Monday, 13 November 2017

MODEL PERIWAYATAN HADITS



MODEL PERIWAYATAN HADITS 








MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Yang diampu oleh Ibu Nuril Aisyah Arfan



 







Oleh :
Kelompok 7 kelas C
Alif Sitti Nurul Hasanah                     (20160701030016)
Kholifah                                              (20160701030083)
Ummil Harisah                                    (20160701030186)


PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INGGRIS
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat  Allah Swt.  yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik, makalah  yang  berjudul Model Periwayatan Hadits
Ucapan terima kasih penyusun ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu menyiapkan, memberikan masukan, dan menyusun makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dari pembaca sangat diharapkan guna menyempurnakan makalah ini dalam kesempatan berikutnya.
Semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi para pembaca.



Pamekasan, 10 November 2017
                                                                                             
         Penyusun







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR  ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah   ............................................................................ 1
C.     Tujuan     ............................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Apa yang dimaksud Periwayatan Hadits bil lafdzi dan maknawi....... 2
B.     Apa Saja Istilah-istilah Dalam Periwayan Hadits................................. 6
C.     Bagaimana Sistematika Penerimaan dan Periwayatan Hadits ............. 8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .......................................................................................... 12
B.     Saran  ................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 14



                                                                          BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hadits merupakan salah satu pedoman umat islam yang ke dua setelah al-Quran. Hadits adalah segala perkataan, perbuatan, dan taqrir yang disandarkan kepada nabi Muhammad. Oleh karena itu setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir yang datangnya dari Rosulullah disebut Hadits. Dalam ulumul hadist kita akan mengenal yang namanya sanad, matan, dan juga rawi. Tidak hanya itu kitan akan diperkenalkan dengan hadits shohih, hasan, dan dhoif. Nah, dalam redaksi hadits, perawi ada yang menyampaikan hadits secara sama tanpa adanya perubahan, penambahan, pengurangan, ataupun perbedaan, ini yang disebut dengan model periwayatan hadits secara lafad. Ada juga yang menyampaikan hadits dengan redaksi yang berbeda dari redaksi yang di terima oleh perawi, namun isi dan maknanya sama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Periwayatan Hadits bil lafdzi dan maknawi?
2.      Apa saja Istilah-istilah Dalam Periwayan Hadits?
3.      Bagaimana Sistematika Penerimaan dan Periwayatan Hadits?

C.     Tujuan
1.      Agar mengerti apa yang dimaksud Periwayatan Hadits bil lafdzi dan maknawi.
2.      Agar mengetahui Istilah-istilah Dalam Periwayan Hadits.
3.      Agar mengetahui Sistematika Penerimaan dan Periwayatan Hadits.




BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian Periwayatan Hadist secara lafdzi dan Maknawi
Penyederhanaan  periwayatan hadits yang dilakukan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya. Periwayatan hadits dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadits tersebut dan kebenaran matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari Rosul SAW. pertama dengan jalan periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rosul SAW.), dan yang kedua dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).[1]

1.      Periwatan Lafdzi
Periwayatan lafdzi yaitu periwayatan dengan lafad yang sama persis dengan apa yang mereka terima dari Rosulullah.[2] Atau periwayatan lafdzi adalah periwayatan hadits yang redaksinya atau matannya persis seperti yang di lafadzkan Rosulullah
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwatan hadits sesuai dengan redaksi Rosul, bukan dari redaksi menurut mereka. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, sebenarnya semua sahabat  menginginkan agar periwayatan itu dilakukan secara lafdzi bukan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadits hanya dengan maknanya saja, sehingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rosul dibelakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata: “barang siap yang mendengar hadits dari Rosulullah SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
Diantara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadits dengan jalan lafdzi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadits yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rosulullah SAW., seperti yang dilakukan nya terhadap Ubaid Ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadits tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa ramadhon pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan keempat, sebagaimana yang didengarnya dari Rosulullah SAW.[3]

Contoh hadits lafdzi, sebagai berikut:
عن المغيرة قل: سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلّم يقؤل: اِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَي اَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)                                                                              
                                                                           
Yang artinya: dari Mughiroh ra. Ia berkata: aku mendengar Rosulullah SAW bersabda: “sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR. Muslim dan lain-lainnya)

Hadits yang menggunakan lafadz-lafadz diatas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nani SAW dalam meriwayatkan hadits. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadits dengan lafadz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

2.      Periwayatan Maknawi
Periwayatan maknawi adalah periwayatan haditsyang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rosul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rosul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.[4] Dengan kata lain, apa yang diucapkan oleh Rosulullah hanya dipaham maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafadz atau susunanredaksi mereka sendiri.
Dalam periwayan hadits secara maknawi ini para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa boleh meriwayatkan hadits dengan cara ini dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rosul SAW. meskipun demikian, para sahabat melakukannnya dengan sangat hati-hati. Misalnya Ibn Mas’ud , ketika ia meriwayatkan hadits ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penukilannya, seperti dengan kata: qaala Rosulullaahi SAW haakadzaa (Rosul SAW telah bersabda begini), atau nahwan, atau qaala Rosulullaahi SAW qariiban min haadza.[5]
Menukil atau meriwayatkan hadits secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadits-hadits belum terkodifikasi. Adapun hadits-hadits yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafadz atau matan yang lain meskipun maknanya tetap. Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits harus mengikuti lafadz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadits dengan makna.[6]
Pada umumya para sahabat Nabi memperbolehkan periwayatan hadits secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu Darda’, Abu Hurairah, dan Aisyah istri Nabi. Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadits secara makna, seperi Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab, dan Zaid bin Arkam.[7]

