Saturday, 15 September 2018

Apa yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan Islam




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Kata “Kurikulum” mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan lebih kurang sejak satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya dalam kamus Webster tahun 1856. Pada tahun itu kata kurikulum digunakan dalam bidang olahraga, yakni suatu alat yang membawa orang dari star sampai ke finish. Barulah pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran disuatu perguruan.
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dalam pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Pandangan ini menekankan pengertian kurikulum pada segi isi. Dalam pandangan yang muncul kemudian, penekanan terletak pada pengalaman belajar. Dengan titik tekan tersebut, kurikulum diartikan sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada para siswa dibawah pengawasan atau pengarahan sekolah.
B.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, diambil rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan makalah ini, yaitu:
1.        Apa yang dimaksud dengan kurikulum pendidikan Islam?
2.        Apa saja ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam?
3.        Apa saja prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam?
4.        Apa isi kurikulum pendidikan Islam?
C.           Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah:
1.        Untuk mengetahui pengertian kurikulum pendidikan Islam;
2.        Untuk mengetahui ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam;
3.        Untuk mengetahui prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam; dan
4.        Untuk mengetahui isi kurikulum pendidikan Islam;


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum secara etimologis adalah tempat berlari dengan kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere yang artinya tempat berlari. Selain itu, juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Maka, pada waktu itu pengertian kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah. Dalam pandangan tradisional disebutkan bahwa kurikulum memang hanya rencana pelajaran. Sedangkan dalam pandangan modern kurikulum lebih dari sekedar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern adalah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Dalam kalimat lain disebut sebagai semua pengalaman belajar.[1]
Adanya pandangan bahwa kurikulum hanya berisi rencana pelajaran di sekolah disebabkan adanya pandangan tradisional yang mengatakan bahwa kurikulum memang hanya rencana pelajaran. Pandangan tradisional ini sebenarnya tidak terlalu salah, mereka membedakan kegiatan belajar kulikuler dan kegiatan belajar ekstrakulikuler dan kokulikuler. Kegiatan kulikuler ialah kegiatan belajar untuk mempelajari pelajaran wajib, sedangkan kegiatan kokulikuler dan ekstrakulikuler disebut mereka sebagai kegiatan penyerta. Praktik kimia, fisika atau biologi, kunjungan ke museum untuk pelajaran sejarah misalnya, dipandang mereka sebagai kakulikuler (penyerta kegiatan belajar bidang studi). Apabila kegiatan itu tidak berfungsi sebagai penyerta, seperti pramuka dan olahraga, maka yang ini disebut kegiatan di luar kurikulum (kegiatan ekstrakulikuler).
Menurut pandangan modern, kurikulum lebih dari sekedar rencana pelajaran atau bidang studi. Kurikulum dalam pandangan modern ialah semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah. Pandangan ini bertolak dari sesuatu yang actual dan nyata, yaitu yang actual terjadi disekolah dalam proses belajar. Dalam pendidikan, kegiatan yang dilakukan siswa dapat memberikan pengalaman belajar, seperti berkebun, olahraga, pramuka dan pergaulan serta beberapa kegiatan lainnya di luar bidang studi yang dipelajari. Semuanya merupakan pengalaman belajar yang bermanfaat. Pandangan modern berpendapat bahwa semua pengalaman belar itulah kurikulum. Atas dasar ini, maka inti kurikulum adalah pengalaman belajar. Ternyata pengalamn belajar yang banyak berpengaruh dalam pendewasaan anak, tidak hanya mempelajari mata pelajaran interaksi sosial di lingkungan sekolah, kerja sama dalam kelompok, interaksi dalam lingkungan fisik, dan lain-lain, juga merupakan pengalaman belajar.
Berikut ini beberapa pengertian kurikulum menurut para pakar, yaitu:
1.    Saylor dan Alexander merumuskan kurikulum sebagai the total effort of the school situations, artinya bahwa kurikulum merupakan keseluruhan usaha yang dilakukan oleh lembaga pendidikan atau sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.    Smith memandang kurikulum sebagai seperangkat dan upaya pendidikan yang bertujuan agar peerta didik memiliki kemampuan hidup bermasyrakat. Anak didik dibina agar memiliki kemampuan menyesuaikan diri untuk menjadi bagian dari masyarakat.
3.    Harold Rugg mengartikan kurikulum sebagai program sekolah yang didalamnya terdapat semua peserta didik dan pekerjaan guru-guru mereka.
4.    Menururt Hilda Taba, kurikulum adalah suatu kegiatan dan pengalaman peserta didik di sekolah yang sudah direncanakan.
Adapun pengertian kurikulum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 butir 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dari pengertian kurikulum tersebut dapat dipahami bahwa kurikulum bukan hanya bahan pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik, melainkan juga terdapat seperangkat aturan lain dan kegiatan lain yang ikut membentuk dan membangun kedewasaan peserta didik di sekolah. Adapun semua perangkat yang dimaksud bertujuan satu, yaitu mencapai tujuan pendidikan. Dalam pendidikan Islam juga memiliki kurikulum yang menjadi bahan untuk mencapai tujuan pendidikannya.
Berdasarkan pengertian yang sudah diketahui bahwa kurikulum merupakan landasan yang digunakan pendidikan untuk membimbing peserta didiknya kearah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental. Ini berarti bahwa proses pendidikan Islam bukanlah proses yang dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu pada konseptualisasi manusia, transformasi sejumlah pengetahuan keterampilan dan sikap mental yang harus terususun. Dari penjelasan tersebut maksud kurikulum pendidikan Islam adalah kurikulum pendidikan yang berasaskan ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma` dan lainnya.
Adapun fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sebagai:
1.    Alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan;
2.    Pedoman dan program yang harus dilakukan oleh subjek dan objek pendidikan;
3.    Fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bagi yang tidak melanjutkan;
4.    Standardisasi dalam penilaian kriteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester, maupun pada tingkat pendidikan tertentu.

