Saturday, 15 September 2018

Kapitalisme Pendidikan




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (dalam Prayitno, 2009). Pendidikan tidak hanya dilihat sebagai usaha untuk mengerahkan semua usaha itu dalam mencapai perubahan dalam diri, namun pendidikan juga adalah kegiatan dalam mentransformasikan ilmu dari satu pihak ke pihak lainnya.
B.            Rumusan Masalah
1.             Apa itu Kapitalisme Pendidikan ?
2.             Pengertian Komersialisme Pendidikan ?
3.             Pengertian Liberalisme Pendidikan ?
4.             Pengertian Humanisme Pendidikan ?
C.            Tujuan
Untuk mengetahui serta memahami tentang Kapitalisme pendidikan hingga Humanisme Pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Kapitalisme Pendidikan
Berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (dalam Prayitno, 2009). Pendidikan tidak hanya dilihat sebagai usaha untuk mengerahkan semua usaha itu dalam mencapai perubahan dalam diri, namun pendidikan juga adalah kegiatan dalam mentransformasikan ilmu dari satu pihak ke pihak lainnya. Seiring dengan perkembangan zaman dari tahun ke tahun biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal. Bagi kalangan masyarakat kelas atas, tingginya biaya pendidikan tidak menjadi suatu masalah baginya, karena menurut mereka pendidikan merupakan hal yang penting dan simbol yang memiliki makna tersendiri bagi mereka yang dapat menggambarkan dan mempertahankan status sosial ekonominya. Akan tetapi bagi masyarakat kelas bawah, mahalnya pendidikan tentu saja bukanlah suatu hal yang diinginkan oleh mereka.[1]
Mahalnya biaya pendidikan tersebut mengakibatkan semakin jauhnya layanan pendidikan yang bermutu dari jangkauan masyarakat kelas bawah. Dampaknya akan menciptakan kelas-kelas sosial dan ketidakadilan sosial. Namun disadari atau tidak pendidikan di Indonesia telah terjebak dalam dunia kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah budaya sekaligus sebagai ideologi masyarakat barat, mulai sejak lahirnya sampai saat ini telah memberi pengaruh yang cukup besar terhadap segala segi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah pendidikan. Kapitalisme dan materialisme adalah bentuk dari adanya modernisasi (Firmanzah, 2012). Sehingga ketika modernisasi menjamah seluruh lapisan masyarakat, maka mau tidak mau kapitalisme dan materialisme juga ikut mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia. Akibat perubahan pola pikir ini terjadi perubahan yang sangat radikal atas cara pandang masyarakat terhadap pendidikan saat ini. Secara etimologi kapitalisme berasal dari kata kapital. Kapital berasal dari bahasa latin yaitu capitalis yang sebenarnya diambil dari kata kaput  (bahasa proto-indo-eropa) yang berarti “kepala”. Secara terminologi, kapitalisme berarti suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Menurut Karl Marx (dalam Masoed, 2002), kapitalisme adalah sebuah sistem dimana harga barang dan kebijakan pasar ditentukan oleh para pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam sistem kapitalis ini, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar demi keuntungan bersama, melainkan hanya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Lain halnya dengan Karl Marx, Adam Smith berpendapat bahwa kapitalisme adalah suatu sistem yang bisa menciptakan kesejahteraan masyarakat apabila pemerintah tidak memiliki intervensi terhadap mekanisme dan kebijakan pasar. Didalam kapitalisme ini pemerintah hanya berperan sebagai pengawas saja. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Max Weber (dalam Masoed, 2002), dimana Weber mengnggap bahwa kapitalisme ialah sebagai sebuah sistem kegiatan ekonomi yang dituju pada suatu pasar dan juga yang dipacu untuk menghasilkan laba dengan adanya pertukaran pasar.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme atau kapitalis adalah sebuah sistem ekonomi politik dimana terdapat perdagangan, industri, dan alat-alat produksi yang dikendalikan oleh pemilik modal dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Adapun ciri-ciri dari kapitalisme itu sendiri antara lain :

