Saturday, 15 September 2018

Konteks Penelitian




BAB I
PENDAHULUAN

A.           Konteks Penelitian
Wanita sebagai warga negara maupun sumber daya insani mempunyai kedudukan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang. Peranan wanita sebagai mitra sejajar pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertaqwa, sehat, serta untuk pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, dalam Program Pembangunan Nasional pada tahun 2000-2004 ditentukan Program Peningkatan Kualitas Hidup Wanita, yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita sebagai individu,yaitu baik sebagai insan dan sumber daya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang, sebagai makhluk sosial yang merupakan agen perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.[1] Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas dan peranan wanita terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya. Perkembangan dunia modern dewasa ini, banyak kaum wanita muslimah yang aktif di berbagai bidang, baik pegawai sipil, karyawati, dan juga pegawai bank. Tidak menutup kemungkinan, hampir di setiap sektor kehidupan umat manusia, wanita muslimah sudah terlibat, bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Wanita karier adalah wanita sibuk, wanita kerja yang waktu di luar rumah kadang-kadang lebih banyak dari pada di dalam rumah. Demi karier dan prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. “waktu adalah uang” merupakan motto mereka sehingga waktu satu detikpun sangat berharga. Persaingan yang ketat antar sesamanya, rekan-rekan antar sesamanya dan rekan-rekan seprofesinya, memacu mereka untuk bekerja keras. Mereka mau tidak mau harus mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga, demi keberhasilan dalam keadaan demikian, jika wanita karier tersebut seoarang wanita muslimah yang tiba-tiba di tinggal mati oleh suaminya atau bercerai, aktivitasnya di hadapkan kapada ketentuan agama yang disebut iddah dan ihdad.[2]
Agama Islam mengatur hubungan pria dan wanita dalam koridor pernikahan. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Penangguhan waktu itu bisa disebut dengan masa Iddah, sedangkan alasan penangguhan waktu adalah berkabung atau yang disebut dengan Ihdad.[3] Iddah adalah menghitung hari-hari dan masa bersih seorang perempuan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim, untuk menjaga agar jangan sampai terjadi percampuran/ kekacauan nasab bagi anak yang dilahirkannya. Hikmah yang bisa diambil dari masa Iddah ini adalah untuk mewujudkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam kehidupan manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam beribadah kepada Allah itu jangan sampai mudah untuk diputuskan. Hal ini sesuai dengan dalil Al-Quran Surah Al-Ahzab ayat 49. Iddah dibagi menjadi tiga yaitu Iddah karena talak, Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya, Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, iddah wanita hamil, dan Iddah wanita khulu.[4]
Wanita di berikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan yang bertujuan untuk membuat dia lebih baik, dihadapan agama maupun masyarakat. Salah satu dari sekian banyak kegiatan itu adalah wanita dibolehkannya beraktifitas diluar lumah dengan izin wali atau dengan kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain wanita karier.
Wanita, mau tidak mau harus mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga demi keberhasilan. Dalam keadaan demikian, jika wanita tersebut adalah seorang wanita muslimah yang tiba-tiba di tinggal mati oleh suaminya, maka aktifitasnya dihadapkan ketentuan agama yang disebut ihdad. Para Ulama kecuali Al-Hasan- telah sepakat bahwa wanita muslimah yang merdeka wajib berihdad jika ia ditinggal mati oleh suaminya.[5]
Dalam keadaan Iddah, wanita tidak boleh bersolek dan memakai pakaian atau perhiasan yang dapat menarik minat dan perhatian lawan jenisnya. Disamping itu ia tidak boleh keluar rumah. Waktu masa Iddah ada 5 macam yaitu iddah perempuan karena talak, iddah wanita ditinggal mati suaminya, iddah wanita yang belum di campuri suaminya, iddah wanita hamil, dan iddah wanita khulu cukup lama, yaitu empat bulan sepuluh hari (selama masa ihdad karena kematian suami),[6]
Sebagaimana wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Sumenep, masih ada sebagian wanita karir yang melanggar larangan-larangan yang terdapat pada masa Iddah. Mereka belum menyelesaikan masa iddah tapi sudah melakukan aktifitas (keluar rumah) demi tuntutan profesinya, melihat pentingnya masa iddah bagi wanita membuat peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan tentang meninggalkan masa iddah di wilayah Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Sumenep. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk mengangkat judul penelitian “Pandangan Masyarakat tentang Profesi Wanita karier yang dalam masa Iddah Di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Sumenep”
  



B.            Fokus Penelitian
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana Pandangan Masyarakat tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep?

2.      Bagaimana Pandangan hukum Islam tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep?
C.           Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan penelitian tentu mempunyai arah dan tujuan tertentu, demikian pula halnya dalam menyusun proposal skripsi ini berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis diantaranya adalah:

1.      Untuk mengetahui Pandangan Masyarakat tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.

2.      Untuk mengetahui Pandangan hukum Islam tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
D.           Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1.             Bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, hasil penelitian ini akan menjadi salah satu sumber kajian bagi mahasiswa baik sebagai pengembangan materi perkuliahan pada mata kuliah fiqih.

2.             Bagi peneliti, merupakan salah satu keberhasilan penelitian yang akan menjadi salah satu pengetahuan dan pengalaman yang akan memperluas pengembangan intelektual dan wawasan pengetahuan untuk masa yang selanjutnya mengenai permasalahan hukum yang berkembang saat ini.
E.            Definisi istilah
Untuk menghindari kesalah pahaman dan perluasan pemahaman yang menjadikannya keluar dari konteks penelitian dalam menginterpretasikan isi dari pada peneliti ini, maka peneliti terlebih dahulu akan menjelaskan arti dari masing-masing kata yang ,mendukung judul penelitian ini, yaitu:
1.             Iddah berasal dari kata Ahadda, dan bisa pula disebut Al-Hidad yang di ambil dari kata Hadda. Secara etimologis berarti Al-Manu (cegahan atau larangan).
2.             Karier berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Karier berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Kata wanita dan karier disatukan, maka kata itu berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran, dan sebagainya).













BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.           Pengertian Cerai
1.             Definisi Perceraian
Pengertian perceraian menurut bahasa adalah berasal dari kata bahasa Arab قققلاط ققلطي ققلط yang artinya “melepaskan” atau “meninggalkan”. Dalam istilah fiqih berarti pelepasan ikatan perkawinan, yakni perceraian antar suami-istri.[7]
Perceraian dalam fiqih islam dipakai istilah at-tholaq dan al-furqoh. Dengan demikian kata cerai sinonim dengan kata at-tholaq. Kata tholaq dalam bahasa arab berasal dari kata yang قلاط لطي لط yang berarti melepas, membuka ikatan, atau mencerai. Sedangkan “al-furqo” berasal dari kata ققق ف  ققفي          ققف yang artinya ialah :
صىصقم ظفلب هلح ن صقووا كىلا ةلازا : لاطلا

“thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatanya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”. Sedangkan thalaq menurut syara ialah melepas tali ikatan perkawinan atau berakhirnya hubungan suami –istri”
Tentang masalah perceraian ini, hukum Nasional telah banyak memberikan penjelasan, seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian, karena perceraian berarti gagalnya tujuan pernikahan.[8] Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena:
1)            Kematian
2)            Perceraian
3)            Atas keputusan pengadilan
2.             Macam-macam cerai
a)             Khulu
Pengertian khulumenurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah huruf kha yang bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibaca fathah artinya naza’ (mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaiannya yang lain seperti firman Allah dalam Al-Quran surat al-Baqarah (2): 187.[9]
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
Titik temu persamaannya antara pakaian dan laki-laki serta perempuan masing-masing bertemu dengan pasangannya mengandung makna memeluk dan tidur bersama. Demikian juga selimut atau pakaian bertemu pada pemiliknya dan mengandung perlakuan yang sama.[10] Sebagian pendapat mengatakan, sebab pernikahan masing-masing menutup teman pasangannya dari perbuatan yang jahat yang dibenci, sebagaimana pakaian menutup aurat. Pakaian dalam arti yang pertama menutupi secara materi, sedangkan makna kedua secara maknawi.[11]
Istilah Khulu’ itu berasal dari kata “khala’a tsauba” yang artinya menanggalkan/ melepaskan pakaian. Sedang menurut istilah Fiqih, khulu ialah tuntutan cerai yang diajukan oleh seorang istri dengan pembayaran ganti rugi dari padanya atau dengan kata lain “istri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.[12]
Khulu dinamakan juga tebusan. Karena istri menebus dirinya dari suaminya dengan cara mengembalikan apa yang pernah diterima atau mahar kepada istrinya.
Pengertian khulu menurut syara adalah sebagai mana yang ditemukan Asy-Sarbini dan Al-Khatib adalah “pemisahan antara suami istri dengan penggantian yang dimaksud (iwadh) yang kembali kearah suami dengan lafal talak atau khulu’.
b)            Ila
Ila ialah sumpah untuk tidak menggauli istri selama waktu tidak tertentu atau waktu lebih dari 4 (empat) bulan yang dikatakan oleh suami yang berkesanggupan menggauli. Seperti misalnya suami mengatakan “saya tidak menggaulimu” atau “saya tidak menggaulimu selama 5 (lima) bulan”. Maka apabila telah berjalan masa 4 (empat) bulan dari ila tanpa terjadi pergaulan, maka istri bisa menuntut (lewat qodhi) kepada suami untuk tidak dilakukan penggaulan atau dijatuhkan thalaqnya, jika suami membangkang, maka sang qodhi menthalaqnya.[13]
                                      Ila bisa jadi dengan bersumpah demi Allah SWT, dengan mentaliq thalaqnya atau memerdekakan budak atau menetapkan melakukan ibadah (jika penggaulan dilakukan, misalnya: jika saya menggaulimu maka saya wajib berpuasa 5 (lima hari).
Apabila (dalam masa iddah) sang suami melakukan penggaulan bukan karena dipaksa, baik dengan adanya tuntutan dari istri atau tidak, maka wajib membayar kafara sumpah jika Ila dilakukan dengan bersumpah demi Allah.Dzihar Zhihar  dari  kata  zhahr,  artinya  punggung.  Maksudnya:  suami berkata  kepada  istrinya:  Engkau  dengan  aku  seperti  punggung ibuku. Para ulama sepakat tentang haramnya zhihar. Dan tidak boleh melakukan perbuatan ini, karena Allah berfirman:
Orang-orang laki-laki di kalangan kamu sekalian yang menzhihar istriistrinya itu sebenarnya mereka (istri-istri) itu bukanlah ibu-ibunya. Sesungguhnya ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sudah berkata keji dan dusta. Dan sesungguhnya Allah itu Maha pemaaf lagi pengampun”.
Suami yang telah menzhihar istrinya yang sah bisa menimbulkan 2 (dua) macam akibat, yaitu:
Pertama : Haram menyetubuhi istrinya sebelum ia bayar kafarat zhihar. [14]
Kedua : Wajib membayar kafarah, dan berhak kembali lagi.
c)             Li’an
Li’an berasal dari kata la’na, yang artinya kutuk. Perceraian berdasarkan gugatan dari suami dengan alasan atau tuduhan istri melakukan perzinahan, tanpa saksi maupun bukti yang cukup disebut perkara atau perceraian karena li’an.
Proses pemeriksaan perkara dari suami-istri itu, dilakukan dengan kewajiban masing-masing mengucapkan sumpah sebanyak 5 (lima) kali. Pelaksanaan sumpah itu, dengan mendahulukan pihak yang menuduh mengucapkan sumpah “Dengan nama Allah menyatakan istri (nya) telah melakukan zina” di ucapkan sebanyak 5 (lima) kali. Dan pada sumpah kelima, ia (suami) mengucapkan sumpah “Apa bila tidak benar, apa yang saya tuduhkan akan menerima segala kutuk dan laknat dari Allah”.
Sebaliknya pihak istri wajib pula mengucapkan sumpah atas nama Allah sebanyak 4 (empat) kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya tersebut.[15] Pada sumpah ke-5 (lima), ia menyatakan akan menerima segala kutuk Allah, bila ia benar melakukan zina yang dituduhkan suaminya. Proses perkara demikian disebut perkara lian.
Lian ada dua macam :
Pertama : Suami menuduh istrinya berzina, tapi ia tidak
mampunyai empat orang saksi laki-laki yang menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
Kedua : Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai
hasil dari benihnya.[16]
d)            Syiqaq
Syiqa berasal dari kata ق ققش قشي قش yang artinya memecahkan atau menceraikan.20 Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, syiqaq ialah perselisihan antara suami-istri yang diselesaikan oleh kedua orang hakam, yakni seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari istri.
Kedua pendamai tersebut diambil dari keluarga masing-masing, tugas kedua pendamai tersebut ialah berusaha untuk mendamaikan kedua suami-istri. Jika usahanya berhasil yaitu suami-istri mau damai, maka selesaikan perkaranya dan jika usaha kedua pendamai tidak berhasil, maka untuk kemaslahatan diserahkan pada hakam yang akan memutuskan perkara tersebut.[17]
e)             Fasakh
Fasaakh menurut bahasa berasal dari kata اقسف قسفي قسف yang artinya membatalkan.21 Sedangkan Fasakh menurut istilah ialah melepaskan ikatan perkawinan yang disebabkan karena cacat yang terjadi atau timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami-istri atau keduanya, sehingga mereka sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami-istri dalam mencapai tujuannya.
Diantara alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara faskh:
a)         Cacat atau penyakit
b)        Suami tidak member nafkah
c)         Meninggalkan tempat kediaman bersama
d)        Menganiaya berat
e)         Salah seorang dari suami-istri melakukan zina
f)         Murtad.
f)             Cerai gugat
Cerai gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) dalam perkawinan.[18]
Para ulama menyebutkan alasan yang apat membenarkan permintaan istri agar dipisahkan (diceraikan) dari suaminya, antara lain:
a)      Karena suami tidak mau atau tidak mampu memberikan nafkah yang wajar kepada istrinya