Terjadinya periwayatan secara lafadzdisebabkan beberapa factor berikut:
1.      Adanya hadits-hadits yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafadz karena tidak adanya redasi langsung dari Nabi Muhammad SAW, seperti:hadits fi’liyah, taqriyah, mauquf, dan maqthu’.
2.      Adanya larangan Nabi untuk menuliskan selain al-Quran.
3.      Sifat dasar manusia yang pelupadan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengigat susunan kata-katanya.[8]
Adapun contoh hadits maknawi adalah sebagai berikut:
جاَئَتْ اِمْرَأَةٌ اِلىَ النَّبِيْ صلي الله عليه وسلّم وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَا لَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهاَ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْأنِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيْ صلي الله عليه وسلّم اَنْكَحْتُهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ وفى رواية،
مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْأنِ (الحديث)
Artinya: ada seorang wanita datang menghadap nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rosulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memilki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat al-Quran. Maka Nabi SAW berkata kepada kali-laki tersebut: aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat al-Quran”.
Dalam suatu riwayat disebutkan: “aku kawinkan engkau kepada wanita tersebutdengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat al-Quran”.
Dalam riwayat lain disebutkan: “aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat al-Quran”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan: “aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat al-Quran”. (Al-Hadits)

B.     Istilah-istilah dalam Periwayatan Hadits
Istilah-istilah periwayatan hadits diantaranya adalah[9]:
1.      Tahammul wa Ada’ al-Hadits
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu. Dalam masalah tahamul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh), apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi-seperti diungkapkan oleh al Karmani-pada boleh dan tidaknya hadits tersebut diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebaliknya. Ada‘ secara etimologis berarti sampai/melaksanakan. Secara terminologis Ada‘ berarti sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Dengan demikian, Tahammul wa Ada’ al-Hadits adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.

2.      Rawi
Rawi menurut bahasa, adalah orang yang meriwayatkan hadits dan semacamnya. Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan. Syarat-Syarat Rawi sebagai berikut :
a.       Islam, karena itu, hadits dari orang kafir tidak diterima.
b.      Baligh, hadits dari anak kecil di tolak
c.       Adalah (sifat adil)
d.      Dhobth (teliti, cerdas dan kuat hafalannya)

3.      Rijal al-Hadits
Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang terlibat dalam periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai periwayat yang berkedudukan sebagai sanad maupun yang ia sebagai mukharrij yang berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun hadits berkenaan dalam kitabnya.

4.      Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan, menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya) . Di dalam suatu hadits biasanya disebutkan pada bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadits tersebut, semisal mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim, ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
C.    Sistematika Penerimaan Dan Periwayatan Hadits
Dalam istilah ilmu hadist, terdapat istilah yang disebut al tahammul wa al-ada’. At-tahammul adalah menerima dan mendegar suatu periwayatan hadist dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Adapun yang dimaksud dengan al-ada’ adalah menyempaikan atau meriwayatkan suatu hadist kepada orang lain.[10]
1.      Cara penerimaan hadist.
Ulama ahli hadist menggolongkan metode penerimaan suatu hadist menjadi 8 macam yaitu sebagai berikut :
a.       As-sima’
As-sima’ adalah penerimaan hadist dengan cara mendengar perkataan gurunya, baik dengan cara didektekan maupun cara lainnya baik hafalannya maupun tulisannya. Menurut mayoritas ahli hadist, as-sima’ adalah cara penerimaan hadist yang paling tinggi tingkatannya.sebagian dari mereka mengatakan bahwa as-sima yang dibarengi dengan al-kitab mempunyai nilai lebih tinggi karena terjamin kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibandingkan dengan cara-cara lainnya. Disamping itu, para sahabat juga menerima hadist dari Rasulullah SAW dengan cara ini.
b.      Al-Qira’ah
Al-Qira’ah adalah suatu cara penerimaan hadist dengan cara seseorang membacakan hadist di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak , tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
c.       Al-Ijazah
Al-Ijazah adalah seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada seorang atau orang-orang tertentu sekalipun sang murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya. Ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan al-ijazah sebaga cara untuk meriwayatkan hadist. Ibnu hazm mengatakan bahwa cara meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah dianggap bid’ah dan tidak diperbolehkan. Bahkan ada sebagian ulama yang mengingkari cara al-ijazah ini.


