MAKALAH
“SADDU
AL-DZARI’AH”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah:
Ushul Fiqh
Yang Diampu oleh bapak: Abdul Jalil, M.HI
Disusun oleh :
JURUSAN
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN
ISLAM
FAKULTAS
SYARI’AH
INSITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MADURA
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
Wr.Wb
Alhamdulillah segala puji bagi
Allah SWT, kami panjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mata kuliah USHUL FIQH
yang berjudul “ SADDU AL-DZARI’AH” dengan harapan agar makalah ini di
pergunakan dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah limpahkan kepada sang proklamator islam yakni Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa syariat islam demi tegaknya keadilan dan keteraturan di muka bumi
ini. Berkat pertolongan Allah SWT dan
bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tugas makalah ini dapat diselesaikan.
Tsumassalamu’alaikum Wr.Wb
Pamekasan, 05 MEI 2018 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.Tujuan Masalah............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A.Pengertian Saddu al-dzari’ah.......................................................................... 3
B. Dasar Hukum Saddu al-dzari’ah.................................................................... 5
C.Ragam Bentuk Saddual-dzari’........................................................................7
D.Penerapan Saddu
Al-dzari’ah.........................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 11
A.KESIMPULAN.............................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setiap perbuatan yang
secara sadar dilakukan oleh sesorang pasti mempunyai tujuan teretntu yang
jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatn yang dituju itu baik atau buruk,
mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum sampai pada pelaksanaan
perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang
harus dilaluinya.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Saddu al-dzari’ah
2.
Dasar
hukum saddu al-dzari’ah
3.
Ragam/bentuk
saddu al-dzari’ah
4.
Penerapannya
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari Saddu al-dzari’ah
2.
Untuk
mengetahui dasar hukum dari Saddu al-dzari’ah
3.
Untuk
mengetahui bagaimana keragaman/bentuk Saddu al-dzari’ah
4.
Untuk
mengetahui penerapannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sadd adz-dzari’ah
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk
frase (idhafah) yang
terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara
etimologis, kata as-sadd(السَّدُّ)merupakan kata benda
abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut
berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.
Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata
benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab
terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah,
dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya
al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata
sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya
pengantara.[1]
Dari
segi bahasa, Adz-dzari’ah (jamak:ad-zara’i) berarti:media yang
menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh,
yang dimaksud dengan Adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan
media dan jalan untuk sampai kepada sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’,
baik yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan
yang menuju ketaatan atau kemaksitan.
Yang dimaksud dengan saddu adz-dzari’ah
(makna generik: menutup jalan) ialah, mencegah sesuatu perbuatan agar tak
sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah.
Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai
contoh, pada dasarnya, menjual
anggur adalah mubah (boleh),
karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual
anggur kepada orang yang mengelolanya menjadi minuman keras menjadi terlarang.
Perbuatan tersebut terlarang, karena menimbulkan masfadah. Larangan tersebut
mencegah agar jangan memnuat minuman keras, dan agar orang terhindar dari
meminum-minuman yang memabukkan, dimana keduanya merupakan mafsadah. Badran
dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzariah. perbedaannya
terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju pada perantara atau washilah.
Pada dzariah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara.
B. Dasar Hukum Saddu al-dzari’ah
1. Al-Qur'an
Surat Al-An'am ayat 108
وَلاَ تَسُبُّواْ
الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ
عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (الأية)
"Dan janganlah kamu
memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami
jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan
tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang
telah mereka kerjakan.(QS. Al-An'am : 108).
Dalam ayat diatas,
mencaci atau memaki sesembahan selain Allah merupakan dzari'ah yang
akan menimbulkan mafsadah. Sehingga Allah melarang untuk memaki
sesembahan selain Allah, karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan
menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah bahkan mungkin lebih,
maka perbuatan tersebut menjadi dilarang.
2. Hadits
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ، قِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ
كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَباَ الرَّجُلُ
فَيَسُبُّ أَباَهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ (رواه البخاري ومسلم وأبو
داوود)
Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah
seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang,
"Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu
bapaknya?" Rasulullah menjawab, "Seseorang mencaci-maki ayah orang
lain, maka ayahnya juga akan dicaci-maki orang itu, dan seseorang mencaci-maki
ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci-maki orang itu". (HR.
Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Hadits diatas, menurut Ibnu Taimiyyah menunjukkan
bahwa sadd adz-dzari'ah termasuk salah satu alasan untuk
menetapkan hukum syar'i, karena sabda Rasulullah tersebut sifatnya
masih dugaan, namun dasar dugaan itu Rasulullah saw melarangnya.
3. Kaidah Fiqh
Diantara kaidah fiqh yang bisa
dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari'ah adalah :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ
الْمَصَالِحِ
Meninggalkan keburukan (mafsadah) lebih
diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Dari kaidah diatas jelas dikatakan bahwa segala yang
mengandung keburukan (mafsadah) haruslah di hindari, sehingga dapat
menjadi sandaran dalam penerapan sadd adz-dzari'ah karena di dalamnya
terdapat unsur mafsadah yang harus di hindari.
