal ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadist.
Cara penerimaan hadist dan penyampaiannya .
a.       Al-sima
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya.
b.      Al-Qira’ah ‘Ala Al-Syaikh atau ‘Aradh Al-Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
c.       Al-Ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti (saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
d.      Al-Munawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan.
e.       Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada di hadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
f.       Al-I’lam
Yakni pemberitahuan guru terhadap muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkan dia terima dari seseorang (guru) dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan atau menyuruhnya.


g.      Al-Wasiyah
Yakni seorang guru, ketikan akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian.
h.      Al-Wijadah
Yakni seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazaha atau al-munawalah. [2]
C.     Periwayatan Hadits secara lafadz dan maknawi
Ada dua jalan para sahabat dala meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama dengan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW.) dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
a.       Periwayatan Lafzhi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan Lafzhi, adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya oersis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW. kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW bukan dari redaksi mereka.
Diantara para sahabat yang paling keras meriwayatkan hadis dengan jalan lafzhi adalah ibnu Umar. Ia seringkali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah di dengarnya dari Rasul SAW, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir.
b.      Periwayatan maknawi
Diantara sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi dan maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penulikannya, seperti dengan kata : qala Rasul SAW hakadza (Rasul SAW bersabda begini) , atau nahwan atau qariban min hadza. [3]
D.    Istilah dalam Periwayatan Hadist
Untuk lebih jelasnya lagi masing-masing istilah ini akan dipaparkan secara terperinci :
1.      Sanad
Sanad menurut bahasa adalah : sesuatu yang dijadikan sandaran, pegangan dan pedoman.
Dalam bidang ilmu hadis sanad merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dhaifnya suatu hadis. Andaikan salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung , maka hadis tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan, yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri, dan memiliki daya ingat yang kredibel, sanadnya bersambung dari satu periwayat kepada periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka Hadisnya dinilai shahih.
Sanad ini sangat penting dalam hadis, karena hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis ini mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas hadis pada zaman nabi tidak tertulis sebagaimana Al-qur’an dan diterima secara individu (ahad) tidak secara mutawatir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingat-ingatan dan hapalan para sahabat yang andal. Oleh karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali memiliki kriteria yang ditetapkan, diantaranya disertai sanad yang dapat dipertanggungjawabkan kesashihannya. Para ulama memberikan berbagai komentar tentang pentingnya sanad, antara lain:
1.      Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) berkata:
اِنَّ هَذَا الْعِلْمَ ذِيْنُ فآنْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ                                              
Sesungguhnya ilmu ini hadis adalah agama, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu.
2.      Abdullah bin Al-Mubarak (w. 181 H/797 M) berkata:
الاْءسْنَآدُ مِنَ الْذِيْنَ وَلَوْلاَ الاْءسْنَآدُ لَقَآلَ مَنْ شآءَ مآشآءَ                               
Sanad itu bagian dari agama, jika tidak ada sanad maka siapa saja dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.
3.      Az-Zuhri setiap menyampaikan hadis disertai dengan sanad dan mengatakan :
لاَيَصْلُحٌ أنْ يُرْقَي السَّطْحُ اِلاَّ بِدَرَجَهِ                                                        
Tidak layak naik ke loteng/atap rumah kecuali dengan tangga.

