MAKALAH
KONSEPSI MANUSIA
DALAM PENDIDIKAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah Filsafat
Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Siswanto, MP.DI.
Oleh :
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI MADURA
2018
Puji syukur
kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Harapan kami semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik
lagi. Makalah ini kami akui
masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh
kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
Pamekasan, 02
September 2018
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
ii
DAFTAR ISI........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
1
A.
Latar
Belakang............................................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah.......................................................................................
1
C.
Tujuan.........................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................
2
A.
Pengertian
Hakekat Manusia......................................................................
2
B.
Wujud
Sifat Hakekat Manusia....................................................................
4
C.
Hakekat
Manusia Dalam Pandangan Filsafat.............................................. 6
D.
Aspek
Manusia............................................................................................
7
a.
Aliran
Materialisme...............................................................................
7
b.
Aliran
Spiritualisme...............................................................................
7
c.
Aliran
Dualisme....................................................................................
8
E.
Pengembangan
Dimensi-dimensi Manusia Dalam Proses Pendidikan........
8
BAB III PENUTUP............................................................................................
11
A.
Kesimpulan...............................................................................................
11
B.
Saran.........................................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
12
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas
kesatuan harmonis jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.
Manusia lahir dalam keadaan serba-misterius. Artinya, sangat sulit mengetahui
mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti diketahui ialah
bahwa manusia dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua), sadar
akan hidup dan kehidupannya dan sadar pula akan tujuan hidupnya, yaitu kembali
kepada Tuhan. Kehadirannya kedunia seperti buku tanpa bab pendahuluan dan
penutup. Ia hanya menghadapi isinya saja. Ia harus menyusun sendiri bab
pendahuluan dan penutupnya itu berdasarkan fakta yang tersirat dalam lembaran-
lembaran isinya. Oleh Karena itu setiap orang akan cenderung berbeda
pandangannya tentang ide pendahuluan buku yang menggambarkan asal-usul dan ide
penutup buku yang menggambarkan tujuan akhir hidupny nanti.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pengertian Hakekat Manusia ?
2.
Bagaimana Wujud Sifat Hakekat Manusia ?
3.
Bagaimana Hakekat Manusia Dalam Pandangan Filsafat ?
4.
Apa Saja Aspek Manusia ?
5.
Bagaimana Pengembangan Dimensi-dimensi Manusia Dalam Proses
Pendidikan ?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Pengertian Hakekat Manusia
2.
Untuk Mengetahui Wujud Sifat Manusia
3.
Untuk Mengetahui Hakekat Manusia Dalam Pandangan Filsafat
4.
Untuk Mengetahui Aspek Manusia
5.
Untuk Mengetahui Pengembangan Dimensi-dimensi Manusia Dalam
Proses Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hakekat Manusia
Secara
faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan
untuk manusia. Itulah mengapa pembicaraan tentang pendidikan tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan tentang manusia. Dari beberapa pendapat tentang
pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan pada umumya sepakat bahwa
pendidikan itu diberikan atau diselengarakan dalam rangka mengembangkan seluruh
potensi kemanusiaan ke arah yang positif. Dengan pendidikan, diharapkan manusia
dapat meningkat dan berkembang seluruh potensi atau bakat alamiahnya sehingga
menjadi manusia yang relatif lebih baik, lebih berbudaya, dan lebih manusiawi.
Agar kegiatan pendidikan lebih terarah, sehingga nantinya dapat berdaya guna
dan berhasil guna, maka diperlukan pemahaman yang relatif utuh dan komprehensif
tentang hakekat manusia.[1]
Berbicara tentang hakekat manusia
membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia,
yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah
banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis
melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupkan
pokok yang problematis.[2]
Dengan ungkapan lain, manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri.
Informasi penting sekitar kemesterian manusia dapat dilihat dalam buku berjudul
Manusia, Sebuah Misteri, karya dari Louis Leahy (1989). Dalam beberapa
sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah
makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri,
keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan
itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang.
Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga
dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia
mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu
kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya
(der Weij, 1991: 7-8)
Berdasarkan fakta tersebut, maka ada
yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan
terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran biologis, pola
pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis
(lihat Basis Edisi Oktober 1980: 371-375). Penulis sendiri lebih memilih
pola pemikiran yang keempat itu bukan pola pemikiran teologis, melainkan pola
pemikiran religius. Hal ini didasarkan pada rumusan pengertian manusia sebagai homo
religiosus. Sedangkan pola pemikiran biologis, psikologis dan
sosial-budaya masih dapat dipertahankan.
a.
