Sunday, 24 June 2018

teknik-teknik konseling keluarga




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
     Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
     Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.
     Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat 6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami, istri dan anaknya; atau ayah dan anaknya (duda), atau ibu dan anaknya (janda).
     Setiap keluarga pastinya mempunyai masalah yang terkadang tidak mudah untuk diselesaikan, dari hal ini makalah dibuat dalam memberikan pengetahuan tentang teknik konseling dalam keluarga agar masalah dapat terselesaikan dengan jalan yang terbaik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teknik-teknik konseling keluarga?

C.    Tujuan
1.      Memberikan teori bagi mahasiswa BK bagaimana cara konseling keluarga yang baik, sehingga dapat diaplikasikan..


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Teknik-teknik Konseling Keluarga
1.      Pengertian Teknik-teknik Konseling
                        Teknik adalah cara, langkah atau metode yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Bimbingan ialah mengarahkan, memandu, mengelola, dan menyetir.[1] Bimbingan juga dapat diartikan sebagai bantuan atau pertolongan.
                        Konseling adalah hubungan tatap muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian kesempatan dari konselor kepada klien. Pendapat lain mengatakan bahwa konseling adalah upaya membantu individu melalui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif prilakunya.[2]
                        Jadi, teknik Bimbingan dan Konseling adalah cara atau metode yang dilakukan untuk membantu, mengarahkan atau memandu seseorang atau sekelompok orang agar menyadari dan mengembangkan potensi-potensi dirinya, serta mampu mengambil sebuah keputusan dan menentukan tujuan hidupnya dengan cara berinteraksi atau bertatap muka.



2.      Teknik Konseling Keluarga
           Pendekatan system yang dikemukakan oleh Perez (1979) mengembangkan 10   teknik konseling keluarga, yaitu:
  1. Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang “mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan perasaannya secara verbal.
  2. Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lai. Peran itu kemudian bisa dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu prilaku ibunya yang mungkin kurang ia sukai. Role playing atau bermain peran, sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000). Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.. Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.
  3. Silence (diam). Dalam proses konseling, adakalanya seorang konselor pada untuk bersikap diam. Adapun alasan konselor melakukan hal ini dapat dikarenakan konselor yang menunggu klien bepikir, bentuk protes karena klien bicara dengan berbelit-belit atau menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien bbas berbicara. Diam disini bukan bararti tidak ada komunikasi akan melainkan tetap ada yait melalui perilaku non verbal. Yang paling ideal, diam itu paling tinggi 5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal.[3]
Apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut. Kedaan ini harus dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan muncul menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam menghadapi klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.
  1. Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara konseling keluarga, Atau konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi secara perkataan dan bahasa badan (perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum, dengan kedihan dan sebagainya. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasanya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding. Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasabya yang banyak omong?”, konselor bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding.
  2. Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara bertanya,.
  3. Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan klien, tidak menyela ketika klien sedang serius. Listening skill (keterampilan mendengarkan). Keterampilan ini terdiri dari;
1)      Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien memasuki ruang konselor.
2)      Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien. Respon tersebut merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang pernyataan klien,
3)      Clarfyng, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas masalah klien,
4)      Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor.[4]
  1. Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan “rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.
  2. Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling bisa berlanjut secara progresif. Hasil percakapan konselor dank lien hendaknya disimpulakn sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik (feedback) atas hal-hal yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi, dan mempertajam atau memperjelas fokus pada wawacara konseling.
  3. Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya konselor mengatakan kepada jeni, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.
a.       Rasional
Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia diliputi perasaan tertentu mungkin menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas pengungkapannya. Mungkin pula ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasi sesuatu secara jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia berusaha menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifying.[5]
b.      Tujuan latihan
Supaya klien dapat menyatakan pesannya (perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas, alasan yang logis, dan dapat mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih supaya mampu :
1)      Menangkap pesan klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukan.
2)      Menyusun kalimat yang menjernihkan/ meng-clear-kan (clarifying) pernyataan-pernyataan (pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan, dan tidak jelas.


