BAB I
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
Wanita
sebagai warga negara maupun sumber daya insani mempunyai kedudukan hak dan
kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam
pembangunan di segala bidang. Peranan wanita sebagai mitra sejajar pria
diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan,
termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertaqwa, sehat, serta untuk
pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, dalam Program Pembangunan
Nasional pada tahun 2000-2004 ditentukan Program Peningkatan Kualitas Hidup
Wanita, yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan wanita sebagai
individu,yaitu baik sebagai insan dan sumber daya pembangunan, sebagai bagian
dari keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang dan masa
mendatang, sebagai makhluk sosial yang merupakan agen perubahan sosial di
berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.[1]
Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas dan peranan wanita
terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya.
Perkembangan dunia modern dewasa ini, banyak kaum wanita muslimah yang aktif di
berbagai bidang, baik pegawai sipil, karyawati, dan juga pegawai bank. Tidak
menutup kemungkinan, hampir di setiap sektor kehidupan umat manusia, wanita
muslimah sudah terlibat, bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, tetapi
juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Wanita
karier adalah wanita sibuk, wanita kerja yang waktu di luar rumah kadang-kadang
lebih banyak dari pada di dalam rumah. Demi karier dan prestasi, tidak sedikit
wanita yang bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. “waktu adalah uang”
merupakan motto mereka sehingga waktu satu detikpun sangat berharga. Persaingan
yang ketat antar sesamanya, rekan-rekan antar sesamanya dan rekan-rekan
seprofesinya, memacu mereka untuk bekerja keras. Mereka mau tidak mau harus
mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga, demi keberhasilan
dalam keadaan demikian, jika wanita karier tersebut seoarang wanita muslimah
yang tiba-tiba di tinggal mati oleh suaminya atau bercerai, aktivitasnya di
hadapkan kapada ketentuan agama yang disebut iddah dan ihdad.[2]
Agama
Islam mengatur hubungan pria dan wanita dalam koridor pernikahan. Pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Penangguhan waktu itu bisa
disebut dengan masa Iddah, sedangkan
alasan penangguhan waktu adalah berkabung atau yang disebut dengan Ihdad.[3] Iddah adalah menghitung hari-hari dan
masa bersih seorang perempuan.
Tujuannya adalah untuk mengetahui kekosongan rahim, untuk menjaga agar jangan
sampai terjadi percampuran/ kekacauan nasab bagi anak yang dilahirkannya.
Hikmah yang bisa diambil dari masa Iddah
ini adalah untuk mewujudkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam
kehidupan manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri
hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam beribadah kepada Allah
itu jangan sampai mudah untuk diputuskan. Hal ini sesuai dengan dalil Al-Qur‟an Surah Al-Ahzab ayat 49. Iddah dibagi menjadi tiga yaitu Iddah karena talak, Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya, Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, iddah wanita hamil, dan Iddah
wanita khulu‟.[4]
Wanita
di berikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan yang bertujuan untuk
membuat dia lebih baik, dihadapan agama maupun masyarakat. Salah satu dari
sekian banyak kegiatan itu adalah wanita dibolehkannya beraktifitas diluar
lumah dengan izin wali atau dengan kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain
wanita karier.
Wanita,
mau tidak mau harus mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga
demi keberhasilan. Dalam keadaan demikian, jika wanita tersebut adalah seorang
wanita muslimah yang tiba-tiba di tinggal mati oleh suaminya, maka aktifitasnya
dihadapkan ketentuan agama yang disebut ihdad. Para Ulama kecuali Al-Hasan-
telah sepakat bahwa wanita muslimah yang merdeka wajib berihdad jika ia
ditinggal mati oleh suaminya.[5]
Dalam
keadaan Iddah, wanita tidak boleh
bersolek dan memakai pakaian atau perhiasan yang dapat menarik minat dan
perhatian lawan jenisnya. Disamping itu ia tidak boleh keluar rumah. Waktu masa
Iddah ada 5 macam yaitu iddah perempuan karena talak, iddah wanita ditinggal mati suaminya, iddah wanita yang belum di campuri
suaminya, iddah wanita hamil, dan iddah wanita khulu‟ cukup lama, yaitu empat bulan
sepuluh hari (selama masa ihdad karena kematian suami),[6]
Sebagaimana
wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa di Desa Pagar Batu
Kecamatan Saronggi Sumenep, masih ada sebagian wanita karir yang melanggar
larangan-larangan yang terdapat pada masa Iddah.
Mereka belum menyelesaikan masa iddah
tapi sudah melakukan aktifitas (keluar rumah) demi tuntutan profesinya, melihat
pentingnya masa iddah bagi wanita
membuat peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan tentang meninggalkan masa iddah di wilayah Desa Pagar Batu
Kecamatan Saronggi Sumenep. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk
mengangkat judul penelitian “Pandangan
Masyarakat tentang Profesi Wanita karier yang dalam masa Iddah Di Desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Sumenep”
B.
Fokus Penelitian
Berangkat
dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
merumuskan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Pandangan Masyarakat
tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu
Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep?
2. Bagaimana Pandangan hukum Islam
tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu
Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep?
C.
Tujuan Penelitian
Setiap
kegiatan penelitian tentu mempunyai arah dan tujuan tertentu, demikian pula
halnya dalam menyusun proposal skripsi ini berdasarkan pada rumusan masalah
diatas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis diantaranya adalah:
1. Untuk mengetahui Pandangan
Masyarakat tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar
Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
2. Untuk mengetahui Pandangan hukum
Islam tentang Profesi Wanita Karier yang dalam Masa Iddah di Desa Pagar Batu
Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
D.
Kegunaan Penelitian
Adapun
kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, hasil
penelitian ini akan menjadi salah satu sumber kajian bagi mahasiswa baik
sebagai pengembangan materi perkuliahan pada mata kuliah fiqih.
2.
Bagi peneliti, merupakan salah satu keberhasilan penelitian
yang akan menjadi salah satu pengetahuan dan pengalaman yang akan memperluas pengembangan
intelektual dan wawasan pengetahuan untuk masa yang selanjutnya mengenai
permasalahan hukum yang berkembang saat ini.
E.
Definisi istilah
Untuk
menghindari kesalah pahaman dan perluasan pemahaman yang menjadikannya keluar
dari konteks penelitian dalam menginterpretasikan isi dari pada peneliti ini,
maka peneliti terlebih dahulu akan menjelaskan arti dari masing-masing kata
yang ,mendukung judul penelitian ini, yaitu:
1.
Iddah berasal dari kata Ahadda, dan bisa pula disebut
Al-Hidad yang di ambil dari kata Hadda. Secara etimologis berarti Al-Man‟u (cegahan atau larangan).
2.
Karier berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan,
pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Karier berarti juga pekerjaan yang
memberikan harapan untuk maju. Kata wanita dan karier disatukan, maka kata itu
berarti wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran,
dan sebagainya).
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Pengertian Cerai
1.