1.        Pengakuan yang luas atas hak-hak pribadi
2.        Kepemilikan alat-alat produksi ditanagn individu
3.        Individu bebas memilih pekerjaan atau usaha yang dipandang baik bagi dirinya
4.        Perekonomian diatur oleh mekanisme pasar
5.        Pasar berfungsi memberikan “signal” kepada produsen dan konsumen dalam bentuk harga-harga
6.        Campur tangan pemerintah diusahakan sekecil mungkin
7.        Menggerakkan perekonomian dalam mencari laba
Dalam sistem kapitalisme, penindasan tidak hanya terjadi melalui kekuasaan politik yang otoriter saja tetapi juga dapat terjadi dalam berbagai bidang. (Arief, 2006). Dalam hal ini, juga tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kapitalisme juga dapat terjadi dalam dunia pendidikan. Kapitalisme pendidikan dapat terjadi apabila prinsip kapitalisme digunakan dalam sektor pendidikan. Menurut Francis Wahono (dalam Komara, 2012),[2] kapitalisme pendidikan merupakan arah pendidikan yang dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan kapitalis tersebut. Dalam hal ini, kita dihadapkan pada pilihan antara pendidikan kompetisi ekonomi yang mencari kemenangan diri dan pendidikan keadilan sosial yang menjamin kemandirian. Pendidikan ekonomi yang mencari kemenangan diri, akan menciptakan korban yakni mereka yang kalah berkompetensi, tetapi disisi lain tetap membuahkan keuntungan fiinansial bagi yang menang.[3] Sementara, pendidikan keadilan sosial yang menjamin kemandirian akan menuntut biaya yang tidak tentu membuahkan bunga uang atau keuntungan finansial langsung, namun akan lebih mengangkat banyak orang yang mampu menentukan dirinya sendiri. Dimana dalam hal ini terdapat dua pilihan yakni:
1)        Pendidikan elitis yang meminggirkan yang miskin dan tak produktif,
2)        Pendidikan yang membebaskan, memberdayakan semua orang menurut bakat dan keterbatasannya sehingga menjadi orang realis dan kreatif.

B.            Komersialisme Pendidikan
Komersialisme Pendidikan atau Komersilisasi Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan: Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu, komersialisasi pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan.  komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.
1.         Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak memperdagangkan pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi perlu dicermati juga, karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional.
2.         Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang gedung saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolahyang menjanjikan pelayanan pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut dan lebih mementingkan laba. Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat membunuh idealisme pendidikan Pancasila. Komersialisasi ini pun telah berdampak pada tingginya biaya pendidikan.


Aspek-aspek yang Memunculkan Komersialisasi Pendidikan :
  1. Aspek Politik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke-4 , hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi  negara.[4]
  1. Aspek Budaya
Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded.
  1. Aspek Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UUNo. 20 Tahun 2003 pada bab XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak75% dan 25% lagi berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
  1. Aspek Sosial
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang, yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97) yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat golongan ekonomi lemah ?
  1. Aspek Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut sekolah-sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai tameng untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan berujar, “Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan teknologi yang dari hari ke hari semakin maju. “Oleh karena, uang masuk ataupun SPP di sekolah ataupun perguruan tinggi semakin mahal, implikasinya peserta didik yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menyanggupinya.
C.            Liberalisme Pendidikan
Liberalisme adalah faham yang menghendaki adanya kebebasan kemerdekaan individu di segala    bidang, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun agama. Liberalisme adalah suatu ideologi dan    pandangan falsafat serta tradisi politik yang mendasar pada kebebasan dan kesamaan hak.  Menurut faham  itu titik pusat dalam hidup ini adalah individu. Karena ada individu, maka masyarakat dapat tersusun, dan  karena ada individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu masyarakat atau negara harus selalu  menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Tiap-tiap Individu harus memiliki kebebasan  dan kemerdekaan dalam bidang politik, ekonomi dan agama.
Kebebasan – kebebasan paham liberalisme :
1.    Dalam bidang politik
Terbentuknya suatu negara merupakan kehendak dari individu-individu. Maka yang berhak mengatur menentukan segala-galanya adalah individu-individu itu. Dengan kata lain kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat (demokrasi). Agar supaya kebebasan atau kemerdekaan individu tetap di hormati dan dijamin, maka harus disusun dibentuk Undang-Undang, Hukum, Parlemen dan lain-lain.[5]
2.    Dalam bidang agama
Kebebasan kemerdekaan beragama menurut pendapat liberalisme dapat diartikan :
Bebas merdeka memilih agama yang disukai.
Bebas merdeka menjalankan ibadah menurut agama yang dianutnya.
Bebas merdeka untuk tidak memilih menganut masalah satu agama.
D.           Humanisme Pendidikan
Humanisme dalam arti filsafat di artikan sebagai paham filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia menempati posisi yang sangat sentral dan penting dalam hidup sehari-hari. Pendidikan yang humanis menekankan bahwa pendidikan pertama-tama dan utama adalah bagaimana menjalin komunikasi dan relasi personal antara pribadi-pribadi dan antar pribadi dan kelompok didalam komunitas sekolah.mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang menghadirkan diri sedemikian sehingga pendidik memiliki relasi bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mampu menumbuhkembangkan diri menjadi pribadi dewasa dan matang.

Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi dunia, minat dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktekan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (the learner centered teaching). Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa bahwa siswa menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagai mana adanya komunikasi dan relasi yang efektif sangat diperlukan sebab suasana komunikasi yang  efektif peserta didik akan dapat mengeksplorasi dirinya, mengembangkan dirinya dan kemudian memfungsikan dirinya dalam masyarakat secara optimal. Namun, demikian beragamnya latar belakang sumber daya sekolah baik peserta didik, guru dan sumber daya disekolah. Latar belakang pendidik secara ekonomi, budaya dan kondisi keluarga serta lingkungan disetiap sekolah membuat prestasi yang dicapai oleh masing-masing sekolah berbeda. Untuk mengatasi hal itu, dibutuhkan perlakuan sekolah (manajemen) melalui rancang bangun yang menerapkan dan membangun tingkat disiplin peserta didik dan guru. Penerapan disiplin bukan hanya sekedar reward dan punishment namun lebih jauh perlu yang dilakukan secara humanisme.



BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Liberalis merupakan paham yang mementingkan kebebasan, dan akal lebih di prioritaskan dalam mengambil tindakan. Pendidikan liberal terdiri-dari ideologi liberalisme pendidikan, liberasionisme pendidikan, dan anarkisme pendidikan. Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan, di mana keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Sementara dalam liberasionisme pendidikan, bahwa dalam pandangan kaum liberasionis, sasaran puncak pendidikan mustilah berupa penanaman pembangunan kembali masyarakat mengikuti alur yang benar-benar berkemanusiaan (humanistic). Dan anarkisme adalah sudut pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mewujudkan sepenuh-penuhnya potensi-potensi manusia yang telah dibebaskan.
Jika kita melihat dari pandangan liberalisme yang mementingkan kebebasan, dengan lebih mementingkan rasio dan mengesampingkan Al-Qur’an dan Sunnah. Ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam, karena dalam ajaran Islam, kita tidak boleh hanya menggunakan akal saja dalam mengambil tindakan, tapi disini juga berpandangan pada Al-Qur’an dan Sunnah.
B.            Saran
Dengan dibuatnya makalah ini kami harapkan audien mampu menyimak penyampaian mengenai materi yang kami sampaikan sehingga audien bisa menilai atau memberi komentar tentang kekurangan apa saja yg perlu kami perbaiki demi terciptanya makalah yang baik dan benar


DAFTAR PUSTAKA
Arifin. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
F, Wiliam O’neil. 2008. Ideologi Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR.
Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan: Tradisional (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,Postmodern. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Nurani Soyomukti,Teori-teori pendidikan: Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,Postmodern (Jogjakarta,Ar-Ruzz Media : 2010).
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara.2009).















[1] Arifin. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
[2] F, Wiliam O’neil. 2008. Ideologi Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR.
[3] Soyomukti, Nurani. 2010. Teori-teori Pendidikan: Tradisional (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,Postmodern. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
[4] Nurani Soyomukti,Teori-teori pendidikan: Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosialis,Postmodern (Jogjakarta,Ar-Ruzz Media : 2010).
[5] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara.2009).