BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku yang beraneka ragam., indonesia juga
terdiri dari banyak pulau yang disatukan dalam satu kesatua yang kita
sebut nusantara. Didalam setiap daerah tentunya memiliki karakter masing-masing
yang khas dan tak sama dengan daerah lainnya. Hal inilah juga berdampak pada Stereotip atau penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan
persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Semisal
pandangan orang jawa terhadap masyarakat kalimantan, ataupun derah lainnya yang
bukan daerahnya sendiri.
Hal ini pun terjadi pada masyarakat madura. Orang luar madura mempunyai
pandangan tersendiri terhadap karakter orang-orang madura. Meski sejauh ini
banyak yang menilai negatif orang-orang madura.
Tapi apakah benar Stereotip yang beredar di masyarakat luas mengenai karakter orang-orang madura itu
sendiri? Lewat makalh ini penulis ingin menyampaikan karakter orang orang
madura yang sebenarnya sehingga masyarakat luas dan pembaca khususnya bisa
lebih bijak meilai orang orang madura.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bisa diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa makna Stereotip?
2.
Bagaimana Stereotip masyarakat luar Madura terhadap karakter
orang Madura?
3.
Bagaimana kaitannya antara budaya Madura dengan steorotip
tentang orang Madura?
4.
Bagaimana Stereotipe
Orang Madura ?
C.
Tujuan
Untuk lebih memahami dan mengetahui apa makna dari semua
yang berkenaan tentang materi Stereotip.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Makna Stereotip
Jika kita mengutip dari Wikipedia,
steorotip mempunyai makna sebagai berikut “Stereotipe adalah penilaian terhadap
seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut
dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan
secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan
membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat
berupa prasangka positif dan juga
negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan bahwa segala bentuk stereotipe adalah negatif”.[1]
B.
Stereotip Masyarakat Luar Madura
terhadap Karakter Orang Madura
Sampai saat ini, Madura yang
diidentik dengan kekerasan masih belum bisa dihapuskan. Menurut penelitian A. Latief Wiyata, dosen FISIP Universitas Jember, memang
memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak
dapat disamakan dengan karakteristik sosbud masyarakat etnik lain. Suatu
realitas yang tidak perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura
cenderung dilihat orang luar lebih pada sisi yang negatif. Pandangan itu
berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat
Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga kepada orang lain, temperamental
atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan,
bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau
menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Hal ini memang
sudah beredar di masyarakat luas, sebagai pengalaman pribadi penulis ikut
merasakan sendiri statement seperti yang diungkapkan Latief Wiyata tersebut
saat berada di perantauan. Bermacam komentar yang saya terima, dari sangat
positif sampai yang negative. Namun yang pasti, mereka biasanya sungkan atau
menjaga jarak karena dari sepengetahuan mereka orang Madura berkarakter keras.
Hal serupa pun dialami beberapa teman saya yang juga merantai di berbagai
daerah di luar Madura. Bahkan, terkadang ada teman saya yang bertanya tentang
kebenaran akan karakter orang Madura yang keras, sebab saat dia berteman dengan
orang Madura ternyata baik bahkan melindungi. Padahal dia sendiri punya
anggapan bahwasanya karakter orang Madura itu keras, arogan bahkan suka bikin
onar. Pengalaman
ini tak hanya saya alami sewaktu bekerja di Jakarta maupun Surabaya, tapi juga
saat kuliah di malang dan notabenanya kampus tersebut merupakan minaitur
nusantara, sebab mahasiswanya terdiri dari bebagai daerah di Indonesia.
Benarkah orang Madura itu keras? Pertanyaan ini
sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri
maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang
Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari
“cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja.
Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Hal ini juga tidak terlepas dari
pemberitaan media yang mengangkat “carok” sebagai identitas orang Madura.
Meskipundalam hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang
Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan
menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya. Maka, dengan tulisan ini penulis
berharap masyarakat luas bisa lebih bijak dalam menilai karakter orang Madura.
Coba kita kembali lagi pada
Wikipedia, disitu dijelaskan bahwasanya Stereotipe jarang
sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan
sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi
kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis, semisal Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah
akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya,
tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe
itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa
dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.[2]
Saya pribadi merasa orang Madura itu
tegasbukan keras, Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan
tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini
– yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap
dan perilaku ini harus dibedakan. bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami
sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di
luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui
bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang
dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan,
santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya
sangat tinggi. Hal ini
sebenarnya sudah menjadi jawaban akan kesalahan stereotip yang beredar di
masyarakat luas.[3]
C.