Definisi Perceraian
Pengertian
perceraian menurut bahasa adalah berasal dari kata bahasa Arab قققلاط – ققلطي –
ققلط yang artinya “melepaskan” atau
“meninggalkan”. Dalam istilah fiqih berarti pelepasan ikatan perkawinan, yakni
perceraian antar suami-istri.[7]
Perceraian
dalam fiqih islam dipakai istilah at-tholaq
dan al-furqoh. Dengan demikian kata
cerai sinonim dengan kata at-tholaq. Kata
tholaq dalam bahasa arab berasal dari
kata yang قلاط – لطي – لط yang berarti melepas,
membuka ikatan, atau mencerai. Sedangkan “al-furqo”
berasal dari kata ققق ف – ققفي – ققف yang artinya ialah :
صىصقم
ظفلب هلح ن صقووا كىلا ةلازا :
لاطلا
“thalaq ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatanya dengan mempergunakan kata-kata tertentu”.
Sedangkan thalaq menurut syara‟
ialah melepas tali ikatan perkawinan atau berakhirnya hubungan suami –istri”
Tentang
masalah perceraian ini, hukum Nasional telah banyak memberikan penjelasan,
seirama dengan ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian, karena
perceraian berarti gagalnya tujuan pernikahan.[8]
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa
Pasal
38 UU No. 1 Tahun 1974, menentukan bahwa perkawinan dapat putus karena:
1)
Kematian
2)
Perceraian
3)
Atas keputusan pengadilan
2.
Macam-macam cerai
a)
Khulu‟
Pengertian
khulu‟menurut bahasa, kata khulu’ dibaca dhammah huruf kha yang
bertitik dan sukun lam dari kata khila’ dengan dibaca fathah artinya naza’ (mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut
pakaiannya yang lain seperti firman Allah dalam Al-Quran surat al-Baqarah (2):
187.[9]
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka.”
Titik
temu persamaannya antara pakaian dan laki-laki serta perempuan masing-masing
bertemu dengan pasangannya mengandung makna memeluk dan tidur bersama. Demikian
juga selimut atau pakaian bertemu pada pemiliknya dan mengandung perlakuan yang
sama.[10]
Sebagian pendapat mengatakan, sebab pernikahan masing-masing menutup teman
pasangannya dari perbuatan yang jahat yang dibenci, sebagaimana pakaian menutup
aurat. Pakaian dalam arti yang pertama menutupi secara materi, sedangkan makna
kedua secara maknawi.[11]
Istilah
Khulu’ itu berasal dari kata “khala’a tsauba” yang artinya
menanggalkan/ melepaskan pakaian. Sedang menurut istilah Fiqih, khulu‟ ialah tuntutan cerai yang diajukan
oleh seorang istri dengan pembayaran
ganti rugi dari padanya atau dengan kata lain “istri memisahkan diri dari
suaminya dengan ganti rugi kepadanya”.[12]
Khulu‟ dinamakan juga tebusan. Karena
istri menebus dirinya dari suaminya
dengan cara mengembalikan apa yang pernah diterima atau mahar kepada istrinya.
Pengertian
khulu‟ menurut syara‟ adalah sebagai mana yang ditemukan
Asy-Sarbini dan Al-Khatib adalah “pemisahan antara suami istri dengan
penggantian yang dimaksud (iwadh)
yang kembali kearah suami dengan lafal talak atau khulu’.
b)
Ila‟
Ila‟ ialah sumpah untuk tidak menggauli
istri selama waktu tidak tertentu atau waktu lebih dari 4 (empat) bulan yang
dikatakan oleh suami yang berkesanggupan menggauli. Seperti misalnya suami
mengatakan “saya tidak menggaulimu” atau “saya tidak menggaulimu selama 5
(lima) bulan”. Maka apabila telah berjalan masa 4 (empat) bulan dari ila‟ tanpa terjadi pergaulan, maka istri
bisa menuntut (lewat qodhi) kepada
suami untuk tidak dilakukan penggaulan atau dijatuhkan thalaqnya, jika suami membangkang, maka sang qodhi menthalaqnya.[13]
Ila‟ bisa jadi dengan bersumpah demi
Allah SWT, dengan menta‟liq thalaqnya atau memerdekakan budak atau menetapkan
melakukan ibadah (jika penggaulan dilakukan, misalnya: jika saya menggaulimu
maka saya wajib berpuasa 5 (lima hari).
Apabila
(dalam masa iddah) sang suami melakukan penggaulan bukan karena dipaksa, baik
dengan adanya tuntutan dari istri atau tidak, maka wajib membayar kafara sumpah
jika Ila‟ dilakukan dengan bersumpah demi
Allah.Dzihar Zhihar dari
kata zhahr,
artinya punggung. Maksudnya:
suami berkata kepada istrinya:
Engkau dengan aku
seperti punggung ibuku. Para
ulama sepakat tentang haramnya zhihar.
Dan tidak boleh melakukan perbuatan ini, karena Allah berfirman:
“Orang-orang laki-laki di kalangan kamu sekalian
yang menzhihar istriistrinya itu
sebenarnya mereka (istri-istri) itu bukanlah ibu-ibunya. Sesungguhnya ibu-ibu
mereka hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sudah
berkata keji dan dusta. Dan sesungguhnya Allah itu Maha pemaaf lagi pengampun”.
Suami
yang telah menzhihar istrinya yang sah bisa menimbulkan 2 (dua) macam akibat,
yaitu:
Pertama :
Haram menyetubuhi istrinya sebelum ia bayar kafarat zhihar. [14]
Kedua :
Wajib membayar kafarah, dan berhak kembali lagi.
c)
Li’an
Li’an
berasal dari kata la’na, yang artinya kutuk. Perceraian berdasarkan gugatan
dari suami dengan alasan atau tuduhan istri melakukan perzinahan, tanpa saksi
maupun bukti yang cukup disebut perkara atau perceraian karena li’an.
Proses
pemeriksaan perkara dari suami-istri itu, dilakukan dengan kewajiban
masing-masing mengucapkan sumpah sebanyak 5 (lima) kali. Pelaksanaan sumpah
itu, dengan mendahulukan pihak yang menuduh mengucapkan sumpah “Dengan nama
Allah menyatakan istri (nya) telah melakukan zina” di ucapkan sebanyak 5 (lima)
kali. Dan pada sumpah kelima, ia (suami) mengucapkan sumpah “Apa bila tidak
benar, apa yang saya tuduhkan akan menerima segala kutuk dan laknat dari
Allah”.
Sebaliknya
pihak istri wajib pula mengucapkan sumpah atas nama Allah sebanyak 4 (empat)
kali sebagai bantahan terhadap tuduhan suaminya tersebut.[15]
Pada sumpah ke-5 (lima), ia menyatakan akan menerima segala kutuk Allah, bila
ia benar melakukan zina yang dituduhkan suaminya. Proses perkara demikian
disebut perkara li‟an.
Li‟an
ada dua macam :
Pertama :
Suami menuduh istrinya berzina, tapi ia tidak
mampunyai empat orang saksi
laki-laki yang menguatkan kebenaran tuduhannya itu.
Kedua :
Suami tidak mengakui kehamilan istrinya sebagai
hasil dari benihnya.[16]
d)
Syiqaq
Syiqa
berasal dari kata ق ققش – قشي – قش yang artinya memecahkan
atau menceraikan.20 Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, syiqaq ialah perselisihan antara
suami-istri yang diselesaikan oleh kedua orang hakam, yakni seorang hakam dari
pihak suami dan seorang hakam dari istri.
