BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah satu cabang filsafat yang jumlah pembahasannya
hampir mencakup isi keseluruhan filsafat itu sendiri adalah epistemologi.
Sebab, filsafat adalah refleksi, dan setiap refleksi selalu bersifat kritis,
maka tidak mungkin seorang memiliki suatu metafisika, yang tidak sekaligus
merupakan epistemologi dari metafisika, atau psikologi, yang tidak sekaligus
epistemologi dari psikologi.
Ini dapat dilihat dari cakupan epistemologi yang meliputi
hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan,
batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban, dan skope
pengetahuan. Jadi, hal ini dapat juga dikatakan bahwa epistemologi adalah teori
tentang ilmu yang membahas ilmu dan bagaimana memperolehnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
itu Epistimologi ?
2.
Bagaimana
Hakikat Epistimologi ?
3.
Sumber
dan Metode Epistimologi Barat !
4.
Sumber
dan Metode Epistimologi Islam !
C.
Tujuan
Untuk mengetahui
serta memahami Sumber dan metode Epistimologi barat dan Epistimologi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
EPISTIMOLOGI
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi
dikenal sebagai sub sistem dari filsafat, yang sering dikaitkan dengan ontologi
dan aksiologi. Ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan mulai
dari ontologi, epistemologi kemudian
aksiologi. Dengan gambaran sederhana dapat dikatakan bahwa; ada sesuatu
yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannya (epistemologi),
kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi). Keterkaitan ini
membuktikan betapa sulitnya untuk menyatakan salah satu yang lebih penting dari
yang lain, karena ketiga sub ini memiliki fungsi masing-masing yang berurutan
dalam mekanisme pemikiran. Namun apabila kita membahas lebih jauh mengenai
epistemologi, kita akan menemukan betapa pentingnya epistemologi.[1]
Seperti yang diungkapkan pada salam pembuka sebuah jurnal ilmiah ‘Islamia’
kaitannya dengan pemikiran (hasil dari suatu aktifitas berfikir) bahwa:
”problem utama yang sangat mendasar dalam wacana
pemikiran Islam yang kini tengah berkembang terletak pada epistemologi.”
Demikian halnya, ketika kita
membicarakan epistemologi berarti kita sedang menekankan bahasan tentang upaya,
cara, atau langkah-langkah untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sini setidaknya
didapatkan perbedaan yang signifikan bahwa aktivitas berfikir dalam lingkup
epistemologi adalah aktivitas yang paling mampu mengembangkan kreatifitas
keilmuan dibanding ontologi dan aksiologi. Oleh karena itu, kita perlu memahami
seluk beluk epistemologi secara sistematis, yang di mulai dari defenisi, objek,
tujuan, landasan, metode, hakikat dan pengaruh epistemologi. Istilah
epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Sebagai
sub filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau
pengertian yang tidak mudah dipahami.
Pengertian epistemologi ini, cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengungkapkannya. Sehingga didapat
pengertian yang berbeda-beda, bukan saja pada redaksinya melainkan juga pada
subtansi persoalan, yang menjadi sentral dalam memahami pengertian suatu
konsep.
Pembahasan konsep harus diawali dengan memperkenalkan
definisi (pengertian) secara teknis, guna menangkap subtansi persoalan yang
terkandung dalam konsep tersebut. Sebagaimana Mujamil Qomar mengungkapkan
bahwa:
“ pemahaman
terhadap subtansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi
pembahasan-pembahasan selanjutnya yang sedang dibahas dan suatu konsep itu
biasanya terkandung dalam defenisi (pengertian).”
Ada
beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai
pijakan dalam memahami, apa sebenarnya epistemologi itu. P. Hardono Hadi menyatakan, epistemologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan,
pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan
mengenai pengetahuan yang dimiliki. D.W.
Hamlyn mendefenisikan, epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan
dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya,
serta secara umum dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki
pengetahuan.
B.
HAKIKAT EPISTIMOLOGI
Pembahasan mengenai hakikat, lagi-lagi
terasa sulit, karena kita tidak dapat menangkapnya kecuali melalui ciri-cirinya.
Secara filsafati, epistemologi adalah ilmu untuk mencari hakikat dan kebenaran
ilmu; secara metode, berorientasi untuk mengantar manusia dalam memperoleh
ilmu, dan secara sistem berusaha menjelaskan realitas ilmu dalam sebuah
hierarki yang sistematis. Epistemologi berusaha memberi definisi ilmu
pengetahuan, membedakan cabang-cabangnya yang pokok, mengidentifikasi
sumber-sumbernya dan menetapkan batas-batasnya.” Apa yang bisa kita ketahui dan
bagaimana kita mengetahui” adalah masalah-masalah sentral epistemologi.
