Thursday 13 September 2018

Proposal IAIN Madura- Penentuan Tarif Angkutan Umum Persepektif Hukum Ekonomi Syariah (Studi Kasus Angkutan Umum Pedesaan trayek Pasar Kolpajung-Pasar Branta)


A.      Judul
Penentuan Tarif Angkutan Umum Persepektif Hukum Ekonomi Syariah
(Studi Kasus Angkutan Umum Pedesaan trayek Pasar Kolpajung-Pasar Branta)
B.       Konteks Penelitian
Islam berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah. Setiap orang bebas membelin, menjual, serta menukar barang dan jasa. Dalam bermuamalat tentu ada akad-akad yang harus dipenuhi. Dalam pemenuhan akad tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, dibutuhkan orang lain karena dalam pemenuhan akad tidak cukup hanya satu pihak saja, namun ada pihak kedua atau pihak ketiga yang terlibat dalam pemenuhan akad tersebut.[1]Adanya hubungan kerjasama dalam memenuhi akad merupakan bentuk bahwa dalam transaksi tersebut ada hubungan tolong menolong antar pihak. Dalam bidang muamalah, salah satu akad yang dipelajari adalah akad ijarah. Ijarah merupaka akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.[2]
Salah satu rukun ijarah adalah ujrah. Ujrah (upah) adalah imbalan yang diberikan atau diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan.[3] Rasulullah SAW memberikan contoh yang harus dijalankan kaum muslimin setelahnya, yakni penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka mulai menjalankan pekerjaannya. Namun, umat islam diberikan kebebasan untuk menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dengan yang mempekerjakan. Dalam hal penetapan upah harus memperhatikan nilai kerja itu sendiri, karena tidak mungkin disamakan antara orang yang pandai dan orang yang bodoh, orang yang cerdas dengan orang yang dungu. Karena menyamakan antara dua orang yang berbeda adalah suatu kedzaliman, sebagaimana perbedaan antara dua orang yang sama adalah suatu kedzaliman pula.[4]
Dalam hal pemberian upah yang saat ini bermacam-macam caranya. Salah satu contoh sistem pembayaran upah yang ada saat ini adalah membayar upah (ongkos) jasa layanan angkutan umum. Dimana angkutan umum merupakan moda transportasi yang berperan memberikan pelayanan terhadap kepentingan mobilitas masyarakat dalam melakukan aktivitas, terutama masyarakat yang tidak memiliki alternatif pilihan. Angkutan umum sangat diperlukan di wilayah perkotaan untuk mendukung mobolitas masyarakat yang berperan dalam pengembangan kota.
Angkutan umum memiliki peranan penting dalam perekonomian serta membantu masyarakat yang tidak memiliki kendaraan pribadi supaya dapat melaksanakan kegiatannya sesuai sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat. Salah satu sumber mata pencarian masyarakat Pamekasan ialah menjadi sopir atau pemilik angkutan umum. Di Pamekasan jenis angkutan umum cukup beragam, mulai dari bus, bus mini, hingga jenis angkutan umum yang disebut Pak De atau Pedesaan. Penumpang yang terdiri dari ibu-ibu penjual ikan, penjual lauk pauk, masyarakat umum, siswa dan mahasiswa yang melewati rute kota pamekasan sampai ke pasar branta lebih memilih angkutan pedesaan karna tarifnya yang terjangkau, yakni mulai dari Rp 2000, walaupun tarif angkutan pedesaan ini dibilang terjangkau masih terdapat keluhan dari beberapa pengguna jasa angkutan ini, karna penentuan tarif dari angkutan ini diminta setelah penumpang tiba di tempat tujuannya. Hal ini biasanya di manfaatkan oleh sebagian supir angkutan pedesaan untuk mengambil keuntungan dari pengguna jasa angkutan pedesaan. Siti Aisyah yakni, berumur 22 tahun yang merupakan salah satu pengguna jasa angkutan umum pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta berpendapat bahwasanya:
