BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam Islam memperoleh tempat dan posisi yang
sangat tinggi, karena melalui pendidikan orang dapat memperoleh ilmu, dan
dengan ilmu orang dapat mengenal Tuhannya, mencapai ma’rifatullah, peribadatan seseorang
juga akan hampa jika tidak dibarengi dengan ilmu. Demikian juga tinggi
rendahnya seseorang, disamping iman, juga sangat ditentukan oleh kualitas
keilmuan (kearifan) seseorang. Karena ilmu sangat menentukan, maka pendidikan
sebuah proses perolehan ilmu menjadi sangat penting.
Pendidikan Islam dipahami sebagai proses transformasi dan
internalisasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap peserta didik, melalui proses
pengembangan fitrah agar memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.
Oleh karena itu, pendidikan sangat penting dilakukan secara terus-menerus oleh
manusia sampai akhir hayatnya, dan yang paling penting pendidikan dalam
keluarga.
Pendidikan keluarga adalah pendidikan yang pertama
dimana anak mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang
agama dari orang tua, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima oleh anak
adalah dalam keluarga.
Keluarga adalah wadah yang
pertama dan utama atau tempat perkembangan seorang anak sejak dilahirkan sampai proses
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, di dalam
keluargalah dimulainya pembinaan nilai-nilai akhlak karimah (mulia) ditanamkan
bagi semua anggota keluarga.
Anak merupakan amanah Allah SWT. yang harus dijaga dan
dibina. Ia membutuhkan pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang, dan perhatian.
Cara memeliharanya dengan pendidikan akhlak yang baik.
Pendidikan akhlak (moral) adalah serangkain prinsip dasar
moral dan keutamaan sikap serta watak (tabiat) yang harus dimiliki dan
dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa pemula hingga menjadi mukallaf, yakni
siap untuk memengarungi lautan kehidupan. Imam Al-Gazali menekankan bahwa
akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik
atau buruk dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama. Oleh
karena itu, orang tua memegang faktor kunci yang bisa menjadikan anak tumbuh
dengan jiwa Islami. Sehingga Orang tua memegang
peranan yang sangat penting dalam pendidikan dan bimbingan terhadap anak,
karena hal itu sangat menentukan perkembangan anak untuk mencapai
keberhasilannya. Hal ini juga sangat bergantung pada penerapan pendidikan
khususnya agama, serta peranan orang tua sebagai pembuka mata yang pertama bagi
anak dalam rumah tangga. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw. yang
menyebutkan, ‘’ Dari Abu Hurairah r.a
berkata, bersabda Nabi SAW., Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka
orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi’’. (H.R.
Bukhari).
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa baik buruknya
anak sangat tergantung pada sikap orang tuanya. Anak yang dilahirkan ke muka
bumi ini dalam keadaan fitrah (kemampuan dasar) berupa potensi religius
(nilai-nilai agama). Kemampuan dasar ini pada dasarnya adalah setiap jiwa
manusia telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam. Naluri agama yang
dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia merupakan
pedoman yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, sehingga proses
pendidikan untuk mengembangkan potensi agama, ke arah yang sebenarnya.
Hadis di atas juga menekankan bahwa fitrah yang dibawa
sejak lahir bagi anak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tidak dapat
berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya, yang mungkin dapat
dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis apabila lingkungannya tidak
memungkinkan untuk menjadikan fitrah lebih baik. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa pendidikan Islam dalam keluarga
dapat membina akhlak mulia anak.
B. Rumusan Masalah
Berdasakan pada latar belakang di atas, maka penulis
dapat merumuskan permasalahan dalam makalah ini:
1.
Apa
pengertian pendidikan
Islam dan keluarga?
2.
Apa pengertian keluarga?
3.
Bagaimana peran atau upaya yang
dilakukan oleh keluarga dalam pembinaan akhlak mulia anak?
4.
Bagaimana urgensi pendidikan Islam di
lingkungan keluarga dalam pembinaan akhlak mulia anak?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian pendidikan
Islam dan keluarga.
2.
Untuk mengetahui peran atau upaya yang
dilakukan oleh keluarga dalam pembinaan akhlak mulia anak.
3.
Untuk mengetahui urgensi pendidikan
Islam di lingkungan keluarga dalam pembinaan akhlak mulia anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PENDIDIKAN
ISLAM DALAM KELUARGA
Di dalam Al-Qur’an,
surat At-Tahrim: 6 yang memiliki artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, Lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”. Disini Allah memperingatkan
manusia untuk melindungi diri dan keluargnya dari siksa api neraka. Disini juga
tersirat bahwa anak adalah amanat yang dititipkan Allah kepada orang tuanya.
Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Secara umum, inti tanggung jawab itu ialah
penyelenggaraan pendidikan Islam bagi anak-anak dalam keluarga. Keluarga adalah
kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Di
samping itu, keluarga juga bisa dikatakan orang-orang yang hidup bersama dalam
satu rumah dan membentuk suatu rumah tangga (house hold) yang merupakan satu
kesatuan dan saling berinteraksi dan berkomunikasi mempertahankan kebudayaan
bersama yang berasal dari lingkungan sekitar atau menciptakan kebudayaan
sendiri. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, bukan
semata-mata karena alasan urutan atau alasan kronologis, melainkan ditinjau
dari sudut intensitas dan kualitas pengaruh yang diterima anak, serta dari
sudut tanggungjawab yang diemban orang tua sekaitan dengan pendidikan anaknya
Oleh karena itu, keluarga memiliki beberapa fungsi penting, yaitu :
1. fungsi
pembinaan dasar moral dan spiritual
2. fungsi
pendidikan
3. fungsi
reproduksi
4. fungsi
ekonomi
5. fungsi
perlindungan atau protektif
6. fungsi
rekreatif
7. fungsi
sosial
8. fungsi
afektif
Penerapan pendidikan
Islam hanya bisa terlaksana dalam rumah tangga Islami. Rumah tangga Islami
memiliki karakter sebagai berikut:
a) di
dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun seluruh
anggota keluarga;
b) didirikan
atas landasan ibadah, bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati
dalam kebenaran dan kesabaran, saling meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
yang munkar karena kecintaannya kepada Allah;
c) dapat
menjadi teladan dan dambaan masyarakat dan ummat, tinggal dalam kesejukan iman
dan kekayaan ruhani;
d)
seluruh anggota
keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya atau disebut juga Baiti Jannati.
Biasanya bila kita bertahan pada perlunya subjek (anak didik) dalam mendidik,
maka pendidikan anak harusnya dimulai tatkala anak sudah ada. Anak itulah yang
menjadi subjek pendidikan tersebut. Namun, dalam Islam ternyata pendidikan anak
harus dimulai jauh sebelum kelahirannya. Berikut ini akan dijabarkan secara
singkat bentuk-bentuk pendidikan Islam dalam keluarga tersebut
a. Memilih calon pasangan hidup Calon bapak harus memilih calon
istri yang baik, calon ibu juga harus memilih calon suami yang ibu. Suami dan
istri yang baik akan berpengaruh pada pendidikan anak-anaknya. Suami yang jahat
tidak akan mampu mendidik anaknya. Demikian juga dengan istri yang jahat juga
tidak mampu mendidik anak-anaknya. Apalagi bila kedua-duanya jahat atau tidak
baik, pasti lebih tidak mampu lagi mereka mendidik anaknya.
b. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama,
artinya pengaruh mereka terhadap perkembangan anak mereka sangat besar dan
menentukan.
Kriteria dalam pemilihan calon pasangan hidup telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu : Wanita dinikahi karena empat kriteria :
Kriteria dalam pemilihan calon pasangan hidup telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu : Wanita dinikahi karena empat kriteria :
(1) karena hartanya banyak,
(2) karena turunan baik,
(3) karena rupanya cantik,
(4) karena
agamanya baik.
Beruntunglah kamu yang memilih
wanita karena agamanya; dengan demikian kamu akan berbahagia (H.R. Bukhari dan
Muslim). Ciri terpenting dalam hadits ini adalah memilih pasangan yang agamanya
baik, karena harta bisa hilang, turunan belum bisa menjamin, kecantikan bisa
pudar karena faktor usia, dan sebagainya. Demikian juga berlaku wanita dalam
memilih calon suami, utamakan yang agamanya baik dan benar.
b. Saat Kehamilan
Banyak sekali keterangan dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ibu yang sedang hamil diharapkan hidup tenang. Kedua belah pihak, yaitu suami dan istri hendaknya banyak berdoa kepada Allah agar diberi anak yang bagus rupanya, cerdas akalnya, dan luhur pekertinya. Suami istri harus banyak beribadah dan jangan melakukan dosa. Ketenangan hati dan emosi istri harus dijaga; rasa cemburu, takut, khawatir, benci, permusuhan, dan sebagainya hendaklah dijauhi. Guncangan batin yang hebat yang dialami oleh ibu yang sedang hamil menyebabkan aktivitas yang berlebihan pada kulit ginjal sehingga mempengaruhi penghasilan hormone yang disebut hydrocortisone. Hormon ini akan melewati plasenta dan akan samapi pada bayi yang dikandungnya. Hal ini salah satunya dapat menyebabkan cacat berupa celah pada mulut dan bibir sumbing (Hasyim dalam Tafsir, 1994).
Uraian di atas menjelaskan beberapa teori pendidikan anak yang Islami sebelum lahir. Pendidikan ini diberikan kepada ayah dan ibu dari bayi yang dikandungnya. Setelah anak lahir, barulah pendidikan anak secara langsung terhadap bayi tersebut.
c. Memberi Nama yang Baik
Pemberian nama bagi bayi yang baru lahir merupakan doa dan harapan orang tua terhadap anaknya. Selain itu, nama juga bersangkutan dengan harga diri seseorang. Orang yang memiliki nama yang jelek akan merasa rendah diri dalam pergaulan. Pada aspek inilah nama itu berhubungan dengan masalah pendidikan. Berikanlah nama yang disegani, bukan nama yang dibenci. Nama yang baik dapat juga menjadi penyebab orang yang memiliki nama itu berusaha mencapai kualitas seperti makna yang dikandung dalam nama tersebut. Dalam keshahihannya, Al- Bukhari meriwayatkan dari Sa’ad bin Musayyab, dari ayahnya, dari kakeknya : “Aku datang kepada Nabi SAW. Ia bertanya siapa namaku. Aku jawab, “Hazan (tanah keras).” maka dia berkata, “Namamu Sahl (mudah)”. Aku tidak mengubah nama yang diberikan ayahku. Kata Ibn Musayyab, “Setelah itu kesusahan tidak pernah hilang dari kami”.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tidak boleh memberi gelar atau panggilan yang buruk kepada anak kita, seperti si gendut, si dungu, si nakal, dan semacamnya. Panggilan seperti itu dapat menimbulkan rasa hina dan rendah diri pada anak. Panggilan yang buruk, dalam konsep Psikologi Pendidikan juga tidak diperbolehkan karena ini merupakan labeling yang dapat membuat anak berperilaku sesuai julukannya tersebut. Al-Qur’an dalam surat Al- Hujarat ayat 11 mengingatkan : “Dan jangan kalian panggil memanggil dengan sebutan yang buruk”.