Kedua
pendamai tersebut diambil dari keluarga masing-masing, tugas kedua pendamai
tersebut ialah berusaha untuk mendamaikan kedua suami-istri. Jika usahanya
berhasil yaitu suami-istri mau damai, maka selesaikan perkaranya dan jika usaha
kedua pendamai tidak berhasil, maka untuk kemaslahatan diserahkan pada hakam
yang akan memutuskan perkara tersebut.[17]
e)
Fasakh
Fasaakh menurut bahasa berasal dari kata اقسف –
قسفي – قسف yang artinya membatalkan.21
Sedangkan Fasakh menurut istilah ialah melepaskan ikatan perkawinan yang
disebabkan karena cacat yang terjadi atau timbulnya hal-hal yang dianggap berat
oleh suami-istri atau keduanya, sehingga mereka sanggup untuk melaksanakan
kehidupan suami-istri dalam mencapai tujuannya.
Diantara
alasan-alasan yang dapat diajukan dalam perkara faskh:
a)
Cacat atau penyakit
b)
Suami tidak member nafkah
c)
Meninggalkan tempat kediaman bersama
d)
Menganiaya berat
e)
Salah seorang dari suami-istri melakukan zina
f)
Murtad.
f)
Cerai gugat
Cerai
gugat yaitu seorang istri menggugat suaminya untuk bercerai melalui pengadilan
yang kemudian pihak pengadilan mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus
hubungan penggugat (istri) dengan tergugat (suami) dalam perkawinan.[18]
Para
ulama menyebutkan alasan yang apat membenarkan permintaan istri agar dipisahkan
(diceraikan) dari suaminya, antara lain:
a) Karena suami tidak mau atau tidak
mampu memberikan nafkah yang wajar kepada istrinya
b) Karena suami pergi meninggalkan
istinya selama masa cukup lama tanpa alasan yang dapat diterima atau tanpa
diketahui alamatnya yang jelas
c)
Karena perlakuan keras dan kasar suami terhadap istrinya,
baik dengan memukul, menghina dan mencaci maki ataupun dengan berbagai gangguan
lain, sedemikian sehingga tidak tertahankan lagi
d)
Karena suami menderita beberapa jenis penyakit yang sangat
mengganggu sehingga menimbulkan ketidak nyamana yang sangat dalam kehidupan
bersuami-istri, misalnya, penyakitn lepra, blang dan sebagainya. Atau, kelainan
fisik yang tidak dapat di sembuhkan atau memerlukan waktu sangat lama untuk di
sembuhkan.[19]
g)
Dasar Khulu’
Khulu’ diperbolehkan jika ada sebab yang
menuntut, seperti suami cacat fisik
atau cacat sedikit pada fisik atau suami tidak dapat memenuhi hak istri atau
wanita khawatir tidak dapat melaksanakan kewajiban hukum-hukum Allah, seperti
persahabatan yang baik dan dalam segala pergaulan. Jika tidak ada sebab yang
menuntut khulu‟ maka terlarang hukumnya. Dalam al-Quran surah al-Baqarah
(2): 229 Allah berfirman:
“tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.[20]
jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”
Abu
Bakar bin Abdullah Seorang Tabi‟i menduga bahwa ayat diatas di nasakh dengan firman Allah Surat an-Nisa (4): 20
“dan
jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.”[21]
Maksudnya
adalah menceraikan istri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri yang
baru. Sekalipun ia menceraikan istri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin,
namun meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan.
khulu‟ telah diatur dalam KHI dalam pasal
124 KHI dinyatakan bahwa khulu‟ harus berdasarkan atas alasan
perceraian sesuai ketentuan pasal 116 yaitu:
1)
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.[22]
2)
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
3)
Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah
perkawinan berlangsung.
4)
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
5)
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6)
Antara suami dan istri terus menerus teradi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7)
Suami melanggar taklik-talak.
8)
Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.[23]
h)
Rukun Khulu’
1)
Suami sah talaknya
Syarat suami sah talaknya yaitu
baligh, berakal, dan pilihan sendiri sebagaimana keterangan dalam talak. Khulu‟ tidak sah dari seorang suami yang
masih kecil, suami gila, dan terpaksa.[24]
2)
Akad pernikahan
Akad pernikahan adalah perikatan
hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang
dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab
qobul
3)
Keharusan menerima iwadh
Agar khulu‟ dari istri sah, syarat pertama khulu‟ haruslah orang yang sah
mentasarufkan harta secara mutlak karena menerima khulu‟, berari keharusan menerima harta. Oleh karena itu harus
balig, berakal sehat, dan tidak terhalang mentasarufkan harta. Barang yang
dapat dijadikan ganti rugi menurut golongan Syafi‟i adalah semua maharnya atau
sebagian dari mahar yang pernah diberikan kepada istri baik berupa uang tunai,
hutang dan jasa,[25]
tegasnya segala barang yang dijadikan mahar boleh dijadikan ganti rugi dalam khulu’. Berdasarkan firman Allah
Al-Baqarah: 229,
“Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”
4)
Penggantian Khulu‟( Iwadh)
Imbalan ini bagian yang pokok dari
makna khulu‟. Jika tidak dicapai pengganti maka tidak dicapai pula khulu‟. Sebab khulu‟ adalah akad (perjanjian) ganti
rugi.
5)
Shighat
Rukun khulu’ yang terahir adalah shighat. Lafal khulu’ dibagi menjadi dua, yaitu dengan lafal jelas (sharih) dan sindiran (kinayah). Khulu’ sharih ada tiga lafal yaitu: Pertama, menggunakan lafal khulu’.
Seperti ”Aku khulu’ padamu” tidak
perlu niat karena ia berulang kali di kandung syara‟ berarti hendak berpisah. Kedua,
menggunakan lafal tebusan, seperti “Aku tebus engkau dengan (barang apa yang
digunakan untuk iwad). Ketiga,
menggunakan lafal fasakh (merusak)
seperti “Aku fasakh nikah ini”.
Imamiyah mengatakan: khulu’ tidak di
pandang jatuh dengan menggunakan redaksi kiasan (kinayah) dan tidak pula sah dengan menggunakan lafal-lafal apapun
kecuali kedua ini khulu’ dan talak, atau menggunakan salah satu di
antaranya. Misalnya istri mengatakan,
“aku khulu’ engkau dengan tebusan
tersebut”. Redaksi ini merupakan redaksi yang dipandang paling baik dikalangan
seluruh mazhab.[26]
i.
Syarat wanita yang mengajukan cerai gugat/ khulu’
Para
ulama mazhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya wajib sudah baligh, dan berakal sehat. Imam Syafi‟i dan Imam Hambali mengatakan, khulu’ yang diajukan oleh wanita gila
dan safih (idiot) sama sekali tidak
sah, baik dengan izin dari walinya, Imam Syafi‟i hanya memberikan satu
pengecualian, yaitu bila walinya khawatir suaminya akan menguasai hartanya.[27]
Imamiyah
menetukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu’, hal-hal yang mereka persyaratkan dalam talak, misalnya wanita dalam keadaan suci dan tidak
dicampuri menjelang khulu’ manakala
dia sudah dicampuri dan bukan wanita yang sedang memasuki masa menopaus dan
hamil atau berusia dibawah sembilan tahun. Mereka juga mensyariatkan agar ada
dua saksi laki-laki yang adil.
B.
Iddah
Dalam Hukum
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya
karena cerai talak, cerai gugat, atau karena ditinggal mati suaminya, mempunyai
akibat hukum yaitu melaksanakan iddah.