Manusia menurut pola pemikiran biologis
Menurut pola pemikiran ini, manusia
dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh
dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia
merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat
kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan
aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme
pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan
dan proses sosial-budaya. Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya
smembentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan
deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya
ditentukan oleh alam lingkungannya. Menurut pola ini, manusia dipahami dari
sisi internalitas, yaitu manusia sebagai pusat kegiatan intern yang menggunakan
bentuk lahiriah tubuhnya untuk mengekspresikan diri dalam komunikasi dengan
sesamanya.
b.
Manusia menurut pola psikolgis
Kekhasan pola ini adalah perpaduan
antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis
tertentu, misalnya fenomenologi. Tokohtokoh yang berpengaruh besar pada pola
ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger
mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari
psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan
pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi,
nafsu dan dorongan seksual.
c.
Manusia menurut pola pemikiran sosial-budaya
Manusia menurut pola pemikiran ini
tampil dalam dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan
kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak
hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Salah satu
tokoh yang termasuk dalam pola ini adalah Erich Rothacker. Dia berupaya
memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi
pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. Yang dimaksud reduksi
pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan
tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang
melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung.
Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang
menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya,
kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan,
karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras.[3]
B.
Wujud Sifat Hakekat Manusia
Wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki hewan) yang
dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam
membenahi konsep pendidikan yaitu:
a.
Kemampuan menyadari diri
Kaum rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan
hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat
adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia
menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki cirri khas atau karakteristik diri,.
b.
Kemampuan bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara
aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu,
berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas
membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan
soal ruang,
c.
Pemilikan kata hati
Kata hati atau conscience of man juga sering disebut
dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati dan sebagainya.
Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang
mengikuti perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa
yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan
mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.
d.
Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang
menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut
etika) adalah perbuatan itu sendiri. Di sini tampak bahwa masih ada jarak
antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati
yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya
itu. Untuk menjabatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang
diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal
tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat).
e.
Kemampuan bertanggungjawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan
yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggungjawab.
Wujud bertanggungjawab bermacam-macam.
f.
Rasa kebebasan (Kemerdekaan)
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh
sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini
ada duaa hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan
“sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.
g.
Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul
sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Yang satu ada hanya
oleh karena adanya yang lain.
C.
Hakekat Manusia Dalam Pandangan Filsafat
Hakikat adalah sesuatu yang
mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki yang penting, yang diutamakan.
Dengan kata lain, HAKIKAT adalah SESUATU yang mesti ada pada SESUATU yang jika
SESUATU itu tidak ada maka SESUATU itu pun tidak wujud/ada. Jadi, HAKIKAT
manusia adalah SESUATU yang pasti ADA pada manusia. Upaya pemahaman hakekat
manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum
mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan
manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain
berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki
perbedaaan. Mulai dari fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan dll. Semua itu
menyebabkan suatu pernyataan belum tentu pas untuk di setujui oleh sebagian
orang.[4]
Para ahli pikir dan ahli
filsafat memberikan sbuten kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat
dilakukan manusia di bumi ini;
a.
Manusia adalah Homo
Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b.
Manusia adalah Animal
Rational, artinya binatang yang berpikir,
c.
Manusia adalah Homo
Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan
pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d.
Manusia adalah Homo
Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau
disebut juga Toolmaking Animalyaitu binatang yang pandai membuat
alat,
e.
Manusia adalah Zoon
Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang
lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,[5]
f.
Manusia adalah Homo
Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi
dan bersifat ekonomis,
g.
Manusia adalah Homo
Religious, yaitu makhluk yang beragama. Dr. M. J. Langeveld seorang
tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai Animal
Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah
makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah
merupakan syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan. Ilmu yang
mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi Filsafat.
D.
Aspek
Manusia
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa nanusia itu terdiri dari dua aspek yang
esensial, yakni tubuh dan jiwa. Melihat peran dan fungsi dari kedua aspek yang
saling berhubungan maka dapat dipersoalkan mana yang lebih penting, tubuh atau
jiwa? Timbullah beberapa aliran, yaitu sebagai berikut:
a.