c.       Materi
1)      Latihan menangkap pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelas.
2)      Latihan menyusun kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan klien yang samar-samar dan meragukan.
  1. Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel dengan prilaku seperti itu”. Secara lebih sederhana, refleksi dapat didefenisikan sebagai upaya konselor memperoleh informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Dalam hal ini, seorang konselor dituntut untuk menjadi pendengar yang aktif. Hal senada juga diungkapkan oleh Bolton (2003) yang mengatakan bahwa bahwa mendengar adalah lebih dari hanya mendengarsaja. Lebih khusus ia mengatakan dalam proses mendengarkan terdapat unsur menyimak, yang berarti konselor harus memerhatikan sungguh-sungguh peran yang disampaikan oleh klien.[6] (Namora Lumongga Lubis. 2011: 93-94)
Ada tiga jenis refleksi yaitu:
1)      Reflecting feelings (Merefleksi Perasaan).
Pada refleksi perasaan, konselor menceritakan kembali perasaan yang disampaikna oleh klien.
Contoh:
Klien: saya begitu yakin akan menamatkan sekolah pada usia sekarang. Tetapi saya gagal menyelesaikannya. Saya merasa bodoh.
Konselor: jadi, kegagalan itulah yang menyebabkan anda merasa bodoh?
2)      Reflecting meanings
Apabila perasaan dan fakta dicampurkan dalam suatu respons yang akurat, hal inilah disebut sebagai refleksi makna.
Contoh :
Klien : Ibu guru supaya terus menerus bertanya tentang kehidupan saya. Saya tidak ingin dia melakukan hal itu.
Konselor : anda merasa jengkel karena dia tidak merespek privasi anda.
3)      Summative reflections (refleksi sumatif)
Terjadi suatu refleksi sumatif, bila diungkapkan kembali secara singkat tema dan perasaan utama yang dieksresikan pembicara selama durasi percakapan yang lebih lama dari pada yang terlip oleh bentuk refleksi lainnya. Menurut Bolton (2002), kalimat-kalimat berikut dapat digunakan untuk memulai refleksi sumatif: “tema yang selalu anda ulang seperti adalah …” “marilah kita melakukan rekapitulasi dari dari apa yang sudah kita bicarakan sejauh ini. “saya memikirkan apa yang anda katakana. Saya melihat suatu pola dan saya ingin mengeceknya. Anda.”
Ciri-ciri respons refleksi adalah:
a.       Tidak menilai (nonjudgmental).
b.      Refleksi akurat dari apa yang dialami oleh pihak yang lain.
c.       Ringkas.
d.      Kadang-kadang lebih banyak dalam dan pada kata-kata yang terucap.

BAB III
PENUTUP


A.    Simpulan
     Konseling keluarga memfokuskan pada masalah-masalah berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga dan memandang keluarga secara keseluruhan bahwa permasalahan yang dialami seorang anggota keluarga yang  efektif diatasi jika melibatkan anggota keluarga yang lain. Konseling keluarga bertujuan membantu anggota keluarga belajar dan memahami bahwa dinamika keluarga merupakan hasil pengaruh hubungan anggota keluarga. Konseling khususnya konseling keluarga ikut serta dalam memberikan terapi-terapi untuk dapat membatu masalah-masalah yang duhadapi keluarga dengan berbagai teori yang muncul dimana didalamnya terdapat beberapa tehnik yang dapat dilakukan diantaranya teknik sculpting (mematung), role playing (bermain peran), silence (diam), confrontation (konfrontasi), teaching via questioning, listening (mendengarkan), recapitulating (mengkhitisarkan), summary (menyimpulkan), clarification (menjernihkan), reflection (refleksi).


DAFTAR PUSTAKA


Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori           Dan Praktik. Jakarta: Kencana

Willis, Sofyan S. 2013. Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung:           Alfabeta

Prayitno& Amti Erman.1999 Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka    Cipta.

Juntika, Nurihsan A. 2007. Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar             Kehidupan. Bandung: Refika Aditama




[1] Prayitno& Amti Erman. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999) hlm. 5
[2] Nurihsan, A. Juntika. Bimbingan & Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan.(Bandung: Refika Aditama,2007) hlm 20
[3] Namora Numongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011) hlm. 99-101
[4] Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2008) hlm. 141-142
[5] Sofyan S. Willis, Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung: Alfabeta, 2013) hlm. 197-198
[6] Namora Numongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori Dan Praktik, (Jakarta: Kencana, 2011) hlm. 93-94