“sistem penentuan tarif angkutan umum yang berlangsung saat ini dapat mengakibatkan ketidak adilan mengapa saya berpendapat seperti itu karena ketika saya menggunakan jasa angkutan umum bila saya mengenal supirnya saya hanya dikenakan tarif Rp 1000 dan terkadang tidak dikenakan tarif dengan jarak tempuh dari rumah (Larang Tokol depan kodim) ke pasar Kolpajung, saya juga sering menjumpai penumpang lain yang baru pertama kali menggunakan jasa angkutan umum pedesaan dari pasar Kolpang berhenti di jembatan gurem di kenakan tarif Rp 3000. Hal tersebut merupakan bentuk pengambilan keuntungan dari pengguna jasa angkutan umum pedesaan.”[5]
Seorang ibu pedangang di pasar Kolpajung dikenakan tarif Rp. 2000, tarif ini merupakan tarif yang sudah biasa diberikan ibu tersebut kepada sopir dengan jarak tempuh dari jembatan pasar Gurem sampai pasar Kolpajung. Kemudian sorang mahasiswa dikenakan tarif Rp. 3000 dengan jarak tempuh dari jembatan pasar Gurem sampai depan kampus IAIN Madura, karena penumpang tersebut tidak mengetahui tarif/ongkos yang biasa dikenakan.[6]
Kejiadian tersebut menimbulkan perdebatan dikalangan penumpang angkutan karena dalam hal pemberian upah tidak hanya dibutuhkan unsur keadilan saja namun juga harus ada unsur kelayakan, kepatutan dan upah yang sepadan. Tarif menurut trayek angkutan berdasarkan atas pemanfaatan operasional dari alat transportasi yang beroperasi dengan perhitungan jarak yang berjalan. Sistem penerapan tarif memiliki peranan penting dalam pengolahan angkutan umum agar nilai tarif yang sudah ditetapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pengguna angkutan umum. Namun dalam penentuan tarif/ongkos yang terjadi saat ini membayar tarif/ongkos angkutan umum dengan harga tertentu tanpa perincian jauh dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh. Karena kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah luas yang disebut dengan Al-‘Urf al-Amm.[7]
Dengan adanya sistem penentuan dan pembayaran tarif seperti halnya diatas, menimbulkan pertanyaan mengenai status hukum karena terjadi ketidak jelasan dan ketidak adilan dalam penetapan tarif yang dilakukan oleh pihak supir, sehingga penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai sistem penentuan tarif tersebut. Maka penulis memilih judul “Penentuan Tarif Angkutan Umum Persepektif Hukum Ekonomi Syariah” (Studi Kasus Angkutan Umum Pedesaan Trayek Pasar Kolpajung-Pasar Branta).
C.      Fokus Penelitian
Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditarik pokok permasalahan menjadi rumusan masalah dalam penyusunan penelitian, yaitu:
1.        Bagaimanakah sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta?
2.        Bagaimanakah tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta?

D.      Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:
a.    Untuk mengetahui sistem penentuan dan pembayarn tarif angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta.
b.    Untuk mengetahui tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta.
E.       Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai manfaat atau kegunaan dari beberapa kalangandiantaranya:
a.    Peneliti
Dari penelitian yang dilakukan akan sangat membantu dan berguna untuk memperluas pengalaman serta pemikiran peneliti yang fokusnya di jurusan Syariah prodi Hukum Ekonomi Syariah, sehingga dapat mengaplikasikan mengenai keilmuan yang diteliti khususnya yang telah dipelajari.
b.    Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu kontribusi dalam upaya mengetahui dan memahami terhadap penentuan tarif angkutan umum yang dianjurkan oleh syariat islam.
c.    STAIN Pamekasan
Dari penelitian ini di harapkan dapat membantu mahasiswa sebagai bahan bacaan dan perbandingan dalam menulis karya ilmiah, dan bisa menjadi pedoman dan dapat dikonsumsi oleh seluruh mahasiswa yang membutuhkan, khususnya bagi mahasiswa jurusan Syariah prodi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan bidangnya.