مَادَلَّ عَلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan
yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.
Kaidah ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan setiap
pekerjaan baik ataupun buruk pasti melalui jalan, dan ketika tujuannya adalah
menciptakan pekerjaan baik hendaklah dilakukan jalan (perantara) untuk
mewujudkannya. Sebaliknya, jika pekerjaan yang akan tercipta adalah sesuatu
yang dilarang (haram) maka jalan untuk menuju kepada pekerjaan tersebut juga
dilarang.
4. Logika
Secara logika, ketika seseorang memperbolehkan atau
memerintahkan sesuatu maka ia juga akan memperbolehkan segala hal yang akan
mengantarkan terwujudnya tersebut. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang
melarang sesuatu maka ia pun melarang segala hal yang dapat mengantarkan kepada
sesuatu yang dilarang itu. Misalnya : ketika mahasiswa diperintahkan untuk
membuat tugas perkuliahan, maka sebenarnya dia juga diperintahkan untuk
mempelajari, mencari referensi, memahami, menuliskannya kedalam sebuah makalah.
Contoh lainnya, ketika di haramkannya menggunakan minuman keras dan narkoba
maka sebenarnya juga di larang untuk memiliki, memproduksi dan menjual-belikan.[2]
C. Ragam/bentuk saddu al-adzriah
Dilihat dari aspek akibat yang ditimbulkan, Ibnu
al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari'ah menjadi empat macam,
yaitu :
1. Suatu perbuatan
yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah).
Seperti mengkonsumsi minuman keras dan narkoba yang merugikan diri sendiri.
2. Suatu perbuatan yang pada
dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja
dijadikan sebagai perantara untuk terjadi suatu keburukan (mafsadah).
Misalnya nikah at-tahlili, yaitu menikahi perempuan yang sudah di
talak tiga agar sang perempuan boleh dikawini kembali oleh mantan suaminya.
3. Suatu perbuatan
yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak sengaja untuk menimbulkan suatu
keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi
meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi
tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan
yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah).
Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang
lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama,
Al-Qarafi dan Asy-Syatibi membagi adz-dzari'ah menjadi tiga
macam, yaitu :
1. Sesuatu yang
telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana
teradinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya, menanam anggur, meskipun
ada kemungkinan untuk dijadikan khamr, atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi pertengkaran dengan tetangga.
2. Sesuatu yang
disepakati untuk dilarang, seperti mencaci-maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci-maki Allah seketika itu pula.
3. Sesuatu yang
masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti jual beli
berjangka karena khawatir ada unsur riba.
4. Sesuatu yang jarang sekali membawa kerusakan
atau perbuatan terlarang, seperti menggali lubang dipekarangan rumah
sendiri yang jarang dilewati tetangga. Menurut kebiasaan tidak ada orang yang
lewat dipekarangan rumah kita kecuali orang itu salah arah (nyasar) atau
terjatuh sendiri kedalam lubang.[3]
D. Penerapan saddu
al-dzari’ah
Dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan,
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan
perbuatan-perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian dijadikan faktor
pedoman dalam hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik
dan buruk.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Saddu al-dzariah
adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat
dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan;
dan bila mafsadat yang dominan makan harus ditinggalkan. Bila sama kuat
antara keduanya, maka harus menjaga kehati-hatian.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sadd
adz-dzari'ah merupakan
suatu perangkat hukum dalam Islam yang di gunakan para ulama ushul fiqh dalam
menentukan hukum secaraistinbath. Tujuannya adalah sebagai rambu-rambu
untuk kemaslahatan umat dan agar tidak terjerumus kedalam suatu kerusakan (mafsadah).
Metode
penerapan hukum yang akurat sebagaimana yang telah di lakukan oleh kalangan
ulama empat madhzab. Selain itu, sadd adz-dzari'ah juga
dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-sehari sebagai control baik
pribadi maupun sosial. Sehingga apabila di laksanakan dengan baik, maka akan
menciptakan sebuah proteksi dalam kehidupan khususnya
dalam kemaslahatan bersama dan menjauhi mafsadah.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tahdzib/.../809/
diakses 02 Mei 2018 pukul 04.45 wib
Rahman
Dahlan, Abd, MA . Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2010).
https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ushul-fiqh-saddu-dzariah/, diakses 02 Mei 18 pukul 13.35 wib)
https://hum4m.blogspot.co.id/2015/11/saad-adz-dzariah-sebagai-dasar-hukum.html?showComment=1526370834947#c7158458557388049360, diakses 05 Mei 2018, pukul 14.56 wib)
[1] https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ushul-fiqh-saddu-dzariah/,
diakses 02 Mei 18 pukul 13.35 wib)
[2] https://hum4m.blogspot.co.id/2015/11/saad-adz-dzariah-sebagai-dasar-hukum.html?showComment=1526370834947#c7158458557388049360, diakses 05 Mei 2018, pukul 14.56 wib)