Keharusan menjalankan iddah merupakan
perintah Allah yang dibebankan oleh bekas istri yang telah dicerai. Untuk
memudahkan pembahasan kita mengenai iddah,
maka akan di paparkan sebagai berikut:
a.
Pengertian Iddah
Jika
dikaji secara etimologi, kata iddah
berasal dari kata kerja “adda-ya‟ uddu yang artinya menghitung sesuatu ( ihsha‟u
asy-syay‟i). Adapun kata iddah memiliki arti seperti kata al-adad yaitu ukuran
sesuatu yang dihitung atau jumlahnya. Jika kata iddah tersebut dihubungkan dengan kata al-mar‟ah (perempuan) maka artinya harihari
haid/ sucinya, atau hari-hari ihdadnya
terhadap pasangannya atau hari-hari menahan diri dari memakai perhiasan baik
berdasarkan bulan, haid/ suci, atau melahirkan.
Wahbah
Zuhaili mengemukakan, iddah secara
bahasa adalah menahan, terambil dari kata Adad
(bilangan) karena mencakup atas bilangan dari beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut
kebiasaan.
Menurut
Syabiq, yang dinamaksud iddah dari
bahasa adalah menghitung hari-hari dan masa bersih seorang wanita. Adapun
menurut al-Jaziri kata iddah mutlak
digunakan untuk menyebut hari-hari haid wanita atau hari-hari sucinya.
Dari
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqih tersebut dapat dipahami
bahwa pengertian iddah dari segi
bahasa berasal dari kata Adda yang
artinya bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya wanita menghitung
hari-harinya dan masa bersihnya setelah cerai dari suaminya.
b.
Secara Terminologi
Dari
sisi terminologi, para ahli fiqih telah merumuskan definisi iddah dengan berbagai ungkapan. Meskipun
dalam redaksinya yang berbeda, berbagai
ungkapan tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya. Menurut al-Jazirib
sebagaimana dikutip oleh Wahyudi, Iddah secara
syar‟i memiliki makna yang lebih luas
daripada makna bahasa, yaitu masa
tunggu perempuan yang tidak hanya didasarkan pada bulan atau ditandai dengan
melahirkan dan selama masa tersebut seorang wanita dilarang untuk menikah
dengan pria lain. Iddah merupakan
sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah
berpisah dengan suaminya.[28]
Ashon‟ani dalam yang dikutip oleh Depag RI
memberikan definisi iddah adalah
sebagai berikut:
“Iddah ialah suatu nama bagi suatu
masa tunggu yang wajib dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan
setelah kematian suaminya itu, baik dengan melahirkan anaknya, atau beberapa
kali suci / haid, atau beberapa bulan tertentu” (Departemen Agama, 1983: 274).
c.
Dasar Hukum Iddah
Kewajiban
menjalankan Iddah bagi seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya baik
karena talak ataupun kematian suaminya, didasarkan pada al-Quran, hadis, maupun
ijma‟.[29]
1)
Ayat-ayat al-Quran yang menjadi dasar hukum Iddah adalah
sebagai berikut:
a)
Iddah wanita karena talak
Istri
yang bercerai dari suaminya padahal ia termasuk wanita yang masih berhaidh
(masih bisa datang bulan atau menstruasi), maka iddahnya ialah tiga kali quru‟, yakni tiga kali haidh. Ketetapan ini bersadarkan Qur‟an surah Al-Baqarah (2): 228 adalah
sebagai berikut:
“Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “
Terdapat
perbedaan diantara ulama tentang maksud dari tiga quru‟, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Ulama Hanafiyah
dan Imam ahmad berpendapat bahwa lafadz quru‟ berarti haidh.
b)
Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya
Para
ulama mazhab sepakat bahwa iddah
wanita yang ditinggal mati suaminya, sedangkan dia tidak hamil, iddah nya empat bulan sepuluh hari, baik
wanita tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopaus atau
tidak. Didasarkan atas firman Allah (QS. Al-baqarah (2): 234:
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah
Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Ayat
ini secara tegas dan umum mengatakan
istri yang ditinggal mati suaminya atau cerai karena mati wajib menjalani
iddah selama empat bulan sepuluh
hari.
c)
Iddah wanita yang belum dicampuri suaminya
Bila
suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tidak memenuhi syarat untuk
dikenai kewajiban ber iddah. Dasar
hokum iddah, perempuan yang belum
dicampuri oleh suaminya QS. Al-Ahzab (33): 49
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali
tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya.”
Para ulama
mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum dan
sesudah berkhalwat, tidak
ber-iddah. Namun terdapat perbedaan pendapat pada wanita
yang telah berkhalwat yang belum dicampuri, sebagian mengatakan wajib ber-iddah dan sebagian lagi mengatakan
tidak wajib untuk ber-iddah.
Hanafi,
Maliki dan Hambali berpendapat, apabila suami telah berkhalwat dengannya tetapi
\ tidak sampai dicampuri kemudian ditalak,
maka istri tersebut wajib ber-iddah. Iddah nya sama dengan istri yang telah
dicampuri. Imamiya danSyafi‟I berpendapat, khalwat tidak mengakibatkan apapun.
Oleh karena itu
perempuan yang telah berkhalwat namun
belum dicampuri tidak
memiliki iddah (Mughniyah,
1991: 191).
d)
Iddah wanita hamil
Iddah wanita hamil adalah sampai
melahirkan bayinya, sekalipun hanya
beberapasaat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita tersebut
sudah boleh kawin lagi Iddah wanita
hamil Iddah wanita hamil adalah
sampai melahirkan bayinya, sekalipun
hanya beberapa saat sesudah ditinggal mati oleh suaminya itu, dimana wanita
tersebut sudah boleh kawin lagi sesudah melahirkan. berdasarkan firman Allah
(QS. at-Talaq (65): 4. “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
Jumhur
ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani masa iddah sampai melahirkan anak yang dikandungnya, meski dia juga
dalam keadaan iddah cerai mati.
Pendapat lain dikemukakan Ibnu Abas dan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
yang berpendapat bahwa iddah wanita
hamil dalam keadaan cerai mati adalah masa terpanjang antara melahirkan dan
empat bulan sepuluh hari.
e)
Iddah wanita khulu’
Dalam
sunnah dijelaskan bahwa iddah wanita
ter-khulu‟ adalah satu kali haidh. Dalam kisah
Tsabit bahwa Nabi bersabda kepadanya “ambilah
sesuatu yang ada bagi wanita atasmu
dan lepaskan jalannya.” Ia menjawab: “ya”. Kemudian Rasulullah perintahkan
kepadanya untuk ber iddah sekali haidh dan kembali kepada ahlinya (HR.
An-nasa‟i dengan isnad yang shahih).
f)
Pergantian Iddah
Berdasarkan
kondisi seorang perempuan yang kadang mengalami haid, tidak mengalami haid,
hamil, menyusui, ataupun karena kematian suaminya ketika dalam masa iddah, maka terjadi pergantian iddah yang harus dijalani seorang
perempuan. Masalah pergantian iddah
ini juga dibahas dalam berbagai kitab fikih yaitu:
1)
Pergantian iddah
berdasarkan haid menjadi iddah
berdasarkan hitungan bulan, yaitu laki-laki yang menceraikan istrinya,
sementara istri masih mengalami haid, kemudian laki-laki itu meninggal
sementara istri dalam masa iddah.
