MODEL PERIWAYATAN HADITS
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ulumul Hadits
Yang diampu oleh Ibu Nuril Aisyah
Arfan
Oleh
:
Kelompok
7 kelas C
Alif Sitti Nurul
Hasanah (20160701030016)
Kholifah (20160701030083)
Ummil Harisah (20160701030186)
PROGRAM
STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,
makalah yang berjudul Model Periwayatan Hadits
Ucapan
terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu
menyiapkan, memberikan masukan, dan menyusun makalah yang disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dari pembaca sangat diharapkan
guna menyempurnakan makalah ini dalam kesempatan berikutnya.
Semoga
penulisan makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi para pembaca.
Pamekasan,
10 November 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C.
Tujuan
............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.
Apa yang dimaksud Periwayatan Hadits bil
lafdzi dan maknawi....... 2
B.
Apa Saja Istilah-istilah Dalam Periwayan
Hadits................................. 6
C.
Bagaimana Sistematika Penerimaan dan
Periwayatan Hadits ............. 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan .......................................................................................... 12
B.
Saran ................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu
pedoman umat islam yang ke dua setelah al-Quran. Hadits adalah segala
perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada nabi Muhammad. Oleh karena
itu setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir yang datangnya dari Rosulullah
disebut Hadits. Dalam ulumul hadist kita akan mengenal yang namanya sanad,
matan, dan juga rawi. Tidak hanya itu kitan akan diperkenalkan dengan hadits
shohih, hasan, dan dhoif. Nah, dalam redaksi hadits, perawi ada yang
menyampaikan hadits secara sama tanpa adanya perubahan, penambahan,
pengurangan, ataupun perbedaan, ini yang disebut dengan model periwayatan
hadits secara lafad. Ada juga yang menyampaikan hadits dengan redaksi yang
berbeda dari redaksi yang di terima oleh perawi, namun isi dan maknanya sama.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
Periwayatan Hadits bil lafdzi dan maknawi?
2. Apa saja Istilah-istilah
Dalam Periwayan Hadits?
3. Bagaimana Sistematika
Penerimaan dan Periwayatan Hadits?
C.
Tujuan
1. Agar mengerti apa yang
dimaksud Periwayatan Hadits bil lafdzi dan maknawi.
2. Agar mengetahui
Istilah-istilah Dalam Periwayan Hadits.
3. Agar mengetahui Sistematika
Penerimaan dan Periwayatan Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Periwayatan Hadist secara lafdzi dan Maknawi
Penyederhanaan periwayatan hadits yang dilakukan oleh para
sahabat dengan sikap kehati-hatiannya. Periwayatan hadits dilakukan setelah
diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran matannya.
Ada dua jalan para sahabat
dalam meriwayatkan hadits dari Rosul SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang
disampaikan Rosul SAW.), dan yang kedua dengan jalan periwayatan maknawi
(maknanya saja).[1]
1. Periwatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi yaitu
periwayatan dengan lafad yang sama persis dengan apa yang mereka terima dari Rosulullah.[2] Atau
periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya
persis seperti yang di lafadzkan Rosulullah
Kebanyakan sahabat menempuh
periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwatan hadits
sesuai dengan redaksi Rosul, bukan dari redaksi menurut mereka. Menurut ‘Ajjaj
Al-Khatib, sebenarnya semua sahabat menginginkan
agar periwayatan itu dilakukan secara lafdzi bukan maknawi. Sebagian dari
mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja,
sehingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak
boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rosul dibelakang atau sebaliknya,
atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal
ini Umar bin Khattab pernah berkata: “barang
siap yang mendengar hadits dari Rosulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya
sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
Diantara para sahabat yang
paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafdzi adalah Ibnu
Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda (walau
satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rosulullah SAW., seperti yang
dilakukan nya terhadap Ubaid Ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan
hadits tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa ramadhon pada
urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan
keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rosulullah SAW.[3]
Contoh hadits lafdzi,
sebagai berikut:
عن المغيرة قل: سمعت رسول الله
صلي الله عليه وسلّم يقؤل: اِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَي اَحَدٍ
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
(رواه مسلم وغيره)
Yang artinya: dari Mughiroh ra. Ia berkata: aku
mendengar Rosulullah SAW bersabda: “sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak
seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan
sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Muslim
dan lain-lainnya)
Hadits yang menggunakan
lafadz-lafadz diatas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu
dengan Nani SAW dalam meriwayatkan hadits. Oleh sebab itu para ulama menetapkan
periwayatan hadits dengan lafadz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.
2. Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah
periwayatan haditsyang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari
Rosul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rosul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.[4]
Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh Rosulullah hanya dipaham maksudnya
saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunanredaksi
mereka sendiri.
Dalam periwayan hadits
secara maknawi ini para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa boleh
meriwayatkan hadits dengan cara ini dalam keadaan darurat, karena tidak hafal
persis seperti yang diwurudkan Rosul SAW. meskipun demikian, para sahabat melakukannnya
dengan sangat hati-hati. Misalnya Ibn Mas’ud , ketika ia meriwayatkan hadits
ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penukilannya,
seperti dengan kata: qaala Rosulullaahi
SAW haakadzaa (Rosul SAW telah bersabda begini), atau nahwan, atau qaala
Rosulullaahi SAW qariiban min haadza.[5]
Menukil atau meriwayatkan
hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum
terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam
kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan
lafadz atau matan yang lain meskipun maknanya tetap. Dengan kata lain bahwa
perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu hanya terjadi
pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits
dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan
periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu,
karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.[6]
Pada umumya para sahabat
Nabi memperbolehkan periwayatan hadits secara makna, seperti: Ali bin Abi
Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu
Hurairah, dan Aisyah istri Nabi. Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan
hadits secara makna, seperi Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab,
dan Zaid bin Arkam.[7]
Terjadinya periwayatan
secara lafadzdisebabkan beberapa factor berikut:
1.
Adanya hadits-hadits yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara
lafadz karena tidak adanya redasi langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti:hadits
fi’liyah, taqriyah, mauquf, dan maqthu’.
2.
Adanya larangan Nabi untuk menuliskan selain al-Quran.
3.
Sifat dasar manusia yang pelupadan senang kepada kemudahan, menyampaikan
sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengigat susunan kata-katanya.[8]
Adapun contoh hadits maknawi adalah sebagai berikut:
جاَئَتْ
اِمْرَأَةٌ اِلىَ النَّبِيْ صلي الله عليه وسلّم وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ
نَفْسَهَا لَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهاَ وَلَمْ
يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْأنِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيْ صلي الله عليه وسلّم
اَنْكَحْتُهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ
مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنَ الْقُرْأنِ (الحديث)
Artinya: ada
seorang wanita datang menghadap nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya
(untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya
Rosulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut
tidak memilki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal
sebagian ayat-ayat al-Quran. Maka Nabi SAW berkata kepada kali-laki tersebut:
aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa
mengajarkan ayat al-Quran”.
Dalam suatu riwayat disebutkan: “aku kawinkan engkau
kepada wanita tersebutdengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat al-Quran”.
Dalam riwayat lain disebutkan: “aku kawinkan engkau
kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat
al-Quran”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan: “aku jadikan wanita
tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat al-Quran”.
(Al-Hadits)
B. Istilah-istilah dalam
Periwayatan Hadits
Istilah-istilah periwayatan hadits
diantaranya adalah[9]:
1.
Tahammul wa Ada’ al-Hadits
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan
tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah
satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi
perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang
masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima
hadits, yang nantinya juga berimplikasi-seperti diungkapkan oleh al
Karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia
mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya. Ada‘ secara etimologis berarti
sampai/melaksanakan. Secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Dengan demikian,
Tahammul wa Ada’ al-Hadits adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada
murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang
guru.
2. Rawi
Rawi menurut bahasa, adalah orang yang
meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang
menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki
maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi sebagai berikut :
a. Islam, karena itu, hadits dari orang kafir
tidak diterima.
b. Baligh, hadits dari anak kecil di tolak
c. Adalah (sifat adil)
d. Dhobth (teliti, cerdas dan kuat hafalannya)
3. Rijal al-Hadits
Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah
orang-orang yang terlibat dalam periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai
periwayat yang berkedudukan sebagai sanad maupun yang ia sebagai mukharrij yang
berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun hadits berkenaan dalam kitabnya.
4. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il
(bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa
diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah
mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam
suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang
(gurunya) . Di dalam suatu hadits biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama
dari orang yang telah mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir
yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari
atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
C.
Sistematika Penerimaan Dan Periwayatan Hadits
Dalam istilah
ilmu hadist, terdapat istilah yang disebut al tahammul wa al-ada’. At-tahammul
adalah menerima dan mendegar suatu periwayatan hadist dari seseorang guru
dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Adapun yang dimaksud dengan
al-ada’ adalah menyempaikan atau meriwayatkan suatu hadist kepada orang lain.[10]
1.
Cara penerimaan hadist.
Ulama ahli hadist menggolongkan metode penerimaan suatu hadist
menjadi 8 macam yaitu sebagai berikut :
a.
As-sima’
As-sima’ adalah
penerimaan hadist dengan cara mendengar perkataan gurunya, baik dengan cara
didektekan maupun cara lainnya baik hafalannya maupun tulisannya. Menurut
mayoritas ahli hadist, as-sima’ adalah cara penerimaan hadist yang paling
tinggi tingkatannya.sebagian dari mereka mengatakan bahwa as-sima yang
dibarengi dengan al-kitab mempunyai nilai lebih tinggi karena terjamin
kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara-cara
lainnya. Disamping itu, para sahabat juga menerima hadist dari Rasulullah SAW
dengan cara ini.
b.
Al-Qira’ah
Al-Qira’ah adalah suatu cara penerimaan hadist dengan cara
seseorang membacakan hadist di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang
membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya,
baik sang guru hafal maupun tidak , tetapi dia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
c.
