Saturday 15 September 2018

Pengertian kaidah




BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah
Kaidah fiqh adalah suatu ilmu yang berkaitan penjelasan tentang hukum-hukum yang umum. Kaidah fiqh boleh di ta’rehkan sebagai hkum syara’ secara keseluruhan yang erangkumi berbagai masalah hukum fiqh. Terdapat berbagai kaidah fiqh yang telah diperkenalkan oleh para ulama untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru timbul dalam sehari-hari.
Kaidah-kaidah yang diperkenalkan jelas dapat memberi dampak positif dalam memelihara kemaslahatan ummat sekarang. Terdapat lima kaidah utama yang disepakati dikalangan fiqaha. Salah satunya adalah الآمور بمقاصدها  (segala sesuatu tergantung pada niatnya).
Kaidah ini berasal dari banyak materi fiqh, karena di dalam fiqh, nilai suatu perbuatan tergantung pada niatnya. Di dalam ibadah, apakah niat ibadah itu wajib atau sunnah, adāan atau qadhāandalam muamalah, apakah niat member  atau meminjamkan, dalam jinayat apakah kesengajaan (dengan niat) atau kesalahan (tanpa niat) dan seterusnya.
B.            Rumusan Masalah
1.        Apa Pengertian kaidah
2.        Bagaimana Aplikasi Kaidah
3.        Apa saja Kaidah-Kaidah Cabang
4.        Bagaimana Pengecualian Kaidah
C.           Tujuan
Untuk bisa lebih memahami tentang kaidah Fiqh serta sumber-sumber pengambilan kaidah. Dan juga bisa memahami bagaimana pengaplikasian Kaidah fiqh itu sendiri.


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian kaidah
Kaidah secara etimologi diambil dari bahasa arab  القاعدةyang artinya adalah pondasi atau dasar, sedangkan القواعد adalah bentuk jama’ dari القاعدة. maka kaidah secara etimologi mempunyai arti dasar.
          Sedangkan dalam tintauan terminologi kaidah punya beberapa arti:
a.       الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya : ketentuan universal yang bisa bersusaian dengan bagian-bagiannya serta bisa difahami hukumnya dari perkara tersebut.
b.      Al-Yuriza mengungkapkan makna terminiloginya adalah sebuah hukum dalam masalah yang masuk dalam cakupan pembahasan.
Sedangkan manyoritas ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan “hukum yang biasa berlaku yangb bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya dan juga yaitu kaidah yang bersifat umum yang mengelompokkan masalah-masalah fiqh terperinci menjadi beberapa kelompok dan kaidah juga merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dan mengisbath hukum bagi sesuatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaidah”.[1]
1.             Pengertian kaidah الأمور بمقاصدها  
Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya. Dengan kata lain bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta hubungannya baik dalam ucapannya, perbutan, dan lain sebagainya bergantung pada niatnya. Dengan kata lain niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan perbuatan menjadi kreteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.
Di kalangan ulama-ulama syafi’iyyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai pedengan pelaksanaannya.
قصد الشيء مقترنا بفعله  او القصد المقارن للفعل
Dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbiratul ihram.
القصد بالقلب ويجب ان تكون النية مقارنة لتكبير
“Di kalangan mazhab hambali juga mengatakan bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini didalam hatinya, itupun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbiratul ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertai dengan ibadah.
2.             Fungsi Niat
a.              Untuk membedakan ibadah dan adat kebiasaan
b.             Untuk membedakan kualitas pebuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
c.              Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnat.
Dengan menyertakan niat, perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dibedakan sebagai perbuatan ibadat dan perbuatan yang berdasarkan adat kebiasaan. Mandi dan wudhuk yang disertai niat untuk beribadah akan berbeda dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihkan badan dan muka.
Menyerahkan sebagian harta kepada fakir miskin jika di barengi dengan niat membayar zakat atau bersedekah atau tebusan sumpah yang di langgar, maka perbuatan itu menurut adat sebagai sumbangan sosial. Karena berniat untuk melakukan ibadah puasa, maka meninggalkan makan dan minum itu dapat menjadi amal ibadah, bukan hanya sekedar menghindari suatu penyakit atau mengurangi pengeluaran belanja bagaimana yang biasa terjadi menurat adat kebiasaan.
3.             waktu pelaksanaan niat
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini di dasarkan penelitian ulama yang mengatakan bahwa huruf “ba” yang terletak pada kata bi Al-Niyyati  mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Hal ini memberi sebuah pengertian  bahwa niat merupakan bagian dari amal itu sendiri, oleh kerenanya niat tidak boleh diakhirkan dari amal yang akan dikerjakan, apalagi didahulukan. Namun aturan main ini tidaklah bersifat kaku. Ulama masih memberikan toleransi dalam beberapa ritual ibadahdi sesuaikan dengan kondisi dan faktor kesulitan pelaksanaannya. Disamping ini, kemampuan pelaksanaan niatpun masih dipertimbangkan. Faktor lain yang menjadi pertimbangan fuqaha adalah permulaan suatu ibadah bersifat nisbi dan relatif, artinya permulaan amal ibadah yang satu dengan yang lainnya tidak lah sama.[2]
Berikut ini adalah beberapa contoh niat yang boleh didahulukan karena faktor kesulitan membersamakan  dengan permulaan pekerjaan.
a.              Puasa wajib
b.             Pembagian zakat
c.              Kafarah
d.             Penyembelihan Qurban
4.             hal-hal yang membatalkan niat
Hal-hal yang membatalkan niat adalah:
1)             Riddah atau murtad, yaitu terputusnya agama islam seseorang. Baik yang ditimbulkan dari niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kuffur.[3]
2)             Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang di jalankan, semisal orang melakukan shalat, kemudian berniat memutuskan shalatnya, maka shalatnya menjadi batal. Hukum batalnya shalat dengan niat memutus ini merupakan qiyas dengan masalah iman, dimana iman sendiri bisa putus hati seorang muslim.
3)             Niat mengganti atau memindah suatu ibadah di klasifikasikan dan digambarkan dengan contoh berikut:
a.    Mengganti sebuat shalat fardhu dengan shalat fardhu yang lain, maka kedua-duanya menjadi tidak sah.
b.    Mengganti shalat sunat dengan fardhu juga tidak sah kedua-duanya