F.       Definisi Istilah
Ada beberapa istilah yang perlu untuk di definisikan secara operasional, sehingga dalam memahami istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki persepsi yang sama antara pembaca dan peneliti, adapun istilah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Penentuan tarif
Penentuan Tarif adalah besarnya biaya yang dikenakan kepada setiap penumpang kendaraan angkutan umum yang dinyatakan dalam bentuk rupiah. Perhitungan tarif angkutan umum merupakan hasil perkalian antara tarif pokok dan jarak (kilometer) rata-rata satu perjalanan.
2.        Angkutan Umum
Angkutan umum pedesaan merupakan salah satu media transportasi yang beroperasi di wilayah kabupaten dan digunakan masyarakat secara bersama-sama dengan membayar tarif.
3.        Hukum Ekonomi Syariah
Hukum merupaka sebuah aturan yang harus dijalani bersama sesuai dengan perintah yang menyangkut akan kehidupan masyarakat. Ekonomi syariah atau ekonomi islam merupakan sebuah sistem ekonomi yang berlandasan dengan hukum islam yang berlaku. Oleh karena itu, definisi hukum ekonomi syariah bisa dikatakan sebagai sebuah hukum yang mengatur akan segala hal yang berkaitan dengan sistem ekonomi berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad para ulama.

G.      Kajian Pustaka
1.        Kajian Teoritik
a.    Pengertian Akad
Menurut bahasa akad mempunyai beberapa arti, antara lain:
a)        Mengikat (الرَّبْطُ), yaitu:[8]
جَمْعَ طَرْفِيْ حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ اَحَدُهُمَا بِالاَخَرِحَتَّى يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya:
“Mengumpulkan banyak tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda.”
b)        Sambungan (عَقْدَةٌ) , yaitu:
الْمَوْصِلُ الَّذِى يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
Artinya:
“Sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud dengan akad adalah:[9]
اِرْتِبَاطُ الاِيْجَا بٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يُثِّبُتُ الْثًرَاضِى
Artinya:
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.”
Adapun dalam buku Rachmat Syafe’i mendefinisikan ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syarat islam.[10]
مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ أَحَدِالطَّرْفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الأَخَرِاَوِّالْكَلاَمُ الْوَاحِدُالْقَائِمُ مَقَا مَهُمَا
Artinya:
“Berkumpulnya serah terima diantara dua pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
مَجْمُوْعُ الإِيْجَابِ وَالْقَبُوْلِ إِدِّعَايَقَوْمُ مَقَامَهُمَامَعَ ذَلِكَ الاِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
Artinya:
“Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian aqad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabillah, yaitu:[11]
كُلُّ مَاعَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌصَدَرَبِاِرَادَةٍ مُنْفَرَدَةٍكَالْوَقْفِ وَالْإِبْرَاءِوَالطَّلاَقِ وَالْيَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِى إِنْشَائِهِ كَالْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ

Artinya:
 “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, dan gadai.”
b.   Rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing, rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:[12]
a)        ‘Aqid ialah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiliki haq (aqid ashil) dan terkadang merupakan wakil dari yang memiliki haq.
b)        Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c)        Maudhu’al’aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan pokok akad.
d)       Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.[13]
c.    Syarat-syarat Akad
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat terjadinya akad ada dua macam.
1)   Syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad, yaitu:
a.    Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila.
b.    Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c.    Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d.   Akad tersebut bukan termasuk akad yang dilarang oleh syara’.
