Tuesday 25 September 2018

Fiqh Hadits


BAB II
PEMBAHASAN

A. Matan  Hadits                                    
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةٌ بْنُ سَعِيْدٍ وَأَبُو كَامِلِ الْجَحْدَرِيُّ – وَاللَّفْظُ لِسَعِيْدٍ – قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُوعَوَانَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: دَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى بْنِ عَمِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ. فَقَالَ:أَلاَ تَدْعُو اللهَ لِى، يَا ابْنَ عُمَرَ؟قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقٌولٌ:((لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ،وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ)) وَكُنْتَ عَلَى الْبَصْرَةِ. (رواه مسلم)                                                                                                   
Artinya: sa’id bin Manshur, Qutaibah bin sa’id, dan Abu kamil al-jahdari menyampaikan kepada kami – lafaz milik Sa’id- dari Abu Awanah, dari simak bin Harb bahwa Mush’ab bin Sa’d berkata, “Abdullah bin Umar datang menjenguk Ibnu Amir yang sedang sakit. Ibnu Amir berkata, ‘Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untukku, wahai Ibnu Umar?’ Ibnu Umar berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘shalat tanpa bersuci tidak akan diterima, sedekah tidak akan diterima jika(harta yang disedekahkan) berasal dari jalan yang haram. Engkau adalah penguasa Bashrah (yang telah banyak berbuat kedzaliman, oleh karena itu bertaubatlah)” (HR.muslim)[1]
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ عَوَانَةَ،عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيْحِ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: ((لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ)). (النّسائي)
Artinya: Qutaibah mengabarkan kepada kami dari Abu Awanah yang menyampaikan dari Qatadah, dari Abu aI-Malih, dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari harta yang haram.” (HR: An-Nasa’i)[2]
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيْحِ، عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النًّبِيِّ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: ((لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ، وَلَا صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ)). (أبو داود)
Artinya: Muslim bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Abu aI-Malih, dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah tidak menerima sedekah dari ghulul (penggelapan harta rampasan perang), dan tidak (menerima) shalat tanpa bersuci.” (HR.Abu Dawud)[3]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ؛ ح: وَ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ خَتَنُ الْمُقْرِئِ: حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالُوا: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبَى الْمَلِيحِ بْنُأُسَامَةَ، عَنْ أَبِيْهِ أُسَامَةَ بْنِ عُمَيْرٍ الْهُذَلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: ((لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً إِلاَّ بِطُهُوْرٍ، وَلَا يَقْبَلُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ)).
Muhammad bin Basyar menyampaikan kepada kami dari Yahya bin Sa’id dan Muhammad bin Ja’far; dalam sanad lain, Bakr bin Khalaf Abu Bisyrin Khatan aI-Muqri’ menyampaikan kepada kami dari Yazid bin Zurai’ dari Syu’bah, dari Qatadah, dari Abu al-Malih bin Usamah, dari ayahnya Usamah bin Umair aI-Hudzali, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima shalat, kecuali dengan bersuci dan tidak menerima sedekah dari harta hasil khianat (atau curian)” (HR.Ibnu majah)[4]






B. Makna Mufradat
لاَ (ضِدُّ نَعَمْ)      :Tidak (Lawan kata iya)
يُقْبَلُ                                                                                                                                                                     : Yang dapat diterima
صَلاَةً:            sholat
بِغَيْرِ selain/tanpa:           
طُهُوْرٍ                                                                         :suci
وَلاَ dan tidak:             
صَدَقَةَ                        : Shodaqoh (Sedekah)
مِنْdari:             
[5]غُلُوْلٍ                         : harta haram

