MAKALAH
ADVOKASI QS.
AN-NISA’ AYAT 34-35
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Tafsir Ahkam
Dosen Pengampu : AH. KUSYAIRI, M.HI
Disusun Oleh :
Khalilur Rahman
Indah Atiqotul Aini
Khosnol Khotimah
JURUSAN HUKUM
AL-AHWAL AISYASIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA
2018
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakat. Makalah ilmiah ini telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga
makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk masyarakan ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Pamekasan, 11 Mei 2018
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.
Latar
Belakang................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................... 1
C.
Tujuan................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN............................................................................. 2
A.
Surat
An-Nisa’ Ayat 34-35................................................................ 2
B.
Pengertian Nusyuz Dan Syiqaq Serta Cara Menghadapinya............. 3
C. Pengertian Dan Pengangkatan
Hakamain.......................................... 6
D. Kedudukan dan peran hakamain........................................................ 7
E. Kandungan Hukum Surat
An-Nisa’ Ayat 34-35................................ 9
BAB III PENUTUP................................................................................... 10
A.
Kesimpulan....................................................................................... 10
B.
Saran................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hubungan yang mengikat
seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui akad untuk membina rumah
tangga.Dengan adanya hubungan tersebut, maka dihalalkan bagi laki dan perempuan
tersebut untuk melakukan segala sesuatu, termasuk hubungan intim yang pada
mulanya dilarang ketika masih belum ada ikatan perkawinan,sehingga bisa
memperoleh keturunan yang baik. Dalam proses perjalanan membinarumah tangga tersebut,
tidak jarang terjadi perselisihan (syiqaq) di antara suami istri dikarenakn
suatu hal tertentu yang memicu keretakan rumah tangga.Percekcokan dan
permusuhan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri akan
menimbulkan keretakan rumah tangga yang berujung pada tombak perceraian.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
isi surat an-Nisa’ ayat 34-35 ?
2.
Apakah yang
dimaksud dengan syiqaq ?
3.
Bagaimana
cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga ?
4.
Apa yang
dimaksud dengan hakamain ?
5.
Bagaimana
posisi dan peran kedudukan hakamain dalam menyelesaikan syiqaq yang terjadi
dalam suatu rumah tangga tertentu ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana isi surat an-Nisa’ ayat 34-35.
2.
Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan syiqaq.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana cara penyelesaian syiqaq yang terjadi dalam rumah tangga.
4.
Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakamain.
5.
Untuk
mengetahui posisi dan peran hakamain dalam menyelesaikan syiqaq yang
terjadi dalam suatu rumah tangga tertentu.
6.
Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ahkam II.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surat An-Nisa’ Ayat 34-35
Pembahasan
tentang nusyuz dan syiqaq serta cara menghadapinya dijelaskan
dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 34-35 adalah sebagai berikut:
ãA%y`Ìh9$#
cqãBº§qs%
n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/
@Òsù
ª!$#
óOßgÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur
(#qà)xÿRr&
ô`ÏB
öNÎgÏ9ºuqøBr&
4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù
ìM»tGÏZ»s%
×M»sàÏÿ»ym
É=øtóù=Ïj9
$yJÎ/
xáÏÿym
ª!$#
4 ÓÉL»©9$#ur
tbqèù$srB
Æèdyqà±èS
ÆèdqÝàÏèsù
£`èdrãàf÷d$#ur
Îû
ÆìÅ_$ÒyJø9$#
£`èdqç/ÎôÑ$#ur
( ÷bÎ*sù
öNà6uZ÷èsÛr&
xsù
(#qäóö7s?
£`Íkön=tã
¸xÎ6y
3 ¨bÎ)
©!$#
c%x.
$wÎ=tã
#ZÎ62
ÇÌÍÈ ÷bÎ)ur
óOçFøÿÅz
s-$s)Ï©
$uKÍkÈ]÷t/
(#qèWyèö/$$sù
$VJs3ym
ô`ÏiB
¾Ï&Î#÷dr&
$VJs3ymur
ô`ÏiB
!$ygÎ=÷dr&
bÎ)
!#yÌã
$[s»n=ô¹Î)
È,Ïjùuqã
ª!$#
!$yJåks]øt/
3 ¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JÎ=tã
#ZÎ7yz
ÇÌÎÈ
Artinya
: 34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291],
Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha besar.[1]
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.
