SEPOTONG
SENJA UNTUK PACARKU
Sastra, merupakan hasil perenungan pengarang
terhadap fenomena yang ada. Merupakan pandangan pengarang terhadap lingkungan
sosial yang berada di sekelilingnya melalui ungkapan bahasa yang membentuk
kalimat-kalimat indah. Sastra sebagai suatu karya di mana ia memiliki
pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekadar cerita khayal atau angan
dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali
dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya.
Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang
bersifat imajinatif, atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan
berguna yang menandakan hal-hal lain (Taum).Sastra juga adalah
karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan
yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik antara aspek kebahasaan maupun
aspek makna. (Mukarovsky, E.E. Cummings, dan Sjklovski)
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh beberapa
ahli mengenai sastra, bahwa sebuah karya atau sastra mempunyai sifat
imajinatif berdasarkan kekreatifan dan luapan emosi yang spontan. Yang mana
luapan emosi tersebut biasa diwujudkan dalam bentuk kalimat-kalimat bernilai
estetik. Banyak jenis karya yang termasuk dalam sastra, di antaranya berupa;
puisi, novel, cerpen, dan lain sebagainya.
Dari beberapa jenis karya yang termasuk dalam
sastra itu adalah cerpen. Cerpen yang dari kepanjangan katanya adalah cerita
pendek, berasal dari dua kata yaitu cerita yang artinya tuturan tentang
bagaimana terjadinya sesuatu hal dan pendek berarti kisah yang diceritakan
pendek (tidak lebih dari 10.000 kata) yang memberikan kesan dominan dan
memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam ceritanya. Menurutnya tidak ada
cerpen yang panjangnya sampai 100 halaman (KBBI). Cerpen
merupakan cerita fiktif atau tidak benar-benar terjadi akan tetapi bisa saja
terjadi kapanpun dan dimanapun yang mana ceritanya relatif pendek (Sumardjo
dan Saini).
Salah satu cerpen yang begitu sensasional dan
imajinatif adalah cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno
Gumira Ajidarma.
Seno Gumira Ajidarma (lahir di Boston,
Amerika Serikat, 19
Juni1958; umur 58 tahun) adalah penulis dari generasi baru di sastra
Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama
Malam, Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku,
Biola tak Berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi
di Kamar Mandi, dan Negeri Senja. Seno sangat tertarik
puisi-puisi karya Remy Sylado di majalah
Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Teman-teman
Seno mengatakan Seno sebagai penyair kontemporer. Seno tertantang untuk
mengirim puisinya ke majalah sastra Horison.
Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater.
Pada usia 19 tahun, Seno bekerja sebagai
wartawan, menikah, dan pada tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan
sinematografi. Dia menjadi seniman karena terinspirasi oleh Rendra
yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. Sampai
saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media
massa
Cerpennya yang berjudul “Sepotong Senja
untuk Pacarku” pertama kali dimuat dimuat di Harian Kompas pada Minggu, 9
Februari 1991. Dan menjadi cepen terbaik pilihan Kompas pada tahun 1993. Hingga
kemudian dibukukan pada tahun 2002, dengan judul yang sama. Sepotong Senja untuk
Pacarku pun telah menarik perhatian penyuka sastra. Hingga terus-menerus
bukunya dicetak ulang kembali.
“Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah
cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh
seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Dalam cerpen dikisahkan
bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan
angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat
ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak
kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna.
Selalu tentang senja, dalam cerita itu, sang
tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh dalam sakunya.
Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh
polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia
menyelip-nyelip dengan kecepatan tinggi bersama mobil Porsche-nya, hingga
terjerembab ke dalam gorong-gorong yang baunya amat bacin dan pesing atas saran
dari seorang gelandangan.
Dalam gorong-gorong, ia menemukan banyak
anak-anak gelandangan yang matanya sama sekali tidak memancarkan kebahagiaan,
hingga ia pun dihadapkan pada sebuah alam lain yang persis sama dengan tempat
di mana ia memotong senja. Namun, alam itu terasa sangat berbeda, karena
baginya tidak ada manusia, tidak ada tikus, bahkan dinosaurus. Hanya ada senja
yang sama indahnya, lantas ia kerat kembali senja itu dengan bentuk lubang
seperti kartu pos yang sama seperti senja pertama.