Aliran Materialisme
Aliran materialism berpendapat bahwa yang penting adalah
tubuh manusia. Jiwa dalam tubuh merupakan masalah yang kurang penting karena
jiwa hanya membonceng saja dalam tubuh. Salah seorang tokohnya ialah Ludwig
Feuerbach, yang berpendapat bahwa dibalik manusia tidak ada makhluk lain yang
misterius yang disebut jiwa, seperti tidak adanya Tuhan dibalik ala mini.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa sesuatu itu disebut nyata apabila dapat
dirasakan oleh panca indera. Manusia merupakan makhluk jasmani yang dinamis.
Jiwa adalah gejala sampingan sebagai kesan subjektif yang timbul karena secara
pribadi menghayati eksistensi kita sendiri. Jiwa sesuatu yang abstrak, hanya
tubuh yangf merupakan sesuatu yang nyata dan benar, dan bersifat objektif.
Filsafat yang dikemukakan oleh Feuerbach tersebut secara filosifi bersifat
materialis, secara religious bersifat ateis, dan secara social- ekonomi
bersifat sosialis- komunis. Filsafat tersebuut dalam abad XIX sangat
berpengaruh atas pemikiran Karl Marx dan Friederich Engels.
b.
Aliran Spiritualisme
Aliran spritualisme berpendapat bahwa yang terpenting pada
diri manusia adalah jiwa(psyche). Tokohnya antara lain Plato, berpendapat bahwa
jiwa lebih agung daripada badan, jiwa telah ada di alam atas sebelum masuk ke
dalam badan, jiwa itu terjatuh ke dalam hidup duniawi, lalu terikat kepada
badan dan lahirlah manusia yang fana. Dalam kerukunannya, jiwa dan badan tidak
berdiri berdiri berdampingan secara setingkat, melainkan jiwa adalah sesuatu
yang keadaannya bergerak sehingga mempunyai taraf realitas yang lain
jenis. Jiwa merupakan tawanan, dia terkurung dalam badan demi hawa nafsu yang
pembebasannya dapat dilakukan dengan menjauhkan diri dari segala kegiatan
indrawi badan dan mencari kebenarasn tidak melampaui penyerapan. Jiwa harus
lepas dari pembusukan(kontaminasi) badan demi kemurniannya sehingga badan
merupakan rintangan atau kontaminasi terhadap jiwa. Jiwa lebih asli daripada
kenyataan duniawi dan mempunyai pertalian dengan nilai- nilai yang abadi. Dunia
yang indrawi merupakan bayangan dari dunia itu sehingga tugas filsafat adalah
melatih diri dalam menanggalkan hubungan yang mengikat jiwa dam merupakan
persiapan untuk mati. Paham dari Plato yang spiritual itu bersifat ethis-
religious.[6]
c.
Aliran Dualisme
Aliran
dualism berpendapat bahwa tubuh dan jiwa sama pentingnya. Tokohnya antara lain
Rene Descartes, yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berpikir,
sedangkan badan sebagai substansi yang berkeluasaan. Hubungan jiwa dan badan
bukanlah sesuatu yang ditambahkan, melainkan sesuatu yang hakiki sehingga tanpa
salah satu unsure itu bukan merupakan insane. Jiwa dan tubuh merupakan
substansi yang tersendiri dan lengkap sebagai insane. Pandangan dualism ini
dapat dibedakan atas paralelisme dan monism. Dalam paralelisme antara tubuh dan
jiwa terdapat kesejajaran (paralel), keduanya sederajat. Adapun dalam monism
antara tubuh dan jiwa telah terjadi perpaduan sehingga menunggal. Manusia
disebut manusia dalam arti sebenarnya bila tubuh dan jiwa merupakan kesatuan
yang tidak terpisahkan.[7]
E.
Pengembangan Dimensi-dimensi Manusia Dalam Proses Pendidikan
a.
Pengembangan
Manusia sebagai Makhluk Individu
Anak memiliki potensi untuk
berkembang yang ingin menjadi seorang pribadi, ingin menjadi pribadinya
sendiri. Anak dalam perkembangannya akan memperoleh pengaruh dari luar, baik
yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tetapi anak mengambil jarak
terhadap pengaruh- pengaruh tersebut. Dia akan memilihnya sendiri. Pengaruh
tersebut akan dia olah secara pribadi, sehingga apa yang ia terima akan
merupakan bagian dari dirinya sendiri. Inilah yang disebut internalisasi diri,
sehingga akan menjadi seorang individu yang unik, yang berbeda dan tidak sama
dengan yang lainnya. Implikasi bagi pendidik berkaitan dengan pandangan diatas,
pendidik harus sadar bahwa ia bukan satu- satunya manusia yang berhak
untuk mendidik anak tersebut. Pendidik tidak boleh memaksa anak untuk mengikuti
atau menuruti segala kehendaknya, karena dalam diri anak ada suatu prinsip
pembentukan dan pengembangan yang ditentukan oleh dirinya sendiri. Pendidikan hendaknya menghormati
keindividualitasan anak, karakteristik individu anak, kepribadian anak,
keunikan, dan martabatnya.
b.