B.            Ciri-Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum Pendidikan Islam tidak akan terlepas dari asas Islam itu sendiri yakni Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka ciri utama yang bisa diketahui adalah mencantumkan Al-Qur`an dan Al-Hadits sebagai sumber utama. ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Al-Syaibani, yaitu:
1.    Kurikulum pendidikan Islam harus menonjolkan mata pelajaran agama dan akhlak. Agama dan akhlak itu harus diambil dari Al-Qur`an dan Al-Hadit serat contoh-contoh dari tokoh terdahulu yang saleh.
2.    Kurikulum pendidikan Islam harus memperhatikan pengembangan menyeluruh aspek pribadi siswa, yaitu aspek jasmani, akal dan rohani. Untuk  pengembangan menyeluruh ini kurikulum harus berisi mata pelajaran yang banyak, sesuai dengan tujuan pembinaan setiap aspek itu. Oleh karena itu, di perguruan tinggi diajarkan mata pelajaran seperti ilmu-ilmu Al-Qur`an termasuk tafsir dan qiro`ah serta mata pelajaran lainnya.
3.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara pribadi dan masyarakat, dunia dan akhirat, jasmani, akal dan rohani manusia.[2]
4.    Kurikulum pendidikan Islam memperhatikan juga seni halus seperti ukir, pahat, tulis-indah, gambar dan sejenisnya. Selain itu, memperhatikan juga pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, keterampilan dan bahasa asing sekalipun semuanya ini diberikan kepada perseorangan secara efektif berdasar bakat, minat dan kebutuhan.
5.    Kurikulum pendidikan Islam mempertimbangkan perbedaan kebudayaan yang sering terdapat di tengah manusia karena perbedaan tempat dan juga perbedaan zaman. Kurikulum dirancang sesuai dengan kebudayaan itu.
Adapun ciri-ciri khusus kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1.    Dalam kurikulum pendidikan Islam, tujuan utamanya adalah pembinaan anak didik untuk bertauhid. Oleh karena itu, semua sumber yang dirunut berasal dari ajaran Islam;
2.    Kurikulum harus disesuaikan dengan fitrah manusia, sebagai makhluk yang memiliki keyakinan kepada Tuhan;
3.    Kurikulum yang disajikan merupakan hasil pengujian materi dengan landasan Al-Qur`an dan Al-Hadits;[3]
4.    Mengarahkan minat dan bakat serta meningkatkan kemampuan akliah peserta didik serta keterampilan yang akan diterapkan dalam kehidupan konkret;
5.    Pembinaan akhlak peserta didik, sehingga pergaulannya tidak keluar dari tuntunan Islam; dan
6.    Tidak ada kadaluarsa kurikulum karena ciri khas kurikulum Islam senantiasa relevan dengan perkembangan zaman bahkan menjadi filter kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penerapannya didalam kehidupan masyarakat.
7.    Beberapa ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam yang telah disebutkan diatas, dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan Islam menekankan aspek spiritual tinggi dan akhlak yang mulia.
C.            Prinsip-Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam menurut Mujib, yaitu:
1.    Prinsip yang berorientasi pada tujuan. “Al-umur bi maqashidiha” merupakan adagium ushuliyah yang berimplikasi pada aktivitas kurikulum yang terarah, sehingga tujuan pendidikan yang tersusun sebelumnya dapat tercapai. Disamping itu, perlu adanya persiapan khusus bagi para penyelenggara pendidikan untuk menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh peserta didik seiring dengan tugas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah swt.
2.    Prinsip relevansi. Implikasinya adalah mengusulkan agar kurikulum yang ditetapkan harus dibentuk sedemikian rupa, sehingga tuntutan pendidikan dengan kurikulum tersebut dapat memenuhi jenis dan mutu tenaga kerja yang dibutuhkan masyarakat, serta tuntutan vertical dalam mengeban nilai-nilai ilahi sebagai rahmatan li al-alamin.[4]