b)      Karena suami pergi meninggalkan istinya selama masa cukup lama tanpa alasan yang dapat diterima atau tanpa diketahui alamatnya yang jelas
c)        Karena perlakuan keras dan kasar suami terhadap istrinya, baik dengan memukul, menghina dan mencaci maki ataupun dengan berbagai gangguan lain, sedemikian sehingga tidak tertahankan lagi
d)        Karena suami menderita beberapa jenis penyakit yang sangat mengganggu sehingga menimbulkan ketidak nyamana yang sangat dalam kehidupan bersuami-istri, misalnya, penyakitn lepra, blang dan sebagainya. Atau, kelainan fisik yang tidak dapat di sembuhkan atau memerlukan waktu sangat lama untuk di sembuhkan.[19]
g)            Dasar Khulu’
Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang menuntut, seperti suami cacat fisik atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat memenuhi hak istri atau wanita khawatir tidak dapat melaksanakan kewajiban hukum-hukum Allah, seperti persahabatan yang baik dan dalam segala pergaulan. Jika tidak ada sebab yang menuntut khulu maka terlarang hukumnya. Dalam al-Quran surah al-Baqarah (2): 229 Allah berfirman:
“tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.[20] jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”
Abu Bakar bin Abdullah Seorang Tabii menduga bahwa ayat diatas di nasakh dengan firman Allah Surat an-Nisa (4): 20
“dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”[21]
Maksudnya adalah menceraikan istri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang baru. Sekalipun ia menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
khulu telah diatur dalam KHI dalam pasal 124 KHI dinyatakan bahwa khulu harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116 yaitu:
1)             Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[22]
2)             Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3)             Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4)             Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5)             Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6)             Antara suami dan istri terus menerus teradi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7)             Suami melanggar taklik-talak.
8)             Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[23]
h)            Rukun Khulu’
1)             Suami sah talaknya
Syarat suami sah talaknya yaitu baligh, berakal, dan pilihan sendiri sebagaimana keterangan dalam talak. Khulu tidak sah dari seorang suami yang masih kecil, suami gila, dan terpaksa.[24]
2)             Akad pernikahan
Akad pernikahan adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qobul
3)             Keharusan menerima iwadh
Agar khulu dari istri sah, syarat pertama khulu haruslah orang yang sah mentasarufkan harta secara mutlak karena menerima khulu, berari keharusan menerima harta. Oleh karena itu harus balig, berakal sehat, dan tidak terhalang mentasarufkan harta. Barang yang dapat dijadikan ganti rugi menurut golongan Syafii adalah semua maharnya atau sebagian dari mahar yang pernah diberikan kepada istri baik berupa uang tunai, hutang dan jasa,[25] tegasnya segala barang yang dijadikan mahar boleh dijadikan ganti rugi dalam khulu’. Berdasarkan firman Allah Al-Baqarah: 229,
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”
4)             Penggantian Khulu( Iwadh)
Imbalan ini bagian yang pokok dari makna khulu. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula khulu. Sebab khulu adalah akad (perjanjian) ganti rugi.
5)             Shighat
Rukun khulu’ yang terahir adalah shighat. Lafal khulu’ dibagi menjadi dua, yaitu dengan lafal jelas (sharih) dan sindiran (kinayah). Khulu’ sharih ada tiga lafal yaitu: Pertama, menggunakan lafal khulu’. Seperti ”Aku khulu’ padamu” tidak perlu niat karena ia berulang kali di kandung syara berarti hendak berpisah. Kedua, menggunakan lafal tebusan, seperti “Aku tebus engkau dengan (barang apa yang digunakan untuk iwad). Ketiga, menggunakan lafal fasakh (merusak) seperti “Aku fasakh nikah ini”. Imamiyah mengatakan: khulu’ tidak di pandang jatuh dengan menggunakan redaksi kiasan (kinayah) dan tidak pula sah dengan menggunakan lafal-lafal apapun kecuali kedua ini khulu’ dan talak, atau menggunakan salah satu di antaranya. Misalnya istri mengatakan, “aku khulu’ engkau dengan tebusan tersebut”. Redaksi ini merupakan redaksi yang dipandang paling baik dikalangan seluruh mazhab.[26]
i.               Syarat wanita yang mengajukan cerai gugat/ khulu’
Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya wajib sudah baligh, dan berakal sehat. Imam Syafii dan Imam Hambali mengatakan, khulu’ yang diajukan oleh wanita gila dan safih (idiot) sama sekali tidak sah, baik dengan izin dari walinya, Imam Syafii hanya memberikan satu pengecualian, yaitu bila walinya khawatir suaminya akan menguasai hartanya.[27]
Imamiyah menetukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu’, hal-hal yang mereka persyaratkan dalam talak, misalnya wanita dalam keadaan suci dan tidak dicampuri menjelang khulu’ manakala dia sudah dicampuri dan bukan wanita yang sedang memasuki masa menopaus dan hamil atau berusia dibawah sembilan tahun. Mereka juga mensyariatkan agar ada dua saksi laki-laki yang adil.