Pengembangan
Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial tentu
memerlukan pendidikan, karena pendidikan pada hakikatnnya berlangsung dalam
suatu interaksi antar dua manusia atau lebih. Salah satu fungsi pendidikan
adalah membantu perkembangan sosial anak, agar ia dapat menyesuaikan diri,
serta mampu berperan sebagai anggota masyarakat yang konstruktif dan kreatif.
Sebagai makhluk sosial, manusia dapat dipengaruhi oleh manusia lainnya. Selain
memerlukan dan harus memperoleh pendidikan, manusia juga merupakan makhluk yang
dapat menerima pendidikan karena ia dapat dipengaruhi oleh orang lain.
c.
Pengembangan
Manusia Sebagai Makhluk Susila
Pendidikan akan mencakup pengajaran
dan pelaksanaan nilai- nilai. Isi atau materi pendidikan adalah tindakan yang
akan membawa peserta didik mengalami dan menghayati nilai- nilai kemanusiaan,
menghargai, dan meyakini, sehingga peserta didik membangun nilai- nilai
kemanusiaan tersebut ke dalam kepribadiannya. Pendidikan merupakan upaya
membantu dan membimbing peserta didik dalam mengembangkan dan memperkuat hati
nuraninya, sehingga bagaimanapun pendidikan merupakan suatu peristiwa normatif.
d.
Pengembangan
Manusia Sebagai Makhluk Ber-Tuhan
Nilai- nillai yang bersumber dari
Tuhan yang dimanifestasikan dalam ajaran agama, harus memayungi segala bentuk
kehidupan manusia sebagai individu maupun sosial, termasuk di dalamnya
pendidikan itu sendiri.[8]
Nilai- nilai agama bukan hanya sekedar dipelajari, namun lebih jauh harus
dihayati, dan pada akhirnya diinternalisasikan menjadi milik pribadinya,
sehingga manusia dalam segala perbutannya tidak akan terlepas dari nilai- nilai
agama yang bersumber dari Tuhan yang sangat agung dan mulia.(Uyoh
Sadulloh;2010)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia
adalah makhluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas
kesatuan harmonis jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat.
Manusia mempunyai ciri yang istimewa, yaitu kemampuan berpikir yang ada dalam
satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (sehingga sering disebut sebagai
makhluk yang berkesadaran). Sifat hakikat manusia diartikan sebagai cirri-ciri karakteristik,
yang secara prinsipil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan.
Wujud sifat hakikat manusia (yang tidak dimiliki hewan) yang dikemukakan oleh
paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep
pendidikan yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, pemilikan
kata hati, moral, kemampuan bertanggungjawab, rasa kebebasan (Kemerdekaan),
kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak, kemampuan menghayati
kebahagiaan.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini kami penulis mengharapkan
Penilaian dari dosen pengampuh dan juga penilaian dari audien atas makalah yang
kami buat ini, sehingga jika memang ada
penuturan atau pemaparan yang kurang bisa kami perbaiki pada pertemuan
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
In’am Esha, Muhammad. 2010. Menuju Pemikiran Filsafat. Malang :
UIN-Malang Press.
Nata,
Abuddin. 2012. Tafsir Ayat-Ayat
Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo
Persada.
Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung. Alfabeta
Smith, Linda dan William Raeper. 2004. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan
Sekarang. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Soetriono
dan Hanafie, Rita.2007. Filsafat Umum dan metodologi penelitian.
Yogyakarta: Andi
Sugono,
Dendy. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa.
Suhartono, Suparlan. 2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta :
Ar-Ruzz.
Surajiyo.
2005.Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Tim
Pengajar Filsafat Pendidikan. 2011. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan:
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan
[4]
Smith, Linda dan William Raeper. 2004. Ide-Ide
Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
[6]
Sugono, Dendy.
2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa. Suhartono, Suparlan.
2005. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta : Ar-Ruzz.
[8]
Tim Pengajar
Filsafat Pendidikan. 2011. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: Fakultas
Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan