Thursday 17 May 2018

MAKALAH “SADDU AL-DZARI’AH”


MAKALAH
“SADDU AL-DZARI’AH”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Matakuliah: Ushul Fiqh
Yang Diampu oleh bapak: Abdul Jalil, M.HI

Disusun oleh :


JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH
INSITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MADURA
                                                                TAHUN 2017

pt;line-height:115%;font-family:"Times New Roman","serif"; mso-ascii-theme-font:major-bidi;mso-hansi-theme-font:major-bidi;mso-bidi-theme-font: major-bidi'>DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

            Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, kami panjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mata kuliah USHUL FIQH yang berjudul “ SADDU AL-DZARI’AH” dengan harapan agar makalah ini di pergunakan dengan sebaik-baiknya.
        Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada sang proklamator islam yakni Nabi Muhammad SAW yang telah membawa syariat islam demi tegaknya keadilan dan keteraturan di muka bumi ini. Berkat pertolongan Allah SWT  dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya tugas makalah ini dapat diselesaikan.

            Tsumassalamu’alaikum Wr.Wb

 Pamekasan, 05 MEI 2018 M  










DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
C.Tujuan Masalah............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
A.Pengertian Saddu al-dzari’ah.......................................................................... 3
B. Dasar Hukum Saddu al-dzari’ah.................................................................... 5
C.Ragam Bentuk Saddual-dzari’........................................................................7
D.Penerapan Saddu Al-dzari’ah.........................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 11
A.KESIMPULAN.............................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 12
 BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
      Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh sesorang pasti mempunyai tujuan teretntu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatn yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan mudarat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.
B. Rumusan Masalah
1.      Pengertian Saddu al-dzari’ah
2.      Dasar hukum saddu al-dzari’ah
3.      Ragam/bentuk saddu al-dzari’ah
4.      Penerapannya
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Saddu al-dzari’ah
2.      Untuk mengetahui dasar hukum dari Saddu al-dzari’ah
3.      Untuk mengetahui bagaimana keragaman/bentuk Saddu al-dzari’ah
4.      Untuk mengetahui penerapannya

                             
                             