Maksud tangga adalah sanad, jadi seseorang tidak mungkin akan sampai kepada Rasulullah dalam periwayatan hadis melainkan harus melalui sanad. Pertnyataan diatas memberikan petunjuk, bahwa apabila sanad suatu hadis benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, maka hadis itu pada umumnya berkualitas shahih dan tidak ada alasan untuk menolaknya. Studi sanad hanya dimiliki umat Muhammad. Umat-umat dahulu sekalipun dalam penghimpunan kitab suci mereka yang juga tidak ditulis pada masa Nabinya tidak disertai sanad. Padahal ditulis setelah ratusan tahun dari masa Nabinya.
2.      Lambang Periwayatan
Penyandaran berita yang dilakukan oleh setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad menggunakan ungkapan kata-kata yang melambangkan pertemuan langsung (mustahil) atau tidaknya yaitu misalnya:
حَدَّ ثَنَآ/حَدَّ ثَنِيْ, اخْبَرَنَآ/أَخْبَرَنِيْ,أنْبَأَنَآ/أنْبَأنِيْ                                                      
Memberitahukan kepada kami/memberitahukan kepadaku, mengabarkan kepada kami/mengabarkan kepdaku, memberitakan kepada kami/memberitakan kepadaku.
       Ketiga ungkapan periwayatan hadis (ada’) diatas pada umumnya digunakan dalam keadaan jika seorang periwayat mendapat hadis secara langsung dan bertemu langsung dari seorang gurunya. Hanya bedanya jika menggunakan kata haddatsa/na berarti penerimaan secara berjamaah dan haddatsa/ni bermakna bahwa penerimaannya sendirian. Secara umum memang ungkapan kata-kata periwayatan diatas diartikan sama yaitu bertemu langsung. Namun kemudian masing-masing mempunyai metodologis yang khusus, misalnya sebagai berikut :h
a.       Lambang periwayatan :         ثَمِعْتُ/حَدَّ ثَنِيْ/حَدَّ ثَنآ  dipergunakan dalam metode as-sama’  artinya seorang murid mendengarkan penyampaian hadis dari seorang guru (syaikh) secara langsung.
b.      Lambang periwayatan :     أَخْبَرَنِيْ/أخْبَرَنآ  dipergunakan dalam metode Al-qira’ah atau Al-‘Ardh  (القِرَاءَةُأؤْالعَرْضُ)  artinya seorang murid membaca atau yang lain ikut mendengarkan dan didengarkan oleh seorang guru, guru mengiyakan jika benar dan meluruskan jika terjadi kesalahan.
c.       Lambang periwayatan :     انْبَأنِيْ/أنْبَآنآَ dalam metode ijazah (الاْجآَرَةُ)    seorang guru memberikan izin periwayatan kepada seorang atau beberapa orang muridnya.
d.      Lambang periwayatan :  قَآلَ لِيْ  ia berkata kepadaku atau    :  ذَكَرَلِيْia menyebutkan kepadaku dipergunakan dalam menyampaikan hadis metode sama’ Al-Mudzakarah  سَمَآعُ الْمُذَاكَرَةِ   artinya murid mendengar bacaan guru dalam kontek mudzakarah bukan dalam konteks menyampaikan periwayatan yang tentunya tidak siap kedua belah pihak.
e.       Lambang periwayatanعَنْ  : Hadis yang diriwayatkan menggunakan kata ‘an = disebut hadis mu’an’anah.
3.      Matan
Kata matan atau al-matan   الْمَتَنُ menurut bahasa berarti : keras, kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli. Dalam perkembangan karya penulisan ada matan dan ada syarah. Matan disini di maksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarahnya dimaksudkan penjelasan yang lebih terurai dan terperinci.
Menurut istilah matan adalah :
مَآيَنْتَهِي اِلَيْهِ اسَّنَدُ مِنَ الًقَلاَمِ                                                               
Sesuatu kalimat setelah berakhirnya sanad
Berbagai redaksi definisi matan yang di berikan para ulama,tetapi intinya sama yaitu materi atau isi berita hadist itu sendiri yang datang dari nabi.
4.      Mukharrij atau Perawi Hadis
Kata mukharrij isim fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan, dan menarik. Maksud mukharrij adalah seorang yang menyebutkan suatu hadis dalam kitabnya dengan sanadnya.
Misalnya jikasuatu hadis mukharrij-nya Al-Bukhari berarti hadis tersebut dituturkan Al-Bukhari dalam kitabnya dengan sanadnya. Oleh karena itu, biasanya pada akhir periwayatan suatu hadis disebutkan hadis di-takhrij oleh Al-Bukhari dan seterusnya. [4]
E.     Gelar Ulama’ Hadis
a.       Al-Hakim
Al-Hakim yaitu, orang yang menguasai seluruh ilmu-ilmu hadist, sehingga tidak ada yang tertinggal darinya. Yaitu, suatu gelar keahlian bagi imam-imamhadist yang menguasai seluruh hadist yang marwiyah , baik matan maupun sanadnya dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan tarjih (tercelanya) rawi-rawi. Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru-guru dan sifat-sifatnya yang dapat diterima maupun ditolak. Ia harus dapat menghafal hadis lebih dari 300.000 hadist beserta sanadnya. Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain : Ibnu Dinar (Meninggal 162 H). Al-Laits bin Sa’ad. Seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya meninggal 175 H. Imam Malik (179) dan Imam Syafi’i (204 H).
b.      Al Hujjah
Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000 hadis. Baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, biografinya (riwayat hidup). Para muhadditsiin yang mendapat gelar ini antara lain ialah : Hisyam bin Urwah (meninggal 146 H). Abu Hudzail Muhammad bin Walid (meninggal 149 H). Dan Muhammad Abdullah bin Amr (Meninggal 242 H).
c.       Al-Hafizh
Ialah gelar untuk ahli hadis yang dapat menshahihkan sanad dan matan hadis dan dapat men-ta’dil-kan men-jarh-kan rawinya. Seorang Al-Hafizh harus menghafal hadis-hadis shahih, mengetahui rawi yang waham (banyak purbasangka), illat-illat hadist dan dan istilah-istilah muhadditsilin. Menurut sebagian pendapat Al-hafidh harus mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadist. Para muhadditsiin yang mempunyai gelar ini  antara lain : al-Iraqi, Syarifuddin as Dimyathi. Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Ibnu Daqiqi al-legd.
d.      Al-Muhaddits
Menurut muadditsiin-muadditsiin mutaqaddimin, al-hafidh dan al-muaadits itu searti. Tetapi, menurut Muta’akhiriin, al-hafidh itu lebih khusus daripada al-muhaddist. Kata at-Tajus Subhi, ‘Al-Muhaddist ialah orang yang dapat mengetahui sanad-sanad, illat-illat, nama-nama rijal (rawi-rawi), ‘ali (tinggi), dan naazil (rendah)-nya suatu hadis , memahami kutubus sittah, musnad ahmad, aunan al-baihaqi, majmu thabarani, dan menghafal hadist sekurang-kurangnya 100 hadist. Muhaddisinn yang mendapat gelar ini antara lain : Atha’ bin Abi Rabbah (wafat 115 H). Ibnu Katsir dan Imam az-Zabidi
e.       Al-Musnid
Yaitu, gelar keahlian bagi orang-orang yang meriwayatkan sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. Al-Musnid juga disebut  dengan at-Thalib, al-Mubtadi’, dan ar-Rawi. [5]


