BAB I
PENDAHULUAN
A. latar Belakang
Hadits
ahkam adalah sebuah pokok pembahasan yang tak kalah penting bagi mahasiswa
syariah, karena didalamnya akan membahas tentang dalil-dalil hukum yang ada
didalam hadits. Karena hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an yang
di dalamnya terdapat sumber hukum yang harus mahasiswa syariah khususnya kaji
lebih dalam, yang akan kami bahas kali ini adalah dalil hukum tentang thoharah
di dalam hadits-hadits shahih.
Thoharah
adalah bersuci baik dari hadats kecil maupun besar, seperti yang telah kita
ketahui sebelumnya didalam kitab-kitab fiqih semuanya tak akan lepas dari
pembahasan ini. namun, pembahasan paling utama ini hanya tentang haditsnya
saja, bukan sekadar hadits yang boleh kita jadikan sumber hukum. Namun harus
hadits mutawatir yang harus kita jadikan pedoman di dalam membahas tentang
hukum, seperti perawi yang sanadnya mashur dan berjalur pada rasulullah yang
dapat terbukti ke mutawatirannya. Diantaranya: imam bukhari, imam nasa’i, imam
muslim, imam ibnu majah, imam abu dawud. Dan perawi hadits lainnya, yang mempunyai
kitab shahih yang dapat kita jadikan rujukan dalam menentukan sebuah hukum. Di
dalam hadits ahkam juga kami akan memaparkan
penjelasan dari berbagai mazhab terhadap perbedaan pendapat dan tentang
hasil ijtihad seorang ulama masyhur yang akan menarik kita sajikan di dalam
hadits ahkam bab thoharah ini.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang disebut dengan
thoharah?
2. penjelasan hadits tentang thoharah?
3. jelaskan tentang pendapat ulama mengenai thoharoh?
C. Tujuan pembahasan
1. mengetahui makna dari hadits ahkam mengenai thoharah.
2. menyimpulkan pendapat dari para ulama tentang thoharah.
3. memahami penjelasan-penjelasan yang terkandung didalam
pembahasan.
4. menentukan kesimpulan hukum didalam hadits ahkam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Matan Hadits
حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَقُتَيْبَةٌ بْنُ سَعِيْدٍ
وَأَبُو كَامِلِ الْجَحْدَرِيُّ – وَاللَّفْظُ لِسَعِيْدٍ – قَالُوا: حَدَّثَنَا
أَبُوعَوَانَةَ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ:
دَخَلَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى بْنِ عَمِرٍ يَعُودُهُ وَهُوَ مَرِيضٌ.
فَقَالَ:أَلاَ تَدْعُو اللهَ لِى، يَا ابْنَ عُمَرَ؟قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقٌولٌ:((لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ
طُهُورٍ،وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ)) وَكُنْتَ عَلَى الْبَصْرَةِ. (رواه
مسلم)
Artinya: sa’id bin Manshur, Qutaibah bin sa’id, dan Abu kamil
al-jahdari menyampaikan kepada kami – lafaz milik Sa’id- dari Abu Awanah, dari
simak bin Harb bahwa Mush’ab bin Sa’d berkata, “Abdullah bin Umar datang
menjenguk Ibnu Amir yang sedang sakit. Ibnu Amir berkata, ‘Tidakkah engkau
berdoa kepada Allah untukku, wahai Ibnu Umar?’ Ibnu Umar berkata, ‘Aku pernah
mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘shalat tanpa bersuci tidak akan diterima,
sedekah tidak akan diterima jika(harta yang disedekahkan) berasal dari jalan yang
haram. Engkau adalah penguasa Bashrah (yang telah banyak berbuat kedzaliman,
oleh karena itu bertaubatlah)” (HR.muslim)[1]
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُوْ
عَوَانَةَ،عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيْحِ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: ((لَا يَقْبَلُ
اللّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ)). (النّسائي)
Artinya: Qutaibah mengabarkan kepada kami dari Abu Awanah yang
menyampaikan dari Qatadah, dari Abu aI-Malih, dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci dan sedekah dari harta
yang haram.” (HR: An-Nasa’i)[2]
حَدَّثَنَا
مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَبِي الْمَلِيْحِ، عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النًّبِيِّ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قَالَ: ((لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ، وَلَا صَلَاةً
بِغَيْرِ طُهُوْرٍ)). (أبو داود)
Artinya: Muslim bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Syu’bah,
dari Qatadah, dari Abu aI-Malih, dari ayahnya bahwa Nabi SAW bersabda: “Allah
tidak menerima sedekah dari ghulul (penggelapan harta rampasan perang),
dan tidak (menerima) shalat tanpa bersuci.” (HR.Abu Dawud)[3]
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ
جَعْفَرٍ؛ ح: وَ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ خَتَنُ
الْمُقْرِئِ: حَدَّثَنَا يَزِيْدُ بْنُ زُرَيْعٍ قَالُوا: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ،
عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبَى الْمَلِيحِ بْنُأُسَامَةَ، عَنْ أَبِيْهِ أُسَامَةَ
بْنِ عُمَيْرٍ الْهُذَلِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ: ((لَا يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً إِلاَّ بِطُهُوْرٍ، وَلَا يَقْبَلُ
صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ)).