B.            Iddah Dalam Hukum
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya karena cerai talak, cerai gugat, atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai akibat hukum yaitu melaksanakan iddah. Keharusan menjalankan iddah merupakan perintah Allah yang dibebankan oleh bekas istri yang telah dicerai. Untuk memudahkan pembahasan kita mengenai iddah, maka akan di paparkan sebagai berikut:
a.             Pengertian Iddah
Jika dikaji secara etimologi, kata iddah berasal dari kata kerja “adda-ya uddu yang artinya menghitung sesuatu ( ihshau asy-syayi). Adapun kata iddah memiliki arti seperti kata al-adad yaitu ukuran sesuatu yang dihitung atau jumlahnya. Jika kata iddah tersebut dihubungkan dengan kata al-marah (perempuan) maka artinya harihari haid/ sucinya, atau hari-hari ihdadnya terhadap pasangannya atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid/ suci, atau melahirkan.
Wahbah Zuhaili mengemukakan, iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad (bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru dan beberapa bulan menurut kebiasaan.
Menurut Syabiq, yang dinamaksud iddah dari bahasa adalah menghitung hari-hari dan masa bersih seorang wanita. Adapun menurut al-Jaziri kata iddah mutlak digunakan untuk menyebut hari-hari haid wanita atau hari-hari sucinya.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqih tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata Adda yang artinya bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya wanita menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah cerai dari suaminya.
b.             Secara Terminologi
Dari sisi terminologi, para ahli fiqih telah merumuskan definisi iddah dengan berbagai ungkapan. Meskipun dalam redaksinya yang berbeda, berbagai ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya. Menurut al-Jazirib sebagaimana dikutip oleh Wahyudi, Iddah secara syari memiliki makna yang lebih luas daripada makna bahasa, yaitu masa tunggu perempuan yang tidak hanya didasarkan pada bulan atau ditandai dengan melahirkan dan selama masa tersebut seorang wanita dilarang untuk menikah dengan pria lain. Iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya.[28]
Ashonani dalam yang dikutip oleh Depag RI memberikan definisi iddah adalah sebagai berikut:
“Iddah ialah suatu nama bagi suatu masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa kali suci / haid, atau beberapa bulan tertentu” (Departemen Agama, 1983: 274).
c.             Dasar Hukum Iddah
Kewajiban menjalankan Iddah bagi seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya baik karena talak ataupun kematian suaminya, didasarkan pada al-Quran, hadis, maupun ijma.[29]
1)             Ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar hukum Iddah adalah sebagai berikut:
a)         Iddah wanita karena talak
Istri yang bercerai dari suaminya padahal ia termasuk wanita yang masih berhaidh (masih bisa datang bulan atau menstruasi), maka iddahnya ialah tiga kali quru, yakni tiga kali haidh. Ketetapan ini bersadarkan Quran surah Al-Baqarah (2): 228 adalah sebagai berikut:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “
Terdapat perbedaan diantara ulama tentang maksud dari tiga quru, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Ulama Hanafiyah dan Imam ahmad berpendapat bahwa lafadz quru berarti haidh.
b)        Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
Para ulama mazhab sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil, iddah nya empat bulan sepuluh hari, baik wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopaus atau tidak. Didasarkan atas firman Allah (QS. Al-baqarah (2): 234:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan  istri yang ditinggal mati suaminya atau cerai karena mati wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.
c)         Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya
Bila suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tidak memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban ber iddah. Dasar hokum iddah, perempuan yang belum dicampuri oleh suaminya QS. Al-Ahzab (33): 49
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
       Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum  dan  sesudah  berkhalwat,  tidak  ber-iddah.  Namun terdapat perbedaan pendapat pada wanita yang telah berkhalwat yang belum dicampuri, sebagian mengatakan wajib ber-iddah dan sebagian lagi mengatakan tidak wajib untuk ber-iddah.
Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat, apabila suami telah berkhalwat dengannya tetapi \ tidak sampai dicampuri kemudian ditalak, maka istri tersebut wajib ber-iddah. Iddah nya sama dengan istri yang telah dicampuri. Imamiya danSyafiI berpendapat, khalwat tidak mengakibatkan  apapun.  Oleh  karena  itu  perempuan  yang telah  berkhalwat  namun  belum  dicampuri  tidak  memiliki iddah (Mughniyah, 1991: 191).
d)        Iddah wanita hamil
Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan bayinya, sekalipun hanya beberapasaat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita tersebut sudah boleh kawin lagi Iddah wanita hamil Iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan bayinya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita tersebut sudah boleh kawin lagi sesudah melahirkan. berdasarkan firman Allah (QS. at-Talaq (65): 4. “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani masa iddah sampai melahirkan anak yang dikandungnya, meski dia juga dalam keadaan iddah cerai mati. Pendapat lain dikemukakan Ibnu Abas dan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib yang berpendapat bahwa iddah wanita hamil dalam keadaan cerai mati adalah masa terpanjang antara melahirkan dan empat bulan sepuluh hari.
e)         Iddah wanita khulu’
Dalam sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita ter-khulu adalah satu kali haidh. Dalam kisah Tsabit bahwa Nabi bersabda kepadanya “ambilah sesuatu yang ada bagi wanita atasmu dan lepaskan jalannya.” Ia menjawab: “ya”. Kemudian Rasulullah perintahkan kepadanya untuk ber iddah sekali haidh dan kembali kepada ahlinya (HR. An-nasai dengan isnad yang shahih).
f)         Pergantian Iddah
Berdasarkan kondisi seorang perempuan yang kadang mengalami haid, tidak mengalami haid, hamil, menyusui, ataupun karena kematian suaminya ketika dalam masa iddah, maka terjadi pergantian iddah yang harus dijalani seorang perempuan. Masalah pergantian iddah ini juga dibahas dalam berbagai kitab fikih yaitu:
1)            Pergantian iddah berdasarkan haid menjadi iddah berdasarkan hitungan bulan, yaitu laki-laki yang menceraikan istrinya, sementara istri masih mengalami haid, kemudian laki-laki itu meninggal sementara istri dalam masa iddah. Jika perceraian tersebut merupakan talak raj’i, maka istri harus mengganti dengan iddah wafat yaitu empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi jika yang terjadi adalah talak bain, maka perempuan itu cukup menyempurnakan iddah talak berdasarkan haid dan tidak iddahnya tidak berubah menjadi iddah wafat. Jika perempuan yang menjalankan iddah dengan haid hanya mendapati haid sekali atau dua kali, kemudian tidak lagi haid. Maka iddah tersebut berubah dari berdasarkan haid menjadi berdasarkan bulan.
2)            Pergantian iddah berdasarkan hitungan bulan menjadi iddah berdasarkan haid, jika perempuan yang menjalankan iddah berdasarkan bulan karena belum mengalami haid, kemudian mengalami haid. Jika ini terjadi, wanita itu wajib berganti kepada iddah berdasarkan haid. Akan tetapi jika iddah berdasarkan bulan telah selesai, kemudian wanita itu mengalami haid, tidak wajib baginya berganti iddah berdasarkan haid.
3)            Iddah berdasarkan haid atau bulan berubah menjadi iddah melahirkan, jika wanita itu yang pada awalnya menjalankan iddah berdasarkan bulan atau haid, kemudian tampak ada tanda kehamilan, maka iddahnya berubah menjadi sampai melahirkan.
g)        Tujuan Iddah
Setiap perintah Allah pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan iddah. Adapun tujuan diadakannya iddah sebagai berikut:
1)            Bagi perceraian antara suami istri yang telah bercampur, Iddah diadakan dengan maksud mengetahui kekosongan rahim, untuk menjaga agar jangan sampai terjadi percampuran/ kekacauan nasab bagi anak yang dilahirkannya.
2)            Untuk mewujudkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam kehidupan manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam beribadah kepada Allah itu jangan sampai mudah untuk diputuskan. Oleh karenanya, perkawinan merupakan peristiwa dalam hidup manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa, dipikirkan sebelum dilaksanakan dan dipikirkan masak-masak pula apabila terpaksa harus bercerai.
3)            Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup manusia itu harus diuasahakan agar kekal. Dalam hal terpaksa terjadi perceraianpun, kekekalan perkawinan masih diinginkan. Iddah diadakan untuk member kesempatan suami istri untuk kembali lagi hidup berumah tangga, tanpa akad nikah baru.
4)            Dalam perceraian ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabungatas kematian suami bersamasama dengan keluarga suami.
h)        Larangan-larangan wanita dalam masa Iddah
1)            Larangan khitbah (melamar) pada wanita cerai hidup.
“dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. “
2)            Larangan Khitbah secara terang-terangan (tashrih) namun boleh dengan sindiran (taridh) untuk wanita yang cerai mati.
“dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran“
3)            Dilarang keluar rumah saat waktu Iddah belum habis
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”.
4)            Menggunakan wangi-wangian atau sesuatu yang berbau wangi dan segala jenisnya.
5)            Tidak menggunakan perhiasan dan sejenisnya.