2)   Syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini biasa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.[14]
Kepemilikan dapat diperoleh melalui transaksi atau akad yang dilakukan oleh satu orang atau lebih. Apabila objek pertukarannya berupa sebuah benda dengan sebuah benda dinamakan tukar-menukar (mubadalat), apabila pertukaran tersebut antara benda dengan harga atau uang dinamakan jual-beli (al-bai wal syira’), dan apabila pertukaran tersebut antara uang atau harga dengan manfaat benda atau keahlian tertentu disebut dengan sewa-menyewa atau upah-mengupah (ijarah atau ujrah/umulah).[15]
d.   Pengertian Upah Ijarah
Secara bahasa lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak, atau sewa jasa perhotelan dan lain-lain.[16]
Menurut etimologi, ijarah adalah بَيْعُ الْمَنْفَعَةِ (menjual manfaat).[17] Dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat ulama’fiqih:
a)    Ulama’ Hanafiyah:
عَقْدٌعَلَى الْمَنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya:
“Akad atas suatu manfaat dengan pengganti.”
b)   Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌعَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلْبَذْلِ وَالْإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya:
Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c)    Ulama’ Malikiyah bahwa ijarah ialah:[18]
تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِعَلَى مَنْفَعَةِ الآدَمِىِّ وَبَعْضِ الْمَنْقُوْلاَنِ

Artinya:   
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindahkan.”
Jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.[19]
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.[20]
Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang kontrak tenaganya) oleh seorang musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajiir. Dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu dengan disertai kompensasi. Transaksi mengontrak ajiir tersebut adakalanya dengan menyebutkan jasa pekerjaan itu sendiri. Apabila transaksi tersebut menyebutkan jasa pekerjaan tertentu, maka yang disepakati itulah yang merupakan jasa yang harus dilaksanakan.[21]



e.    Dasar Hukum Ijarah
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian. Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai mampu memenuhi segala kebutuhan pokok hidup mereka. Sehingga mereka tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekedar memenuhi nafkah diri dan keluarganya (tidak korupsi).[22]
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang (tidak ada). Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’.[23]Dasar-dasar hukum ijarah yang dapat dijadikan sebagai dalil atas kebolehan upah-mengupah (ijarah), salah satunya tertera dalam Al-Qur’an surah al-Thalaq dan Qashash:[24]
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ (الطلاق:6)
Artinya:
Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”(Q.S At-Thalaq: 6)
Ayat diatas menjelaskan tentang seorang ibu yang menyusukan anaknya kepada orang lain yang mana Allah SWT memerintahkan agar orang yang menyusukan diberikan upah atas apa yang telah dilakukannya.

قَالَتْ إِحْدَهُمَ يَآاءَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَمَنْ اِسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأَمِيْنُ(القصص:26)
Artinya:
“Salah seorang dari wanita itu berkata: Wahai bapakku, ambillah dia sebagai pekerja kita karena orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya”(Q.S Al-Qashash: 26)
Sedangkan ayat di atas menjelaskan seorang pekerja yang baik untuk dipilih adalah seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Adapun Dasar hukum ijarah menurut As-Sunah yang tertera dalam salah satu hadis Rasullah, yaitu:[25]
اُعْطُواالْاَجِيْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفﱠعَرَقُهُ (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering”(HR. Ibnu Majah dari ibn Umar).
Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlansung.
f.     Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama hanafiyah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewa) dan qobul persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
a.         Orang yang berakat, yaitu pemberi sewa dan orang yang menyewa.
b.        Sewa/ imbalan
c.         Manfaat, dan
d.        Shighat (ijab dan qobul), ulama hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakat, sewa atau imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.[26]
Rachmat Syafe’i dalam bukunya mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan akad ijarah, adapun syarat-syaratnya yaitu:
1.    Syarat terjadinya akad, Untuk melakukan akad ijarah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun). Artinya orang gila atau anak kecil yang belum mumayyiz tidak sah melakukan akad ini.