d. Memilih Teman Bermain Anak
Anak-anak memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan teman, anak-anak mengembangkan kemampuan sosialisasinya, berlatih menjadi pemimipin, terbentuk rasa solidaritas, bertambah pengetahuan tentang lingkungan, mengembangkan penalaran moralnya, dan sebagainya. Inilah sisi positif dari bermain dengan teman.
Namun, berteman juga memiliki sisi negatif, yaitu pengaruh buruk yang diperoleh dengan berteman. Orang tua agar hati-hati dalam memilih teman yang baik bagi anak. Hal itu seperti yang dituliskan dalam Al-Qur’an surat Al-Zukhruf ayat 67, yang artinya : “ Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh terhadap yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa”. Adapun kriteria dalam memilih teman adalah teman yang bermoral baik, teman yang cerdas, dan teman yang kuat akidah Islamnya (Tafsir, 1994).
Untuk mencegah anak memilih teman yang tidak baik, biasakan untuk berdiskusi moral dengan anak. Artinya apapun yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh anak, harusnya anak diajak berdiskusi mengenai sebab akibat dari tingkah lakunya tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan pertimbangan moral anak. Diskusi moral yang dibiasakan orang tua pada anaknya masih tertanam kuat pada diri anak, sehingga ketika anak menghadapi berbagai dilema kehidupan, anak akan berusaha mengingat ajaran dan pengalaman yang pernah anak alami bersama orang tuanya untuk menjadi penyaring (filter) dalam menghadapi permasalahannya.
Hal di atas sesuai dengan hasil penelitian disertasi Prianto (2006) yang meneliti tentang perkembangan moral anak usia sekolah. Prianto menyatakan bahwa empati, nurani, dan perkembangan moral orang tua yaitu ibu sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak melalui gaya pengasuhan induksi (induction), gaya pengasuhan tanggap (responsiveness), gaya pengasuhan menuntut (demandingness), dan gaya pengasuhan teladan (modeling). Pada gaya pengasuhan induksi (induction), ibu memberikan stimulasi moral menggunakan penjelasan (komunikasi dua arah) tentang mengapa sesuatu diperbolehkan dengan penekanan pada akibatnya pada orang lain. Faktor empati ibu juga diperlukan dalam gaya pengasuhan ini untuk memahami apa yang dirasakan anak. Apabila anak tidak mengerti dan menolak larangan ibu maka diperlukan diskusi dan komunikasi dua arah sehingga anak akhirnya dapat benar-benar memahami penjelasan ibunya. Internalisasi moral dengan pemahaman seperti di atas akan lebih membantu anak melakukan pertimbangan moral yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Di samping itu, terdapat 10 konsekuensi yang harus dimiliki oleh keluarga Islami dalam menciptakan pendidikan Islam ( Maryam, tidak diterbitkan) :
a. Didirikan dalam rangka ibadah (sejak proses awal, menempuh kehidupan dalam suasana ta’abudiyah) (Q.S. Adz-Dzariyat:56).
b. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah oleh seluruh anggota keluarga (benteng terkuat dan filter terbaik di era global) (Q.S. Al-Baqarah:208).
c. Diperlukan qudwah (keteladanan) nyata. Orang tua adalah “Model” bagi anak dan anggota keluarga.(Q.S. Ash-Shaf:3-4).
d. Penempatan posisi masing-masing anggota sesuai dengan Syari’at (Q.S. An-Nisa: 32).
e. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Adab Islam (Q.S. Al-Maidah:2)
f. Kondusif bagi terlaksananya ajaran-ajaran Islam (Jama’ah, tadarus, penataan dan menghias rumah, kebersihan dsb)
g. Memiliki usaha sebagai sumber penghidupan keluarga yang wajar (tanamkan jiwa qanaa’h, sederhana, tidak boros).
h. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam ( Q.S. At- Tahrim : 6).
i. Berperan dalam membina masyarakat dan lingkungan (sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas diri dari masyarakat).
j. Terbentengi dari lingkungan yang buruk (pada kasus lingkungan yang sudah parah bahkan dianjurkan hijrah).
b. Saat Kehamilan
Banyak sekali keterangan dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ibu yang sedang hamil diharapkan hidup tenang. Kedua belah pihak, yaitu suami dan istri hendaknya banyak berdoa kepada Allah agar diberi anak yang bagus rupanya, cerdas akalnya, dan luhur pekertinya. Suami istri harus banyak beribadah dan jangan melakukan dosa. Ketenangan hati dan emosi istri harus dijaga; rasa cemburu, takut, khawatir, benci, permusuhan, dan sebagainya hendaklah dijauhi. Guncangan batin yang hebat yang dialami oleh ibu yang sedang hamil menyebabkan aktivitas yang berlebihan pada kulit ginjal sehingga mempengaruhi penghasilan hormone yang disebut hydrocortisone. Hormon ini akan melewati plasenta dan akan samapi pada bayi yang dikandungnya. Hal ini salah satunya dapat menyebabkan cacat berupa celah pada mulut dan bibir sumbing (Hasyim dalam Tafsir, 1994).