C.           Wanita Karier dalam Wacana Islam
a.              Pengertian Wanita Karier
Sebelum membicarakan tentang ihdad bagi wanita karier, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian wanita karier itu sendiri. Dilihat dari susunan katanya, wanita karier terdiri dari dua kata wanita dan karier. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wanita berarti perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecil atau kanak-kanak tidak termasuk dalam istilah wanita. Sedangkan kata karier mempunyai dua pengertian.
Pertama, karier berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Ketika kata wanita dan karier disatukan, maka kata itu berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran dan sebagainya).
Pengertian di atas menunjukkan ada beberapa ciri wanita karier, antara lain:
1)            Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan.
2)            Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik dibidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, budaya, pendidikan maupun bidang-bidang lainnya.
3)            Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karier adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan lainnya.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan, dan lain-lainnya.
Pengertian wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya tidak identik dengan wanita pekerja atau tenaga kerja wanita. Kalau yang dimaksud dengan wanita pekerja atau wanita bekerja menurut Tapi Omas Ihromi adalah mereka yang hasil karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan. Meskipun imbalan uang tersebut tidak mesti secara langsung diterimanya. Misalnya wanita yang bekerja di ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai pembantu ayah atau saudaranya, ia akan diberi imbalan setelah hasil panen terjual. Wanita ini dinamakan wanita bekerja.
Sedangkan istilah tenaga kerja wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dilihat dari definisi ini tenaga kerja wanita lebih berorientasi pada wanita yang bekerja dengan orang lain untuk menghasilkan suatu produk dan lebih ditekankan kepada usaha perdagangan atau jasa yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan wanita pekerja lebih ditekankan kepada aspek imbalan keuangan yang diperolehnya dari hasil karya yang dilakukannya.
Dibanding dengan wanita karier, baik wanita bekerja maupun TKW memang ada perbedaan. Jika wanita bekerja lebih ditekankan kepada hasil berupa imbalan keuangan dan TKW ditekankan kepada kemampuan wanita melakukan pekerjaan untuk menghasilkan jasa atau barang, maka dalam wanita karier yang ditekankan adalah karier itu sendiri. Seorang pejabat pemerintah misalnya berhasil dalam mengemban tugasnya, kariernya meningkat, namun bagaimanapun ia berusaha dan berjuang agar gajinya akan tetap disesuaikan dengan pangkat dan jabatannya.
Meskipun ada perbedaan antara wanita karier dengan wanita bekerja atau TKW, namun tidak berarti mereka terpisah secara diametral. Bisa saja wanita karier justru dari TKW atau dari wanita bekerja. Yang jelas ketiga tipe wanita diatas memiliki kesamaan, yaitu mereka giat dan gigih bekerja untuk memperoleh kemajuan.
b.             Kedudukan dan Peranan Wanita Menurut Konsep Islam
Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam datang (zaman jahiliyah) kedudukan kaum wanita sangat direndahkan. Setelah Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya. Kalau Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun wanita ada yang sama dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya.
1)            Peran wanita menurut konsep Islam
a)             Peran wanita dalam rumah tangga
Peran dan tugas wanita dalam keluarga merupakan lingkup terkecil dari sebuah masyarakat yang merupakan pusat awal dari pembentukan tingkah laku seseorang.
Rumah tangga adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota keluarga diantaranya terdapat ayah, ibu, serta anak. Semua anggota keluarga mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, dimana wujud keluarga merupakan bentuk organisasi yang masing-masing anggota keluarga sangat berperan.
b)             Peran wanita sebagai Ibu
Keluarga merupakan suatu lembaga social yang paling besar perannya bagi kesejahteraan social dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya. keluarga merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan pribadi anak.