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sadd adz-dzari’ah
                        Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ)dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd(السَّدُّ)merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع). Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara.[1]
Dari segi bahasa, Adz-dzari’ah (jamak:ad-zara’i) berarti:media yang menyampaikan kepada sesuatu. Sedangkan dalam pengertian istilah ushul fiqh, yang dimaksud dengan Adz-dzari’ah ialah, sesuatu yang merupakan media  dan jalan  untuk sampai kepada  sesuatu yang berkaitan dengan hukum syara’, baik yang haram ataupun yang halal (yang terlarang atau yang dibenarkan), dan yang menuju ketaatan atau kemaksitan.
      Yang dimaksud dengan saddu adz-dzari’ah (makna generik: menutup jalan) ialah, mencegah sesuatu perbuatan agar tak sampai menimbulkan al-mafsadah (kerusakan), jika ia akan menimbulkan mafsadah. Pencegahan terhadap mafsadah dilakukan karena ia bersifat terlarang. Sebagai contoh,  pada dasarnya, menjual anggur  adalah mubah (boleh), karena anggur adalah buah-buahan yang halal dimakan. Akan tetapi, menjual anggur kepada orang yang mengelolanya menjadi minuman keras menjadi terlarang. Perbuatan tersebut terlarang, karena menimbulkan masfadah. Larangan tersebut mencegah agar jangan memnuat minuman keras, dan agar orang terhindar dari meminum-minuman yang memabukkan, dimana keduanya merupakan mafsadah. Badran dan Zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan dzariah. perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju pada perantara atau washilah. Pada dzariah, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara.
B. Dasar Hukum Saddu al-dzari’ah
1. Al-Qur'an
    Surat Al-An'am ayat 108
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (الأية)
     "Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.(QS. Al-An'am : 108).
     Dalam ayat diatas, mencaci atau memaki sesembahan selain Allah merupakan dzari'ah yang akan menimbulkan mafsadah. Sehingga Allah melarang untuk memaki sesembahan selain Allah, karena perbuatan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah bahkan mungkin lebih, maka perbuatan tersebut menjadi dilarang.
2.      Hadits 
إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ، قِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَباَ الرَّجُلُ فَيَسُبُّ أَباَهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ (رواه البخاري ومسلم وأبو داوود)
Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, "Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?" Rasulullah menjawab, "Seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci-maki orang itu, dan seseorang mencaci-maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci-maki orang itu". (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Hadits diatas, menurut Ibnu Taimiyyah menunjukkan bahwa sadd adz-dzari'ah termasuk salah satu alasan untuk menetapkan hukum syar'i, karena sabda Rasulullah tersebut sifatnya masih dugaan, namun dasar dugaan itu Rasulullah saw melarangnya.
3.   Kaidah Fiqh
Diantara kaidah fiqh yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari'ah adalah :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Meninggalkan keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Dari kaidah diatas jelas dikatakan bahwa segala yang mengandung keburukan (mafsadah) haruslah di hindari, sehingga dapat menjadi sandaran dalam penerapan sadd adz-dzari'ah karena di dalamnya terdapat unsur mafsadah yang harus di hindari. 
مَادَلَّ عَلَى الْحَرَامِ فَهُوَ حَرَامٌ
Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun diharamkan.
Kaidah ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan setiap pekerjaan baik ataupun buruk pasti melalui jalan, dan ketika tujuannya adalah menciptakan pekerjaan baik hendaklah dilakukan jalan (perantara) untuk mewujudkannya. Sebaliknya, jika pekerjaan yang akan tercipta adalah sesuatu yang dilarang (haram) maka jalan untuk menuju kepada pekerjaan tersebut juga dilarang. 
4.      Logika
Secara logika, ketika seseorang memperbolehkan atau memerintahkan sesuatu maka ia juga akan memperbolehkan segala hal yang akan mengantarkan terwujudnya tersebut. Begitupun sebaliknya, ketika seseorang melarang sesuatu maka ia pun melarang segala hal yang dapat mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang itu. Misalnya : ketika mahasiswa diperintahkan untuk membuat tugas perkuliahan, maka sebenarnya dia juga diperintahkan untuk mempelajari, mencari referensi, memahami, menuliskannya kedalam sebuah makalah. Contoh lainnya, ketika di haramkannya menggunakan minuman keras dan narkoba maka sebenarnya juga di larang untuk memiliki, memproduksi dan menjual-belikan.[2]
C. Ragam/bentuk saddu al-adzriah
Dilihat dari aspek akibat yang ditimbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari'ah menjadi empat macam, yaitu :
1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Seperti mengkonsumsi minuman keras dan narkoba yang merugikan diri sendiri.
2.     Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi suatu keburukan (mafsadah). Misalnya nikah at-tahlili, yaitu menikahi perempuan yang sudah di talak tiga agar sang perempuan boleh dikawini kembali oleh mantan suaminya.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak sengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, Al-Qarafi dan Asy-Syatibi membagi adz-dzari'ah menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana teradinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya, menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamr, atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi pertengkaran dengan tetangga.
2.      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci-maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci-maki Allah seketika itu pula.
3.      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
4.      Sesuatu yang  jarang sekali membawa  kerusakan  atau perbuatan terlarang, seperti menggali lubang dipekarangan rumah sendiri yang jarang dilewati tetangga. Menurut kebiasaan tidak ada orang yang lewat dipekarangan rumah kita kecuali orang itu salah arah (nyasar) atau terjatuh sendiri kedalam lubang.[3]
D. Penerapan saddu al-dzari’ah
     Dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan, berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan-perbuatan yag dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian dijadikan faktor pedoman dalam hati-hati itu adalah faktor manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
     Dasar pegangan ulama untuk menggunakan Saddu al-dzariah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan; dan bila mafsadat yang dominan makan harus ditinggalkan. Bila sama kuat antara keduanya, maka harus menjaga kehati-hatian.


    
                       








BAB III
PENUTUP
      A. KESIMPULAN
Sadd adz-dzari'ah merupakan suatu perangkat hukum dalam Islam yang di gunakan para ulama ushul fiqh dalam menentukan hukum secaraistinbath. Tujuannya adalah sebagai rambu-rambu untuk kemaslahatan umat dan agar tidak terjerumus kedalam suatu kerusakan (mafsadah).
Metode penerapan hukum yang akurat sebagaimana yang telah di lakukan oleh kalangan ulama empat madhzab. Selain itu, sadd adz-dzari'ah juga dapat di terapkan dalam kehidupan sehari-sehari sebagai control baik pribadi maupun sosial. Sehingga apabila di laksanakan dengan baik, maka akan menciptakan sebuah proteksi dalam kehidupan khususnya dalam kemaslahatan bersama dan menjauhi mafsadah.













DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001). 
ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/tahdzib/.../809/ diakses 02 Mei 2018     pukul 04.45 wib
Rahman Dahlan, Abd, MA . Ushul Fiqh, (Jakarta: AMZAH, 2010).






[3] Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001). Hal 452-454