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Jujun S. Suriasumantri, bahwa :
“persoalan yang
dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada dasarnya ...”.
Epistemologi adalah problem mendasar
dalam wacana pemikiran, dan sekaligus merupakan parameter yang bisa memetakan
apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin menurut bidang-bidangnya. Dengan
demikian epistemologi bisa dijadikan penyaring atau filter terhadap objek-objek
pengetahuan dan bisa juga menentukan cara dan arah berfikir manusia. Jadi pada
hakikatnya epistemologi merupakan gabungan antara barfikir rasional dan
berfikir secara empiris. Kedua cara berfikir tersebut dalam mempelajari gejala
alam dalam menemukan kebenaran, sebab secara epistemologis ilmu memanfaatkan
dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera.
Oleh sebab itulah epistemologi adalah
usaha untuk menafsir dan membuktikan bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain
dari diri sendiri . Jadi hakikat epitemologi terletak pada metode ilmiah
(gabungan rasionalisme dengan empirisme atau deduktif dengan induktif), dengan
kata lain hakikat epistemologi bertumpu pada landasannya, karena lebih
mecerminkan esensi dari epistemologi. Dari pemahaman ini memperkuat bahwa
epistemologi itu rumit, sebagaimana diungkapkan oleh Stanley M. Honer dan
Thomas C. Hunt bahwa “epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh kontroversi.”
C.
SUMBER
DAN METODE EPISTIMOLOGI BARAT
Barat sekarang ini telah mencapai
kemajuan yang begitu pesat, berbagai belahan dunia merasa tertarik menjadikan Barat
sebagai referensi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Barat
dianggap mampu menyajikan bebagai temuan baru secara dinamis dan varian,
sehingga memberikan sumbangan yang besar
terhadap sains dan teknologi modern. Pengaruh Barat ini makin meluas, bukan
saja dari segi wilayahnya, melainkan disamping sains dan teknologi, juga sampai
pada persoalan gaya hidup, gaya berpakaian dan sebagainya.
“Kunci rahasia”
yang perlu diungkap adalah bahwa kemajuan Barat itu disebabkan oleh pendekatan
sains dan epistemologinya. Epistemologi yang dikuasai oleh ilmuwan Barat
benar-benar dimanfaatkan untuk mewujudkan temuan-temuan baru dalam sains dan
teknologi. Tradisi untuk menawarkan teori-teori ilmiah yang dibangun
berdasarkan penalaran dan pengamatan tampak begitu subur dikalangan mereka
sehingga menghasilkan temuan baru yang silih berganti, baik bersifat
menyempurnakan temuan yang lama, temuan baru, bahkan menentang temuan lama sama
sekali.[2]
Epistemologi
yang dikembangkan ilmuwan Barat itu selanjutnya mempengaruhi pemikiran ilmuwan
di seluruh dunia seiring dengan pengenalan dan sosialisasi sains dan teknologi
mereka. Epistemologi itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran para ilmuwan di masing-masing Negara, sehingga secara praktis mereka
terbaratkan; pola pikirnya, pijakan berfikirnya, metode berfikirnya, caranya
mempersepsi terhadap pengetahun, dan sebagainya, mengikuti gaya Barat, baik
sadar maupun tidak disadari.
Oleh karena
sangat dominannya epistemologi Barat ini, maka masyarakat muslim dan seluruh
penduduk dunia ini dibentuk oleh pemikiran manusia Barat. Dalam waktu yang
bersamaan mereka tidak lagi mau mempertimbangkan epistemologi versi lain, dalam
mencari pengetahuan. Epistemologi versi lain dianggap tidak berkualitas dan
belum teruji keandalannya dalam memberikan jawaban-jawaban, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pada bahasan berikut ini akan diuraikan terlebih dahulu
mengenai akar dari tradisi ilmu Barat secara historis, sehingga dapat diketahui
dan dipahami asal usul dari kebudayaan dan peradaban Barat yang dibangun di
atas kemajuan sains dan teknologi. Selanjutnya dari pengetahuan akan tradisi
ilmu Barat tersebut, dapat pula diketahui bangunan dari epistemologi Barat
serta prinsip-prinsip yang mendasarinya sebagai pangkal pengembangan sains dan
teknologi.
1)
Tradisi Ilmu
Barat
Memaknai Barat tidak lagi relevan jika dilihat dari
perspektif geografis, yang menunjukkan suatu entitas wilayah, daerah atau
kawasan yang berada di belahan bumi bagian Barat. Sebab, Barat saat ini berada
dalam sebuah struktur konseptual pandangan hidup yang membawa makna yang
kompleks dan terkadang kontroversial. Saat ini barat bermakna alam pikiran dan
pandangan hidup dari suatu kebudayaan dan peradaban. Jadi dari kaca mata
peradaban, Barat adalah peradaban yang dibentuk dan dibangun oleh pandangan
hidupnya sendiri (Worldview).
2)
Pendekatan
Keilmuan Barat
Pemaparan mengenai epistemologi Barat menujukkan konsep
ilmu dalam peradaban Barat hampa dari Agama. Ilmu yang kosong dari Agama (ilmu
sekular) merupakan fondasi utama dari peradaban Barat saat ini. Dengan
berdasarkan uraian di atas bahwa epistemologi Barat berangkat dari
praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa
didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan
nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulakan oleh al Attas
epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran
itu sendiri.
3)
Tokoh Pemikir
Barat
Paul Johnson, jurnalis dan sejarawan Kristen konservatif
dalam bukunya Intellectuals telah
membongkar perilaku menyimpang para pemikir besar Barat sebagai produk dari
epistemologi Barat yang hampa dari agama dan moralitas. Adalah Ernest Hemingway
seorang sastrawan yang memeiliki daya serap publik lebih besar dengan karyanya
yang bertumpuk-tumpuk, mulai dari Three
Stories & Ten Poems karya pertamanya yang banyak penerbit menolaknya
sampai akhirnya Old Man and The Sea
karyanya yang fenomenal dan karya terakhirnya True At First Light yang lahir di
tahun yang sama dengan kematiannya, 1999.
D.
SUMBER
DAN METODE EPISTIMOLOGI ISLAM
Pembahasan epistemologi Islam sangat
penting untuk dibahas, sebab problem mendasar dalam pemikiran Islam terletak
pada epistemologinya. Gagasan epistemologi Islam itu brtujuan untuk memberikan
ruang gerak bagi umat muslim pada khususnya, agar bisa keluar dari belenggu
pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan epistemologi
Barat. Dikalangan pemikir muslim menawarkan “segala sesuatu” berdasarkan
epistemologi Islam. Di dalam Islam epistemologi berkaitan erat dengan
metafisika dasar Islam yang terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadist, akal,
dan intuisi.
Kalaulah disepakati, bahwa peradaban
Islam dalam sejarahnya bangun dan tegak brbasiskan ilmu pengetahuan, maka
membangun kembali peradaban Islam yang sedang nyaris lumpuh adalah dengan menegakkan
kembali bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu dalam Islam adalah persyaratan
untuk menguasai dunia dan akhirat. Menegakkan bangunan ilmu maksudnya tidak
lain adalah untuk mengarahkan kembali pemikiran atau pola pikir manusianya agar
sejalan dengan prinsip-prisip ilmu pengetahuan dalam Islam.[3]
Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan
Islam adalah wahyu Tuhan ditempatkan di atas rasio. Wahyu memperoleh kedudukan
yang paling tinggi dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam, sehingga
wahyu dijadikan sebagai sumbet kebenaran mutlak suatu kebenaran. Jadi rusaknya
keberagamaan umat Islam lebih karena rusaknya pemikiran dan hancurnya peradaban
Islam karena hancurnya bangunan ilmu pengetahuan.[4]
1)
Tradisi Ilmu
Islam
Pada 1400 tahun atau 14 abad yang lampau, telah lahir
seorang Maha Guru, guru dari sekalian manusia, yang membawa manusia dari
lembah kegelapan, kenistaan menuju suatu puncak kegemilangan yang penuh dengan
cahaya keridhaan. Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang
pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan Romawi.
Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas baru
yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun
sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah
tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.
Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam
rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu
membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya
akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu
Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut
bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).
2)
Pendekatan
Keilmuan Islam
Konstruk epistemologi Islam dibangun di atas landasan
wahyu, sehingga bersifat tawhidy.
Konsep ketuhanan menjadi sentral utama dari pembahasan epistemologi Islam.
Dengan kata lain, dalam Islam, epistemologi berkaitan erat dengan struktur
metafisika dasar Islam yang telah terformulasikan sejalan dengan wahyu, hadith,
akal, pengalaman dan intuisi. Ini berarti bahwa ilmu dalam Islam merupakan
produk dari pemahaman (tafaqquh)
terhadap wahyu yang memiliki konsep-konsep yang universal, permanen (thawabit) dan dinamis (mutaghayyirat), pasti (muhkamat) dan samar-samar (mutashabih), yang asasi (usul) dan yang tidak (furu’).