3.    Prinsip efisiensi dan efektifitas. Implikasinya adalah mengusulkan agar kegiatan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, tenaga, biaya, dan sumber-sumber lain secara cermat dan tetap sehingga hasilnya memadai dan memenuhi harapan sera membuahkan hasil sebanyaknya. Islam mengajarkan agar seorang muslim menghargai waktu sebaik-baiknya (QS. Al-‘Ashr: 1, Adh-Dhuha: 1, Al-lail: 1, Asy-Syams: 1-9), sehingga tidak ada hari libur untuk beraktivitas (QS. Al-Jumu’ah: 9-10), serta menghargai tenaga dan aktivitas manusia. Baik tidaknya seseorang ditentukan oleh nilai kerjanya (QS. An-Najm: 39-40). Di samping itu, Islam juga mengajarkan agar seseorang sedapatnya menggunakan hartanya sesederhana mungkin, tidak bolos, dan tidak menggunakannya untuk sesuatu yang kurang bermanfaat (mubadzir). (QS. Al-Isra’: 26-27).
4.    Prinsip fleksibilitas program. Implikasinya adalah kurikulum disusun begitu luwes, sehingga mampu disesuaikan dengan situasi setempat, waktu dan kondisi yang berkembang, tanpa mengembang tujuan pendidikan yang diinginkan. Prinsip ini tidak hanya dilihat dari salah satu faktor, tetapi juga dilihat dari totalitas ekosistem kurikulum, baik yang berkenaan dengan perkembangan peserta didik (kecerdasan, kemampuan, dan pengetahuan yang diperolah), metode yang digunakan, fasilitas yang tersedia, serta lingkungan yang mempengaruhinya.
5.    Prinsip integritas. Implikasinya adalah mengupayakan kurikulum agar menghasilkan manusia yang seutuhnya, manusia yang mampu mengintegrasikan antara fakultas dzikir dan fakultas fikir, serta manusia yang mampu menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat. Di samping itu, pengupayaan kurikulum tersebut menghasilkan peserta didik yang mampu menguasai ilmu-ilmu qur’ani (din Allah) dan ilu-ilmu kawni (sunnah Allah) yang bertujuan untuk mencari ridha Allah swt. Prinsip ini dilakukan dengan cara memadukan semua komponen kurikulum tanpa adanya penggalan satu dengan lainnya.
6.    Prinsip kontinuitas (istiqamah). Implikasinya adalah bagaimana susuna kurikulum yang terdiri dari bagian yang berkesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya, baik secara vertical (penjenjangan, tahapan), maupun secara horizontal.
7.    Prinsip sinkronisme. Implikasinya adalah bagaimana suatu kurikulum dapat seirama, searah dan setujuan, serta jangansampai terjadi kegiatan kurikulum lain yang menghambat, berlawanan, atau mematikan kegiatan lain.
8.    Prinsip objektivitas. Implikasinya adalah adanya kurikulum tersebut dilakukan melalui tuntutan kebenaran ilmiah yang objektif, dengan mengesampingkan pengaruh-pengaruh emosi yang irasional. (QS. Al-Ma’idah: 8).
9.    Prinsip demokrasi. Implikasinya adalah pelaksanaan kurikulum harus dilakukan secara demokrasi. Artinya, saling mengerti, memahami keadaan dan situasi tiap-tiap subjek dan objek kurikulum. Segala tindakan sebaiknya dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat, sehingga kegiatan itu didukung bersama dan apabila terjadi kegagalan maka tidak meyalahkan satu dengan yang lain.
10.     Prinsip analisis kegiatan. Prinsip ini mengandung tuntutan agar kurikulum dikonstruksikan melalui proses analisis isi bahan mata pelajaran, serta analisis tingkah laku yang sesuai dengan materi pelajaran.
11.     Prinsip individualisasi. Prinsip kurikulum yang memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada umumnya yang meliputi seluruh aspek pribadi peserta didik, seperti perbedaan jasmani, watak, inteligensi, bakat, serta kelebihan dan kekurangannya.
12.     Prinsip pendidikan seumur hidup. Konsep ini diterapkan dalam kurikulum mengingat keutuhan potensi subjek manusia sebagai subjek yang berkembang dan perlunya keutuhan wawasan (orientasi) manusia sebagai sukbjek yang sadar akan nilai (yang menghayati dan yakin akan cita-cita dan tujuan hidup). (Tim Depag RI, 1979; 18). Semua hal tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya belajar yang berkesinambungan.