2.    Syarat pelaksanaan akad, Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh aqid atau memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
3.    Syarat sah ijarah
Syarat sah ijarah adalah sebagai berikut:
a)      Adanya keridaan dari kedua pihak yang ber akad.
b)      Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c)      Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syarak, yakni tidak sah mengupah seseorang untuk minum khamar, diajak berzina, membunuh dan lain-lain.
d)     Barang/jasa yang disewakan dapat dimanfaatkan, pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’. Seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu dan lain-lain.
e)      Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya, seperti menyewa orang untuk sholat fardu, puasa, dan lain-lainnya.
f)       Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa. Maksudnya tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan mengambil bubuknya untuk dirinya.
g)      Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai dengan keadaan yang umum, tidak boleh menyewakan pohon untuk dijadikan jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud dalam ijarah.
4.    Syarat ujrah (upah)
Syarat-syarat ujrah sebagai berikut:
a)      Berupa harta tetap yang dapat diketahui
b)      Tidak boleh berupa manfaat yang sejenis, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.[27]
c)      Diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.[28]
g.    Jenis-jenis Ijarah
Ada dua jenis ijarah dalam hukum islam, yaitu:              
a.         Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewakan.
b.        Ijarah yang berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memekai dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan.[29]
h.      Gugurnya Upah
Adapun dalam buku Rachmat Syafe’i yang berjudul Fiqih Muamalah ulama Hanafiyah berpendapat gugurnya upah, yaitu:
a.         Jika benda ada di tangan ajir:
·         Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
·         Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
b.        Jika benda berada di tangan penyewa maka pekerja berhak mendapatkan upah setelah selesai bekerja.[30]
i.        Pengertian ‘Urf
Menurut Amir Syarifuddin kata ‘urf  bersal dari kata ‘arafah, ya’rifu, sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan arti: sesuatu yang dikenal. Pengertian “dikenal” lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata ‘urf  pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini (ari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui oleh orang banyak, sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. [31]
Adapun dalam buku Asnawi mendefinisikan ‘Urf (kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu yang berulang-ulang dilakukan oleh masyarakat daerah tertentu, dan terus-menerus dijalani oleh meraka, baik hal yang demikian terjadi sepanjang masa atau pada masa tertentu saja.[32]
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripan dengan ijma’. Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaan, diantaranya sebagai berikut:
1.    Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak. Bila ada sejumlah kecil ada pihak yang tidak setuju maka ijma’ tidak tercapai. Sedangkan ‘urf dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua orang.
2.    ‘urf dapat mengalami perubahan, meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat islam. Berbeda dengan ijma’ (menurut pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang kemudian.[33]



j.        Macam-macam ‘Urf
Amir Syarifuddin dalam bukunya menggolongkan beberapa macam-macam ‘urf yang dapat dilihat dari beberapa segi:[34]
1.    Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua macam:
a)      ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contihnya, dalam kebiasaan sehari-hari (‘urf) bagi orang arab, kata walad itu digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan , sehingga untuk memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut.
b)      ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpanya kebiasaan saling mengambil rokok diantara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.
2.    Dari segi ruang lingkup penggunaanya, ‘urf terbagi atas dua macam, yaitu:
a)      ‘Urf al-amm atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Misalnya, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya di batasi jarak tempuh maksimum.
b)      ‘Urf al-khash atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Seprti halnya, kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
3.    Dari segi penilaiana baik dan buruk, ‘urf terbagi dua, yaitu:
a)      ‘Urf shahih, yaitu ‘urf yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, dan budaya yang ada. Atau ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu.
b)      ‘Urf fassid, yaitu kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syarak. Misalnya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa.
k.      Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Rahman Dahlan mengemukakan dalam bukunya, bahwa pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf shahih sebagai salah satu dalil syarak. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama Syafi’iyah dan Hanabillah. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syarak, yang didasari atas argumen-argumen berikut ini.[35]
a)    Firman Allah pada surah al-A’raf (7): 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْبِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَهِلِيْنَ (199)
Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”
Melalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf ialah yang dinilai kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manausia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran agama.
b)   Ucapan sahabat Rasulullah Abdullah bin Mas’ud:
فَمَارَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَعِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَىْئٌ
Artinya:
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam, adalah juga merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.
