IBU
Pagi ini Risa
berangkat ke sekolah dengan semangat. Sebelum berangkat tidak lupa iya pamit
pada Ayahnya yang sedang membaca Koran di depan teras, “Yah Risa pergi sekolah
dulu ya. Hari ini hari terakhir di sekolah sebelum kelulusan minggu depan.”
Ayah membalas pamitan Risa dengan senyuman, dan menjawab, “Ya sudah hati-hati
ya Nak. Jangan pulang terlalu lama, hari ini ada tamu mau bertemu dengan mu.”
Risa penasaran siapa tamu yang dimaksud Ayah, “Siapa yang mau datang Yah?” Ayah
tidak menjawab dan malah menyuruh Risa untuk segera berangkat sekolah dan
mengingatkan kembali agar jangan pulang terlalu lama. Selama di sekolah Risa
penasaran siapa tamu yang Ayah maksud. Itulah sebabnya setelah semua urusan di
sekolah selesai, Risa segera menuju ke rumah dengan hati bertanya-tanya
siapakah tamu yang ingin menemuiku. Sesampainya di rumah, Risa langsung disapa
oleh seorang wanita. “Halo Risa, perkenalkan nama tante Mia. Tante adalah teman
Ayah kamu.” Risa perlahan-lahan mencerna siapa dan untuk apa Tante Mia datang
ke rumahnya. Apakah tante Mia ini tamu yang dimaksud oleh Ayah.
Risa kemudian
menyapa kembali tante Mia dengan “Halo tante, aku Risa. Ayah ada di mana ya
tante?” Tante Mia menjawab, “Ayah kamu sedang di belakang membantu tante
menyiapkan makan siang. Kami sudah menunggu Risa sejak tadi.” Aku kemudian
beranjak menuju meja makan dan akhirnya bertemu dengan Ayah. Ayah memeluknya
lalu kembali memperkenalkan tante Mia lagi. “Risa, ini tante Mia teman Ayah.”
Risa hanya menganggukan kepala sekali lagi dan kembali memikirkan apa maksud
Ayah memperkenalkan tante Mia padanya. Apakah Ayah ingin menggantikan posisi
Ibu dengan Tante Mia? Memikirkan hal tersebut aku seketika menjadi sedih dan
tidak bersemangat. Aku tidak mungkin mengecewakan Ayah dengan tidak ikut makan
siang bersama. Tapi aku merasakan perasaan yang sangat sedih ketika memikirkan
apakah benar Ayah ingin menggantikan posisi Ibu dengan orang lain. Tidak lama
selesai makan siang, tante Mia kemudian pamit pulang. Ayah mengantarkannya ke
luar dan aku mengunci diriku di kamar. Setelah beberapa saat, Ayah menghampiri
pintu kamarku. Ayah mengetuk pintu beberapa kali, namun aku tidak ingin
berbicara dengan Ayah dahulu. Aku masih belum mengerti kenapa harus ada orang
lain yang menggantikan posisi ibu.
Tanpa aku sadari
Ayah mengajakku berbicara dari balik pintu. Ayah berkata, “Risa, Ayah tahu kamu
pasti kaget dengan kedatangan tante Mia hari ini. Tapi Ayah ingin kamu tahu
kalau tante Mia itu baik dan Ayah ingin tante Mia membantu Ayah menjaga dan
membesarkan kamu.” Aku menangis mendengar pengakuan Ayah. Aku pun menjawab Ayah
sambil menangis, “Tapi Risa tidak mau siapapun menggantikan Ibu, yah.” Ibu
memang sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu, tepat saat aku berumur 12
tahun. Saat itu aku dan ayah sangat terpukul dengan kematian ibu. Aku tidak
pernah menyangka bahwa ayah akan secepat ini mencari pengganti ibu. “Tante Mia
tidak menggantikan Ibu, Nak. Tante Mia ada untuk membantu membesarkan kamu.
Banyak hal yang tidak ayah ketahui dalam membesarkan kamu menjadi seorang
wanita dewasa. Ayah harap kamu bisa mengerti nak.” Ucap ayah lagi kali ini.