Jika perceraian tersebut merupakan talak raj’i,
maka istri harus mengganti dengan iddah
wafat yaitu empat bulan sepuluh hari. Akan tetapi jika yang terjadi adalah
talak ba‟in, maka perempuan itu cukup
menyempurnakan iddah talak
berdasarkan haid dan tidak iddahnya
tidak berubah menjadi iddah wafat.
Jika perempuan yang menjalankan iddah
dengan haid hanya mendapati haid sekali atau dua kali, kemudian tidak lagi
haid. Maka iddah tersebut berubah
dari berdasarkan haid menjadi berdasarkan bulan.
2)
Pergantian iddah
berdasarkan hitungan bulan menjadi iddah
berdasarkan haid, jika perempuan yang menjalankan iddah berdasarkan bulan karena belum mengalami haid, kemudian
mengalami haid. Jika ini terjadi, wanita itu wajib berganti kepada iddah berdasarkan haid. Akan tetapi jika iddah berdasarkan bulan telah selesai, kemudian wanita itu mengalami haid, tidak
wajib baginya berganti iddah
berdasarkan haid.
3)
Iddah berdasarkan haid atau bulan berubah
menjadi iddah melahirkan, jika wanita
itu yang pada awalnya menjalankan iddah berdasarkan
bulan atau haid, kemudian tampak ada tanda
kehamilan, maka iddahnya berubah
menjadi sampai melahirkan.
g)
Tujuan Iddah
Setiap
perintah Allah pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan iddah. Adapun tujuan diadakannya
iddah sebagai berikut:
1)
Bagi perceraian antara suami istri yang telah bercampur,
Iddah diadakan dengan maksud mengetahui kekosongan rahim, untuk menjaga agar
jangan sampai terjadi percampuran/ kekacauan nasab bagi anak yang
dilahirkannya.
2)
Untuk mewujudkan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam
kehidupan manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi hasrat naluri
hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu macam beribadah kepada Allah
itu jangan sampai mudah untuk diputuskan. Oleh karenanya, perkawinan merupakan
peristiwa dalam hidup manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa,
dipikirkan sebelum dilaksanakan dan dipikirkan masak-masak pula apabila
terpaksa harus bercerai.
3)
Peristiwa perkawinan yang demikian penting dalam hidup
manusia itu harus diuasahakan agar kekal. Dalam hal terpaksa terjadi
perceraianpun, kekekalan perkawinan masih diinginkan. Iddah diadakan untuk member kesempatan suami istri untuk kembali lagi hidup berumah tangga,
tanpa akad nikah baru.
4)
Dalam perceraian ditinggal mati, iddah diadakan untuk menunjukkan rasa berkabungatas kematian suami
bersamasama dengan keluarga suami.
h)
Larangan-larangan wanita dalam masa Iddah
1)
Larangan khitbah (melamar) pada wanita cerai hidup.
“dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad
nikah, sebelum habis 'iddahnya. “
2)
Larangan Khitbah secara terang-terangan (tashrih) namun
boleh dengan sindiran (ta‟ridh) untuk wanita yang cerai mati.
“dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran“
3)
Dilarang keluar rumah saat waktu Iddah belum habis
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”.
4)
Menggunakan wangi-wangian atau sesuatu yang berbau wangi dan
segala jenisnya.
5)
Tidak menggunakan perhiasan dan sejenisnya.
C.
Wanita Karier dalam Wacana Islam
a.
Pengertian Wanita Karier
Sebelum membicarakan tentang ihdad
bagi wanita karier, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian wanita karier
itu sendiri. Dilihat dari susunan katanya, wanita karier terdiri dari dua kata
wanita dan karier. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wanita berarti
perempuan dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecil atau kanak-kanak tidak
termasuk dalam istilah wanita. Sedangkan kata karier mempunyai dua pengertian.
Pertama, karier berarti perkembangan
dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya. Kedua, karier
berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Ketika kata wanita
dan karier disatukan, maka kata itu berarti wanita yang berkecimpung dalam
kegiatan profesi (usaha, perkantoran dan sebagainya).
Pengertian
di atas menunjukkan ada beberapa ciri wanita karier, antara lain:
1)
Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai
suatu kemajuan.
2)
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan
kegiatan-kegiatan profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik
dibidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial,
budaya, pendidikan maupun bidang-bidang lainnya.
3)
Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karier adalah
bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan lainnya.
Dengan
demikian dapat dirumuskan bahwa wanita karier adalah wanita yang menekuni
sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang
dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan,
dan lain-lainnya.
Pengertian
wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya tidak identik dengan
wanita pekerja atau tenaga kerja wanita. Kalau yang dimaksud dengan wanita
pekerja atau wanita bekerja menurut Tapi Omas Ihromi adalah mereka yang hasil
karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan. Meskipun imbalan uang
tersebut tidak mesti secara langsung diterimanya. Misalnya wanita yang bekerja
di ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai pembantu ayah
atau saudaranya, ia akan diberi imbalan setelah hasil panen terjual. Wanita ini
dinamakan wanita bekerja.
Sedangkan
istilah tenaga kerja wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan
di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dilihat dari definisi ini tenaga kerja wanita
lebih berorientasi pada wanita yang bekerja dengan orang lain untuk menghasilkan
suatu produk dan lebih ditekankan kepada usaha perdagangan atau jasa yang
menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan wanita pekerja lebih
ditekankan kepada aspek imbalan keuangan yang diperolehnya dari hasil karya
yang dilakukannya.
Dibanding
dengan wanita karier, baik wanita bekerja maupun TKW memang ada perbedaan. Jika
wanita bekerja lebih ditekankan kepada hasil berupa imbalan keuangan dan TKW
ditekankan kepada kemampuan wanita melakukan pekerjaan untuk menghasilkan jasa
atau barang, maka dalam wanita karier yang ditekankan adalah karier itu
sendiri. Seorang pejabat pemerintah misalnya berhasil dalam mengemban tugasnya,
kariernya meningkat, namun bagaimanapun ia berusaha dan berjuang agar gajinya
akan tetap disesuaikan dengan pangkat dan jabatannya.
Meskipun
ada perbedaan antara wanita karier dengan wanita bekerja atau TKW, namun tidak
berarti mereka terpisah secara diametral. Bisa saja wanita karier justru dari
TKW atau dari wanita bekerja. Yang jelas ketiga tipe wanita diatas memiliki kesamaan,
yaitu mereka giat dan gigih bekerja untuk memperoleh kemajuan.
b.
Kedudukan dan Peranan Wanita Menurut Konsep Islam
Sebagaimana
kita ketahui, sebelum Islam datang (zaman jahiliyah) kedudukan kaum wanita
sangat direndahkan. Setelah Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya.
Kalau Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun wanita ada yang sama
dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan
tugasnya.
1)
Peran wanita menurut konsep Islam
a)
Peran wanita dalam rumah tangga
Peran
dan tugas wanita dalam keluarga merupakan lingkup terkecil dari sebuah
masyarakat yang merupakan pusat awal dari pembentukan tingkah laku seseorang.
Rumah
tangga adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdapat
anggota keluarga diantaranya terdapat ayah, ibu, serta anak. Semua anggota
keluarga mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, dimana wujud keluarga
merupakan bentuk organisasi yang masing-masing anggota keluarga sangat
berperan.
b)
Peran wanita sebagai Ibu
Keluarga
merupakan suatu lembaga social yang paling besar perannya bagi kesejahteraan
social dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya. keluarga
merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan
pribadi anak.
Berbicara
mengenai pendidikan anak, maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu.
ditangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut
sertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja.ibu memainkan peran yang
penting di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita.
c)
Peran wanita sebagai istri pedamping suami
Peran
wanita sebagai istri dapat menjadikan
teman yang dapat di ajak berdiskusi tentang masalah yang di hadapi suami.
Sehingga apabila suami mempunyai masalah yang cukup berat, tapi istri mampu
memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka beban yang di rasakan suami
berkurang. Di samping itu sebagai teman dan menjadi pendengar yang baik.
d)
Peran wanita sebagai masyarakat
Secara
kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya
dengan manusia lain.seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan
individu lain merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Menurut
ajaran Islam pada dasarnya Allah SWT menciptakan baik pria maupun wanita
semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarma baktikan dirinya untuk
mengabdi kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alqur‟an, Q.S adz-Dzaariyat 51-56)
“dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”
Islam
adalah suatu agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, kedudukan, hak dan kewajiban wanita
ada yang sama dan ada pula yang berbeda dengan pria. Dalam banyak hal wanita
diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam
menempatkan sesuai dengan kedudukannya.
2)
Kedudukan Seimbang antara Pria dan Wanita
Allah
telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi
dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu,
disinggung oleh ayat dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin
atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan
karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan
anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap
keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi
suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan
wajah atau cemberutnya. Hal tersebut telah tercermin dalam alqur‟an surah an-Nisa‟ (4) ayat 34 sebagai berikut:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu maka wanita yang saleha, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Hukum
Islam dengan berbagai dimensi yang mengitarinya selama ini
telah dinilai sebagai
sesuatu yang taken of
granted. Upaya untuk melakukan respon terhadap problematika
keummatan acap kali menuntut sebuah reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang
hanya dipahami secara tekstual, jadi dengan menelusuri berbagai hukum Islam
yang memiliki relevansi dengan hak-hak perempuan, maka pada dasarnya dapat
dilihat bahwa alqur‟an secara universal tidaklah
membuka kesenjangan sosial
yang begitu lebar
untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang absolut
untuk di dikotomikan.
D.
Wanita Karier dalam Wacana Islam
a.
Pengertian Wanita Karier
Sebelum membicarakan tentang ihdad bagi
wanita karier, terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian wanita karier itu sendiri.
Dilihat dari susunan katanya, wanita karier terdiri dari dua. kata wanita dan
karier. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wanita berarti perempuan
dewasa. Ini berarti perempuan yang masih kecil atau kanak-kanak tidak termasuk dalam
istilah wanita. Sedangkan kata karier mempunyai dua pengertian.
Pertama,
karier berarti perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan
dan sebagainya. Kedua, karier berarti juga pekerjaan yang memberikan harapan
untuk maju. Ketika kata wanita dan karier disatukan, maka kata itu berarti
wanita yang berkecimpung dalam kegiatan profesi (usaha, perkantoran dan
sebagainya).
Pengertian
di atas menunjukkan ada beberapa ciri wanita karier, antara lain:
1)
Wanita yang aktif melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai
suatu kemajuan.
2)
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan itu merupakan
kegiatan-kegiatan profesional sesuai dengan bidang yang ditekuninya, baik
dibidang politik, ekonomi, pemerintahan, ilmu pengetahuan, ketentaraan, sosial,
budaya, pendidikan maupun bidang-bidang lainnya.
3)
Bidang pekerjaan yang ditekuni oleh wanita karier adalah
bidang pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya dan dapat mendatangkan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan lainnya.
Dengan
demikian dapat dirumuskan bahwa wanita karier adalah wanita yang menekuni
sesuatu atau beberapa pekerjaan yang dilandasi dengan keahlian tertentu yang
dimilikinya untuk mencapai suatu kemajuan dalam hidup, pekerjaan, atau jabatan,
dan lain-lainnya.
Pengertian
wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya tidak identik dengan
wanita pekerja atau tenaga kerja wanita. Kalau yang dimaksud dengan wanita
pekerja atau wanita bekerja menurut Tapi Omas Ihromi adalah mereka yang hasil
karyanya akan dapat menghasilkan imbalan keuangan.46 Meskipun
imbalan uang tersebut tidak mesti secara langsung diterimanya. Misalnya wanita
yang bekerja di ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai
pembantu ayah atau saudaranya, ia akan diberi imbalan setelah hasil panen
terjual. Wanita ini dinamakan wanita bekerja.
Sedangkan
istilah tenaga kerja wanita (TKW) adalah wanita yang mampu melakukan pekerjaan
di dalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dilihat dari definisi ini tenaga kerja wanita
lebih berorientasi pada wanita yang bekerja dengan orang lain untuk
menghasilkan suatu produk dan lebih ditekankan kepada usaha perdagangan atau
jasa yang menyangkut kepentingan masyarakat secara luas. Sedangkan wanita
pekerja lebih ditekankan kepada aspek imbalan keuangan yang diperolehnya dari
hasil karya yang dilakukannya.
Dibanding
dengan wanita karier, baik wanita bekerja maupun TKW memang ada perbedaan. Jika
wanita bekerja lebih ditekankan kepada hasil berupa imbalan keuangan dan TKW
ditekankan kepada kemampuan wanita melakukan pekerjaan untuk menghasilkan jasa
atau barang, maka dalam wanita karier yang ditekankan adalah karier itu
sendiri. Seorang pejabat pemerintah misalnya berhasil dalam mengemban tugasnya,
kariernya meningkat, namun bagaimanapun ia berusaha dan berjuang agar gajinya
akan tetap disesuaikan dengan pangkat dan jabatannya.
Meskipun
ada perbedaan antara wanita karier dengan wanita bekerja atau TKW, namun tidak
berarti mereka terpisah secara diametral. Bisa saja wanita karier justru dari
TKW atau dari wanita bekerja. Yang jelas ketiga tipe wanita diatas memiliki
kesamaan, yaitu mereka giat dan gigih bekerja untuk memperoleh kemajuan.
b.
Kedudukan dan Peranan Wanita Menurut Konsep Islam
Sebagaimana
kita ketahui, sebelum Islam datang (zaman jahiliyah) kedudukan kaum wanita
sangat direndahkan. Setelah Islam datang, diseimbangkan (dinaikkan) derajatnya.
Kalau Islam menetapkan hak dan kewajiban bagi pria maupun wanita ada yang sama
dan ada yang berbeda, itu tidak mempersoalkan kedudukannya, tetapi fungsi dan
tugasnya.
1)
Peran wanita menurut konsep Islam
a)
Peran wanita dalam rumah tangga
Peran
dan tugas wanita dalam keluarga merupakan lingkup terkecil dari sebuah
masyarakat yang merupakan pusat awal dari pembentukan tingkah laku seseorang.
Rumah
tangga adalah bagian dari kehidupan masyarakat yang di dalamnya terdapat
anggota keluarga diantaranya terdapat ayah, ibu, serta anak. Semua anggota
keluarga mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, dimana wujud keluarga
merupakan bentuk organisasi yang masing-masing anggota keluarga sangat
berperan.
b)
Peran wanita sebagai Ibu
Keluarga
merupakan suatu lembaga social yang paling besar perannya bagi kesejahteraan
social dan kelestarian anggota-anggotanya terutama anak-anaknya. keluarga
merupakan lingkungan sosial yang terpenting bagi perkembangan dan pembentukan
pribadi anak.
Berbicara
mengenai pendidikan anak, maka yang paling besar pengaruhnya adalah ibu.
ditangan ibu keberhasilan pendidikan anak-anaknya walaupun tentunya keikut
sertaan bapak tidak dapat diabaikan begitu saja.ibu memainkan peran yang
penting di dalam mendidik anak-anaknya, terutama pada masa balita.
c)
Peran wanita sebagai istri pedamping suami
Peran
wanita sebagai istri dapat menjadikan teman yang dapat di ajak berdiskusi
tentang masalah yang di hadapi suami. Sehingga apabila suami mempunyai masalah
yang cukup berat, tapi istri mampu memberikan suatu sumbangan pemecahannya maka
beban yang di rasakan suami berkurang. Di samping itu sebagai teman dan menjadi
pendengar yang baik.
d)
Peran wanita sebagai masyarakat
Secara
kodrati, wanita sebagai manusia tidak dapat melepaskan diri dari keterikatannya
dengan manusia lain.seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya berhubungan dengan
individu lain merupakan suatu usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan sosialnya.
Menurut
ajaran Islam pada dasarnya Allah SWT menciptakan baik pria maupun wanita
semata-mata ditujukan agar mereka mampu mendarma baktikan dirinya untuk mengabdi
kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alqur‟an, Q.S adz-Dzaariyat 51-56).
“dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
Islam
adalah suatu agama yang lengkap dan sempurna yang dibawa Rasulullah SAW untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia agar memperoleh kebahagiaan dan
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Maka, kedudukan, hak dan kewajiban wanita
ada yang sama dan ada pula yang berbeda dengan pria. Dalam banyak hal wanita
diberikan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam
menempatkan sesuai dengan kedudukannya.
2)
Kedudukan Seimbang antara Pria dan Wanita
Allah
telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi
dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu,
disinggung oleh ayat dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin
atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan
karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan
anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akan bertanggung jawab terhadap
keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi
suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan
wajah atau cemberutnya. Hal tersebut telah tercermin dalam alqur‟an surah an-Nisa‟ (4) ayat 34 sebagai berikut:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu maka wanita yang saleha, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Hukum
Islam dengan berbagai dimensi yang mengitarinya selama ini
telah dinilai sebagai
sesuatu yang taken of
granted. Upaya untuk melakukan respon terhadap problematika
keummatan acap kali menuntut sebuah reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang
hanya dipahami secara tekstual, jadi dengan menelusuri berbagai hukum Islam
yang memiliki relevansi dengan hak-hak perempuan, maka pada dasarnya dapat
dilihat bahwa alqur‟an secara universal tidaklah
membuka kesenjangan sosial
yang begitu lebar
untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai sesuatu yang absolut
untuk di dikotomikan.
E.
Peneltian Terdahulu
a.
Skripsi, Pernikahan
Wanita Dalam Masa Iddah di Desa Bungbaruh
Kadur Kecamatan Pamekasan, oleh Farihatus Sholihah 2012. Penelitian ini hanya di fokuskan kepada faktor ekonomi,
kecemburuan sosial, lingkungan dan faktor minimnya pengetahuan masyarakat
tentang Iddah.
b.
Skripsi, Wanita Karir
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Pandangan K.H Husein Muhammad), oleh Ziadatun Ni‟mah Angkatan 2009. Penelitian ini
hanya difokuskan kepada wanita karir menurut pandangan K.H Husein Muhammad.
Dari kajian Penelitian Terdahulu
sangat jelas berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan pada saa\t ini.
Dalam penelitian ini difokuskan kepada Pandangan Masyarakat Tentang Wanita
Karier Yang Dalam Masa Iddah, lebih tepatnya peneliti beri judul Pandangan
Masyarakat Tentang Profesi Wanita Karier Yang Dalam Masa Iddah Di Desa
Pagarbatu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep. Penelitian ini lebih berbeda
dengan penelitian yang di atas, perbedaannya yaitu dengan cara membahasnya dan
menganalisa. Sedangkan persamaannya dari penelitian di atas dengan
penelitiannya sendiri hampir sama, karena sama-sama membahas tentang Masa
Iddah.
BAB III
METODE PENITILIA
A.
Pendekatan dan jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif analisis, yaitu
peneliti mendiskripsikan dan menganalisa objek penelitian dengan ditunjang
data-data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian lapangan (Field Research).
Dengan
penelitian lapangan (Field Research),
peneliti bisa langsung mengamati kejadian-kejadian atau fenomena-fenomena yang
terjadi disekitar wilayah setting penelitian, sehingga dengan demikian peneliti
bisa mendapatkan data secara baik dan jelas, karena dalam penelitian lapangan
peneliti membuat catatan lapangan secara ekstensif yang kemudian dibuatkan
kodenya dan dianalisis dalam berbagai cara.
Sedangkan
jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah “suatu proses menemukan pengetahuan
dengan menggunakan data berupa gambar dan dokumen-dokumen sebagai alat untuk
menemukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui. Selain itu, John W.
Creswell mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menempatkan
peneliti/ observer di lapangan secara langsung.54 Penelitian
kualitatif dalam penelitian ini berupa penelitian secara deskriptif analisis.
Menurut Lexi J. Moloeng penelitian kualitatif didasarkan
pada upaya membangun pandangan yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan
kata-kata, gambaran holistik dan ungkapan yang jelas.55 Sehingga
dengan demikian penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses
dari pada hasil. Hal ini disebabkan oleh hubungan bagian-bagian yang sedang
diteliti akan lebih jelas apabila diamati dalam proses.
B.
Kehadiran Peneliti
Lexi
J. Moloeng mengatakan bahwa peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat
rumit, peneliti disamping berperan sebagai perencana, pengumpul data,
penganalisa data, penafsir data, juga pada akhirnya sebagai pelapor dari hasil
penelitiaannya.56 Oleh karena itu, kehadiran peneliti sangatlah
penting karena akan sangat menentukan dari hasil penelitian tersebut.
Dalam
penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama dalam penelitian
yang secara langsung membuat rencana penelitian, menyiapkan media penelitian
sekaligus pelaksana dalam penelitian. Disamping itu, peneliti juga bertindak
sebagai pengumpul data dan pengamat (observer)
dalam proses kegiatan pembelajaran.
Sebagai
pengumpul data, peneliti mengumpulkan data yang diperlukan, baik data yang
berupa angket maupun hasil wawancara. Sedangkan sebagai pengamat (observer), peneliti mengamati
tindakan-tindakan obyek yang dianggap penting selama subyek berada dalam
setting penelitian. Dalam hal ini, pengamatan dilakukan secara terbuka, yakni
kehadiran peneliti diketahui oleh subyek dan obyek penelitian secara langsung.
C.
Lokasi Penelitin
Tempat
penelitian adalah berisi penjelasan tentang lokasi penelitian dimana penelitian
akan dilakukan, beserta jalan dan kotanya. Penelitian ini akan dilaksanakan di
desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
Latar
belakang peneliti memilih dilokasi tersebut karena peneliti ingin mengetahui
praktek-praktek pelanggaran masa Iddah
di desa Pagar Batu Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep.