Amir Syarifuddin mengemukakan dalam bukunya, para ulama yang mengamalkan ‘urf dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut, yaitu:[36]
1.    ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini merupakan kelaziman bagi adat atau ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima leh akal sehat.
2.    ‘Urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan ‘adat itu, atau dikalangan sebagian besar warga. Misalnya, kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.
3.    ‘Urf dijadiakan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Artinya ‘urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Contonya, orang yang melakukan akad nikah dan pada akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil, sedangkan ‘adat yang ada pada saat itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian ‘adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang terbiasa mencicil mahar. Lalau muncul kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan anatara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (yang muncul kemudian), sehingga ia memutuskan untuk mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar lunas (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat yang berlaku waktu akad berlangsung dan tidak menurut ‘adat yang muncul kemudian.
4.    ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. [37]
Dalam bukunya Rahman Dahlan mengemukakan, bahwa telah dijelaskan sebelumnya bahwa,  al-‘urf ada yang berlaku secara umum (al-‘urf al-‘amm) dan ada pula yang berlaku khusus (‘urf al-khash) dalam komonitas tertentu saja. Demikian pula, ada ‘urf shahih (‘urf yang benar) dan ada pula ‘urf al-fasid (‘urf yang salah). Dalam kaitan ini perlu ditegaskan, bahwa ‘urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah ‘urf shahih al-‘amm al-mutharid (‘urf yang benar berlaku umum sejak masa sahabat dan seterusnya dan bersifat konstan, tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’i, dan tidak pula bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip). Apabila suatu ‘urf memenuhi kriteria tersebut, maka menurut ulama Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan saja dapat menjadi dalil syara’, tetapi juga dapat mengenyampingkan hukumyang didasarkan atas qiyas, dan dapat pula men-takhsish dalil syara’ lainnya.[38]
Dari uraian di atas sudah jelas bahwa ‘urf atau ‘adat digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan para ulama atas ‘adat bukan karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘urf atau ‘adat dapat menjadi dalil syara’ namun tidak sebagai dalil mandiri. Ketidak mandiriannya adalah karena menggantung kepada maslahat yang telah disepakati menjadi dalil.[39]




2.        Kajian Terdahulu
Dalam mengangkat judul penelitian ini, sebelumnya telah melakukan kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu, baik yang berupa jurnal maupun yang berbentuk laporan penelitian (Skripsi) hal ini dimaksudkan untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik yang dipilih, dan yang terpenting adalah untuk menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian yang akan penulis lakukan ini. Di antara hasil peneliti yang berhasil penulis kajian adalah sebagai disajikan berikut:
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Pembayaran Satu Tarif Pada Jasa Layanan Angkutan Umum (Studi Kasus Pada Angkutan Umum Perkotaan di Purwokerto)”, oleh Hanan Darojat. Dalam skripsi ini peneliti lebih fokus kepada sistem pembayaran satu tarif pada jasa layanan angkutan umum perkotaan di Purwokerto yang mana sistem pembayaran satu tarif dengan tidak memperhitungkan jarak tempuh sebagai penentuan jumlah tarif yang akan di keluarkan oleh penumpang. Berbeda dengan penelitian yang saya lakukan yang mana penelitian yang saya teliti lebih fokus kepada penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta di pamekasan. Maksudnya bagaimana penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum yang berlangsung di pamekasan trayek pasar kolpajung-pasar branta.