B.            Aplikasi Kaidah
1.             Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah raka’at, maka bila seseorang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 raka’at tetapi ia tetap dalam melaksanakan 3 raka’at, maka shalatnya tetap sah.
2.             Seseorang yang akan melaksanakan shalat zuhur tetapi niatnya melaksanakan shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
3.             Seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan seseorang, dan maksudnya dengan Ridwan. Maka sumpahnya hanya berlaku pada ridwan saja.
4.             Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka’at dia berpindah kepada shalat tahiyyatal-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
5.             Seseorang mengkasad bahwa tujuan dari memakan sesuatu makanan ataupun minuman yaitu untuk bisa beribadah kepada Allah swt, maka perbuatannya tersebut diberi pahala.
6.             Seorang suami yang mentalak istrinya dengan menggunakan lafat kinayah, maka apabila suami tidak meniatkan lafaz kinayah tersebut kepada talak maka talaknya itu tidak sah. Tetapi bila dikasadkan sebagai lafaz talak maka talaknya sah.
7.             Seseorang yang tidur dan berniat supaya bisa kuat untuk beribadah, maka perbuatan tidurnya itu diberi pahala.
8.             Seseorang perempuan yang sedang berhaiz tidak melaksanakan shalat atau pun puasa dengan niat menjunjung perintah syar’i, maka niatnya tersebut akan diberi pahala.
9.             Seseorang yang belajar pelajaran metematikayang berniat supaya bisa memecahkan masalah yang terdapat dalam faraiz, maka niatnya itu diberi pahala.
C.           Kaidah-Kaidah Cabang
Selama perbuatan-perbuatan itu tidak di anggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala slama tidak diniatkan yang baik, ketetapan semacam ini telah disepakati oleh selruh ulama. Adapun mengenau sahnya amal, ada yang disepakati oleh para ulama bahwa niat itu sebagai syaratnya, separti niat didalam wudhu. Ulama syafi’iyyah dan malikiyah menganggap niat itui fardhu  (wajib), ulama hambaliyah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakkadah. Artinya jika tidak, tidak dipahalai, sekalipun shalatnya juga sah. Kesukaran yang berlebihan yang dimaksudkan untuk menambah pahala. Justru tidak akan di pahalai, tetapi yang di pahalai adalah kesukatan yang lazimdalam melakukan amalan itu.
Misalnya kekeliruan menyatakan niat
1.             Dalam shalat zuhur dengan shalat asahar.
2.             Dalam shalat idul fitri dengan idul adha.
3.             Dalam shalat rawatib zuhur dengan shalat rawatib ashar.
4.             Dalam shalat dua raka’at ihram denga shalat dua raka’at tawaf dan sebaliknya.
5.             Dalam berpuasa ‘arafah dengan puasa ‘asyura, dan sebagainya.
Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan disebabkan masing-masing dari perbuatan itu di tuntut adanya pernyataan niat itu untuk membedakan ibadah yang satu dengan yang lainya.
Misalnya: Seseorang bersembahyang jama’ah dengan niat ma’mum kepada muhammad. Ternyata orang yang menjadi imamnya bukan muhammad, tetapi amin. Shalat jama’ah orang tersebut tidak sah, sebab keimamahannya telah digugurkan oleh amin sedang niat kema’mumannya telah digugurkam oleh muhammad, lantaran berma’mumannya dengan Amin tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sembahyang berjamaah tidak disyari’atkan, tetapi yang disyari’atkan adalah niatnya berjamaah. "perbuatan yang secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di haruskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, tidak muzarat”.[4]
Misalnya:
1.             Seseorang bersembahyang ashar dengan menyatakan niatnya bersembahyang dimesjid IAIN Sunan Kalijaga, padahal ia bersembahyang dimesjid Syuhada Yogyakarta, sembahyang orang tersebut tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah di penuhi dan benar, sedangkan yang keliru adalah pernyataan tempatnya, kekeliruan tentang pernyataan tempat sembahyang yang tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara garis besar maupun secara terperinci.
2.             Seseorang bersembahyang dengan menyatakan pada niatnya sembahyang pada hari kamis, padahal hari yang ia sembahyang itu adalah hari jum’at, maka sembahyangnya tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari dan tanggal ia sembahyang tidak disyari’atkan.[5]
D.           Pengecualian Kaidah
Diantara pengecualian kaidah diatas adalah:
1.             Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, Malaikat, khauf ,raja’, iqamah, azan, zikir  dan membaca Al-Quran kecuali membacanya dalam rangka nazar.
2.             Tidak diperlukan niat dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (Haram) karena tidak melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai, memang betul, diperlukan niat apabila mengharapkan pahala dengan meninggalkan larangan.
3.             Keluar dari shalat tidak diperlikan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan meninggalkan suatu perbuatan.


BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
الآمور بمقاصدها  Adalah kaidah yang pertama dari lima kaidah atas, الآمور بمقاصدها  merupakan suatu kaidah yang menjelaskan tentang segala hal yang berhubungan dengan niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan, baik itu perbuatan yang di wajibkan oleh syara’ maupun tidak.
Sah atau tidaknya amlan seorang muslim harus didasari dulu dengan berniat dalam hatinya, agar perbuatan yang sedang diperbuatnya itu mendapat pahala ataupun sah.
Tujuan dari mempelajari ilmu kaidah-kaidah fiqh adalah untuk mengetahui apa sebenarnya maksud dari niat itu sendiri. Memang kenyataannya banyak realita dilapangan yang tidak mestinya terjadi, mengenai ketentuan atau cara berniat didalam suatu perbuatan. Hal ini dikarenakan ketidak tahuan ataupun kurangnya informasi yang didapat yang benar mengenai niat.
B.            Saran
Pembaca perlu melakukan kajian lebih lanjut secara mendalam sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam penyusunan makalah khususnya tentang jarimah qhisas dan diyat.
Sedangkan bagi penulis lanjutan diharapkan mampu mengembangkan makalah ini, dan menjadi bahan acuan untuk memperbanyak informasi serta dapat  membaca buku lain dalam rangka menambah pengetahuan tentang Jarimah Qishas dan diyat.








DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Sa’diyyah Fitran, tt.
Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab, ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1.
Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Sayuti Asy-Syafi’i, Al-Ashbah Wa An-Nadzair, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, Cet. 4, Surabaya: Khalista, 2006.
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I, Bandung; Al-Ma’arif, 1986











[1] Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyah, Ushul Fiqh Wal Kawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Sa’diyyah Fitran, tt
[2] Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab, ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1.
[3] Imam Jalaluddin Abdurrahman Bin Abi Bakar As-Sayuti Asy-Syafi’i, Al-Ashbah Wa An-Nadzair, Surabaya: Al-Hidayah, tt.
[4] KH. Maimoen Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Kiadah Fiqh Konseptual, Cet. 4, Surabaya: Khalista, 2006.
[5] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I, Bandung; Al-Ma’arif, 1986