D.
Populasi dan Sampel
a.
Populasi
Dalam
suatu penelitian, kita tidak terlepas dari populasi. Arikunto, menyatakan bahwa
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian.57 Dengan demikian
populasi merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu pelaksanaan
penelitian. Populasi adalah himpunan yang lengkap dari satuan-satuan atau
individu-individu yang karakteristiknya ingin kita ketahui.
Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh perempuan warga desa Pagar Batu Kecamatan
Saronggi Kabupaten Sumenep yang berstatus „cerai‟ sebanyak 17 orang.
b.
Sampel
Sampel
adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.58 Penentuan
sampel dalam penelitian ini menggunakan random
sampling yaitu pengambilan sampel
secara acak atau tanpa pandang bulu.
Sampel dalam penelitian ini adalah wanita karier desa Pagar Batu Kecamatan
Saronggi Kabupaten Sumenep yang berstatus „cerai‟ dan berada dalam masa Iddah sebanyak 4 orang
E.
Sumber data
Menurut
Suharsimi Arikunto, sumber data adalah subjek di mana data diperoleh. Apabila
peneliti menggunakan quesioner atau wawancara dalam pengumpulam datanya, maka
sumber data disebut responden yaitu orang-orang yang merespon atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan.
Menurut
Lofland dan lofland sebagaimana dikutip oleh Lexi J. Moleong, menyatakan bahwa
sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan
tindakan,selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.
Sumber
data manusia merupakan subyek penelitian. Karena itu, ia harus ditentukan
tentang siapa yang akan dijadikan sampel penelitian. Dalam peneltian kualitatif
sampel penelitian diambil dengan teknik Purposive
Sampling (sampel bertujuan). Hal ini sesuai dengan tujuan pengambilan sampel pada penelitian
kualitatif, yaitu untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin bukan untuk
generalisasi sebagaimana penelitian kualitatif.
Adapun data yang dapat diperoleh
sumber data adalah:
Ø Data Primer
Dimana tata ini dapat ditempuh
dengan hasil wawancara dan observasi secara langsung dengan orang-orang yang
terlibat dalam pelaksanaan masa iddah
yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum islam.
Ø Data Sekunder
Sedangkan data sekunder diperoleh
dari data sebagai berikut:
·
Buku-buku Ushul Fiqh yang berhubungan dengan pokok-pokok
permasalahan di atas.
·
Buku mengenai masa iddah dan wanita karier yang bersangkutan
dengan pembahasan di atas.
F.
Prosedur Pengumpulan Data
Fase
terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data. Pengumpulan data tidak lain
dari suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Mustahil peneliti
dapat menghasilkan temuan, kalau tidak memperoleh data.
Pengumpulan
data dalam penelitian ilmiah adalah prosedur yang sistematis untuk memperoleh
data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dapat
dilakukan melelui setting dari berbagai sumber, dan berbagai cara.
Adapun metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Wawancara
Metode
interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan
penelitian. Pada umumnya dua orang atau lebih hadir secara fisik dalam proses
Tanya jawab.
Menurut
Lexi J. Moleong, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewaancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interview) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
itu.
b.
Observasi
Observasi adalah metode yang digunakan dengan cara
pengamatan dan pencatatan data secara sistematis terhadap fenomena-fenomena
yang diselidiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, menyatakan bahwa
observasi disebut juga dengan pengamatan melalui penglihatan, penciuman,
pendengaran, peraba dan pengecap.
c.
Dokumentasi
Teknik
pengumpulan data yang juga berperan besar dalam penelitian kualitatif
naturalistic adalah dokumentasi. Para ahli sering mengartikan dokumen dalam dua
pengertian, yaitu: pertama,sumber tertulis bagi informasi sejarah sebagai
kebalikan dari pada kesaksian lisan, artefak, peninggalan- peninggalan
terlukis, dan petilasan-petilasan arkeologis. Kedua, diperuntukkan bagi
surat-surat resmi dan surat-surat Negara seperti surat perjanjian,
undang-undang, hibah, konsesi dan lainnya. Dokumen dalam pengertiannya yang
lebih luas dapat berupa setiap proses pembuktian yang didasarkan atas jenis
sumber apapun, baik itu yang bersifat tulisan, lisan, gambaran, atau
arkeologis.
G.
Analisis Data
Analisis data menurut Patton, sebagaimana disebutkan
Lexi J. Moleong, adalah
”sebuah program mengatur
urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar”. Adapun
teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
deskriptif kualitatif, yaitu dengan menuturkan dan menafsirkan data
yang ada, misalnya
tentang situasi yang
dialami sehubungan kegiatan, pandangan, sikap yang tampak atau suatu
proses yangsedang terjadi, kelainan yang muncul, kecenderungan, pertentangan
dan sebagainya. Penggunaan teknik ini
sesuai dengan sifat data yang dihasilkan dalam penelitian, yaitu data
kualitatif atau data yang tidak diwujudkan dalam bentuk angka.
Sumber
data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan,
selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen, arsip-arsip dan lain- lain.
Berkaitan dengan hal itu, pada bagian ini jenis datanya di bagi kedalam
kata-kata dan tindakan sumber data tertulis dan foto.
Melalui
teknik ini data yang diperoleh akan dipilah-pilah kemudian dilakukan
pengelompokan atas data yang sejenis dan selanjutnya di analisis isinya sesuai
dengan informasi yang dibutuhkan. Kemudian di gambarkan dalam bentuk kata-kata
atau kalimat.
H.
Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan
keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi yang
digunakan untuk pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembandingan terhadap data
tersebut.
Teknik
triangulasi yang paling banyak di gunakan adalah pemeriksaan sumber lainnya,
adapun pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan
triangulasi sumber, yaitu yang brarti membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
dalam metode kualitatif.
[1]
Artikel,Mengaji Hukum, PerlindunganHukum-Wanita, hlm. 13
( Jakarta: Pt Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 11.
[3] Amir,
Syaifuddin, Hukum Perkawinan Islam
(antara fikih dan UU perkawinan). (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 303
[4]
Ibid, hlm. 303
[5] Ibnu Rasyid, Bidayah
al-Mujtahid, Juz II, (Surabaya, Al-Hidayah, t.t), hlm. 92.
[6]
Ibid, hlm. 92
[8] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III (Jakarta,
1990), hlm. 1007
[18] Anwar
Sitompul, S.H., Kewenangan dan Tata Cara
Berpekara di Pengadilan Agama, (Bandung: CV. Amirco), hlm. 44
[20] Ahmad
Zuhdi Mundhor, Atabila Ali, Kamus
Kontemporer Arah Indomesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok
Pesantren Krapyak), hlm. 1141
[24] Muhammad
Bagir Al Habsyi, Fiqh Praktis Menurut
Al-Qur’an, As Sunnah dan Pendapat Ulama’,
buku kedua, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 235
[25] Departemen
Agama RI, 1984, Al-Qurían dan Terjemah,
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an, hlm. 299
[28] Sabiq,
sayyid. Fiqih Sunah Jilid 8 diterjemahkan
oleh Thalib. (Bandung: Al Ma‟arif.
1987), hlm. 103
[29] Departemen
Agama RI, 1984, Al-Qurían dan Terjemah,
Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur‟an 1289