Muhammad bin Basyar menyampaikan kepada kami dari Yahya bin Sa’id
dan Muhammad bin Ja’far; dalam sanad lain, Bakr bin Khalaf Abu Bisyrin Khatan
aI-Muqri’ menyampaikan kepada kami dari Yazid bin Zurai’ dari Syu’bah, dari
Qatadah, dari Abu al-Malih bin Usamah, dari ayahnya Usamah bin Umair
aI-Hudzali, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah tidak menerima shalat,
kecuali dengan bersuci dan tidak menerima sedekah dari harta hasil khianat
(atau curian)” (HR.Ibnu majah)[4]
B. Makna Mufradat
لاَ (ضِدُّ نَعَمْ) :Tidak (Lawan kata iya)
يُقْبَلُ
: Yang dapat diterima
صَلاَةً: sholat
بِغَيْرِ selain/tanpa:
طُهُوْرٍ :suci
وَلاَ dan tidak:
صَدَقَةَ : Shodaqoh (Sedekah)
مِنْdari:
C. Fiqh Hadits
Di dalam sanad hadits di atas terdapat seorang perawi yaitu Abu
Kamil Al-Iahdari. Namanya adalah Al-Fudhail bin Husain, ia dinisbatkan kepada
kakeknya yang bernama ]ahdar. Selain dia, disebutkan juga seorang perawi yaitu
Abu ‘Awanah,
adapun namanya adalah Al-Wadhdhah bin Abdillah.
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
لَا
تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُوْرٍ، وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُوْلٍ
“Tidak akan diterima shalat (doa) tanpa bersuci, sedekah dari hasil
ghulul (harta yang diperoleh dari ghanimah sebelum dibagikan).”
Hadits ini menunjukkan teutang kewajiban bersuci saat hendak shalat.
Berdasarkan ijma para ulama, mereka menetapkan bahwa bersuci merupakan salah
satu syarat sah nya shalat.
Al-Qadhi Iyadh berkata, ”Ulama telah berselisih pendapat tentang kapan
diwajibkan bersuci saat hendak menunaikan shalat. Ibnu Al-Jahm
berpendapat bahwa wudhu“ pada awal Islam hukumnya adalah “mah. Kemudian
turunlah kewajibannya bersamaan dengan ayat Perintahuntuk bertayammum."
Jumhur ulama berkata, ”Tidak, bahkan Pada awal-awal Islam hukumnya wajib”[6]
Islam mensyari'atkan bersuci, karena memuat banyak hikmat, yang kami
sebutkan di sini di antaranya:
l. Bahwa thaharah itu
termasuk tuntutan fitrah. Karena manusia dengan fitrahnya cenderung kepada
kebersihan, dan dengan tabiatnya membenci kotoran dan hal-hal yang menjijikkan.
Dan oleh karena Islam itu agama fitrah, maka wajarlah bila ia menyuruh bersuci
dan menjaga kebersihan.
2.
Memelihara kehormatan dan harga diri orang Islam. Karena, manusia dengan
tabiatnya cenderung kepada yang bersih, suka berhimpun di sekelilingnya dan
duduk bersamanya, dan tidak menyukai yang kotor, bahkan menghinanya,
membencinya, dan tidak suka duduk bersamanya. Dan oleh karena Islam sangat
menginginkan, agar orang yang beriman menjadi manusia terhormat dan punya harga
diri, maka disuruhnya ia menjadi orang yang bersih, agar menjadi orang yang
terhormat dan mulia di tengah kawan-kawannya.
3. Memelihara kesehatan.
Karena, kebersihan itu merupakan jalan paling utama yang dapat memelihara
manusia dari berbagai macam penyakit. Karena, penyakit-penyakit itu lebih
sering tersebar di kalangan masyarakat, disebabkan oleh kotoran.
Membersihkan tubuh, membasuh wajah, kedua tangan, hidung dan kedua kaki, yang
merupakan anggota-anggota tubuh yang paling sering berhubungan langsung dengan
kotoran-berkali-kali dalam sehari, akan membuat tubuh terpelihara dari berbagai
macam penyakit.
4. Berdiri dihadapan Allah
dalam keadaan suci bersih. Karena manusia dalam shalatnya, berbicara dan
berbisik kepada Tuhannya. Oleh
karena itu, sepatutnya dia menghadap dalam keadaan suci lahir dan batinnya,
dan bersih hati dan tubuhnya. Karena
Allah Ta'ala menyukai orang-orang yang gemar bertaubat dan menyukai orang-orang
yang bersuci.[7]
5. Dalil
Kewajiban Wudhu, Kepada Siapa Wudhu Diwajibkan, dan Kapan Diwajibkan
Wudhu
Dalil-dalil yang menunjukkan diwajibkannya wudhu adalah ayat-ayat
Al-Qur’an, hadits, dan ijma ulama.