Antara Budaya Madura dengan
Steorotip tentang Orang Madura
Mungkin pembaca kebingungan apa
kaitan antara budaya yang ada di Madura dengan stereotip tentang orang Madura?
Perlu diketahui budaya juga membentuk karakter masyarakat lokal. Selain itu ketika semakin kita mengenal kebudayaan orang lain,
maka semakin mudah kita mengetahui cara pandang orang yang berbudaya lain
dengan kita. Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan perilaku
manusia. Perilaku manusia dapat dibedakan dari karakternya,
karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang ada dalam
diri seseorang. Manusia dan Budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Ini karena budaya adalah hasil dari
sebuah kehidupan manusia dimana budaya tadi dibuat bersama-sama dengan manusia
yang lainnya. Hubungan budaya dan masyarakat sendiri adalah suatu sistem sosial
keseluruhan, dimana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan bahasa.
Lalu bagaimanakah dengan budaya Madura? Di
Madura sendiri banyak kebudayaan yang secara abstraksi berdampak pada karakter
orang-orang Madura.
1.
Budaya Carok
Budaya Madura memang fenomenal. Sebab carok ini seolah sudah
menjadi ikon orang Madura. Carok menjadi bagian dari karakter orang Madura
sehingga stereotip di masyarakat luas orang Madura itu keras dan arogan. Budaya
carok menjadikan image negatif orang Madura, meski disisi lain hal ini
menjadikan orang madura disegani oleh daerah lain. Memang, harga diri ataupun
rasa malu merupakan kasta tertinggi bagi masyarakat Madura, sehingga jika
berkaitan dengan itu orang Madura akan mudah marah kadang berujung pada
kekerasan. Namun hal ini merupakan pembelaan terhadap harga diri dalam
budaya Madura.
2.
Budaya Religi Madura
Pandangan hidup orang Madura tidak bisa
dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Suatu fakta
sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir seluruh orang Madura adalah penganut
agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam sudah merupakan penjatidirian
penting bagi orang Madura.
Soal keagamaan
Madura tak perlu diragukan lagi, banyak ulama yang lahir dari tanak Madura.
Begitupan pesantren yang tubuh subur dan menjadi kebanggan tersendiri bagi
masyarakat Madura. Tak heran jika saat ini Madura merupakan tujuan wisata
religi bagi wisatawan. Dari inilah kita bisa melihat karakter orang-orang Madura
yang dilahirkan dari budaya agama yang taat. Jika secara stereotip masyarakat
Madura dinilai keras, namun pada faktanya masyarakat Madura besar dalam budaya
yang taat dalam beragama sehingga memiliki sikap
halus, beretika, sopan santun, berkata lembut dan menjaga silaturahmi.
D. Stereotipe Orang Madura
Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan
terutama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan
sedemikian lama pada satu sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang
ada cukup tidak sehat. Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak
jernih. Bila yang terjadi demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat
(baik etnis, golongan, atau mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang
memunculkan prasangka yang pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari
skala paling kecil hingga yang lebih masif.[4]
Dalam sebuah penelitian tentang stereotipe etnis di
Indonesia, Profesor Suwarsih Warnaen (2002: 121) mendefinisikan stereotipe
etnis sebagai kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu
golongan etnis tentang sifat khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis
mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses
sosial yang panjang dan kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk
menjernihkan cara pandang masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok
adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin,
untuk kemudian disebarkan.
Profesor Mien Ahmad Rifai, penulis buku ini, sangat sadar
akan perlunya klarifikasi dan informasi yang jernih tentang manusia Madura,
sehingga kemudian lahirlah buku yang cukup tebal dan kaya referensi ini. Dalam
kata pengantarnya, Profesor Mien menjelaskan maksud penulisan buku ini, yakni
untuk mengisi kekosongan referensi yang memadai yang menjelaskan sosok manusia
Madura. Menurut Mien, pemahaman yang lebih baik terhadap manusia Madura akan
membantu terbentuknya keharmonisan sosial dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang memiliki masyarakat majemuk ini.
