Saturday, 15 September 2018

Bagaimana Stereotip masyarakat luar Madura terhadap karakter orang Madura




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku yang beraneka ragam., indonesia juga terdiri  dari banyak pulau yang disatukan dalam satu kesatua yang kita sebut nusantara. Didalam setiap daerah tentunya memiliki karakter masing-masing yang khas dan tak sama dengan daerah lainnya. Hal inilah juga berdampak pada Stereotip atau  penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Semisal pandangan orang jawa terhadap masyarakat kalimantan, ataupun derah lainnya yang bukan daerahnya sendiri.
Hal ini pun terjadi pada masyarakat madura. Orang luar madura mempunyai pandangan tersendiri terhadap karakter orang-orang madura. Meski sejauh ini banyak yang menilai negatif orang-orang madura.
Tapi apakah benar Stereotip yang beredar di masyarakat luas mengenai karakter orang-orang madura itu sendiri? Lewat makalh ini penulis ingin menyampaikan karakter orang orang madura yang sebenarnya sehingga masyarakat luas dan pembaca khususnya bisa lebih bijak meilai orang orang madura.
B.            Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas bisa diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Apa makna Stereotip?
2.        Bagaimana Stereotip masyarakat luar Madura terhadap karakter orang Madura?
3.        Bagaimana kaitannya antara budaya Madura dengan steorotip tentang orang Madura?
4.        Bagaimana Stereotipe Orang Madura ?

