BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul
dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.
Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam
keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena
hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu
rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan
menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat
6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda), atau
ibu dan anaknya (janda).
Setiap keluarga pastinya mempunyai masalah
yang terkadang tidak mudah untuk diselesaikan, dari hal ini makalah dibuat
dalam memberikan pengetahuan tentang teknik konseling dalam keluarga agar
masalah dapat terselesaikan dengan jalan yang terbaik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana teknik-teknik konseling keluarga?
C.
Tujuan
1.
Memberikan teori bagi mahasiswa BK bagaimana cara konseling
keluarga yang baik, sehingga dapat diaplikasikan..
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teknik-teknik Konseling Keluarga
1.
Pengertian Teknik-teknik Konseling
Teknik
adalah cara, langkah atau metode yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan.
Bimbingan ialah mengarahkan, memandu, mengelola, dan menyetir.[1] Bimbingan juga dapat diartikan sebagai bantuan atau pertolongan.
Konseling
adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan
dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Pendapat lain mengatakan
bahwa konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang
bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri
dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan
nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif prilakunya.[2]
Jadi,
teknik Bimbingan dan Konseling adalah cara atau metode yang dilakukan untuk
membantu, mengarahkan atau memandu seseorang atau sekelompok orang agar
menyadari dan mengembangkan potensi-potensi dirinya, serta mampu mengambil
sebuah keputusan dan menentukan tujuan hidupnya dengan cara berinteraksi atau
bertatap muka.
2. Teknik Konseling Keluarga
Pendekatan system yang dikemukakan
oleh Perez (1979) mengembangkan 10
teknik konseling keluarga, yaitu:
- Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang “mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan perasaannya secara verbal.
- Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lai. Peran itu kemudian bisa dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu prilaku ibunya yang mungkin kurang ia sukai. Role playing atau bermain peran, sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000). Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.. Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
- Silence (diam). Dalam proses konseling, adakalanya seorang konselor pada untuk bersikap diam. Adapun alasan konselor melakukan hal ini dapat dikarenakan konselor yang menunggu klien bepikir, bentuk protes karena klien bicara dengan berbelit-belit atau menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien bbas berbicara. Diam disini bukan bararti tidak ada komunikasi akan melainkan tetap ada yait melalui perilaku non verbal. Yang paling ideal, diam itu paling tinggi 5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal.[3]
Apabila anggota berada dalam konflik dan
frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka
biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut. Kedaan ini harus
dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan muncul
menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam menghadapi
klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.
- Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga, Atau konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi secara perkataan dan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum, dengan kedihan dan sebagainya. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasanya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasabya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding.
- Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya,.
- Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan klien, tidak menyela ketika klien sedang serius. Listening skill (keterampilan mendengarkan). Keterampilan ini terdiri dari;
1)
Attending, yaitu
pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien memasuki ruang
konselor.
2)
Paraphrasing, yaitu
respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien. Respon tersebut
merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang pernyataan
klien,
3)
Clarfyng, yaitu
pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas masalah klien,
- Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan “rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.
- Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif. Hasil percakapan konselor dank lien hendaknya disimpulakn sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik (feedback) atas hal-hal yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi, dan mempertajam atau memperjelas fokus pada wawacara konseling.
- Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya konselor mengatakan kepada jeni, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.
a.
Rasional
Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara
samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia diliputi perasaan tertentu mungkin
menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas pengungkapannya. Mungkin pula
ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasi sesuatu secara
jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia
berusaha menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifying.[5]
b.
Tujuan latihan
Supaya klien dapat menyatakan pesannya
(perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas, alasan yang logis, dan dapat
mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih supaya mampu :
1)
Menangkap pesan
klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukan.
2)
Menyusun kalimat
yang menjernihkan/ meng-clear-kan (clarifying) pernyataan-pernyataan
(pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan, dan tidak jelas.
c.
Materi
1)
Latihan menangkap
pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelas.
2)
Latihan menyusun
kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan klien yang samar-samar dan
meragukan.
- Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel dengan prilaku seperti itu”. Secara lebih sederhana, refleksi dapat didefenisikan sebagai upaya konselor memperoleh informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Dalam hal ini, seorang konselor dituntut untuk menjadi pendengar yang aktif. Hal senada juga diungkapkan oleh Bolton (2003) yang mengatakan bahwa bahwa mendengar adalah lebih dari hanya mendengarsaja. Lebih khusus ia mengatakan dalam proses mendengarkan terdapat unsur menyimak, yang berarti konselor harus memerhatikan sungguh-sungguh peran yang disampaikan oleh klien.[6] (Namora Lumongga Lubis. 2011: 93-94)
Ada tiga jenis
refleksi yaitu:
1)
Reflecting feelings
(Merefleksi Perasaan).
Pada refleksi perasaan, konselor menceritakan
kembali perasaan yang disampaikna oleh klien.
Contoh:
Klien: saya begitu
yakin akan menamatkan sekolah pada usia sekarang. Tetapi saya gagal
menyelesaikannya. Saya merasa bodoh.
Konselor: jadi,
kegagalan itulah yang menyebabkan anda merasa bodoh?
2)
Reflecting meanings
Apabila perasaan dan fakta dicampurkan dalam
suatu respons yang akurat, hal inilah disebut sebagai refleksi makna.
Contoh :
Klien : Ibu guru supaya terus menerus bertanya
tentang kehidupan saya. Saya tidak ingin dia melakukan hal itu.
Konselor : anda merasa jengkel karena dia tidak
merespek privasi anda.
3)
Summative
reflections (refleksi sumatif)
Terjadi suatu refleksi sumatif, bila
diungkapkan kembali secara singkat tema dan perasaan utama yang dieksresikan
pembicara selama durasi percakapan yang lebih lama dari pada yang terlip oleh
bentuk refleksi lainnya. Menurut Bolton (2002), kalimat-kalimat berikut dapat
digunakan untuk memulai refleksi sumatif: “tema yang selalu anda ulang seperti
adalah …” “marilah kita melakukan rekapitulasi dari dari apa yang sudah kita
bicarakan sejauh ini. “saya memikirkan apa yang anda katakana. Saya melihat
suatu pola dan saya ingin mengeceknya. Anda.”
Ciri-ciri respons refleksi adalah:
a.
Tidak menilai
(nonjudgmental).
b.
Refleksi akurat dari
apa yang dialami oleh pihak yang lain.
c.
Ringkas.
d.
Kadang-kadang lebih
banyak dalam dan pada kata-kata yang terucap.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Konseling
keluarga memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga
dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga dan memandang keluarga
secara keseluruhan bahwa permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga
yang efektif diatasi jika melibatkan
anggota keluarga yang lain. Konseling keluarga bertujuan membantu anggota
keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika keluarga merupakan hasil pengaruh
hubungan anggota keluarga. Konseling khususnya konseling keluarga ikut serta
dalam memberikan terapi-terapi untuk dapat membatu masalah-masalah yang duhadapi
keluarga dengan berbagai teori yang muncul dimana didalamnya terdapat beberapa
tehnik yang dapat dilakukan diantaranya teknik sculpting (mematung), role
playing (bermain peran), silence (diam), confrontation (konfrontasi), teaching
via questioning, listening (mendengarkan), recapitulating (mengkhitisarkan),
summary (menyimpulkan), clarification (menjernihkan), reflection (refleksi).
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami
Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan
Praktik. Jakarta: Kencana
Willis, Sofyan S. 2013. Konseling
Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta
Prayitno&
Amti Erman.1999 Dasar-dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Juntika, Nurihsan A. 2007. Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung:
Refika Aditama
[1] Prayitno&
Amti Erman. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999) hlm. 5
[2] Nurihsan, A.
Juntika. Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan.(Bandung:
Refika Aditama,2007) hlm 20
[3] Namora
Numongga Lubis,
Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011) hlm. 99-101
[4] Sofyan S.
Willis,
Konseling Keluarga
(Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2008)
hlm. 141-142
[5] Sofyan S.
Willis,
Konseling Keluarga
(Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2013)
hlm. 197-198
[6] Namora
Numongga Lubis,
Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011) hlm. 93-94