Berbicara mengenai pendidikan anak, maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu. ditangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut sertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja.ibu memainkan peran yang penting di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita.
c)             Peran wanita sebagai istri pedamping suami
Peran  wanita sebagai istri dapat menjadikan teman yang dapat di ajak berdiskusi tentang masalah yang di hadapi suami. Sehingga apabila suami mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka beban yang di rasakan suami berkurang. Di samping itu sebagai teman dan menjadi pendengar yang baik.
d)            Peran wanita sebagai masyarakat
Secara kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya dengan manusia lain.seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan individu lain merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Menurut ajaran Islam pada dasarnya Allah SWT menciptakan baik pria maupun wanita semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarma baktikan dirinya untuk mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran, Q.S adz-Dzaariyat 51-56)
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Islam adalah suatu agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, kedudukan, hak dan kewajiban wanita ada yang sama dan ada pula yang berbeda dengan pria. Dalam banyak hal wanita diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai dengan kedudukannya.
2)            Kedudukan Seimbang antara Pria dan Wanita
Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya. Hal tersebut telah tercermin dalam alquran surah an-Nisa (4) ayat 34 sebagai berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleha, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Hukum Islam dengan berbagai dimensi yang mengitarinya selama  ini  telah  dinilai  sebagai  sesuatu  yang  taken  of  granted. Upaya untuk melakukan respon terhadap problematika keummatan acap kali menuntut sebuah reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang hanya dipahami secara tekstual, jadi dengan menelusuri berbagai hukum Islam yang memiliki relevansi dengan hak-hak perempuan, maka pada dasarnya dapat dilihat bahwa alquran secara universal tidaklah  membuka  kesenjangan  sosial  yang  begitu  lebar  untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang absolut untuk di dikotomikan.

D.           Wanita Karier dalam Wacana Islam
a.              Pengertian Wanita Karier
Sebelum membicarakan tentang ihdad bagi wanita karier, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian wanita karier itu sendiri. Dilihat dari susunan katanya, wanita karier terdiri dari dua. kata wanita dan karier. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wanita berarti perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecil atau kanak-kanak tidak termasuk dalam istilah wanita. Sedangkan kata karier mempunyai dua pengertian.
Pertama, karier berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Ketika kata wanita dan karier disatukan, maka kata itu berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran dan sebagainya).
Pengertian di atas menunjukkan ada beberapa ciri wanita karier, antara lain:
1)            Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai suatu kemajuan.
2)            Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan kegiatan-kegiatan profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik dibidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial, budaya, pendidikan maupun bidang-bidang lainnya.
3)            Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karier adalah bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan lainnya.
Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa wanita karier adalah wanita yang menekuni sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan, dan lain-lainnya.
Pengertian wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya tidak identik dengan wanita pekerja atau tenaga kerja wanita. Kalau yang dimaksud dengan wanita pekerja atau wanita bekerja menurut Tapi Omas Ihromi adalah mereka yang hasil karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan.46 Meskipun imbalan uang tersebut tidak mesti secara langsung diterimanya. Misalnya wanita yang bekerja di ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai pembantu ayah atau saudaranya, ia akan diberi imbalan setelah hasil panen terjual. Wanita ini dinamakan wanita bekerja.


