BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata “Kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia
pendidikan lebih kurang sejak satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul
untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu
kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni suatu alat yang membawa
orang dari star sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah
kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran
disuatu perguruan.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan
teori dan praktik pendidikan. Dalam pandangan lama, kurikulum merupakan
kumpulan sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan
dipelajari oleh siswa. Pandangan ini menekankan pengertian kurikulum pada segi
isi. Dalam pandangan yang muncul kemudian, penekanan terletak pada pengalaman
belajar. Dengan titik tekan tersebut, kurikulum diartikan sebagai segala
pengalaman yang disajikan kepada para siswa dibawah pengawasan atau pengarahan sekolah.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas,
diambil rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan makalah ini, yaitu:
1.
Apa yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan Islam?
2.
Apa saja ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam?
3.
Apa saja prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam?
4.
Apa isi kurikulum pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan penulisan makalah adalah:
1.
Untuk mengetahui pengertian kurikulum pendidikan Islam;
2.
Untuk mengetahui ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam;
3.
Untuk mengetahui prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam;
dan
4.
Untuk mengetahui isi kurikulum pendidikan Islam;
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kurikulum Pendidikan
Islam
Kurikulum secara etimologis adalah tempat berlari dengan
kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere
yang artinya tempat berlari. Selain itu,
juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari. Maka, pada waktu itu pengertian kurikulum ialah jangka waktu
pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh
ijazah. Dalam pandangan tradisional disebutkan bahwa kurikulum memang hanya
rencana pelajaran. Sedangkan dalam pandangan modern kurikulum lebih dari
sekedar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern
adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.
Dalam kalimat lain disebut sebagai semua pengalaman belajar.[1]
Adanya pandangan bahwa kurikulum hanya berisi rencana
pelajaran di sekolah disebabkan adanya pandangan tradisional yang mengatakan
bahwa kurikulum memang hanya rencana pelajaran. Pandangan tradisional ini
sebenarnya tidak terlalu salah, mereka membedakan kegiatan belajar kulikuler
dan kegiatan belajar ekstrakulikuler dan kokulikuler. Kegiatan kulikuler ialah
kegiatan belajar untuk mempelajari pelajaran wajib, sedangkan kegiatan
kokulikuler dan ekstrakulikuler disebut mereka sebagai kegiatan penyerta.
Praktik kimia, fisika atau biologi, kunjungan ke museum untuk pelajaran sejarah
misalnya, dipandang mereka sebagai kakulikuler (penyerta kegiatan belajar
bidang studi). Apabila kegiatan itu tidak berfungsi sebagai penyerta, seperti
pramuka dan olahraga, maka yang ini disebut kegiatan di luar kurikulum
(kegiatan ekstrakulikuler).
Menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar
rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern ialah
semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Pandangan
ini bertolak dari sesuatu yang actual dan nyata, yaitu yang actual terjadi disekolah
dalam proses belajar. Dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan siswa dapat
memberikan pengalaman belajar, seperti berkebun, olahraga, pramuka dan
pergaulan serta beberapa kegiatan lainnya di luar bidang studi yang dipelajari.
Semuanya merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat. Pandangan modern
berpendapat bahwa semua pengalaman belar itulah kurikulum. Atas dasar ini, maka
inti kurikulum adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalamn belajar yang
banyak berpengaruh dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata
pelajaran interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok,
interaksi dalam lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman
belajar.
Berikut ini beberapa pengertian kurikulum menurut para
pakar, yaitu:
1. Saylor dan Alexander merumuskan
kurikulum sebagai the total effort of the school situations, artinya
bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan atau sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2. Smith memandang kurikulum sebagai
seperangkat dan upaya pendidikan yang bertujuan agar peerta didik memiliki
kemampuan hidup bermasyrakat. Anak didik dibina agar memiliki kemampuan
menyesuaikan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat.
3. Harold Rugg mengartikan kurikulum
sebagai program sekolah yang didalamnya terdapat semua peserta didik dan
pekerjaan guru-guru mereka.
4. Menururt Hilda Taba, kurikulum
adalah suatu kegiatan dan pengalaman peserta didik di sekolah yang sudah
direncanakan.
