Saturday, 15 September 2018

Apa itu Epistimologi




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya hampir mencakup isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi. Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis, maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus epistemologi dari psikologi.
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope pengetahuan. Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.
B.            Rumusan Masalah
1.        Apa itu Epistimologi ?
2.        Bagaimana Hakikat Epistimologi ?
3.        Sumber dan Metode Epistimologi Barat !
4.        Sumber dan Metode Epistimologi Islam !
C.            Tujuan
Untuk mengetahui serta memahami Sumber dan metode Epistimologi barat dan Epistimologi Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A.           PENGERTIAN EPISTIMOLOGI
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan mulai dari ontologi, epistemologi kemudian  aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau  kegunaan (aksiologi). Keterkaitan ini membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan dalam mekanisme pemikiran. Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi.[1] Seperti yang diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal ilmiah ‘Islamia’ kaitannya dengan pemikiran (hasil dari suatu aktifitas berfikir) bahwa:
”problem utama yang sangat mendasar dalam wacana pemikiran Islam yang kini tengah berkembang terletak pada epistemologi.”
Demikian halnya, ketika kita membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya, cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya didapatkan perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas berfikir dalam lingkup epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami seluk beluk epistemologi secara sistematis, yang di mulai dari defenisi, objek, tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi. Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Sebagai sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian  yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada subtansi persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu konsep.
Pembahasan konsep harus diawali dengan memperkenalkan definisi (pengertian) secara teknis, guna menangkap subtansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Sebagaimana Mujamil Qomar mengungkapkan bahwa:
“ pemahaman terhadap subtansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan suatu konsep itu biasanya terkandung dalam defenisi (pengertian).”

   Ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam memahami, apa sebenarnya epistemologi itu. P. Hardono Hadi menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. D.W. Hamlyn mendefenisikan, epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya, serta secara umum dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.

B.            HAKIKAT EPISTIMOLOGI
Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi terasa sulit, karena kita tidak dapat menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya. Secara filsafati, epistemologi adalah ilmu untuk mencari hakikat dan kebenaran ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh ilmu, dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah hierarki yang sistematis. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Jujun S. Suriasumantri, bahwa :
persoalan yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya ...”.
Epistemologi adalah problem mendasar dalam wacana pemikiran, dan sekaligus merupakan parameter yang bisa memetakan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya. Dengan demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring atau filter terhadap objek-objek pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan arah berfikir manusia. Jadi pada hakikatnya epistemologi merupakan gabungan antara barfikir rasional dan berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut dalam mempelajari gejala alam dalam menemukan kebenaran, sebab secara epistemologis ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera.
Oleh sebab itulah epistemologi adalah usaha untuk menafsir dan membuktikan bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri . Jadi hakikat epitemologi terletak pada metode ilmiah (gabungan rasionalisme dengan empirisme atau deduktif dengan induktif), dengan kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena lebih mecerminkan esensi dari epistemologi. Dari pemahaman ini memperkuat bahwa epistemologi itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.

C.            SUMBER DAN METODE EPISTIMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian, sehingga memberikan sumbangan  yang besar terhadap sains dan teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan saja dari segi wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
          “Kunci rahasia” yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun berdasarkan penalaran dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka sehingga menghasilkan temuan baru yang silih berganti, baik bersifat menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama sekali.[2]
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran  para ilmuwan di masing-masing  Negara, sehingga secara praktis mereka terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya mempersepsi terhadap pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik sadar  maupun  tidak disadari.
Oleh karena sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam mencari pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu mengenai akar dari tradisi ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui dan dipahami asal usul dari kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari pengetahuan akan tradisi ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari epistemologi Barat serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan sains dan teknologi.  
1)             Tradisi Ilmu Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari perspektif geografis, yang menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat. Sebab, Barat saat ini berada dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang membawa makna yang kompleks dan terkadang kontroversial. Saat ini barat bermakna alam pikiran dan pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan hidupnya sendiri (Worldview).
2)             Pendekatan Keilmuan Barat
Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama (ilmu sekular) merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri.
3)             Tokoh Pemikir Barat
Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan Kristen konservatif dalam bukunya Intellectuals telah membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit menolaknya sampai akhirnya Old Man and The Sea karyanya yang fenomenal dan karya terakhirnya True At First Light yang lahir di tahun yang sama dengan kematiannya, 1999.

D.            SUMBER DAN METODE EPISTIMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak pada epistemologinya. Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal, dan intuisi.
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan ilmu pengetahuan, maka membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah persyaratan untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu maksudnya tidak lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya agar sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.[3]
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, sehingga wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.[4]
1)             Tradisi Ilmu Islam
Pada 1400 tahun atau 14 abad yang lampau, telah lahir seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia, yang membawa manusia dari lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak kegemilangan yang penuh dengan cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).
2)             Pendekatan Keilmuan Islam
Konstruk epistemologi Islam dibangun di atas landasan wahyu, sehingga bersifat tawhidy. Konsep ketuhanan menjadi sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam. Dengan kata lain, dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith, akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan produk dari pemahaman (tafaqquh) terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit) dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).
Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual, subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami sebagai realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di dalamnya.
Proses terbentuknya epsitemologi Islam terlebih dahulu di awali dengan proses terbentuknya worldview Islam. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori, konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya. Menurut Wall akumulasi pengetahuan yang  disebut epistemological beliefs sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview seseorang, namun yang sangat menentukan tebentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief.

Epistemologi Islam lahir dari pandangan hidup Islam itu sendiri, sebab di dalam lapisan worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual) , sehingga pendekatan-pendekatannya pun berdasar kepada pandangan hidupnya yang bertumpu kepada metaphysical belief. Konsep ketauhidan menjadi framework di dalam mengkaji dan memahami wahyu dan realitas alam semesta ini. Adapun framework menurut Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta (afaq) sebagai objek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subjek yang mikrokosmis tersebut. Karena itu realitas alam pikiran (afaq) Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiris atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran dari wahyu. Jadi pendekatan dalam epistemologi Islam bersifat integral (tawhidy) dan holistik. Keselarasan antara subjek-objek, teks-konteks, normatif-historis, dan tidak mengenal dikotomi dan juga tidak bersifat spekulatif akal semata.[5]
 
3)             Tokoh Pemikir Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi mendapatkan predikat kehormatan yang berkualitas super atau bisa dikatakan super excellent di sisi manusia dan di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan. Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan orang yang pandai jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin dalam setiap kepribadiannya sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang ulama ahli hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah menyebut Imam Malik sayyid al muslimun, sayyid ahl madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di masanya. Ketika Malik wafat ia berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi ini orang seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari Malik maka pegangilah kuat. “Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam Malik”.


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut. Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak terkecuali antara  epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.
B.            Saran
Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing. 


DAFTAR PUSTAKA

Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, Malang: Islamic thought and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M,  filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.






 
                             







[1] Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep dan Epistemologi, Malang: Islamic thought  and Civilization (ICON) forum, 2008.
[2] Arifin, M,  filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
[3] Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani, 2006.
[4] Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.
[5] Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi: GERBANG PUBLISHING, 2008.