Sedangkan istilah tenaga kerja wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dilihat dari definisi ini tenaga kerja wanita lebih berorientasi pada wanita yang bekerja dengan orang lain untuk menghasilkan suatu produk dan lebih ditekankan kepada usaha perdagangan atau jasa yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan wanita pekerja lebih ditekankan kepada aspek imbalan keuangan yang diperolehnya dari hasil karya yang dilakukannya.
Dibanding dengan wanita karier, baik wanita bekerja maupun TKW memang ada perbedaan. Jika wanita bekerja lebih ditekankan kepada hasil berupa imbalan keuangan dan TKW ditekankan kepada kemampuan wanita melakukan pekerjaan untuk menghasilkan jasa atau barang, maka dalam wanita karier yang ditekankan adalah karier itu sendiri. Seorang pejabat pemerintah misalnya berhasil dalam mengemban tugasnya, kariernya meningkat, namun bagaimanapun ia berusaha dan berjuang agar gajinya akan tetap disesuaikan dengan pangkat dan jabatannya.
Meskipun ada perbedaan antara wanita karier dengan wanita bekerja atau TKW, namun tidak berarti mereka terpisah secara diametral. Bisa saja wanita karier justru dari TKW atau dari wanita bekerja. Yang jelas ketiga tipe wanita diatas memiliki kesamaan, yaitu mereka giat dan gigih bekerja untuk memperoleh kemajuan.
b.             Kedudukan dan Peranan Wanita Menurut Konsep Islam
Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam datang (zaman jahiliyah) kedudukan kaum wanita sangat direndahkan. Setelah Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya. Kalau Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun wanita ada yang sama dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan tugasnya.
1)            Peran wanita menurut konsep Islam
a)             Peran wanita dalam rumah tangga
Peran dan tugas wanita dalam keluarga merupakan lingkup terkecil dari sebuah masyarakat yang merupakan pusat awal dari pembentukan tingkah laku seseorang.
Rumah tangga adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdapat anggota keluarga diantaranya terdapat ayah, ibu, serta anak. Semua anggota keluarga mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, dimana wujud keluarga merupakan bentuk organisasi yang masing-masing anggota keluarga sangat berperan.
b)        Peran wanita sebagai Ibu
            Keluarga merupakan suatu lembaga social yang paling besar perannya bagi kesejahteraan social dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya. keluarga merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan pribadi anak.
Berbicara mengenai pendidikan anak, maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu. ditangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut sertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja.ibu memainkan peran yang penting di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita.
c)         Peran wanita sebagai istri pedamping suami
Peran wanita sebagai istri dapat menjadikan teman yang dapat di ajak berdiskusi tentang masalah yang di hadapi suami. Sehingga apabila suami mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka beban yang di rasakan suami berkurang. Di samping itu sebagai teman dan menjadi pendengar yang baik.
d)        Peran wanita sebagai masyarakat
Secara kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya dengan manusia lain.seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan individu lain merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Menurut ajaran Islam pada dasarnya Allah SWT menciptakan baik pria maupun wanita semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarma baktikan dirinya untuk mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran, Q.S adz-Dzaariyat 51-56).
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Islam adalah suatu agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, kedudukan, hak dan kewajiban wanita ada yang sama dan ada pula yang berbeda dengan pria. Dalam banyak hal wanita diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai dengan kedudukannya.
2)            Kedudukan Seimbang antara Pria dan Wanita
Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya. Hal tersebut telah tercermin dalam alquran surah an-Nisa (4) ayat 34 sebagai berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleha, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Hukum Islam dengan berbagai dimensi yang mengitarinya selama  ini  telah  dinilai  sebagai  sesuatu  yang  taken  of  granted. Upaya untuk melakukan respon terhadap problematika keummatan acap kali menuntut sebuah reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang hanya dipahami secara tekstual, jadi dengan menelusuri berbagai hukum Islam yang memiliki relevansi dengan hak-hak perempuan, maka pada dasarnya dapat dilihat bahwa alquran secara universal tidaklah  membuka  kesenjangan  sosial  yang  begitu  lebar  untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang absolut untuk di dikotomikan.
E.            Peneltian Terdahulu
a.              Skripsi, Pernikahan Wanita Dalam Masa Iddah di Desa Bungbaruh Kadur Kecamatan Pamekasan, oleh Farihatus Sholihah 2012. Penelitian ini hanya di fokuskan kepada faktor ekonomi, kecemburuan sosial, lingkungan dan faktor minimnya pengetahuan masyarakat tentang Iddah.
b.             Skripsi, Wanita Karir Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Pandangan K.H Husein Muhammad), oleh Ziadatun Nimah Angkatan 2009. Penelitian ini hanya difokuskan kepada wanita karir menurut pandangan K.H Husein Muhammad.
Dari kajian Penelitian Terdahulu sangat jelas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan pada saa\t ini. Dalam penelitian ini difokuskan kepada Pandangan Masyarakat Tentang Wanita Karier Yang Dalam Masa Iddah, lebih tepatnya peneliti beri judul Pandangan Masyarakat Tentang Profesi Wanita Karier Yang Dalam Masa Iddah Di Desa Pagarbatu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Penelitian ini lebih berbeda dengan penelitian yang di atas, perbedaannya yaitu dengan cara membahasnya dan menganalisa. Sedangkan persamaannya dari penelitian di atas dengan penelitiannya sendiri hampir sama, karena sama-sama membahas tentang Masa Iddah.
BAB III
METODE PENITILIA

A.                                                                                         Pendekatan dan jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yaitu peneliti mendiskripsikan dan menganalisa objek penelitian dengan ditunjang data-data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan (Field Research).
Dengan penelitian lapangan (Field Research), peneliti bisa langsung mengamati kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena yang terjadi disekitar wilayah setting penelitian, sehingga dengan demikian peneliti bisa mendapatkan data secara baik dan jelas, karena dalam penelitian lapangan peneliti membuat catatan lapangan secara ekstensif yang kemudian dibuatkan kodenya dan dianalisis dalam berbagai cara.

Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah “suatu proses menemukan pengetahuan dengan menggunakan data berupa gambar dan dokumen-dokumen sebagai alat untuk menemukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui. Selain itu, John W. Creswell mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menempatkan peneliti/ observer di lapangan secara langsung.54 Penelitian kualitatif dalam penelitian ini berupa penelitian secara deskriptif analisis.
Menurut Lexi J. Moloeng penelitian kualitatif didasarkan pada upaya membangun pandangan yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan ungkapan yang jelas.55 Sehingga dengan demikian penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses dari pada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan lebih jelas apabila diamati dalam proses.



B.            Kehadiran Peneliti
Lexi J. Moloeng mengatakan bahwa peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat rumit, peneliti disamping berperan sebagai perencana, pengumpul data, penganalisa data, penafsir data, juga pada akhirnya sebagai pelapor dari hasil penelitiaannya.56 Oleh karena itu, kehadiran peneliti sangatlah penting karena akan sangat menentukan dari hasil penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama dalam penelitian yang secara langsung membuat rencana penelitian, menyiapkan media penelitian sekaligus pelaksana dalam penelitian. Disamping itu, peneliti juga bertindak sebagai pengumpul data dan pengamat (observer) dalam proses kegiatan pembelajaran.
Sebagai pengumpul data, peneliti mengumpulkan data yang diperlukan, baik data yang berupa angket maupun hasil wawancara. Sedangkan sebagai pengamat (observer), peneliti mengamati tindakan-tindakan obyek yang dianggap penting selama subyek berada dalam setting penelitian. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan secara terbuka, yakni kehadiran peneliti diketahui oleh subyek dan obyek penelitian secara langsung.
C.           Lokasi Penelitin
Tempat penelitian adalah berisi penjelasan tentang lokasi penelitian dimana penelitian akan dilakukan, beserta jalan dan kotanya. Penelitian ini akan dilaksanakan di desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
Latar belakang peneliti memilih dilokasi tersebut karena peneliti ingin mengetahui praktek-praktek pelanggaran masa Iddah di desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
D.           Populasi dan Sampel
a.         Populasi
Dalam suatu penelitian, kita tidak terlepas dari populasi. Arikunto, menyatakan bahwa Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.57 Dengan demikian populasi merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu pelaksanaan penelitian. Populasi adalah himpunan yang lengkap dari satuan-satuan atau individu-individu yang karakteristiknya ingin kita ketahui.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perempuan warga desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep yang berstatus „cerai sebanyak 17 orang.
b.        Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.58 Penentuan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak atau tanpa pandang bulu. Sampel dalam penelitian ini adalah wanita karier desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep yang berstatus „cerai dan berada dalam masa Iddah sebanyak 4 orang
E.            Sumber data
Menurut Suharsimi Arikunto, sumber data adalah subjek di mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan quesioner atau wawancara dalam pengumpulam datanya, maka sumber data disebut responden yaitu orang-orang yang merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.
Menurut Lofland dan lofland sebagaimana dikutip oleh Lexi J. Moleong, menyatakan bahwa sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan,selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber data manusia merupakan subyek penelitian. Karena itu, ia harus ditentukan tentang siapa yang akan dijadikan sampel penelitian. Dalam peneltian kualitatif sampel penelitian diambil dengan teknik Purposive Sampling (sampel bertujuan). Hal ini sesuai dengan tujuan pengambilan sampel pada penelitian kualitatif, yaitu untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin bukan untuk generalisasi sebagaimana penelitian kualitatif.