Sedangkan menurut Asy-Syaibani (1979: 519-522), prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah:
1.    Berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilainya. Adapun kegiatan kurikulum yang baik berupa falsafah, tujuan, metode, prosedur, cara melakukan, dan hubungan-hubungan yang berlaku dilembaga harus berdasarkan Islam.
2.    Prinsip menyeluruh (syumuliyyah) baik dalam tujuan maupun isi kandungannya.
3.    Prinsip keseimbangan (tawazun) antara tujuan dan kandungan kurikulum.
4.    Prinsip interaksi (ittishaliyyah) antara kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat.
5.    Prinsip pemeliharaan (wiqayah) antara perbedaan-perbedaan individu.
6.    Prinsip perkembangan (tanmiyyah) dan perubahan (taghayyur) seiring dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolut ilahiyyah.
7.    Prinsip integritas (muwahhadah) antara mata pelajaran, pengalaan, dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman serta tempat peserta didik berada.[5]

D.           Isi Kurikulum Pendidikan Islam
 Sebelum mengetahui apa saja isi kurikulum pendidikan Islam, terlebih dahulu harus diketahui mengenai syarat-syarat yang diajukan dalam perumusan kurikulum, yaitu sebagai berikut.
1.    Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.
2.    Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya mendekatan diri dan beribadah kepada Allah swt dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.
3.    Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.
4.    Perlunya membawa perta didik kepada objek empiris, praktik langsung, dan memiliki fungsi pragmatis, sehingga mereka mempunyai keterampilan-keterampilan yang nyata.
5.    Penyusunan kurikulum bersifat integral, terorganisasi dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu serta materi lainnya.
6.    Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuan Negara setempat.
7.    Adanya metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu.
8.    Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.
9.    Memperhatikan aspek-aspek sosial, misalnya Da`wah Islamiyah.
10.     Materi yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga menjadikan kesempurnaan jiwanya.
11.     Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refreshing untuk menikmati suatu kesenian.
12.     Adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.
Setelah syarat-syarat tersebut dipenuhi, disusunlah isi kurikulum pendidikan Islam. Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Abrasyi (1969: 285-287), membagi isi kurikulum pendidikan Islam dengan dua tingkatan, yaitu sebagai berikut:

1.    Tingkat Pemula (manhaj ibtida’i)
Materi kurikulum pemula difokuskan pada pembelajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ibnu Khaldun memandang bahwa Al-Qur’an merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan, dan asas pelaksanaan pendidikan Islam. Disamping itu, mengingat isi Al-Qur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan pada jiwa peserta didik, serta memuat akhlak mulia, dan pembinaan pribadi menuju prilaku yang positif.
2.    Tingkat atas (manhaj ‘ali)  
Kurikulum ini mempunyai dua kualifikasi; pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syariah yang mencakup fiqih, tafsir, hadis, ilmu kalam, ilmu bumi, dan ilmu filsafat. Kedua, ilmu-ilmu yang ditunjukan untuk ilmu-ilmu lain, dan bukan ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri. Misalnya ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika, dan ilmu mantiq (logika).
Ibnu Khaldun kemudian membagi ilmu dengan tiga kategori, yaitu sebagai berikut :
1)             Ilmu-ilmu naqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari Al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lain. Seperti ilmu fiqih untuk mengetahui kewajiban-kewajiban beribadah; ilmu tafsir untuk mengetahui maksud-maksud Al-Qur’an; ilmu usul fiqhi untuk meng-istibath-kan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ilmu-ilmu lainnya.;
2)             Ilmu-ilmu aqliyah, yaitu ilmu yang diambil dari daya pikiran manusia, seperti ilmu filsafat, ilmu-ilmu mantiq (logika), ilu bumi, ilmu kalam, ilmu teknik, ilmu matematika, ilmu kimia, dan ilmu fisika; dan
3)             Ilmu-ilmu lisan (linguistik), seperti ilmu nahwu, ilmu bayan, ilmu adab (sastra).


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Kurikulum secara etimologis adalah tempat berlari dengan kata yang berasal dari bahasa latin curir yaitu pelari dan curere yang artinya tempat berlari. Selain itu, juga berasal dari kata curriculae artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Kurikulum Pendidikan Islam tidak akan terlepas dari asas Islam itu sendiri yakni Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka ciri utama yang bisa diketahui adalah mencantumkan Al-Qur`an dan Al-Hadits sebagai sumber utama.
B.            Saran
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan karya ilmiah (makalah) ini, baik itu dari kesalahan tanda baca, bahasa dan sebagainya. Maka, atas dasar kekurangan itu diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Agar ada perubahan yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani. 2010. Ilmu Pendidikan Islam Jilid II. Bandung: Pustaka Setia.
Ahmad Tafsir. 2014. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Novan Ardy Wiyani & Barnawi. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Salim Haitami & Syamsul Kurniawan. 2012. Studi Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruz Media.
Siswanto. 2012. Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan. Yogyakarta: Press UIN Sunan Kalijaga.















[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, hal. 52
[2] Novan Ardy Wijayani, & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, hal. 167-169.
[3] Moh. Haitami Salim, & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, hal. 198
[4] Siswanto, M.Pd.I, Pendidikan Islam Dalam Dialektika Perubahan, Yogyakarta: Press UIN Sunan Kalijaga, 2012, hal. 61-63.
[5] Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014, hal. 52.