Allah SWT berfirman,
يَآءَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ فَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِق
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai dengan siku.”(Al-Ma’idah:
6)
Para ulama sepakat bahwa
menjalankan perintah wudhu merupakan kewajiban bagi orang yang hendak melakukan
shalat, manakala waktunya telah tiba. Hal ini ditegaskan dalam
hadits Nabi SAW,
لَا
يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ وَلَا صَدَقَةً مِنْ غُلُوْلٍ
”Allah tidak berkenan
menerima shalat seseorang tanpa bersuci, dan sedekah dari harta yang diperoleh
dengan korupsi.”
Dan dalam sabda beliau,
لَا
يَقْبَلُ اللّهُ صَلَاةً أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya:
“Allah
tidak berkenan menerima shalat orang yang menanggung hadas sebelum ia
bersuci.”
Kedua
hadits tadi statusnya shahih menurut para ulama ahli hadist. Sementara ijma atau konsensus ulama menyebutkan, bahwa tidak
terjadi perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang hal itu. Andaikan
terjadi perselisihan, tentu akan terungkap, karena
kebiasaannya pasti akan seperti itu.
Wudhu
diwajibkan bagi orang yang sudah baligh dan berakal. Hal ini ditetapkan
berdasarkan hadits dan ijma. Dasar haditsnya ialah sabda Nabi SAW,
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: فَذَكَرَ، الصَّبِىَّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَالْمَجْنُوْنَ
حَتَّى يُفِيْقَ
Artinya: ”Diangkatnya pena (tidak
dicatat) karena tiga perkara. Disebutkan di antaranya, yakni
anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai sembuh.”
Sedangkan dasar ijma’nya ialah tidak
adanya perselisihan di antara mereka tentang hal itu. Para ulama ahli fikih
berselisih pendapat tentang apakah beragama Islam itu menjadi syarat sahnya
wudhu atau bukan? Ini adalah masalah yang jarang muncul dalam ilmu fikih,
karena masalah ini kembali pada masalah yang menyangkut urusan akhirat. Dan
tentang waktu diwajibkannya wudhu ialah ketika sudah tiba waktu shalat, atau
ketika seorang muslim ingin melakukan ibadah yang diwajibkan bersuci atau
berwudhu, walaupun ibadah tersebut tidak berkaitan dengan waktu.
Wudhu wajib dilakukan ketika waktu shalat telah tiba bagi orang
yang berhadas, berdasarkan firman Allah SWT,
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat maka
basuhIah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maa’idah:
6). Jadi, wudhu diwajibkan bagi orang yang akan melakukan shalat. Dan di antara
syarat sah shalat ialah, sudah masuk waktu shalat.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. sholat seseorang tidak diterima tanpa bersuci,(Thoharah)
begitupunjuga dengan sedekah tidak akan diterima dari harta yang haram.
2.para imam sepakat bahwa jika hendak sholat diharuskan untuk
bersuci bahkan, jika tidak bersuci maka akan tertolah ibadahnya.
3. thoharah juga bagian dari syarat sebelum melaksanakan sholat.
4. hadits ahkam tentang thoharah ini adalah kitab ke dua setelah
kitab iman di dalam kitab hadits shohih
para ulama
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman
an-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib.2013.
Ensiklopedia Hadits 7; Sunan an-Nasa’i, Cet 1 .Jakarta: Almahira.
Al Albani, Muhammad Nashiruddin.2003. Ringkasan Shahih Muslim.
Jakarta Selatan: Pustaka Azzam.
Al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, bin Abu Dawud Sulaiman.2013. Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu Dawud, Cet
1. Jakarta: Almahira.
AN-Nawawi,Imam.2016. Syarah Shahih Muslim(Jilid 2). Jakarta Timur:
Darus Sunnah Press
Munawwir, Ahmad Warson.1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Rusyd, Ibnu.2016. Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid.Jakarta
Timur: Pustaka al –Kautsar.
Umar Sitanggal, Anshory.1992. Fiqih Syafi’i Sistimatis. Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, bin Abu Abdullah Muhammad.2013.
Ensiklopedia Hadits 8; Sunan Ibnu Majah, Cet 1. Jakarta: Almahira.
[1] Muhammad
Nashiruddin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta Selatan: Pustaka
Azzam, 2003), Hal. 107.
[2] Ahmad bin
Syu’aib Abdurrahman an-Nasa’i, Ensiklopedia Hadits 7; Sunan an-Nasa’i, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 128.
[3] Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia
Hadits 5; Sunan Abu Dawud, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 12.
[4] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadits 8; Sunan Ibnu Majah, (Cet 1 Jakarta: Almahira, 2013), Hal. 50.
[6] Imam AN-Nawawi, Syarah Shahih Muslim(Jilid 2), (Jakarta
Timur: Darus Sunnah Press, 2016), Hal. 429.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, (Jakarta Timur: Pustaka al –Kautsar,2016),
Hal. 3-5