Adapun data yang dapat diperoleh sumber data adalah:
Ø   Data Primer
Dimana tata ini dapat ditempuh dengan hasil wawancara dan observasi secara langsung dengan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan masa iddah yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum islam.
Ø   Data Sekunder
Sedangkan data sekunder diperoleh dari data sebagai berikut:
·                Buku-buku Ushul Fiqh yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan di atas.
·                Buku mengenai masa iddah dan wanita karier yang bersangkutan dengan pembahasan di atas.
F.            Prosedur Pengumpulan Data
Fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data tidak lain dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Mustahil peneliti dapat menghasilkan temuan, kalau tidak memperoleh data.
Pengumpulan data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dapat dilakukan melelui setting dari berbagai sumber, dan berbagai cara.
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.         Wawancara
Metode interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses Tanya jawab.
Menurut Lexi J. Moleong, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewaancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
b.        Observasi
Observasi adalah metode yang digunakan dengan cara pengamatan dan pencatatan data secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, menyatakan bahwa observasi disebut juga dengan pengamatan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba dan pengecap.
c.         Dokumentasi
Teknik pengumpulan data yang juga berperan besar dalam penelitian kualitatif naturalistic adalah dokumentasi. Para ahli sering mengartikan dokumen dalam dua pengertian, yaitu: pertama,sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai kebalikan dari pada kesaksian lisan, artefak, peninggalan- peninggalan terlukis, dan petilasan-petilasan arkeologis. Kedua, diperuntukkan bagi surat-surat resmi dan surat-surat Negara seperti surat perjanjian, undang-undang, hibah, konsesi dan lainnya. Dokumen dalam pengertiannya yang lebih luas dapat berupa setiap proses pembuktian yang didasarkan atas jenis sumber apapun, baik itu yang bersifat tulisan, lisan, gambaran, atau arkeologis.
G.           Analisis Data
Analisis  data menurut Patton, sebagaimana disebutkan Lexi  J. Moleong,    adalah    ”sebuah    program    mengatur    urutan    data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar”. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu dengan menuturkan dan menafsirkan  data  yang  ada,  misalnya  tentang  situasi  yang  dialami sehubungan kegiatan, pandangan, sikap yang tampak atau suatu proses yangsedang terjadi, kelainan yang muncul, kecenderungan, pertentangan dan sebagainya. Penggunaan teknik ini  sesuai dengan sifat data yang dihasilkan dalam penelitian, yaitu data kualitatif atau data yang tidak diwujudkan dalam bentuk angka.
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen, arsip-arsip dan lain- lain. Berkaitan dengan hal itu, pada bagian ini jenis datanya di bagi kedalam kata-kata dan tindakan sumber data tertulis dan foto.
Melalui teknik ini data yang diperoleh akan dipilah-pilah kemudian dilakukan pengelompokan atas data yang sejenis dan selanjutnya di analisis isinya sesuai dengan informasi yang dibutuhkan. Kemudian di gambarkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat.
H.           Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yang digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data tersebut.
Teknik triangulasi yang paling banyak di gunakan adalah pemeriksaan sumber lainnya, adapun pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan triangulasi sumber, yaitu yang brarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif.


























































[1] Artikel,Mengaji Hukum, PerlindunganHukum-Wanita, hlm. 13
[2] Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer
( Jakarta: Pt Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 11.
[3] Amir, Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam (antara fikih dan UU perkawinan). (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 303
[4] Ibid, hlm. 303
[5] Ibnu Rasyid, Bidayah al-Mujtahid, Juz II, (Surabaya, Al-Hidayah, t.t), hlm. 92.
[6] Ibid, hlm. 92
[7] Sayid Abu Bakar Al-Damyathi, Ianah Al-Thalibin, juz IV (Surabaya: Al-Hidayah), hlm. 34
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III (Jakarta, 1990), hlm. 1007
[9] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 8 (Bairut: Dar Al –fikr, 1883 ), hlm. 206
[10] Al Jazili, Fiqih Ala Madzhahibul Arbaah, Darul Fikri juz IV, hlm.278.
[11] R. Subekti, S.H., Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1, (Jakarta: Pradya Paramita)
[12] Asro Sosroatmojo,dkk , Hukum perkawinan di indonesia,(Jakarta: Bulan Bintang.1978),hlm. 94
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, hlm. 1068
[14] Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Fiqih Munakahat. (Jakarta: Pustaka Alawiyah. 2009), hlm. 297
[15] Aliy Asad, Terjemahan Fathu Mu’in Jilid 3, (Kudus: Menara Kudus), hlm. 171
[16] Depag RI,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Wicaksana, 1999), hlm. 1.090
[17] Sayyid Sabiq, fiqih Sunnah 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), hlm. 122
[18] Anwar Sitompul, S.H., Kewenangan dan Tata Cara Berpekara di Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Amirco), hlm. 44
[19] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 8, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1883), hlm. 130
[20] Ahmad Zuhdi Mundhor, Atabila Ali, Kamus Kontemporer Arah Indomesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), hlm. 1141
[21] Ibid, hlm. 1392
[22] Kamal Muhtar, Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 213
[23] Syekh H. Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 226
[24] Muhammad Bagir Al Habsyi, Fiqh Praktis Menurut Al-Qur’an, As Sunnah dan Pendapat Ulama’, buku kedua, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 235
[25] Departemen Agama RI, 1984, Al-Qurían dan Terjemah, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, hlm. 299
[26] Ibid, hlm. 299
[27] Ibid, hlm. 299
[28] Sabiq, sayyid. Fiqih Sunah Jilid 8 diterjemahkan oleh Thalib. (Bandung: Al Maarif. 1987), hlm. 103
[29] Departemen Agama RI, 1984, Al-Qurían dan Terjemah, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran 1289