Oleh sebab itu pemahaman terhadap wahyu tidak dapat
dilihat secara dikhotomis: historis-normatif, tekstual-kontekstual,
subyektif-obyektif dan lain-lain. Wahyu, pertama-tama harus difahami sebagai
realitas bangunan konsep yang membawa pandangan hidup baru. Realitas bangunan
konsep ini kemudian harus dijelaskan dan ditafsirkan agar dapat dipergunakan
untuk memahami dan menjelaskan realitas alam semesta dan kehidupan ini. Karena
bangunan konsep dalam wahyu yang membentuk worldview itu sarat dengan
prinsip-prinsip tentang ilmu, maka epistemologi merupakan bagian terpenting di
dalamnya.
Proses terbentuknya epsitemologi Islam terlebih dahulu di
awali dengan proses terbentuknya worldview Islam. Worldview terbentuk dari
adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori,
konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang sepanjang
hidupnya. Menurut Wall akumulasi pengetahuan yang disebut epistemological
beliefs sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview seseorang, namun
yang sangat menentukan tebentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief.
Epistemologi Islam lahir dari pandangan hidup Islam itu
sendiri, sebab di dalam lapisan worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual) , sehingga
pendekatan-pendekatannya pun berdasar kepada pandangan hidupnya yang bertumpu
kepada metaphysical belief. Konsep
ketauhidan menjadi framework di dalam mengkaji dan memahami wahyu dan realitas
alam semesta ini. Adapun framework menurut Alparslan, tidak hanya berurusan
dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis.
Artinya, bagaimana data dan fakta itu dipahami. Dalam
Islam realitas (haqiqah) data dan
fakta (afaq) sebagai objek kajian
harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subjek yang mikrokosmis tersebut. Karena itu
realitas alam pikiran (afaq) Muslim
bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika
diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk
spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiris atau intuisionistis,
tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran dari wahyu. Jadi
pendekatan dalam epistemologi Islam bersifat integral (tawhidy) dan holistik. Keselarasan antara subjek-objek,
teks-konteks, normatif-historis, dan tidak mengenal dikotomi dan juga tidak
bersifat spekulatif akal semata.[5]
3)
Tokoh Pemikir
Islam
Dalam Islam, seorang yang memiliki pengetahuan yang luas
dan dalam, serta kesalehan pribadi yang tinggi mendapatkan predikat kehormatan
yang berkualitas super atau bisa dikatakan super excellent di sisi manusia dan
di sisi Tuhannya yang Maha Menciptkan. Pribadi tersebut diistilahkan dengan ‘Ulama’. Seorang tidaklah dikatakan
orang yang pandai jikalau ia belum mengamalkan ilmunya. Artinya tidak tercermin
dalam setiap kepribadiannya sebagai seorang yang ahli ilmu.
Adalah Malik bin Anas (180 H/796 M), seorang ulama ahli
hadist periode awal yang menetap di Madinah. Sufyan bin Uyaynah menyebut Imam
Malik sayyid al muslimun, sayyid ahl
madinah. Ia juga mengibaratkan Imam Malik sebagai lampu penerang, hujjah di masanya. Ketika Malik wafat ia
berkata, “Tidak ada orang seperti dia, tidak tertinggal di bumi ini orang
seperti dia”. Imam Syafi’i mengatakan, “Apabila kamu menerima athar dari Malik maka pegangilah kuat.
“Ini menunjukkan kualitas pribadi dan intelektual Imam Malik”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu
menempati ruang yang sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah
kebudayaan bangsa atau peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh
epistemologinya masing-masing dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut.
Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban
memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak
terkecuali antara epistemologi Islam dan
Barat. Yang tentunya juga secara spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda
pula.
B.
Saran
Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya
yang sangat jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing
sebagai elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain
itu, uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman
bahwa substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan
kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi
yaitu epistemological belief yang
terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang kemudian menentukan corak dari
epistemologinya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Islamisasi Ilmu Konsep
dan Epistemologi, Malang: Islamic thought
and Civilization (ICON) forum, 2008.
Arifin, M, filsafat pendidikan islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1991.
Armas, Adnin, Diktat Matakuliah : Dewesternisasi Dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan, Disampaikan
pada kuliah Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2007.
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen
Barat Dalam Studi Islam Di Perguruan Tinggi,
Jakarta: Gema Insani, 2006.
Handono, Irena, Menyingkap Fitnah Dan Teror, Bekasi:
GERBANG PUBLISHING, 2008.