Al-Ijazah
Al-Ijazah
adalah seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist
atau kitab kepada seorang atau orang-orang tertentu sekalipun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Ulama berbeda pendapat
mengenai penggunaan al-ijazah sebaga cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu hazm
mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah dianggap
bid’ah dan tidak diperbolehkan. Bahkan ada sebagian ulama yang mengingkari cara
al-ijazah ini.
d.
Al-Munawalah
Al-Munawalah
adalah seorang gur memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab
kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa al-munawalah
adalah seorang gur yang memberikan kepada muridnya sebuah kitab asliyang
didengar dari gurunya atau suatu naskah yang sudah dicocokan sambil
berkata”inilah hadist-hadist yang sudah aku dengarkan dari seseorang, maka
riwayatkanlah hadist ini dariku dan aku ijazahkan kepadamu untuk diriwayakan”.
e.
Al-Mukatabah
Al-Mukatabbah adalah
seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan
sendiri atau menyeluruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya untuk
diberikan kepada muridyang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan
mengirimkan surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
f.
Al-I’lam
Al-I’lam adalah
pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa hadist atau kitab yang
diriwayatkan dia terima daris eseorang tanpa memberikan izin kepada muridnya
untuk meriwayatkan hadist tersebut atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkan.
Sebagian ulama ahli ushul dan ibnu Ash-Shalah menetapkan bahwa meriwayatkan
hadist dengan cara ini adalah tidak sah, sedangkan kebanyakn ulama ahli hadist,
ahli fikh, dan ahli ushul membolehkannya.
g.
Al-Washiyah
Al-Washiyah
adalah seorang guru yang ketika akan meninggal atau bepergian meninggalkan
pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya apabila ia
meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh mayoritas
ulama dianggap lemah.
h.
Al-Wajadah
Al-Wajadah
adalah seorang yang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab
hadist dengan tidak melalui as-sima’, al-ijazah, atau al-munawalah. Ulama
beselisih pendapat mengenai cara ini. Al-Syafi’i dan golongan pengikutnya
memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu
Ash-Shalah mengatakan bahwa sebagian besar ulama muhaqiqin mewajibkan
mengamalkan bila diyakini kebenarannya.
2.
Cara periwayatan hadist
Menurut M.Muft,
M.Syahputra, M.Ridwan, M.Muttaqien (Tim Kajian Quantum Media) berpendapat bahwa
para ahli hadist memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
periwayat hadist adalah sebagai berikut :
1.
Islam
Pada waktu
periwayatan suatu hadist, seseorang perawi harus muslim. Menurut ijma’,
periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Terhadap perawi yang seseorang
fasik saja kita disuruh ber-tawaquf, maka terlebih lagi terhadap perawi yang
kafir.
2.
Baligh
Yang dimaksud
baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist walaupun
penerimaannya itu sebelum baligh.
3.
‘Adalah
Yang dimaksud
dengan ‘adalah yaitu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia takwa
menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya,
menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri
dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga
kepribadiannya.
4.
Dhabit
Yang dimaksud
dhabit adalah teringat atau terbangkitnya perawi ketika ia mendegar hadist dan
memahami apa yang didengarnya serta dihafalnya sejak ia menerima sampai
menyampaikannya. Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an perawi adalah dengan jalan
i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberi
keyakinan. Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana
disebutkan diatas, ada persyaratan
lainnya yaitu antara satu pearawi lain harus bersambung, hadist yang
disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentanagn dengan
hadist-hadist yang lebih kuat serta ayat-ayat al-Qur’an.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa at-tahammul dan al-ada’ adalah cara bertahamul maupun
syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-ada’.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
periwayatan hadits terdapat dua jalan yaitu periwayatan hadits secara lafdzi
dan periwayatan hadits secara maknawi.
Dalam istilah-istilah
periwayatan hadits terdapat empat istilah yaitu:
1. Tahammul
wa Ada’ al-Hadits
2. Rawi
3. Rijal al-Hadits
4. Mukharrij
Sistematika penerimaan dan
periwayatan Hadits, dalam penerimaan hadits terdapat delapan cara, yaitu:
1. As-Sima’
2. Al-Qiro’ah
3. Al-Ijazah
4. Al-Munawalah
5. Al-Mukatabah
6. Al-I’lam
7. Al-Wasyiyah
8. Al-Wajadah
Dan juga dalam
periwayatan hadits terdapat empat syarat, yaitu:
1.
Islam
2.
Balig
3.
‘Adalah
4.
Dhobit
B. Saran
Menyadari bahwa penulis
masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail
dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih
banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR
PUSTAKA
al-KItab, Muhammad
Ajjaj.as-Sunnah qablat-Tadwin.Jakarta: Gaya
Media Pratama,2011.
Gufron, Mohammad, Ulumul Hdits.Yogyakarta: Teras, 2013.
Ritonga,A. Rahman. Study Ilu-ilmu Hadis. Yogyakarta: Interpena, 2011.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2010.
Soetari, Endang. Ulumul
Hadits. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.