Adapun pengertian kurikulum sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dari pengertian kurikulum tersebut dapat dipahami bahwa
kurikulum bukan hanya bahan pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik,
melainkan juga terdapat seperangkat aturan lain dan kegiatan lain yang ikut
membentuk dan membangun kedewasaan peserta didik di sekolah. Adapun semua
perangkat yang dimaksud bertujuan satu, yaitu mencapai tujuan pendidikan. Dalam
pendidikan Islam juga memiliki kurikulum yang menjadi bahan untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Berdasarkan pengertian yang sudah diketahui bahwa kurikulum
merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya
kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah
pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan
Islam bukanlah proses yang dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya
mengacu pada konseptualisasi manusia, transformasi sejumlah pengetahuan
keterampilan dan sikap mental yang harus terususun. Dari penjelasan tersebut
maksud kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum pendidikan yang berasaskan
ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Adapun fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam adalah
sebagai:
1. Alat untuk mencapai tujuan dan untuk
menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan;
2. Pedoman dan program yang harus
dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan;
3. Fungsi kesinambungan untuk persiapan
pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak
melanjutkan;
4. Standardisasi dalam penilaian
kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari
program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester, maupun pada
tingkat pendidikan tertentu.
B.
Ciri-Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum Pendidikan Islam tidak akan terlepas dari asas
Islam itu sendiri yakni Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka ciri utama yang bisa
diketahui adalah mencantumkan Al-Qur`an dan Al-Hadits sebagai sumber utama.
ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Al-Syaibani, yaitu:
1. Kurikulum pendidikan Islam harus
menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus diambil
dari Al-Qur`an dan Al-Hadit serat contoh-contoh dari tokoh terdahulu yang
saleh.
2. Kurikulum pendidikan Islam harus
memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani,
akal dan rohani. Untuk pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus berisi
mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek itu.
Oleh karena itu, di perguruan tinggi diajarkan mata pelajaran seperti ilmu-ilmu
Al-Qur`an termasuk tafsir dan qiro`ah serta mata pelajaran lainnya.
3. Kurikulum pendidikan Islam
memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat,
jasmani, akal dan rohani manusia.[2]
4. Kurikulum pendidikan Islam
memperhatikan juga seni halus seperti ukir, pahat, tulis-indah, gambar dan
sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer,
teknik, keterampilan dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada
perseorangan secara efektif berdasar bakat, minat dan kebutuhan.
5. Kurikulum pendidikan Islam
mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia
karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai
dengan kebudayaan itu.
Adapun ciri-ciri khusus kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1. Dalam kurikulum pendidikan Islam,
tujuan utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. Oleh karena itu,
semua sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam;
2. Kurikulum harus disesuaikan dengan
fitrah manusia, sebagai makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan;
3. Kurikulum yang disajikan merupakan
hasil pengujian materi dengan landasan Al-Qur`an dan Al-Hadits;[3]
4. Mengarahkan minat dan bakat serta
meningkatkan kemampuan akliah peserta didik serta keterampilan yang akan
diterapkan dalam kehidupan konkret;
5. Pembinaan akhlak peserta didik,
sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan Islam; dan
6. Tidak ada kadaluarsa kurikulum
karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman
bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penerapannya didalam kehidupan masyarakat.
7. Beberapa ciri-ciri kurikulum
pendidikan Islam yang telah disebutkan diatas, dapat dipahami bahwa kurikulum
pendidikan Islam menekankan aspek spiritual tinggi dan akhlak yang mulia.
C.
Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan
Islam
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam menurut Mujib,
yaitu:
1. Prinsip yang berorientasi pada
tujuan. “Al-umur bi maqashidiha” merupakan adagium ushuliyah yang
berimplikasi pada aktivitas kurikulum yang terarah, sehingga tujuan pendidikan
yang tersusun sebelumnya dapat tercapai. Disamping itu, perlu adanya persiapan
khusus bagi para penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang
harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan
khalifah Allah swt.
2. Prinsip relevansi. Implikasinya
adalah mengusulkan agar kurikulum yang ditetapkan harus dibentuk sedemikian
rupa, sehingga tuntutan pendidikan dengan kurikulum tersebut dapat memenuhi
jenis dan mutu tenaga kerja yang dibutuhkan masyarakat, serta tuntutan vertical
dalam mengeban nilai-nilai ilahi sebagai rahmatan li al-alamin.[4]
3. Prinsip efisiensi dan efektifitas.
Implikasinya adalah mengusulkan agar kegiatan kurikulum dapat mendayagunakan
waktu, tenaga, biaya, dan sumber-sumber lain secara cermat dan tetap sehingga
hasilnya memadai dan memenuhi harapan sera membuahkan hasil sebanyaknya. Islam
mengajarkan agar seorang muslim menghargai waktu sebaik-baiknya (QS. Al-‘Ashr:
1, Adh-Dhuha: 1, Al-lail: 1, Asy-Syams: 1-9), sehingga tidak ada hari libur
untuk beraktivitas (QS. Al-Jumu’ah: 9-10), serta menghargai tenaga dan
aktivitas manusia. Baik tidaknya seseorang ditentukan oleh nilai kerjanya (QS.