B.
Pengertian Nusyuz Dan Syiqaq Serta Cara Menghadapinya
1.
Nusyuz
Nusyuz pada
asalnya berarti “terangkat” atau tertinggi. Seorang perempuan yang keluar
meninggalkan rumah dan tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan
menganggap ia lebih tinggi dari suaminya, singkat kata yaitu istri yang durhaka
pada suaminya. Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin, nusyuz berarti durhaka,
maksudnya seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suaminya tanpa
alasan yang dapat diterima oleh syara’.
Jadi, Istri
nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak
menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti keluar
rumah tanpa izin suaminya.Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk dalam
katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak
diwajibkan pada seorang istri. Maka, jika ia tidak melakukan
pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan
dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan selainnya,
walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur semua itu tidak masuk
katagori nusyuz.
Dalam surat An-Nisa’ ayat 34 tersebut di
atas ada kata “takut nusyuz”, menurut sebagian ulama’, maksud dari “takut
nusyuz pada ayat tersebut adalah jika diketahuinya dengan pasti bahwa istrinya
itu akan berbuat demikian. Sedangkan menurut sebagian ulama’ lain menjelaskan
bahwa yang dimaksud “takut nusyuz” adalah jika disangkanya istri itu telah
melakukan nusyuz dengan memperhatikan qarinah (gerak-gerik) istri yang berubah
dari yang biasanya dalam melayani suaminya. Jika telah terjadi nusyuz yang
demikian, Alqur’an telah memberikan solusi/langkah-langkah bagaimana cara menghadapi seorang istri yang nusyuz,
yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 34.
a.
Memberikan nasehat dan petuah
b.
Jika nasihat tidak efektif dan istri tidak terpengruh
oleh nasihat itu, maka suami harus menghindarinya di tempat tidur, tidak
berbicara dengannya dan tidak mendekatinya serta tidak melakukan hubungan suami
istri, dengan harpan istri menyadari kesalahannya. Menurut Ibnu Abbas, yang
dimaksud dengan menghindarinya di tempat tidur adalah teteap berada di tempat
tidur, namun tidak boleh berjima’ dengannya dan tidurnya dengan cara
membelakanginya atau memunggunginya. Menurut Said bin Zubair, ditinggalkannya
dari mencampuri istrinya. Sedangkan menurut Sya’bi, ditinggalkanya sebantal
segulingan dengan istrinya (tidak bersetubuh)[2]
c.
Jika cara yang kedua tersebut masih tidak efektif. Menurut
yang hadits diwayatkan oleh Thabari dapat dilakukan pukulan yang tidak terlalu
keras dan tidak sampai menyakitkan/melukai badannya. Dalam hal memukul,
hendaknya menjauhi bagian muka dan tempat-tempat lain yang membahayakan, karena
memukul ini tujuannya dapat memberikan pelajaran (ta’zir). Hal ini sesuai
dengan hadits Rasulullah SAW).
عَنْ
حَكِيْم بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقَشَيْرِي عَنْ أبِيْهِ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ
اللَّه، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: انْ تُطْمِعَهَا اذَا
طَعِمَتْ وَتَكْسُوْهَا إذَاكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ
وَلَا تَهْجُرْ إلَّا فِى الْبَيْتِ
Artinya: “Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairy, dari ayahnya, ia
berkata, “saya bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah hak seorang istri pada
suaminya?” Beliau bersabda, h”Hendaklah kamu memberi makan dia jika engkau
makan. Berilah pakaian kepadanya seperti cara engkau berpakaian. Jangan pukul
mukanya, jangan menjelek-jelekkan dan jangan engkau meninggalkannya kecuali
masih dalam serumah“. (HR. Abu Dwaud).
Mengenai nusyuz ini di Indonesia telah diatur, yakni dalam KHI
pasal 80 ayat (7) yang berbunyi “Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5)
gugur apabila istri nusyuz”. Selain itu juga diatur pada pasal 84 KHI yang
berbunyi “(1) istri dapat dianggap nusyuz jika tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah, (2) selama istri nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal
untuk kepentingan anaknya, (3)kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas
berlaku kembali sesudah istri nusyuz, (4) ketentuan tentang ada atau tidak
adaya nusyuz dari istri harus ada bukti yang sah.”
2. Syiqaq
Kata syiqaq berasal
dari bahasa arab al-syaqqu yang berarti sisi.
Adanyaperselisihan suami-isteri disebut “sisi”, karena masing-masing pihak yang
berselisih itu\berada pada sisi yang berlainan, disebabkan adanya permusuhan
dan pertentangan, sehingga padanan katanya adalah perselisihan; (al-khilaf);
perpecahan; permusuhan; (aladawah).
Syiqaq memiliki
arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-‘adawah (pertentangan
atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan
istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan
kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mencari hakim guna
menjadi juru damai di antara keduanya.
Ada
beberapa pandangan tentang syiqaq.Ada yang berpendapat bahwa dikatakan syiqaq
kalau selisihnya itu mengandung unsur membahayakan suami isteri dan terjadi
pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak mengandung unsur-unsur yang
membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut belum
dikatakan syiqaq.
Pertentangan
atau persengketaan Menurut istilah fiqih ialah perselisihan suami istri yang
diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan
seorang hakam dari pihak istri.Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan
permasalahan syiqaq dengan cukup lugas. Al-syiqaq berarti
perselisihan yang berpotensi membuat dua pihak berpisah, dan ketakutan
masing-masing pihak akan terjadinya perpisahan itu dengan lahirnya sebab-sebab
perselisihan.
C.
Pengertian Dan Pengangkatan Hakamain
Hakamain merupakan bentuk tatsniyah dari
kata “hakam” yang artinya juru damai.Jadi, hakamain adalah juru
damai yang dikirim oleh kedua belah pihak suami dan istri apabila terjadi
perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan
siapa yang salah.
Menurut Wahbah al-Zuhaili, suatu rumah
tangga dikatakan syiqaq sehinggamembutuhkan adanya pengangkatan hakamain,
secara teori melewati beberapa fase, antara lain: 1)mu’asyarah bi al-ma’ruf,
adanya itikad baik dan upaya sungguh-sungguh kedua belah pihak menciptakan
hubungan yang baik, 2) al-shabr, yaitu kesabaran dan upaya bertahan
menghadapi ujian yangtimbul sebagai akibat perkawinan termasuk sikap pasangan
yang nusyuz, 3) tahammul al-adza, adalah situasi seorang suami
dengan pantang menyerah menanggung beban fisik dan mental dalam melaksanakan
kewajibannya, 4) alwa’zhu, upaya suami memberikan nasihat kepada
isterinya dengan hikmah dan kebijaksanaa, 5) al-hajr, upaya
(nasihat) suami dengan cara membatasi komunikasi terhadap isteri, 6) al-dharb
al-yasir, upaya tegas suami terhadap isteri yang pula berupa sikap fisik
yang wajar, 7) irsal al-hakamain, upaya mediasi antar keluarga
kedua belah pihak dengan pengangkatan hakamain.
Dalam mengatasi kemelut rumah tangga
(syiqaq), Islam memerintahkan agar dilakukan arbitrase (tahkim).Suami boleh
mengutus seorang hakam dan istri boleh pula mengutus seorang hakam, yang
mewakili masing – masing. Namun sebaik- baiknya terdiri dari kaum keluarganya,
yang mengetahui dengan baik perihal suami istri itu, jika tidak ada boleh
diambil dari orang lain. Pengutusan hakim ini bermaksud untuk menelusuri sebab-
sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri
tersebut.
Filosofi mengangkat hakam dari
pihakkeluarga adalah mereka dianggap lebih tahu keadaan suami isteri secara
baik.Keluarga kedua belah pihak memiliki misi untuk mendamaikan percekcokan
yang terjadi diantara keduanya sehingga peluang suami isteri untuk menyampaikan
uneg-unegnya dapat dilakukan tanpa banyak hambatan.
Dalam permaslahan hakim, sayid sabiq dalam
kitab Fiqh Sunnah mensyaratkan 4 syarat bagi seorang hakim
yaitu; berakal, baligh, adil, muslim dalam
pendapat lain menambahi satu syarat yaitu seorang laki-laki, akan tetapi hakim tersebut tidak di syaratkan dari
kerabat/keluarga suami istri tersebut, maka dengan demikian hakim boleh dari
dari orang lain yang memenuhi kriteria yang telah disyaratkan.[3]
Menurut Mahmud Syaltut berpendapat
mengutus juru damai merupakan tugas wajib ‘ain (setiap orang) bagi keluarga
kedua suami istri. Kewajiban ini akan berpindah ke pengadilan apabila keluarga
kedua pihak suami dan istri tidak mampu lagi untuk merukunkan kembali pasangan
suami istri tersebut.
D.
Kedudukan dan peran hakamain.
Dalam hal wewenang hakam dalam kasus
syiqaq, terdapat perbedaan pendapat antarulama Fiqh.Menurut ulama Hanafi, qaul
qadim Imam Syafi’I, sebagian pengikut madzhab Hanbali, Hasan al-Basri dan
Ibn Qatadah, hakam tidak berwenang untuk menjatuhkan talaq suami terhadap istri
dan dari pihak istri tidak boleh mengadakan khuluk tanpa persetujuan
istri. Pendapat mereka ini sebagai konsekuensi dari pandangan mereka
bahwa hakam tersebut hanya berstatus sebagai wakil. Hakam berwenang
mengambil suatu keputusan hanya sepanjang dizinkan oleh suami istri yang
mewakilkannya.
Sedangkan menurut pendapat yang lain yaitu
sebagian pengikut Imam Hanbali yang lain, qaul jadid dari Imam Syafi’i,
Ibn Munzir, Imam Malik, Ibn Abbas menyatakan bahwa kedua hakam berkedudukan
sebagai hakim dan dapat memutuskan keputusan yang mereka anggap baik, apakah
mereka harus bercerai atau berdamai kembali. Hal ini beralasan pada petunjuk
ayat tersebut.
Sebagian ahli takwil berpendapat bahwa
yang diperintahkan atau yang berhak mengirim seorang hakam adalah penguasa
(hakim) yang menangani kasus tersebut. Ada juga
yang berpendapat bahwa yang diperintahkan untuk mengirim hakam adalah suami dan
istri yang berselisih.
Jika terjadi persengketaan antara suami
istri, maka selayaknya mereka mendatangkan seorang hakam (mediator) dari
keluarga kedua belah pihak untuk bermusyawarah mencari jalan keluar (solusi).
Hakam disyaratkan harus orang yang adil, dari kerabat, dan mempunyai pengalaman
dalam urusan rumah tangga (keluarga) dan pendapat yang lain tidak harus dari
kerabat.
Hisyam berkata dalam hadisnya, “Wanita itu
berkata,’Aku telah ridha terhadap kitab Allah, baik (terhadap sesuatu yang)
bermanfaat bagiku maupun yang mudharat bagiku”.Lelaki itu berkata, ‘Adapun
perpisahan, tidak’.Ali lalu berkata, ‘Engkau telah berdusta. Demi Allah,
(janganlah engkau kembali) hingga engkau ridha (terhadap sesuatu), seperti
istrimu ridha terhadap sesuatu itu”.
Cara penyelesaiannya ialah hakam dari
pihak laki-laki berpartner dengan suami, sedang hakam dari pihak perempuan
berpartner dengan istri.Setalah itu, masing-masing dari keduanya berkata kepada
partnernya (suami atau istri tersebut), “jujurlah kepadaku tentang keinginan
yang ada dihatimu’.apabila masing-masing dari kedua pasangan suami-istri itu
jujur kepada kedua hakam tersebut, maka kedua hakam itupun berkumpul, dan
masing-masing pihak dari mereka membuat sebuah janji dengan kawannya (hakam
yang lain), “Hendaklah engkau jujur kepadaku tentang keinginan yang dikatakan
partnermu kepadamu, niscaya aku akan jujur kepadamu tentang keinginan yang
dikatakan partnerku kepadaku’. dengan cara seperti ini maka kedua hakam
tersebut akan mengetahui perbuatan yang telah dilakukan oleh partnernya
terhadap pasangannya. Dan para hakam tersebut akan tahu siapa yang berbuat
zalim atau siapa yang bersalah, sehingga keduanya dapat mempertimbangkan dan
mengambil keputusan.[4]
Menurut Imam Abu Hanifah, sebagian
pengikut Imam Hambali, dan Qaul Qadimdari Imam Syafi’i, hakam itu berarti
wakil.Menurut Imam Malik, hakam itu sebagai hakim, sehingga berwenang
memberikan keputusan sesuai dengan pendapat keduanya tentang hubungan suami
istri yahg sedang berselisih itu, apakah ia akan memberikan keputusan
perceraian atau ia akan memerintahkan agar berdamai kembali.[5]
Dalam praktek peradilan agama di
Indonesia, fungsi hakam terbatas yaitu untukmencari upaya penyelesaian
perselisihan dan fungsi tersebut tidak dibarengi dengankewenangan untuk
menjatuhkan putusan.Berarti setelah hakam berupaya mencoba mencaripenyelesaian
diantara suami istri, fungsi dan kewenangannya berhenti sampai disitu.Hakam
mempunyai fungsi kewajiban yang melaporkan kepada pengadilan sampai sejauhmana
usaha yang telah dilakukannya, dan apa hasil yang telah diperolehnya selama
hakammenjalankan fungsinya. Hakam hanya sekedar usaha penjajakan penyelesaian
perselisihandiantara suami istri tanpa dibarengi dengan kewenangan mengambil
putusan.
E.
Kandungan Hukum Surat An-Nisa’ Ayat 34-35
1.
Seorang
suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, dan ketika seorang sua,I sudah
melaksanakan kewajibannya tersebut, maka seorang istri wajib mentaati suaminya.
2.
Kewajiban
seorang suami gugur ketika istrinya berbuat nusyuz.
3.
Hal-hal yang
harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2) menghindarinya
tempat tidur. 3) memukulnya.
4.
Ketika
terjadi perselisihan antara sepasang suami istri maka harus mengutus hakamain
(2 orang mediator) untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut agar
kembali seperti semula, yakni satu hakam dari pihak suami dan satu hakam dari
pihak istri.
5.
Hakamain
hendaknya diambil dari kerabat terdekat karena kerabat lebih memahami
keadaan rumah tangga saudaranya tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Nusyuz menurut bahasa berarti tertangakat, durhaka,
membangkang.Sedangkan menurut istilah, nusyuz adalah seorang istri melakukan
perbuatan yang menentang suaminya tanpa alasan yang dapat diterima oleh
syara’.Jadi, Istri nusyuz adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada
suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan
kepadanya, seperti keluar rumah tanpa izin suaminya. Hal-hal yang
harus dilakukan ketika istri nusyuz adalah 1) menasehatinya, 2) menghindarinya
tempat tidur. 3) memukulnya. Syiqaq memiliki
arti sama dengan al-khilaf (perselisihan) atau al-‘adawah (pertentangan
atau persengketaan). Jadi syiqaq ialah perselisihan antara suami dengan
istri.Hal ini biasanya timbul karena suami atau istri tidak melaksanakan
kewajibannya, maka dalam ayat di atas diperintahkan untuk mengutus 2 orang
hakim guna menjadi juru damai di antara keduanya.Yakni satu hakim dari pihak
suami dan satu hakim dari pihak istri.
B.
Saran
Pemakalah mengharapkan penilaian dari para audien tentang
hasil makalah kami untuk dijadikan sebagai langkah awal untuk bias lebih
menyempurnakan pembuatan makalah kami untuk selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Ash-Shabuni, Muhammad. 2000. Cahaya Al-Qur’an : Tafsir Tematik Surat
Al-Baqarah-Al-An’am. Jakata: Pustaka Al-Kautsar.
Binjai,
Syekh H. Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
H.
Abdul Halim Hasan Binjai, Syekh. 2006. Tafsir Ahkam. Jakarta: Kencana.
Muhdlor,
A. Zuhdi. 1994. Memahami Hukum Perkawinan Menuju Keluarga Bahagia.
Bandung: Al-Bayan.
Tim Redaksi
Nuansa Aulia. 2011. Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan, Kewarisan, dan
Perwakafan). Bandung: Nuansa Aulia.