Hingga ia kembali ke atas buminya. Tidak ada lagi
polisi. Hanya ada seorang gelandangan yang telah membantunya sedang bermain
saksofon. Ia kembali ke mobilnya dan melesat jauh. Ia kembali ke pantai, lantas
memasangkan senja dalam gorong-gorong kepada cakrawala tempat senja asli yang
pertama kali ia kerat dan pas. Lalu senja yang asli ia masukan ke dalam sebuah
amplop untuk dikirimkan pada kekasihnya, Alina. Lengkap dengan matahari, kepak
burung, laut, pantai, dan cahaya keemasan bersama salam kerinduan dari sebuah
tempat tersunyi di dunia.
Cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku” adalah
sebuah cerpen unik dan mempesona meski tak ada penggambaran tokoh yang
detail. Dalam cerita itu hanya disebut nama seorang gadis bernama Alina yang
dikirimi sepotong senja oleh tokoh aku. Bagaimana wajah Alina, apakah
berjerawat, hitam atau putih, berapa usianya, apa pakaian kesukaannya,
bagaimana rambutnya, cara berjalannya, itu tidak dijelaskan. Juga tokoh aku,
sama sekali tidak diberi penggambaran bagaimana sosok yang menjadi aku. Dalam kisahnya
sosok aku hanya terkesan seseorang yang nekat sampai harus memotong senja agar
bisa memberikan senja tersebut pada Alina, kekasihnya.
Namun ada yang lebih menonjol dari cerpen karya
Seno ini, yaitu suasana dan alur kisah yang penuh kegemparan. Imajinatif. Ya,
pada pembahasannya. dapat saya katakan bahwa cerpen “Sepotong Senja
untuk Pacarku” memiliki nilai imajinatif yang sangat tinggi. Absurd dan
tidak masuk akal tapi sangat unik. Seno sangat pandai sekali dalam memainkan
kata-kata, membuat pembaca menerawang dan bertanya-bertanya.
Dimulai oleh kata-kata indah yang membuat pikiran
menerawang seperti dalam kutipan awal cerita;
“Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong
senja dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apa
kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?”
Senja, dan selalu tentang senja. Seno banyak
sekali menggunakan kata senja sebagai latar atau pun topik pada setiap
karyanya. Khususnya dalam cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”, di sana yang
menjadi topik utamanya adalah membahas perihal senja. Yang menarik di sini
adalah, pembaca dibawa untuk berfantasi, memikirkan tentang senja namun perlu
mengeruk pikiran untuk menemukan makna dari senja yang sebenarnya.
Dalam kehidupan, senja selalu dikaitkan dengan
sebuah momen ketika matahari akan segera terbenam. Di mana cakrawala mulai
menguning bersiluet jingga di antara mega-mega, di mana itu merupakan fase
perpindahan antara terang yang akan digantikan oleh gelapnya malam. Dan senja
pun merupakan sebuah tanda bahwa matahari harus berganti dengan bulan.
Namun dalam cerpen yang dibuat oleh Seno ini,
pembaca digiring untuk menerka-nerka apa sebenarnya senja yang dimaksud oleh
Seno. Sampai-sampai sang tokoh “aku” memotong senja dan rela memperjuangkan
hidupnya untuk memberikan sepotong senja itu pada Alina, kekasihnya.
Dari situ penulis cerpen sungguh membuat pembaca
terbuai oleh senja. Di mana Senja dalam cerpen ini bersifat surealistik,
yaitu lebih mengarah pada aspek bawah sadar manusia dan nonrasional atau di
luar realitas kenyataan. Lihat kutipan berikut:
...
Maka kupotong senja itu sebelum terlambat,
kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu
keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
...
Dalam realitas kehidupan, senja tidak bisa dipotongdan
dimasukkan dalam saku. Namun, Seno dalam cerpennya ini menganggap
bahwa itu sebagai hal yang masuk akal.
Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat
orang-orang datangberbondongbondong. Ternyata mereka menjadi gempar karena
senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang,
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan
tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu
kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya
lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku.
Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomernya! Catat nomernya!”
Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku
tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya
untukmu saja, Alina. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku.
...
Begitulah, Seno memanfaatkan senja dan
mempermainkan logika. Senja telah hilang dan cakrawala berlubang sebesar kartu
pos karena telah diambil tokoh aku guna dipersembahkan kepada pacarnya. Cerpen
ini terkesan serius walau pembaca menganggapnya tak masuk akal. Pembaca seolah
dibuat berdebar dan ikut merasakan keseriusan tokoh “aku” yang dikejar-kejar
semua orang yang merasa kehilangan senja.
Saya sudah berkali-kali membaca cerpen yang
berisi tentang senja ini. Berkali-kali juga saya dibuat menerawang membayangkan
setiap untaian kalimat demi kalimat yang berpadu dengan indah dalam cerita.