An-Najm: 39-40). Di samping itu, Islam juga mengajarkan agar seseorang
sedapatnya menggunakan hartanya sesederhana mungkin, tidak bolos, dan tidak
menggunakannya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat (mubadzir). (QS.
Al-Isra’: 26-27).
4. Prinsip fleksibilitas program.
Implikasinya adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan
dengan situasi setempat, waktu dan kondisi yang berkembang, tanpa mengembang
tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak hanya dilihat dari salah
satu faktor, tetapi juga dilihat dari totalitas ekosistem kurikulum, baik yang
berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan
pengetahuan yang diperolah), metode yang digunakan, fasilitas yang tersedia,
serta lingkungan yang mempengaruhinya.
5. Prinsip integritas. Implikasinya
adalah mengupayakan kurikulum agar menghasilkan manusia yang seutuhnya, manusia
yang mampu mengintegrasikan antara fakultas dzikir dan fakultas fikir,
serta manusia yang mampu menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat. Di samping itu,
pengupayaan kurikulum tersebut menghasilkan peserta didik yang mampu menguasai
ilmu-ilmu qur’ani (din Allah) dan ilu-ilmu kawni (sunnah
Allah) yang bertujuan untuk mencari ridha Allah swt. Prinsip ini dilakukan
dengan cara memadukan semua komponen kurikulum tanpa adanya penggalan satu
dengan lainnya.
6. Prinsip kontinuitas (istiqamah).
Implikasinya adalah bagaimana susuna kurikulum yang terdiri dari bagian yang
berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara
vertical (penjenjangan, tahapan), maupun secara horizontal.
7. Prinsip sinkronisme. Implikasinya
adalah bagaimana suatu kurikulum dapat seirama, searah dan setujuan, serta
jangansampai terjadi kegiatan kurikulum lain yang menghambat, berlawanan, atau
mematikan kegiatan lain.
8. Prinsip objektivitas. Implikasinya
adalah adanya kurikulum tersebut dilakukan melalui tuntutan kebenaran ilmiah
yang objektif, dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emosi yang irasional.
(QS. Al-Ma’idah: 8).
9. Prinsip demokrasi. Implikasinya
adalah pelaksanaan kurikulum harus dilakukan secara demokrasi. Artinya, saling
mengerti, memahami keadaan dan situasi tiap-tiap subjek dan objek kurikulum.
Segala tindakan sebaiknya dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat, sehingga
kegiatan itu didukung bersama dan apabila terjadi kegagalan maka tidak
meyalahkan satu dengan yang lain.
10.
Prinsip analisis kegiatan. Prinsip ini mengandung tuntutan
agar kurikulum dikonstruksikan melalui proses analisis isi bahan mata
pelajaran, serta analisis tingkah laku yang sesuai dengan materi pelajaran.
11. Prinsip individualisasi. Prinsip
kurikulum yang memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada umumnya
yang meliputi seluruh aspek pribadi peserta didik, seperti perbedaan jasmani,
watak, inteligensi, bakat, serta kelebihan dan kekurangannya.
12. Prinsip pendidikan seumur hidup.
Konsep ini diterapkan dalam kurikulum mengingat keutuhan potensi subjek manusia
sebagai subjek yang berkembang dan perlunya keutuhan wawasan (orientasi)
manusia sebagai sukbjek yang sadar akan nilai (yang menghayati dan yakin akan
cita-cita dan tujuan hidup). (Tim Depag RI, 1979; 18). Semua hal tersebut tidak
akan tercapai tanpa adanya belajar yang berkesinambungan.
Sedangkan menurut
Asy-Syaibani (1979: 519-522), prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam
adalah:
1. Berorientasi pada Islam, termasuk
ajaran dan nilai-nilainya. Adapun kegiatan kurikulum yang baik berupa falsafah,
tujuan, metode, prosedur, cara melakukan, dan hubungan-hubungan yang berlaku
dilembaga harus berdasarkan Islam.
2. Prinsip menyeluruh (syumuliyyah)
baik dalam tujuan maupun isi kandungannya.
3. Prinsip keseimbangan (tawazun)
antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4. Prinsip interaksi (ittishaliyyah)
antara kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat.
5. Prinsip pemeliharaan (wiqayah)
antara perbedaan-perbedaan individu.
6. Prinsip perkembangan (tanmiyyah)
dan perubahan (taghayyur) seiring dengan tuntutan yang ada dengan tidak
mengabaikan nilai-nilai absolut ilahiyyah.
7. Prinsip integritas (muwahhadah)
antara mata pelajaran, pengalaan, dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan
peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman serta tempat peserta didik berada.[5]
D.