Uraian di atas menjelaskan beberapa teori pendidikan anak yang Islami sebelum lahir. Pendidikan ini diberikan kepada ayah dan ibu dari bayi yang dikandungnya. Setelah anak lahir, barulah pendidikan anak secara langsung terhadap bayi tersebut.
c. Memberi Nama yang Baik
Pemberian nama bagi bayi yang baru lahir merupakan doa dan harapan orang tua terhadap anaknya. Selain itu, nama juga bersangkutan dengan harga diri seseorang. Orang yang memiliki nama yang jelek akan merasa rendah diri dalam pergaulan. Pada aspek inilah nama itu berhubungan dengan masalah pendidikan. Berikanlah nama yang disegani, bukan nama yang dibenci. Nama yang baik dapat juga menjadi penyebab orang yang memiliki nama itu berusaha mencapai kualitas seperti makna yang dikandung dalam nama tersebut. Dalam keshahihannya, Al- Bukhari meriwayatkan dari Sa’ad bin Musayyab, dari ayahnya, dari kakeknya : “Aku datang kepada Nabi SAW. Ia bertanya siapa namaku. Aku jawab, “Hazan (tanah keras).” maka dia berkata, “Namamu Sahl (mudah)”. Aku tidak mengubah nama yang diberikan ayahku. Kata Ibn Musayyab, “Setelah itu kesusahan tidak pernah hilang dari kami”.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tidak boleh memberi gelar atau panggilan yang buruk kepada anak kita, seperti si gendut, si dungu, si nakal, dan semacamnya. Panggilan seperti itu dapat menimbulkan rasa hina dan rendah diri pada anak. Panggilan yang buruk, dalam konsep Psikologi Pendidikan juga tidak diperbolehkan karena ini merupakan labeling yang dapat membuat anak berperilaku sesuai julukannya tersebut. Al-Qur’an dalam surat Al- Hujarat ayat 11 mengingatkan : “Dan jangan kalian panggil memanggil dengan sebutan yang buruk”.
d. Memilih Teman Bermain Anak
Anak-anak memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan teman, anak-anak mengembangkan kemampuan sosialisasinya, berlatih menjadi pemimipin, terbentuk rasa solidaritas, bertambah pengetahuan tentang lingkungan, mengembangkan penalaran moralnya, dan sebagainya. Inilah sisi positif dari bermain dengan teman.
Namun, berteman juga memiliki sisi negatif, yaitu pengaruh buruk yang diperoleh dengan berteman. Orang tua agar hati-hati dalam memilih teman yang baik bagi anak. Hal itu seperti yang dituliskan dalam Al-Qur’an surat Al-Zukhruf ayat 67, yang artinya : “ Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh terhadap yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa”. Adapun kriteria dalam memilih teman adalah teman yang bermoral baik, teman yang cerdas, dan teman yang kuat akidah Islamnya (Tafsir, 1994).
Untuk mencegah anak memilih teman yang tidak baik, biasakan untuk berdiskusi moral dengan anak. Artinya apapun yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh anak, harusnya anak diajak berdiskusi mengenai sebab akibat dari tingkah lakunya tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan pertimbangan moral anak. Diskusi moral yang dibiasakan orang tua pada anaknya masih tertanam kuat pada diri anak, sehingga ketika anak menghadapi berbagai dilema kehidupan, anak akan berusaha mengingat ajaran dan pengalaman yang pernah anak alami bersama orang tuanya untuk menjadi penyaring (filter) dalam menghadapi permasalahannya.
Hal di atas sesuai dengan hasil penelitian disertasi Prianto (2006) yang meneliti tentang perkembangan moral anak usia sekolah. Prianto menyatakan bahwa empati, nurani, dan perkembangan moral orang tua yaitu ibu sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak melalui gaya pengasuhan induksi (induction), gaya pengasuhan tanggap (responsiveness), gaya pengasuhan menuntut (demandingness), dan gaya pengasuhan teladan (modeling). Pada gaya pengasuhan induksi (induction), ibu memberikan stimulasi moral menggunakan penjelasan (komunikasi dua arah) tentang mengapa sesuatu diperbolehkan dengan penekanan pada akibatnya pada orang lain. Faktor empati ibu juga diperlukan dalam gaya pengasuhan ini untuk memahami apa yang dirasakan anak. Apabila anak tidak mengerti dan menolak larangan ibu maka diperlukan diskusi dan komunikasi dua arah sehingga anak akhirnya dapat benar-benar memahami penjelasan ibunya. Internalisasi moral dengan pemahaman seperti di atas akan lebih membantu anak melakukan pertimbangan moral yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Di samping itu, terdapat 10 konsekuensi yang harus dimiliki oleh keluarga Islami dalam menciptakan pendidikan Islam ( Maryam, tidak diterbitkan) :
a. Didirikan dalam rangka ibadah (sejak proses awal, menempuh kehidupan dalam suasana ta’abudiyah) (Q.S. Adz-Dzariyat:56).
b. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah oleh seluruh anggota keluarga (benteng terkuat dan filter terbaik di era global) (Q.S. Al-Baqarah:208).
c. Diperlukan qudwah (keteladanan) nyata. Orang tua adalah “Model” bagi anak dan anggota keluarga.(Q.S. Ash-Shaf:3-4).
d. Penempatan posisi masing-masing anggota sesuai dengan Syari’at (Q.S. An-Nisa: 32).
e. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Adab Islam (Q.S. Al-Maidah:2)
f. Kondusif bagi terlaksananya ajaran-ajaran Islam (Jama’ah, tadarus, penataan dan menghias rumah, kebersihan dsb)
g. Memiliki usaha sebagai sumber penghidupan keluarga yang wajar (tanamkan jiwa qanaa’h, sederhana, tidak boros).
h. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam ( Q.S. At- Tahrim : 6).
i. Berperan dalam membina masyarakat dan lingkungan (sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas diri dari masyarakat).
j. Terbentengi dari lingkungan yang buruk (pada kasus lingkungan yang sudah parah bahkan dianjurkan hijrah).
B.
PENGERTIAN KELUARGA
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah,
nasl, ali, dan nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan
(anak,cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan dan pemerdekaan. Keluarga
dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki
oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai
oleh kerja sama, ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan
sebagainya. Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu mempunyai kewajiban
dan memiliki bentuk yang berbeda dengan karena keduanya berbeda kodrat. Ayah
berkewajiban mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya melalui
pemanfaatan karunia Allah SWT. di muka bumi (QS. Al-jumu’ah: 10), dan
selanjutnya dinafkahkan pada anak-istrinya (QS. Al-Baqarah: 228, 233).
Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara, dan mengelola keluarga di rumah
suaminya, terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi SAW.
dinyatakan: ‘’ Dan perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan
ditanyai dari pimpinannya itu’’.(H.R.Bukhari Muslim). Hal itu berimplikasi
pada pola dan sistem pendidikan laki-laki dan pendidikan wanita harus
dibedakan, karena pendidikan pada dasarnya suatu upaya untuk membimbing manusia
dalam memenuhi kewajibannya.
Anak merupakan amanat Allah SWT. bagi kedua orang tuanya. Ia
mempunyai jiwa yang suci dan cemerlang, apabila ia sejak kecil dibiasakan baik,
dididik dan dilatih dengan kontinu, maka ia akan tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik pula. Sebaliknya, apabila ia dibiasakan berbuat buruk, nantinya
ia akan terbiasa berbuat buruk pula dan menjadikan ia celaka dan rusak.
Anak adalah anggota keluarga, dimana orang tua adalah pemimpin
keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan
khususnya di akhirat. Maka orang tua wajib mendidik anak-anaknya. Allah
SWT. berfirman dalam surah At-Tahrim: 6:
“Artinya“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa memberikan pendidikan kepada
anggota keluarga merupakan kewajiban agar terhindar dari siksa api neraka. Hal
ini melindungi diri dari kehancuran juga melindungi keluarga dari api neraka.
Sebagaimana dibutuhkan perlindungan hari akhirat maka, lebih dibutuhkan
perlindungan pada masa kehidupan di dunia karena yang kita tanamkan pada masa
hidup di dunia, akan dipetik hasilnya di akhirat.
C.
Peran Pendidikan Islam di Lingkungan
Keluarga dalam Pembinaan Akhlak Mulia Anak
Pada
prinsipnya, pendidikan anak dalam Islam hendaknya dimulai sedini mungkin.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW.,‘’ Suruhlah anak-anak kamu Shalat jika
mereka berumur tujuh tahun. Lalu, pukullah mereka jika telah berumur sepuluh
tahun (dan masih tidak melakukannya).’’ Pendidikan sejak dini akan
menanamkan kebiasaan dalam diri anak, yang akan mendukung kesadaran penuh jika
anak telah mencapai tingkat balignya.
Untuk
itu, seorang guru atau orang tua harus tahu yang diajarkan kepada seorang anak
serta metode yang telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW. Beberapa tuntunan
tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Menanamkan Tauhid dan Akidah yang Benar Kepada Anak
Hal
yang tidak dapat dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan Islam. Apabila
seseorang benar tauhidnya, dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan
akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid, dia terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan
menemui kecelakaan di dunia serta kecelakaan di akhirat. Tauhid merupakan pusat
segala usaha dan tujuan dalam setiap amal dan perbuatan. Oleh kerena itu, di
dalam Al-Quran, Allah SWT. kisahkan nasihat Luqman kepada anaknya. Dalam surah
Luqman: 13
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya: Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar".
2.
Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya
sejak kecil putra-putri diajarkan beribadah dengan benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SA. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa, dan ibadah
lainnya. Apabila mereka dapat menjaga ketertiban shalat, ajak pula untuk
menghadiri shalat berjamaah di masjid. Dengan melatih anak sejak dini, mereka
terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut saat dewasa. Dengan demikian, semua hal
tersebut akan berguna untuk membiasakan anak taat kepada Allah SWT.
3.
Mengajarkan Al-Quran, Hadis, Doa dan Zikir yang Ringan
kepada Anak
Hal
ini, dapat dimulai dengan mengajarkan Al-Quran surah Al-Fatihah dan surah-surah
yang pendek serta doa tahiyat untuk shalat. Kemudiaan menyediakan guru khusus
untuk mengajari tajwid, menghafal Al-Quran dan hadis. Begitu pula dengan doa
dan zikir sehari-hari. Hendaknya anak mulai menghafalkannya seperti doa ketika
makan, keluar masuk WC, dll.
4.
Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlak yang Mulia
Ajarilah
anak dengan berbagai adab yang islami, seperti makan dengan tangan kanan,
mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, dll.
Begitu pula dengan akhlak, tanamkan kepada anak akhlak-akhlak mulia,seperti
berkata, dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan, menghormati
yang lebih tua, dan sayang kepada yang lebih muda, serta beragam akhlak
lainnya.
Kiranya
tidak diragukan lagi bahwa keutamaan akhlak dan tingkah laku merupakan salah
satu iman yang meresap ke dalam kehidupan keberagamaan anak. Ia akan terbiasa
dengan akhlak yang mulia karena ia menyadari bahwa iman membentengi dirinya
dari berbuat dosa dan kebiasaan jelek.
5.
Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan
Hendaknya
anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang tidak baik atau
diharamkan, seperti merokok, judi, minuman khamar, mencuri, mengambil hak orang
lain, dll. Ada banyak ayat dalam Al-Quran yang harus diperhatikan oleh setiap
muslim. Satu dari sekian banyak isyarat itu adalah pokok-pokok pendidikan anak
yang dilakukan oleh seorang ahli hikmah bernama Luqman. Allah SWT. mengabdikan
keberhasilan Luqman dalam mendidik anak-anaknya di dalam Al-Quran surah Luqman
ayat 13-16.
Artinya:
‘’Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian
Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu
kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui’’.
Dari
ayat tersebut dijelaskan, ada tiga pokok pendidikan yang harus ditanamkan orang
tua kepada anaknya:
a.
Memiliki
tauhid yang mantap
Memiliki
tauhid atau iman yang mantap merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan
seorang muslim. Dengan iman yang mantap, seseorang akan memiliki akhlak yang
mulia sebagaimana Rasulullah SAW. bersabda, ‘’Mukmin yang sempurna
imannya adalah yang bagus akhlaknya’’. (H.R. Tirmidzi).
b.
Berbuat
baik kepada Orang tua
Disamping
iman yang mantap, yang harus ditanamkan oleh orang tua terhadap anaknya adalah
berbuat baik kepada orang tua. Oleh karena itu, Rasulullah SAW. menekankan
kepada para sahabatnya agar berbuat baik kepada orang tua. Ketika ada sahabat
bertanya tentang siapa yang harus dicintai dalam hidup ini, Rasul menjawab,’’Allah
dan Rasulnya’’. Lalu, sahabat itu bertanya lagi, ‘’siapa lagi ya Rasul’’.
Rasul menjawab, ‘’ibumu’’, jawaban ini dikemukakan Rasul
hingga tiga kali, setelah itu, ‘’bapakmu’’. Berkata ‘’ah’’ kepada
orang tua juga dilarang karena hal itu sangat menyakitkan orang tua.
c.
Bertanggung
jawab dalam berbuat
Pokok
pendidikan anak yang ketiga yang ditanamkan Luqman kepada anaknya adalah rasa
tanggung jawab. Seluruh yang dilakukan oleh manusia akan ada
pertanggungjawabannya di akhirat atau ada balasannya, amal baik akan dibalas
dengan kebaikan dan amal buruk akan dibalas dengan keburukan.
Dan
adapun beberapa metode praktis yang ditawarkan oleh pendidikan Islam untuk
membina akhlak anak-anaknya agar menjadi anak yang berakhlak mulia (akhlak yang
baik), metode tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Metode
Hiwar (Dialog)
Hiwar
adalah hubungan percakapan antara seorang anak dengan orang tua atau pendidik.
Metode ini merupakan suatu keharusan bagi orang tua dan guru terhadap
anak-anaknya, sebab dengan metode ini akan terjadi percakapan yang dinamis,
lebih mudah dipahami, lebih berkesan dan orang tua atau guru sendiri tahu
sejauh mana tingkat pemikiran dan sikap yang dimiliki anaknya.
2.
Metode Kisah (cerita)
Kisah
memiliki peranan penting dalam memperkokoh ingatan anak dan kesadaran berpikir.
Kisah termasuk metode yang paling efektif, karena kisah yang diberikan kepada
anak didik dapat mempengaruhi perasaannya yang kuat. Kisah yang seharusnya
diangkat dari Al-Quran an dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menyampaikan ajaran Islam yang terkandung dibalik cerita tersebut, misalnya
aspek akidah, ibadah, dan, akhlak. Ketiga aspek ajaran Islam ini diberikan
kepada anak usia prasekolah melalui metode kisah.
3.
Metode Amtsal
Amsal
adalah metode perumpamaaan yang tepat diberikan kepada anak usia prasekolah,
karena dengan metode ini orang tua dapat mengarahkan anaknya sesuai dengan
perumpamaan yang diberikan kepadanya. Misalnya orang tua mengatakan si A‘’anak
yang selalu bohong tidak akan mendapatkan teman’’. Maka secara tidak sengaja
anak itu akan mendapat teman. Inilah salah satu contoh metode perumpamaan yang
dapat diberikan kepada anak usia prasekolah yang disesuaikan dengan keadaan
mereka.