Penelitian kedua dilakukan oleh Kiky Rizky Ananda dengan judul “Pemberlakuan Tarif Angkutan Umum Pedesaan Bagi Pengguna Jasa Angkutan Umum Menurut Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah”. Dalam penelitian ini peneliti lebih menekankan pada pemberlakuan tarif angkutan umum pedesaan yang dijelaskan dalam peraturan daerah Kabupaten Malang No. 27 Tahun 2013. Namun dalam pemberlakuannya terjadi pelanggaran yang membuat perturan pemerintah tidak lagi dapat dilaksanakan dan perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Lailatus Saedah dengan judul “Analisis Hukum Islam dan UU No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 dan 5 Terhadap Tarif Angkutan Umum (Studi Kasus Angkutan Len di Joyoboyo Surabaya)”. Yang menjelaskan tentang sistem pembayaran angkutan len di Joyoboyo Surabaya belum terlaksana dengan baik karena ada beberapa supir yang masih menetapkan tarif tidak sesuai dengan aturan kepada penumpang yang bukan berasal dari Surabaya.
H.      Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang metode yang digunakan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitiannya untuk memperoleh dan menganalisis data. Dalam bagian ini berisi uraian tentang metode dan langkah-langkah penelitian secara operasional yang menyangkut pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
1.        Pendekatan dan Jenis Penelitian
 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan Kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.[40] Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, sutau data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti  merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak.[41]
 Adapun jenis penelitian dalam penelitian kualitatif ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu “data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti”.[42]
 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan alasan untuk menggambarkan secara deskriptif tentang penentuan tarif angkutan umum persepektif hukum ekonomi syariah. Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya terfokus pada bagaimana penentuan tarif angkutan umum trayek pasar kolpajung-pasar branta.
 Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data tersebut mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan sejauh mungkin dalam bentuk aslinya.[43]
2.        Kehadiran Peneliti
 Kehadiran peneliti selain bertujuan menjalin komunikasi dan silaturahmi dengan informan juga untuk memperoleh data dan informasi terkait dengan masalah yang diteliti. Sehingga dengan kehadiran peneliti akan lebih tahu situasi dan kondisi di lapangan. Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen atau pengumpul data, sekaligus pengamat. Sebagai pengamat peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpul data, menganalisis data dan juga melaporkan hasil penelitian.
3.        Lokasi Penelitian
 Tempat atau lokasi penelitian adalah tempat yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian yang mana juga merupakan salah satu sumber data, dari pemahaman lokasi dan lingkungan, peneliti bisa secara cermat mencoba dan secara kritis menarik kesimpulan.
 Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini sebagaimana yang disebutkan dalam judul penelitian, tentunya dilakukan di trayek angkutan umum pedesaan berada yang terletak di pasar Kolpajung dan pasar Branta.
Alasan peneliti mengambil disana karena tempat tersebut dimanfaatkan supir angkutan umum pedesaan untuk mengangkut penumpang yang sebagian besar penumpangnya adalah ibu-ibu yang berdangang di pasar Kolpajung dan pasar Branta yang tidak memiliki kendaraan pribadi.
4.        Sumber Data
 Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J. Moleong menyatakan bahwa  sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data tambahan  datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik.[44] Dalam penelitian ini, sumber datanya adalah sumber data tertulis dan kata-kata, yang terbagi menjadi data primer dan sekunder yaitu:

a.         Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber utama dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan tindakan yang diperoleh secara langsung dari sumber-sumber asli atau pertama, “bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan”.[45] Menurut Basrowi dan Suwandi data primer merupakan data utama yang harus dilakukan secara tindakan atau kata-kata terhadap orang-orang yang diamati atau diwawancarai. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan mengamati, mendengar dan bertanya.[46] Adapun dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan sopir angkutan umum pedesaan, dan pengguna angkutan untuk mengetahui terjadinya penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum pedesaan trayek pasar Kolpajung-pasar Branta.
b.        Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data non manusia sebagai data tambahan atau pendukung seperti “sumber data tertulis, foto, statistik”.[47] Sebagai dokumen atau literatur yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan tujuan penelitian sehinga peneliti hanya tinggal mengambil dan mengumpulkan.