d.      Al-Munawalah
Al-Munawalah adalah seorang gur memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa al-munawalah adalah seorang gur yang memberikan kepada muridnya sebuah kitab asliyang didengar dari gurunya atau suatu naskah yang sudah dicocokan sambil berkata”inilah hadist-hadist yang sudah aku dengarkan dari seseorang, maka riwayatkanlah hadist ini dariku dan aku ijazahkan kepadamu untuk diriwayakan”.
e.       Al-Mukatabah
Al-Mukatabbah adalah seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sendiri atau menyeluruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadistnya untuk diberikan kepada muridyang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan mengirimkan surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
f.       Al-I’lam
Al-I’lam adalah pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwa hadist atau kitab yang diriwayatkan dia terima daris eseorang tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist tersebut atau tanpa ada perintah untuk meriwayatkan. Sebagian ulama ahli ushul dan ibnu Ash-Shalah menetapkan bahwa meriwayatkan hadist dengan cara ini adalah tidak sah, sedangkan kebanyakn ulama ahli hadist, ahli fikh, dan ahli ushul membolehkannya.
g.      Al-Washiyah
Al-Washiyah adalah seorang guru yang ketika akan meninggal atau bepergian meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya apabila ia meninggal atau bepergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh mayoritas ulama dianggap lemah.
h.      Al-Wajadah
Al-Wajadah adalah seorang yang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadist dengan tidak melalui as-sima’, al-ijazah, atau al-munawalah. Ulama beselisih pendapat mengenai cara ini. Al-Syafi’i dan golongan pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui cara ini. Ibnu Ash-Shalah mengatakan bahwa sebagian besar ulama muhaqiqin mewajibkan mengamalkan bila diyakini kebenarannya.


2.      Cara periwayatan hadist
Menurut M.Muft, M.Syahputra, M.Ridwan, M.Muttaqien (Tim Kajian Quantum Media) berpendapat bahwa para ahli hadist memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang periwayat hadist adalah sebagai berikut :
1.    Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadist, seseorang perawi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan orang kafir dianggap tidak sah. Terhadap perawi yang seseorang fasik saja kita disuruh ber-tawaquf, maka terlebih lagi terhadap perawi yang kafir.
2.    Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadist walaupun penerimaannya itu sebelum baligh.
3.    ‘Adalah
Yang dimaksud dengan ‘adalah yaitu sifat yang melekat pada jiwa seseorang sehingga ia takwa menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah yang tergolong kurang baik, dan selalu menjaga kepribadiannya.
4.    Dhabit
Yang dimaksud dhabit adalah teringat atau terbangkitnya perawi ketika ia mendegar hadist dan memahami apa yang didengarnya serta dihafalnya sejak ia menerima sampai menyampaikannya. Cara untuk mengetahui ke-dhabit-an perawi adalah dengan jalan i’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberi keyakinan. Ada yang mengatakan bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan diatas, ada persyaratan  lainnya yaitu antara satu pearawi lain harus bersambung, hadist yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentanagn dengan hadist-hadist yang lebih kuat serta ayat-ayat al-Qur’an.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa at-tahammul dan al-ada’ adalah cara bertahamul maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-ada’.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam periwayatan hadits terdapat dua jalan yaitu periwayatan hadits secara lafdzi dan periwayatan hadits secara maknawi.
Dalam istilah-istilah periwayatan hadits terdapat empat istilah yaitu:
1.      Tahammul wa Ada’ al-Hadits
2.      Rawi
3.      Rijal al-Hadits
4.      Mukharrij
Sistematika penerimaan dan periwayatan Hadits, dalam penerimaan hadits terdapat delapan cara, yaitu:
1.      As-Sima’
2.      Al-Qiro’ah
3.      Al-Ijazah
4.      Al-Munawalah
5.      Al-Mukatabah
6.      Al-I’lam
7.      Al-Wasyiyah
8.      Al-Wajadah

Dan juga dalam periwayatan hadits terdapat empat syarat, yaitu:
1.        Islam
2.        Balig
3.        ‘Adalah
4.        Dhobit


B.     Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.



DAFTAR PUSTAKA

al-KItab, Muhammad Ajjaj.as-Sunnah qablat-Tadwin.Jakarta: Gaya Media Pratama,2011.
Gufron, Mohammad, Ulumul Hdits.Yogyakarta: Teras, 2013.
Ritonga,A. Rahman. Study Ilu-ilmu Hadis. Yogyakarta: Interpena, 2011.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Soetari, Endang. Ulumul Hadits. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.








[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.82-83.
[2] Mohammad Gufron, Ulumul Hdits (Yogyakarta: Teras, 2013), hlm.30.
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, hlm.83-84.
[4] Ibid, hlm.86.
[5] Ibid.
[6] Endang Soetari. Ulumul Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm.213.
[7]Muhammad Ajjaj al-KItab, as-Sunnah qablat-Tadwin (Jakarta: Gaya Media Pratama,2011), hlm.126.
[8] A. Rahman Ritonga, Study Ilu-ilmu Hadis (Yogyakarta: Interpena, 2011), hlm. 178.
[9] http://www.Kumpulanmakalah.com/2015/11/istilah-dalam-ilmu-hadis.html?m=1.
[10] http://plus.google.com