4.
Metode Teladan
Metode
ini merupakan metode pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada anak usia
prasekolah dengan cara pendidik memberikan contoh teladan yang baik kepada anak
agar di tiru dan dilaksanakan. Suri teladan dari para pendidik merupakan faktor
yang besar pengaruhnya dalam pendidikan anak. Pendidik terutama orang tua dalam
rumah tangga dan guru disekolah adalah contoh yang ideal bagi anak. Salah satu
ciri utama anak adalah meniru, sadar atau tidak, akan meneladani segala sikap,
tindakan, dan perilaku orang tuanya, baik dalam bentuk perkataan dan perbuatan
maupun dalam pemunculan sikap-sikap kejiwaan, seperti emosi, sentiment,
kepekaan, dsb.
5.
Metode Pembiasaan
Metode
pembiasaan adalah metode yang efektif dalam mendidik anak. Pembiasaan yang
dilakukan orang tua terhadap anaknya, akan menjadi mudah bagi anak tersebut
untuk melakukan apa yang dibiasakannya. Anak yang masih kecil perlu dibiasakan
untuk melakukan ajaran agama, agar anak tersebut terbiasa melakukannya.
6.
Metode Praktik
Metode
ini jika dilihat dari ajaran Islam, bertolak dari ancaman Allah SWT. terhadap
orang yang hanya berkata tanpa berbuat, atau menganjurkan orang lain berbuat baik,
sedangkan ia berbuat sebaliknya. Dari segi psikologis dan mentodologis metode
ini sangat menarik anak, sebab praktik dan peragaan merangsang banyak indra
anak, misalnya mata, telinga, dan minat atau perhatiannya. Banyak ajaran Islam
seperti shalat, zakat, sedekah, akhlak mulia yang dapat dipraktikkan atau
dengan sengaja diperagakan di depan anak. Kecenderungan meniru akan mendorong
anak melekukan ajaran-ajaran yang dipraktikkan di depannya, meskipun dalam
bentuk dan cara yang belum seluruhnya benar. Kebenaran suatu amalan agama
memang belum dituntut dari seorang anak yang masih kecil.
7.
Metode Hukuman
Diantara
anak ada yang agresif, suka melawan, berkelahi, senang mengganggu, dan bandel,
sehingga sukar mengendalikannya melalu cara atau metode yang lazim digunakan
untuk sebagian besar anak-anak biasa. Untuk anak semacam itu dapat menggunakan
metode hukuman. Ajaran Islam tentang pendidikan ternyata membenarkan
pemberlakuan hukuman atas anak pada saat terpaksa, atau dengan metode-metode
lain sudah tidak berhasil.
Pemberlakuan
hukuman dapat dipahami, karena disatu sisi Islam menegaskan bahwa anak adalah
amanah yang dititipkan Allah kepada orang tuanya, disisi lain, setiap orang tua
yang mendapat amanah wajib bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan
anaknya agar menjadi manusia yang memenuhi tujuan pendidikan Islam. Untuk itu.
Orang tua harus melakukan segala cara (metode, teknik) termasuk hukuman,
umpamanya dengan teknik: (1) mengasingkan anak beberapa jam dari pergaulan
dalam rumah tangga, (2) mengurungnya beberapa jam di kamar, (3) memukulnya
dengan alat-alat yang diperkirakan tidak membuat kulitnya luka. Semuanya
dilakukan dengan teknik yang benar-benar pedagogis.
Dengan
demikian, selain untuk memperbaiki kesalahan dan kepribadian pelaku,hukuman
juga dapat dipakai sebagai pelajaran bagi orang-orang yang ada disekitarnya,
sehingga tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.
D.
Urgensi Pendidikan Islam di Lingkungan
Keluarga dalam Pembinaan Akhlak Mulia Anak
Kita ketahui bahwa tugas keluarga dalam mendidik anaknya
sudah sangat berat dan harus di bantu oleh sekolah, akan tetapi kita harus
ingat bahwa tidak semua anak sedari kecilnya sudah menjadi tanggungan sekolah.
Jangan kita salah tafsir bahwa anak-anak yang sudah diserahkan kepada sekolah
untuk dididikinya adalah seluruhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Telah
dikatakan bahwa kewajiban sekolah adalah membantu keluarga dalam mendidik
anak-anak.
Dalam mendidik anak-anak itu, sekolah melanjutkan
pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil atau
tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh
pendidikan dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar
dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh anak
dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah
maupun dalam masyarakat.
Nurcholish
Madjid menyatakan pentingnya pendidikan agama dalam lingkungan keluarga.
Pendidikan agama disini dimaksudkan bukan hanya dalam bentuk formalitas, tapi
harus dilihat dari tujuan dan makna haqiqinya, yaitu upaya mendekatkan
(taqarrub) kepada Allah SWT. dan membangun budi pekerti yang baik sesama
manusia (akhlak al-karimah). Sebab itu, perlu ditekankan pada pendidikan bukan
pengajaran, pengajaran dapat dilimpahkan pada lembaga pendidikan, tapi
pendidikan tetap menjadi tanggung jawab orang tua.
Di
dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan iman. Iman merupakan
pengakuan hati. Akhlak merupakan pantulan iman pada perilaku dan ucapan. Iman
adalah maknawi, sedangkan akhlak merupakan bukti keimanan dalam perbuatan yang
dilakukan dengan kesadaran dan karena Allah semata.