Isi Kurikulum Pendidikan Islam
Sebelum mengetahui apa saja isi
kurikulum pendidikan Islam, terlebih dahulu harus diketahui mengenai
syarat-syarat yang diajukan dalam perumusan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
1. Materi yang tersusun tidak menyalahi
fitrah manusia.
2. Adanya relevansi dengan tujuan
pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya mendekatan diri dan beribadah kepada
Allah swt dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.
3. Disesuaikan dengan tingkat
perkembangan dan usia peserta didik.
4. Perlunya membawa perta didik kepada
objek empiris, praktik langsung, dan memiliki fungsi pragmatis, sehingga mereka
mempunyai keterampilan-keterampilan yang nyata.
5. Penyusunan kurikulum bersifat
integral, terorganisasi dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu
serta materi lainnya.
6. Materi yang disusun memiliki
relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan
relevan dengan tujuan Negara setempat.
7. Adanya metode yang mampu menghantar
tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing
individu.
8. Materi yang disusun mempunyai
relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
9. Memperhatikan aspek-aspek sosial,
misalnya Da`wah Islamiyah.
10. Materi yang disusun mempunyai
pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga menjadikan kesempurnaan
jiwanya.
11. Memperhatikan kepuasan pembawaan
fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refreshing untuk
menikmati suatu kesenian.
12. Adanya ilmu alat untuk mempelajari
ilmu-ilmu lain.
Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, disusunlah isi
kurikulum pendidikan Islam. Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh
Al-Abrasyi (1969: 285-287), membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan dua
tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Pemula (manhaj ibtida’i)
Materi
kurikulum pemula difokuskan pada pembelajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ibnu Khaldun
memandang bahwa Al-Qur’an merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu
pengetahuan, dan asas pelaksanaan pendidikan Islam. Disamping itu, mengingat
isi Al-Qur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan pada jiwa peserta
didik, serta memuat akhlak mulia, dan pembinaan pribadi menuju prilaku yang
positif.
2. Tingkat atas (manhaj ‘ali)
Kurikulum
ini mempunyai dua kualifikasi; pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
dzatnya sendiri, seperti ilmu syariah yang mencakup fiqih, tafsir, hadis, ilmu
kalam, ilmu bumi, dan ilmu filsafat. Kedua, ilmu-ilmu yang ditunjukan
untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri.
Misalnya ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika, dan ilmu mantiq (logika).
Ibnu Khaldun kemudian membagi ilmu dengan tiga
kategori, yaitu sebagai berikut :
1)
Ilmu-ilmu naqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari
Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lain. Seperti ilmu fiqih untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban beribadah; ilmu tafsir untuk mengetahui maksud-maksud
Al-Qur’an; ilmu usul fiqhi untuk meng-istibath-kan hukum
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ilmu-ilmu lainnya.;
2)
Ilmu-ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari daya
pikiran manusia, seperti ilmu filsafat, ilmu-ilmu mantiq (logika), ilu
bumi, ilmu kalam, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu kimia, dan ilmu fisika;
dan
3)
Ilmu-ilmu lisan (linguistik), seperti ilmu nahwu, ilmu
bayan, ilmu adab (sastra).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurikulum secara etimologis adalah tempat berlari dengan
kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere
yang artinya tempat berlari. Selain itu,
juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari. Kurikulum Pendidikan Islam tidak akan terlepas dari asas Islam
itu sendiri yakni Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka ciri utama yang bisa diketahui
adalah mencantumkan Al-Qur`an dan Al-Hadits sebagai sumber utama.
B.
Saran
Penulis
menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan karya ilmiah (makalah) ini, baik
itu dari kesalahan tanda baca, bahasa dan sebagainya. Maka, atas dasar
kekurangan itu diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Agar ada
perubahan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Basri,
Hasan dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Jilid II. Bandung:
Pustaka Setia.
Ahmad
Tafsir. 2014. Ilmu Pendidikan Dalam
Perspektif Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Novan
Ardy Wiyani & Barnawi. 2012. Ilmu
Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Salim
Haitami & Syamsul Kurniawan. 2012. Studi
Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Siswanto. 2012. Pendidikan
Islam Dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: Press UIN Sunan Kalijaga.
[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2014, hal. 52
[2] Novan Ardy
Wijayani, & Barnawi, Ilmu Pendidikan
Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, hal. 167-169.
[3]
Moh. Haitami Salim, & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012, hal. 198
[4] Siswanto, M.Pd.I, Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan, Yogyakarta: Press UIN
Sunan Kalijaga, 2012, hal. 61-63.
[5] Dr. Ahmad
Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, hal. 52.