Namun, tetap saja saya belum bisa menemukan makna yang tetap dalam menentukan
apa sebenarnya senja yang dimaksud oleh Sang Prosais Seno Gumira ini.
Dalam konteks keilmuan, ketika akan membahas atau
mencari sebuah makna dari cerpen kita harus memerhatikan tanda atau lambaang
yang mana itu berdasarkan pada teori semiotik. Pelopor ilmu semiotik ada dua
yaitu; Ferdinand de Saussare dan Charles Sanders Peirce. Teori
Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia dapat
mewakili sesuatu yang lain. Tanda yang mewakilinya disebut representamen
(referent).
Senja dalam cerpen karya Seno ini bisa dikatakan
sebagai tanda yang mewakili sesuatu yang lain. Senja yang menjadi senja yang
lain. Yang jelas, makna senja yang lain dari senja dalam cerpen ini bukanlah
kata-kata, melainkan hal yang lebih indah. Sebagaimana dalam kutipan;
….
Kukirimkan sepotong senja untukmu Alina,
bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan
langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama
seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik
cakrawala.
……
Sekali lagi, saya dibuat bertanya-tanya dengan
makna senja yang sebenarnya dari cerpen ini. Di satu sisi saya berpikir
apakah senja itu adalah kerinduan tokoh aku pada Alina, kekasihnya? Atau senja
adalah suatu barang yang sangat indah? Yang membuat tokoh aku bisa memotongnya
lalu dimasukkanlah ke dalam saku.
Lalu perhatikan lagi kutipan ini;
………….
Sambil duduk di tepi pantai aku
berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya?
Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini
kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya
burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat
sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya
burung berkepak dan berkepak terus di sana. Aku tak habis pikir Alina, alam
seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin
jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di
atas sana orang-orang ribut kehilangan senja….
Jadi, begitulah Alina, kuambil juga senja itu.
Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga
pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku
kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku,
menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju
gorong-gorong bumiku yang terkasih.
……….
Coba pikirkan! Apakah mungkin dalam gorong-gorong
ada alam lain lengkap dengan senja yang begitu indah? Sungguh, Seno sangat
pandai bermain imajinasi juga pandai dalam membuat pembaca ikut berfantasi.
Bahkan lebih dari itu, Seno sangat apik memainkan senja. Hingga tidak bisa
dengan waktu yang sedikit pembaca mampu menyimpulkan apa makna senja yang
sebenarnya untuk pembuat cerpen.
Akhirnya, saya masih terus menimbang sambil
memutar pikiran tentang senja dalam cerpen “Sepotong Senja untuk Pacarku”
karya Seno Gumira ini. Sungguh, senja ini sangat mendistorsi akal. Membuat akal
tidak mampu untuk memahaminya. Hanya sebuah imajinasi yang dapat meraih
ketidak-masukakalan tentang senja itu. Saya sangat terpesona dengan
kalimat-kalimat yang terangkai secara rapi dalam cerpen itu.
Hingga akhirnya saya menarik sebuah poin
penting dari cerpen absurd namun begitu unik ini. “Sepotong Senja
untuk Pacarku”, membuat akal berkutat dengan kegemparan. Membuat akal
terguncang oleh ke-absurd-an. Walau sampai saat ini saya masih memikirkan
tentang makna sesungguhnya dari senja yang dimaksud dalam cerpen karya Seno
ini, namun, dapat saya tarik sebuah kesimpulan bahwa cerpen tersebut merupakan
cerpen yang sangat imajinatif.
Seno benar-benar membuktikan bahwa tidak ada yang
salah dengan imajinasi. Dan memberi pembuktian bahwa imajinasi adalah hal
terhebat yang bisa menembus segalanya. Bahkan, akal pun terbelakangi oleh
sebuah imajinasi.
Imajinasi membuat hal yang tidak mungkin menjadi
mungkin. Membuat angan terasa nyata. Membuat hal yang tidak bisa dilakukan
menjadi sangat bisa dilakukan. Tentunya, cerpen Sepotong Senja untuk
Pacarkuadalah salah satu wujud dari imajinasi yang hebat. Seno mampu membuat
imajinasi yang begitu indah dengan senjanya dalam kata-kata, hingga membuat
pembaca ikut berfantasi. Bahkan hasil dari imajinasi Seno, hasil dari kekuatan
imajinasi Seno, mampu mendistorsi akal. Membuat akal terhenti untuk bergerak.
Dan membuat imajinasi melejit di atas cakrawala.