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
ü  Syarat-syarat seorang perawi yakni :
1. Islam
2. Baligh
3. ‘Adalah
4. Dhabit
ü  Tahammul wal ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits. Al-Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadist.
ü  Periwayatan Hadits secara lafadz dan maknawi
Ada dua jalan para sahabat dala meriwayatkan hadis dari Rasul SAW. Pertama dengan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul SAW.) dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
ü  Lambang Periwayatan
Penyandaran berita yang dilakukan oleh setiap pembawa berita dalam mata rantai sanad menggunakan ungkapan kata-kata yang melambangkan pertemuan langsung (mustahil) atau tidaknya.
ü  Gelar ulama hadis
a)      Al-Hakim
b)      Al-Hujjah
c)      Al-Hafizh
d)     Al-Muhaddist
e)      Al-Musnid

B.     Saran
Setiap manusia pasti tidak lepas dari kesalahan, tetapi dengan adanya ikhtiar dan doa kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan suatu kewajiban ini. kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Namun kami berharap kepada dosen pengampu dan bagi pembaca yang lain agar berkenan membaca makalah ini dengan harapan agar nenjadi sesuatu yang bermanfaat. Tidak lupa pula, saran-saran yang bersifat membagun sangat kami harapkan untuk kesempurnaan makalah ini, agar dapat kami perbaiki dalam penulisan yang akan datang.






















DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis,
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis



[1] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010) hal 204-207
[2] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010) hal 198-204
[3] Dr. H. Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Pers, 2010) hal 82-84
[4] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis (Jakarta, AMZAH, 2008) hal 95-103
[5] ibid