Akupun menyadari ada banyak hal yang harus aku mepertimbangkan. Ayah sudah
bersusah payah selama tiga tahun terakhir bekerja sekaligus membesarkanku
sendirian. Aku harus mengerti ayah dan aku pun membuka pintu kamarku. “Ayah aku
mengerti perasaan Ayah. Jika memang tante Mia adalah pilihan terbaik untuk
Ayah, Risa tidak akan menolaknya. Risa tahu Ibu juga bahagia ketika Ayah
bahagia dan Risa bahagia.” Aku memeluk ayah sambil menangis. Aku yakin Ibu
mengerti dan tidak akan merasa tergantikan. Ibu tetap anda di hati kami. Ibu
tetap hidup di hati kami. Aku dan Ayah sayang Ibu.
ANTARA
BULPEN, AKU, DAN CINTA
Bagiku hari
ini adalah hari yang paling membahagian. Bagaimana tidak, di hari pertama aku
masuk sekolah, aku diajak kenalan oleh seorang wanita. Sungguh aku malu sekali.
Aku tak bisa menolaknya, karena aku adalah anak pindahan dari sekolah sebelah.
Jujur, aku tidak pernah mempunyai teman wanita semenjak SD. Aku bingung harus
bagaimana saat dia menjulurkan tangan dan meberitahukan namanya sembari berkata
“namaku Dewi, salam kenal” Dengan polosnya aku juga mengenalkan diriku, Miqdad.
Setelah berjabat tangan dia langsung pergi dan tak memedulikanku. Tapi dengan
diriku sendiri, aku tidak bisa bergerak setelah jabatan itu terlepas. Tubuhku
gemetaran dan aku bingung mau berbuat apa.
Aku paksa kaki
ini melangkah masuk kelas dan berusaha berbuat sebiasa mungkin, jangan sampai
kekonyolan terlihat banyak murit di kelas. Bisa-bisa aku akan hanya menjadi
bahan tertawaan. Saat itu, bel berdering menandakan pelajaran pertama dimulai.
Aku duduk dibangku paling belakang, berharap tidak ada yang melihatku. Aku
masih belum terbiasa dengan murit-murit di sini. Bu guru juga menyuruhku
perkenalan di depan kelas. Aku memperkenalkan diriku singkat dan bergegas
menuju tempat dudukku lagi. Aku tak begitu memedulikan sekitar, aku hanya
menatap buku kosong dan berusaha tidak melakukan hal yang membuat perhatian
anak-anak menuju padaku.
Seketika itu
bu guru membuka materinya dan aku pun melihat ke depan. Tanpa ku sadari,
setelah aku melirik sedikit bangku kiriku, ternyata dia adalah wanita yang
mengajakku kenalan tadi. Aku semakin gemetaran, kenapa sih cewek ini kok bisa
pas ada di bangku paling belakang, di sampingku lagi. Kenapa dia gak duduk di
depan saja, kenapa pas ketika aku masuk di hari pertama. Gerutuku dalam hati.
Pas guru menyuruh kami untuk mencatat, aku pun merombak tas ku dan mencari pena
yang aku sudah siapkan. Aku merogok tas ku sampai terdalam, ternyata bulpen
yang telah aku siapkan dari tadi malam lupa aku masukan tas. Akhirnya aku
meminjam pulpen temanku laki-laki di bangku sebelah.
“bro pinjem bulpen dong, aku
lupa gak bawa nih”
“wah aku cuma punya satu” kata
temenku.
Aku berusaha meminjam ke bangku
depan. Ternyata dia juga gak punya.
Malahan dia menyarankan untuk
pinjam ke temen perempuan.
“itu tu pinjem Dewi aja, dia
punya banyak bulpen.”
Whatt ..?, Sebetulnya hari ini
kenapa sih, kenapa coba kok pas banget. Ketemu sama cewek la, sebelahan la,
sekarang aku harus pinjam bulpen. Karena terpaksa aku pinjam kepada cewek yang
disebelahku, pun juga aku seorang murit baru, aku tidak mau tiba-tiba dianggap
murit yang jelek karena tidak mencatat, dan yah aku bilang kepadanya,
“eh pinjem bulpen dong” kataku
sambil malu-malu.
“ohh bulpen, bentar ya”
Dia mengeluarkan wadah pensilnya
dari samping, dan kulihat ada mungkin sepuluh bulben yang berbeda warna dan
jenisnya. Wih banyak banget nih anak bulpennya, kataku dalam hati.