C.            Tujuan
Untuk lebih memahami dan mengetahui apa makna dari semua yang berkenaan tentang materi Stereotip.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Makna Stereotip
Jika kita mengutip dari Wikipedia, steorotip mempunyai makna sebagai berikut “Stereotipe adalah penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan. Stereotipe merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Namun, stereotipe dapat berupa prasangka positif dan juga negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian beranganggapan bahwa segala bentuk stereotipe adalah negatif”.[1]
B.            Stereotip Masyarakat Luar Madura terhadap Karakter Orang Madura
Sampai saat ini, Madura yang diidentik dengan kekerasan masih belum bisa dihapuskan. Menurut penelitian A. Latief Wiyata, dosen FISIP Universitas Jember, memang memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud) khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan karakteristik sosbud masyarakat etnik lain. Suatu realitas yang tidak perlu dipungkiri bahwa karakteristik sosbud Madura cenderung dilihat orang luar lebih pada sisi yang negatif. Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah tersinggung, gampang curiga kepada orang lain, temperamental atau gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan. Bahkan, bila orang Madura dipermalukan, seketika itu juga ia akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukan tindakan balasan.
Hal ini memang sudah beredar di masyarakat luas, sebagai pengalaman pribadi penulis ikut merasakan sendiri statement seperti yang diungkapkan Latief Wiyata tersebut saat berada di perantauan. Bermacam komentar yang saya terima, dari sangat positif sampai yang negative. Namun yang pasti, mereka biasanya sungkan atau menjaga jarak karena dari sepengetahuan mereka orang Madura berkarakter keras. Hal serupa pun dialami beberapa teman saya yang juga merantai di berbagai daerah di luar Madura. Bahkan, terkadang ada teman saya yang bertanya tentang kebenaran akan karakter orang Madura yang keras, sebab saat dia berteman dengan orang Madura ternyata baik bahkan melindungi. Padahal dia sendiri punya anggapan bahwasanya karakter orang Madura itu keras, arogan bahkan suka bikin onar. Pengalaman ini tak hanya saya alami sewaktu bekerja di Jakarta maupun Surabaya, tapi juga saat kuliah di malang dan notabenanya kampus tersebut merupakan minaitur nusantara, sebab mahasiswanya terdiri dari bebagai daerah di Indonesia.
Benarkah orang Madura itu keras? Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Hal ini juga tidak terlepas dari pemberitaan media yang  mengangkat “carok” sebagai identitas orang Madura. Meskipundalam hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya. Maka, dengan tulisan ini penulis berharap masyarakat luas bisa lebih bijak dalam menilai karakter orang Madura.
Coba kita kembali lagi pada Wikipedia, disitu dijelaskan bahwasanya Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang. Berbagai disiplin ilmu memiliki pendapat yang berbeda mengenai asal mula stereotipe: psikolog menekankan pada pengalaman dengan suatu kelompok, pola komunikasi tentang kelompok tersebut, dan konflik antarkelompok. Sosiolog menekankan pada hubungan di antara kelompok dan posisi kelompok-kelompok dalam tatanan sosial. Para humanis berorientasi psikoanalisis, semisal Sander Gilman) menekankan bahwa stereotipe secara definisi tidak pernah akurat, namun merupakan penonjolan ketakutan seseorang kepada orang lainnya, tanpa mempedulikan kenyataan yang sebenarnya. Walaupun jarang sekali stereotipe itu sepenuhnya akurat, namun beberapa penelitian statistik menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus stereotipe sesuai dengan fakta terukur.[2]
Saya pribadi merasa orang Madura itu tegasbukan keras, Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan. bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang. Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Hal ini sebenarnya sudah  menjadi jawaban akan kesalahan stereotip yang beredar di masyarakat luas.[3]
C.           Antara Budaya Madura dengan Steorotip tentang Orang Madura
Mungkin pembaca kebingungan apa kaitan antara budaya yang ada di Madura dengan stereotip tentang orang Madura? Perlu diketahui budaya juga membentuk karakter masyarakat lokal. Selain itu ketika semakin kita mengenal kebudayaan orang lain, maka semakin mudah kita mengetahui cara pandang orang yang berbudaya lain dengan kita. Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan perilaku manusia. Perilaku manusia dapat dibedakan dari karakternya, karena  kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang ada dalam diri seseorang. Manusia dan Budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Ini karena budaya adalah hasil dari sebuah kehidupan manusia dimana budaya tadi dibuat bersama-sama dengan manusia yang lainnya. Hubungan budaya dan masyarakat sendiri adalah suatu sistem sosial keseluruhan, dimana para anggotanya memiliki tradisi budaya dan bahasa.
Lalu bagaimanakah dengan budaya Madura? Di Madura sendiri banyak kebudayaan yang secara abstraksi berdampak pada karakter orang-orang Madura.
1.        Budaya Carok
Budaya Madura memang fenomenal. Sebab carok ini seolah sudah menjadi ikon orang Madura. Carok menjadi bagian dari karakter orang Madura sehingga stereotip di masyarakat luas orang Madura itu keras dan arogan. Budaya carok menjadikan image negatif orang Madura, meski disisi lain hal ini menjadikan orang madura disegani oleh daerah lain. Memang, harga diri ataupun rasa malu merupakan kasta tertinggi bagi masyarakat Madura, sehingga jika berkaitan dengan itu orang Madura akan mudah marah kadang berujung pada kekerasan. Namun hal ini merupakan pembelaan terhadap harga diri dalam  budaya Madura.
2.        Budaya Religi Madura
Pandangan hidup orang Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Suatu fakta sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir seluruh orang Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura.
Soal keagamaan Madura tak perlu diragukan lagi, banyak ulama yang lahir dari tanak Madura. Begitupan pesantren yang tubuh subur dan menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat Madura. Tak heran jika saat ini Madura merupakan tujuan wisata religi bagi wisatawan. Dari inilah kita bisa melihat karakter orang-orang Madura yang dilahirkan dari budaya agama yang taat. Jika secara stereotip masyarakat Madura dinilai keras, namun pada faktanya masyarakat Madura besar dalam budaya yang taat dalam beragama sehingga  memiliki sikap halus, beretika, sopan santun, berkata lembut dan menjaga silaturahmi.