Kata
‘’akhlak’’ berasal dari bahasa arab, yaitu jama dari kata ‘’khuluq’’ yang
secara ligustik diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku, tabiat,
tata krama, sopan santun, adab dan tindakan. Menurut istilah, terdapat beberapa
definisi yang dikemukakan oleh para ahli:
1. Ibnu Maskawaih, mendefinisikan, akhlak adalah sikap jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui
pertimbangan terlebih dahulu.
2. Muhmmad bin Ilaan Ash-Shadieqy
mendefinisikan, akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia yang dapat
menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah tanpa ada dorongan dari
orang lain.
Dari
beberapa pengertian akhlak di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa akhlak
adalah sifat atau sikap yang tertanam dalam diri manusia yang dapat melahirkan
perbuatan baik atau buruk tanpa adanya dorongan dari orang lain.
Pembinaan
akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat
dari dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yang utama, yaitu
menyempurnakan akhlak yang mulia. Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW. yang
menegaskan, ‘’Innamȃ
buitsu li utammima makarima al-akhlaq’’. (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) (H.R.
Ahmad).
Perhatian
Islam dalam pembinaan akhlak dapat dianalisis pada muatan akhlak yang terdapat
pada seluruh aspek ajaran Islam. Pembinaan akhlak dalam Islam terintegrasi
dengan pelaksanaan rukun iman. Hasil analisis Muhammad Al-Gazali terhadap rukun
Islam yang lima terkandung konsep pembinaan akhlak.
Sebagian
besar pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih lebih bercorak keagamaan, terutama paham
sufi. Pembinaan akhlak menurutnya dititik beratkan pada pembersihan pribadi
dari sifat-sifat yang berlawanan dengan tuntunan agama, seperti takabur,
pemarah, dan penipu.
Dengan
pembinaan akhlak, terwujudnya manusia yang ideal, yaitu anak yang bertakwa
kepada Allah SWT. dan cerdas. Di dunia pendidikan, pembinaan akhlak dititik
beratkan pada pembentukan mental anak atau remaja agar tidak mengalami
penyimpangan.
Pendidikan
akhlak di dalam keluarga dilaksanakan dengan contoh dan teladan dari orang tua.
Perilaku dan sopan santun orang dalam hubungan dan pergaulan antara ibu dan
bapak, perlakuan orang tua terhadap anak-anak mereka dan perlakuan orang tua
terhadap orang lain di dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat akan
menjadi teladan bagi anak-anak.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.
a. Pendidikan Islam
adalah suatu proses mengubah tingkah laku seseorang atau individu dalam
kehidupan pribadinya, masyarakat dan alam sekitarnya, agar memiliki perilaku
yang baik (akhlak mulia) yang sesuai dengan ajaran Islam melalui proses
pengajaran sehingga mencapaian tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai tingkat
keimaman dan berilmu yang disertai kualitas amal shaleh.
b.
Keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia
sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja
sama, ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya. Inti
keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.
2.
Peran Pendidikan Islam di lingkungan keluarga dalam
pembinaan akhlak mulia anak adalah menanamkan tauhid dan akidah
yang benar kepada anak, mengajari anak untuk melaksanakan ibadah, mendidik anak
dengan berbagai adab dan akhlak yang mulia, serta dapat pula melalui metode
hiwar, teladan, amtsal, kisah, hukuman, praktik, pembiasaan.
3.
Urgensi Pendidikan Islam di lingkungan keluarga
dalam pembinaan akhlak mulia anak adalah terwujudnya manusia yang
ideal, yaitu anak yang bertakwa kepada Allah SWT. dan cerdas. Serta membentuk
manusia menjadi budi pekerti yang baik, sopan, santun, dsb.
B.
Saran
Sebaiknya seorang anak dibekali dengan pendidikan agama
khususnya pendidikan Islam oleh orang tua sejak dini di lingkungan keluarga,
karena dengan pendidikan agama yang sudah ada sejak dini dapat mempengaruhi
pandangan hidup mereka saat dewasa dan dapat menjadi benteng saat bergaul di
masyarakat agar tidak terpengaruh perbuatan negatif. Sehingga dapat menjadi
anak yang berpikir dan berperilaku baik, memiliki iman dan taqwa kepada Allah
SWT. serta berbakrti kepada orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Ahmadi, Abu. Ilmu pendidikan.
Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
https://diobariskiananda2b.Urgensi-Akhlak-danPendidikanIslam.Wodpress.com diakses tanggal 14 Juni 201
Jamaluddin,
Dindin. Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam. Bandung: Pustaka
Setia, Juni 2013.
Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002.
Muhaimin. Pemikiran
Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda karya, 1993.
Mujib,
Abdul dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana,
2006.
Purwanto, M.
Nngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2009.
[2] Dindin
jamaluddin. Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam. (Cet. 1;
Bandung: Pustaka Setia, Juni 2013) h. 37
[7] Abdul
Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. (Cet. 1; Jakarta:
Kencana, 2006) h. 25-26
[13] M. Nngalim
Purwanto. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis ( Cet. XIX; Bandung:
Remaja Rosdakarya Offset, 2009) h. 79
[14] https://diobariskiananda2b.Urgensi-Akhlak-dan-pendidikan-Islam. Wordpress.com. diakses tanggal 14 Juni 2015.