Seketika itu tangannya menjulur
memberi bulpen yang warna pink, aku pun langsung menangkapnya. Lalu bilang
padanya,
“kok pink yang lain kan ada, itu
aja tuh yang hitam”
“oh gak suka ya, ya udah sini”
Dia mengambilnya kembali sambil
memberikan yang baru yang aku minta. Saat itu juga tangannya menjulur dan aku
hendak mengambilnya lalu tangannya kembali sambil mendekap bulpen tersebut.
“kalo ini jangan ah, kan ini
pemberian ibu ku dari Malaysa.”
“ya udah yang lain saja” kataku.
Dia memberikan yang warna biru,
aku pun hendak meraihnya. Tapi lagi-lagi dia menggugurkan niatannya.
“ini juga jangan ah, ini juga
susah belinya gak ada di sini”
Aku mulai kesal.
“yang ini aja” katanya.
Aku pun mengambilnya dengan
sedikit malas, tapi sekali lagi, dia memberi harapan palsu. Tanganku yang sudah
ingin merainya dianya dengan sergap mendekap pulpen yang hendak iya berikan.
Aku benar-benar kesal sekarang.
“aghh.. ya udah yang mana saja
napa sih, ini sudah ketinggalan jauh nulisnyaaa..”
Dia pun tertawa kecil seraya
memberikan bulpen yang mana saja dan aku sudah tak memperhatikan warna yang dia
berikan. Aku pun segera menulis ketinggalanku.
Sekilas, aku teringat kejadian
itu di rumah. Di dalam kamar yang sunyi sendiri ini, aku membanyangkan kejadian
tadi pagi. Menurutku itu adalah hal terindah sepanjang hidupku.
Kring .. Kring .. (Dering hp
berbunyi)
Aku membuka sms dan membaca
pesan tersebut. Di sana bertuliskan
“Hai Miq, ini Dewi”
Haaaaaa ….???
Ini ada apa sih, kenapa cobak
kok bisaaa …
Dia tahu nomerku dari mana, kita
tak membicarakan tentang nomer tadi pagi, aku juga ngobrolnya nggak banyak sama
dia. Kenapa sih dia bikin degdegan terus, baru saja memikirkannya kok
bisa-bisanya ada SMS langsung dari dia.
Aku pun bingung dan tak
membalasnya. Tapi tak lama setelah itu, hp_ku berdering lagi.
“Datang ke sekolahan sekarang!”
Ya Tuhaann..
Ini cobaan macam apaaa??
Baru saja kenal, kok dia sok
akrab begitu, apa salahku Ya Tuhann..
Kenapa juga
aku harus mempercayainya, bisa jadi itu nomer nyasar. Kenapa juga aku harus
menuruti perintahnya. Dia bukan siapa-siapaku, mungkin teman tapi belum cukup
akrab, kita juga baru kenal tadi pagi. Tapi karena aku yang tak tega
meninggalkan perempun sendiri apa lagi malam seperti ini maka aku berangkat ke
sekolahan. Kebetulan jarak rumahku dengan sekolah tak terlalu jauh. Datanglah
aku dan mendapatinya sedang menunggu di depan pintu kelas. Ada kursi panjang di
sana dengan cahaya lampu jalan kuning remang-remang. Sekolahku memang pinggir
jalan dan dekat dengan rumah warga.
Aku menghampirinya.
“nih bukumu yang ketinggalan.”
Kata dia.
“ohh iya makasih” jawabku dengan
malu-mulu.
Aku bingung mau berkata apa, aku
pun menjawab dengan ala kadarnya. Ternyata aku baru paham dia mendapatkan
nomerku dari buku milikku yang ketinggalan.
“lain kali bawa bulpen, dan
jangan sampai meninggalkan buku di meja guru. Karena kau bisa menurunkan citra
baiku sebagai ketua”
“hehe, iya maap” jawabku
singkat.
Malam itu kita
membicarakan banyak hal. Aku juga belajar banyak darinya, dari apa saja yang
harus aku persiapkan, aku harus membawa apa saja, guru mana yang biasanya
terlihat seram dan menjengkelkan dan lain sebagainya. Sejak hari itu aku dan
Dewi menjadi teman akrab. Setiap hari kita saling menghubungi lewat SMS dan
kalian tau apa yang lebih membahagiakan?