D.           Stereotipe Orang Madura

Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan sedemikian lama pada satu sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang ada cukup tidak sehat. Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak jernih. Bila yang terjadi demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat (baik etnis, golongan, atau mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang memunculkan prasangka yang pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari skala paling kecil hingga yang lebih masif.[4]
Dalam sebuah penelitian tentang stereotipe etnis di Indonesia, Profesor Suwarsih Warnaen (2002: 121) mendefinisikan stereotipe etnis sebagai kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses sosial yang panjang dan kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin, untuk kemudian disebarkan.
Profesor Mien Ahmad Rifai, penulis buku ini, sangat sadar akan perlunya klarifikasi dan informasi yang jernih tentang manusia Madura, sehingga kemudian lahirlah buku yang cukup tebal dan kaya referensi ini. Dalam kata pengantarnya, Profesor Mien menjelaskan maksud penulisan buku ini, yakni untuk mengisi kekosongan referensi yang memadai yang menjelaskan sosok manusia Madura. Menurut Mien, pemahaman yang lebih baik terhadap manusia Madura akan membantu terbentuknya keharmonisan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki masyarakat majemuk ini.
Pembahasan tentang manusia Madura dalam buku ini sangat luas dan mendalam. Hal itu sudah cukup tergambar dari subjudul buku ini, yang menunjukkan bahwa pembahasan tentang manusia Madura mencakup aspek pembawaan, perilaku, etos kerja, penampilan, dan pandangan hidupnya. Aspek-aspek yang disebutkan ini meliputi semua unsur kebudayaan manusia Madura, mulai dari kebudayaan fisik, hingga yang berhubungan dengan aspek nilai dan pandangan hidup.
Ada lima pokok bahasan atau sudut pandang yang digunakan untuk membahas manusia Madura. Yang pertama, sudut pandang sejarah, di bab kedua. Dalam bagian ini, Mien menguraikan sejarah sosial Madura sebagai sebuah unit kebudayaan. Pokok bahasan yang kedua adalah tentang pandangan (stereotipe) orang luar terhadap orang Madura. Dalam bab ketiga ini, dijelaskan berbagai stereotipe tentang manusia Madura, yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.[5]
Di antara stereotipe itu adalah bahwa manusia Madura cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Dalam menyusun stereotipe itu, kadang ada upaya perbandingan dengan manusia Jawa. Digambarkan, misalnya, bahwa baik bangsawan Madura maupun rakyat jelatanya memiliki tubuh yang tidak seanggun orang Jawa. Tentang perempuan, digambarkan bahwa kecantikan wanita Madura itu jauh di bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Wanita Madura dipandang tidak anggun dan cepat tua. Dalam hampir segala hal, orang Madura dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang Jawa. Kalaupun orang Madura memiliki sifat-sifat positif, seperti bahwa manusia Madura memiliki tali kekeluargaan yang erat dan moral yang tinggi, itu kemudian dipandang sebagai konsekuensi sifat-sifat yang negatif tersebut.
Ironisnya, ketika Indonesia merdeka dan pengetahuan tentang masyarakat Madura meningkat, stereotipe semacam ini masih tetap bertahan. Mien menggarisbawahi, bahwa citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Stereotip merupakan penilaian terhadap seseorang hanya berdasar penilaian terhadap kelompok. Halini memanglah lazim terjadi di kehidupan sosial atau disekeliling kita.stereotip sendiri ada dua macam yaitu positif dan negative, namun kebanyakan orang mengaangap stereotip ini adalah negative.
Sama halnya stereotip masyarakat luas terhadap karakter orang Madura yang keras, arogan dan suka bikin onar. Namun pada kenyataanya jika benar-benar menulusuri kehiduppan masyarakat Madura, maka stereotip ini terbantahkan. Sebab di Madura sendiri ketaatan dalam beragama begitu kuat, hal inilah pada dasarnya yang menjadikan orang Madura mempunyai etika yang baik, kecuali memang berhubungan dengan harga diri. Stereotip orang Madura yang keras tidak lepas dari budaya carok yang berkat media menyebar ke seluruh nusantara. Sehingga dampaknya masyarakat Madura dikenal dengan tukang carok
B.            Saran
Demikian makalah ini saya susun. Semoga kedepannya bisa menilai masyarakat Madura dengan lebih bijak. Kritik dan saran saya harapkan guna penulisan selanjutnya yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
 
Adib, Mohammad. 2011. Etnografi Madura. Surabaya: Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).Jakarta: Balai Pustaka.
Aminoedin, Anis, Widodo Hs, dan E. Sadtono. 1984. Kata Tugas Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Aminuddin. 1988. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Badan Pusat Statistik. 2010. “Penduduk Indonesia menurut Desa: Hasil Sensus Penduduk 2010”,





 

 







[1] Adib, Mohammad. 2011. Etnografi Madura. Surabaya: Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
[2] Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).Jakarta: Balai Pustaka.

[4] Aminoedin, Anis, Widodo Hs, dan E. Sadtono. 1984. Kata Tugas Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[5] Aminuddin. 1988. Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Badan Pusat Statistik. 2010. “Penduduk Indonesia menurut Desa: Hasil Sensus Penduduk 2010”,