Pembahasan tentang manusia Madura dalam buku ini sangat luas
dan mendalam. Hal itu sudah cukup tergambar dari subjudul buku ini, yang
menunjukkan bahwa pembahasan tentang manusia Madura mencakup aspek pembawaan,
perilaku, etos kerja, penampilan, dan pandangan hidupnya. Aspek-aspek yang
disebutkan ini meliputi semua unsur kebudayaan manusia Madura, mulai dari
kebudayaan fisik, hingga yang berhubungan dengan aspek nilai dan pandangan
hidup.
Ada lima pokok bahasan atau sudut pandang yang digunakan
untuk membahas manusia Madura. Yang pertama, sudut pandang sejarah, di bab
kedua. Dalam bagian ini, Mien menguraikan sejarah sosial Madura sebagai sebuah
unit kebudayaan. Pokok bahasan yang kedua adalah tentang pandangan (stereotipe)
orang luar terhadap orang Madura. Dalam bab ketiga ini, dijelaskan berbagai
stereotipe tentang manusia Madura, yang berkembang sejak zaman kolonial
Belanda.[5]
Di antara stereotipe itu adalah bahwa manusia Madura cepat
tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Dalam menyusun stereotipe
itu, kadang ada upaya perbandingan dengan manusia Jawa. Digambarkan, misalnya,
bahwa baik bangsawan Madura maupun rakyat jelatanya memiliki tubuh yang tidak
seanggun orang Jawa. Tentang perempuan, digambarkan bahwa kecantikan wanita
Madura itu jauh di bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Wanita Madura
dipandang tidak anggun dan cepat tua. Dalam hampir segala hal, orang Madura
dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang Jawa. Kalaupun orang Madura
memiliki sifat-sifat positif, seperti bahwa manusia Madura memiliki tali
kekeluargaan yang erat dan moral yang tinggi, itu kemudian dipandang sebagai
konsekuensi sifat-sifat yang negatif tersebut.
Ironisnya, ketika Indonesia merdeka dan pengetahuan tentang
masyarakat Madura meningkat, stereotipe semacam ini masih tetap bertahan. Mien
menggarisbawahi, bahwa citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk
sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih
menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang
lain demi tujuan yang tak terpuji.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Stereotip merupakan penilaian terhadap seseorang hanya
berdasar penilaian terhadap kelompok. Halini memanglah lazim terjadi di
kehidupan sosial atau disekeliling kita.stereotip sendiri ada dua macam yaitu
positif dan negative, namun kebanyakan orang mengaangap stereotip ini adalah
negative.
Sama halnya stereotip masyarakat luas terhadap karakter
orang Madura yang keras, arogan dan suka bikin onar. Namun pada kenyataanya
jika benar-benar menulusuri kehiduppan masyarakat Madura, maka stereotip ini
terbantahkan. Sebab di Madura sendiri ketaatan dalam beragama begitu kuat, hal
inilah pada dasarnya yang menjadikan orang Madura mempunyai etika yang baik,
kecuali memang berhubungan dengan harga diri. Stereotip orang Madura yang keras
tidak lepas dari budaya carok yang berkat media menyebar ke seluruh nusantara.
Sehingga dampaknya masyarakat Madura dikenal dengan tukang carok
B.
Saran
Demikian makalah ini saya susun. Semoga kedepannya bisa menilai
masyarakat Madura dengan lebih bijak. Kritik dan saran saya harapkan guna
penulisan selanjutnya yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Adib,
Mohammad. 2011. Etnografi Madura. Surabaya: Departemen Antropologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Alwi,
Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).Jakarta:
Balai Pustaka.
Aminoedin,
Anis, Widodo Hs, dan E. Sadtono. 1984. Kata Tugas Bahasa Madura. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aminuddin.
1988. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Badan
Pusat Statistik. 2010. “Penduduk Indonesia menurut Desa: Hasil Sensus Penduduk
2010”,
[1] Adib, Mohammad. 2011. Etnografi Madura. Surabaya: Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
[4] Aminoedin, Anis, Widodo Hs, dan E. Sadtono. 1984. Kata Tugas
Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Badan Pusat Statistik. 2010.
“Penduduk Indonesia menurut Desa: Hasil Sensus Penduduk 2010”,