C. Fiqh Hadits
Di dalam sanad hadits di atas terdapat seorang perawi yaitu Abu Kamil Al-Iahdari. Namanya adalah Al-Fudhail bin Husain, ia dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama ]ahdar. Selain dia, disebutkan juga seorang perawi yaitu Abu Awanah, adapun namanya adalah Al-Wadhdhah bin Abdillah.
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
“Tidak akan diterima shalat (doa) tanpa bersuci, sedekah dari hasil ghulul (harta yang diperoleh dari ghanimah sebelum dibagikan).” Hadits ini menunjukkan teutang kewajiban bersuci saat hendak shalat. Berdasarkan ijma para ulama, mereka menetapkan bahwa bersuci merupakan salah satu syarat sah nya shalat.
Al-Qadhi Iyadh berkata, ”Ulama telah berselisih pendapat tentang kapan diwajibkan bersuci saat hendak menunaikan shalat. Ibnu Al-Jahm berpendapat bahwa wudhu“ pada awal Islam hukumnya adalah “mah. Kemudian turunlah kewajibannya bersamaan dengan ayat Perintahuntuk bertayammum." Jumhur ulama berkata, ”Tidak, bahkan Pada awal-awal Islam hukumnya wajib[6]
Islam mensyari'atkan bersuci, karena memuat banyak hikmat, yang kami sebutkan di sini di antaranya:
l.   Bahwa thaharah itu termasuk tuntutan fitrah. Karena manusia dengan fitrahnya cenderung kepada kebersihan, dan dengan tabiatnya membenci kotoran dan hal-hal yang menjijikkan. Dan oleh karena Islam itu agama fitrah, maka wajarlah bila ia menyuruh bersuci dan menjaga kebersihan.
2.                        Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam. Karena, manusia dengan tabiatnya cenderung kepada yang bersih, suka berhimpun di sekelilingnya dan duduk bersamanya, dan tidak menyukai yang kotor, bahkan menghinanya, membencinya, dan tidak suka duduk bersamanya. Dan oleh karena Islam sangat menginginkan, agar orang yang beriman menjadi manusia terhormat dan punya harga diri, maka disuruhnya ia menjadi orang yang bersih, agar menjadi orang yang terhormat dan mulia di tengah kawan-kawannya.
3.            Memelihara kesehatan. Karena, kebersihan itu merupakan jalan paling utama yang dapat memelihara manusia dari berbagai macam penyakit. Karena, penyakit-penyakit itu lebih sering tersebar di kalangan masyarakat, disebabkan oleh kotoran. Membersihkan tubuh, membasuh wajah, kedua tangan, hidung dan kedua kaki, yang merupakan anggota-anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan kotoran-berkali-kali dalam sehari, akan membuat tubuh terpelihara dari berbagai macam penyakit.
4.                                                Berdiri dihadapan Allah dalam keadaan suci bersih. Karena manusia dalam shalatnya, berbicara dan berbisik kepada Tuhannya. Oleh karena itu, sepatutnya dia menghadap dalam keadaan suci lahir dan batinnya, dan bersih hati dan tubuhnya. Karena Allah Ta'ala menyukai orang-orang yang gemar bertaubat dan menyukai orang-orang yang bersuci.[7]
                                    5.                                                                     Dalil Kewajiban Wudhu, Kepada Siapa Wudhu Diwajibkan, dan Kapan          Diwajibkan Wudhu
Dalil-dalil yang menunjukkan diwajibkannya wudhu adalah ayat-ayat Al-Qur’an, hadits, dan ijma ulama.
Allah SWT berfirman,
يَآءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku.”(Al-Maidah: 6)
                                                                                                                                                            Para ulama sepakat bahwa menjalankan perintah wudhu merupakan kewajiban bagi orang yang hendak melakukan shalat, manakala waktunya telah tiba. Hal ini ditegaskan dalam hadits Nabi SAW,
لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
”Allah tidak berkenan menerima shalat seseorang tanpa bersuci, dan sedekah dari harta yang diperoleh dengan korupsi.”
Dan dalam sabda beliau,
لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya: Allah tidak berkenan menerima shalat orang yang menanggung hadas sebelum ia bersuci.
                                                                        Kedua hadits tadi statusnya shahih menurut para ulama ahli hadist. Sementara ijma atau konsensus ulama menyebutkan, bahwa tidak terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang hal itu. Andaikan terjadi perselisihan, tentu akan terungkap, karena kebiasaannya pasti akan seperti itu.

Wudhu diwajibkan bagi orang yang sudah baligh dan berakal. Hal ini ditetapkan berdasarkan hadits dan ijma. Dasar haditsnya ialah sabda Nabi SAW,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: فَذَكَرَ، الصَّبِىَّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَالْمَجْنُوْنَ حَتَّى يُفِيْقَ
Artinya: ”Diangkatnya pena (tidak dicatat) karena tiga perkara. Disebutkan di antaranya, yakni anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai sembuh.”
          Sedangkan dasar ijma’nya ialah tidak adanya perselisihan di antara mereka tentang hal itu. Para ulama ahli fikih berselisih pendapat tentang apakah beragama Islam itu menjadi syarat sahnya wudhu atau bukan? Ini adalah masalah yang jarang muncul dalam ilmu fikih, karena masalah ini kembali pada masalah yang menyangkut urusan akhirat. Dan tentang waktu diwajibkannya wudhu ialah ketika sudah tiba waktu shalat, atau ketika seorang muslim ingin melakukan ibadah yang diwajibkan bersuci atau berwudhu, walaupun ibadah tersebut tidak berkaitan dengan waktu.
Wudhu wajib dilakukan ketika waktu shalat telah tiba bagi orang yang berhadas, berdasarkan firman Allah SWT,  ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat maka basuhIah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maa’idah: 6). Jadi, wudhu diwajibkan bagi orang yang akan melakukan shalat. Dan di antara syarat sah shalat ialah, sudah masuk waktu shalat.[8]










[1]  Muhammad Nashiruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2003), Hal. 107.
[2] Ahmad bin Syu’aib Abdurrahman an-Nasa’i, Ensiklopedia Hadits 7; Sunan an-Nasa’i, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 128.
[3] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 12.
[4] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits 8; Sunan Ibnu Majah, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 50.
5  Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,1997)
[6] Imam AN-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Jilid 2), (Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2016), Hal. 429.

[7] Anshory Umar Sitanggal, Fiqih Syafi’i Sistimatis, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992), Hal. 126.
[8]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta Timur: Pustaka al –Kautsar,2016), Hal. 3-5