5.        Prosedur Pengumpulan Data
 Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya-nyam data dapat dikumpulkan pada setting alamiah, pada laboratorium dengan metode eksperimen, dirumah dengan berbagi responden, pada suatu smeinar, diskusi, di jalan dan lain-lain.[48] Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.         Metode Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, pecakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.[49]Terdapat dua jenis wawancara, yaitu:
Pertama, Wawancara terstruktur, dalam wawancara jenis ini peneliti akan melakukan wawancara yang semua pertanyaannya telah disiapkan dan dinyatakan menurut urutan yang telah ditentukan.
Kedua, wawancara tidak terstruktur merupakan penggabungan antara wawancara yang berpedoman pada pertanyaan yang telah dipersiapkan dan pertanyaan yang lebih luas dan mendalam berdasarkan topik atau isu yang beredar.
Adapun jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berupa jenis wawancara tidak terstruktur, karena peneliti memerlukan wawancara yang bebas tanpa pedoman wawancara yang tersusun. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan bentuk komonikasi secara langsung kepada narasumber yang mewakili dalam pengambilan data. Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah supir atau pemilik angkutan umum pedesaan dan pengguna jasa angkutan umum pedesaan. Alasan pemilihan narasumber di atas karena mereka merupakan para pihak yang terlibat dan memang mengetahui kejadian tersebut.

b.        Metode observasi (pengamatan)
Obsevasi merupakan proses pengamatan dengan melihat, mendengar dan mengamati, yang di observasi oleh peneliti adalah supir atau pemilik angkutan umum pedesaan. Alasan pemilihan pengamatan diatas, karena mereka merupakan para pihak yang terlibat dan mengetahui kejadian tersebut.
 Observasi dibedakan berdasarkan peran peneliti menjadi dua, yaitu:[50]
1)   Observasi partisipan yaitu observasi yang dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai anggota yang berperan serta dalam kehidupan masyarakat topik penelitian. Biasanya peneliti tinggal atau hidup bersama anggota masyarakat dan ikut terlibat dalam semua aktivitas dan perasaan mereka. Selanjutnya peneliti memainkan dua peran, yaitu pertama berperan sebagai anggota peserta dalam kehidupan masyarakat, dan yang kedua sebagai peneliti yang mengumpulkan data tentang perilaku masyarakat dan perilaku individunya.
2)   Observasi nonpartisipan adalah observasi yang menjadikan peneliti sebagai penonton atau penyaksi terhadap gejala atau kejadian yang menjadi topik penelitian. Dalam observasi jenis ini peneliti melihat atau mendengarkan pada situasi sosial tertentu tanpa partisipasi aktif di dalamnya. Peneliti berada jauh dari fenomena topik yang diteliti.
Observasi yang digunakan oleh peneliti yaitu observasi partisipan, karena peneliti ikut serta atau ikut terlibat dalam kejadian yang menjadi topik penelitian.


c.         Dokumentasi
Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya.[51] Ada beberapa dukumen yang dapat digunakan sebagai sumber data karena dapat dimanfaatkan untuk menambah informasi dan dapat dijadikan bukti yang otentik. Dokumen yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah dokumen pribadi yang dapat berupa buku harian, atau surat pribadi, selain itu dokumen yang dapat digunakan juga dokumen resmi.
6.        Analisis Data
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengategorikannya sehingga diperoleh suatu temuan yang berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.[52]
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian dan pengaturan transkrip wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman anda sendiri mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan anda menyajikan apa yang sudah anda temukan kepada orang lain.[53]
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan di lokasi peneliti, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.[54]
Adapun langkah-langkah dalam mempersiapkan data kualitatif adalah sebagai berikut:
a.         Reduksi Data
Data reduction (reduksi data) berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mecari  bila diperlukan.
b.        Penyajian Data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori flowchart dan sejenisnya. Yang paling sering digunakan untuk penyajian data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif[55]. Data diorganisasikan secara sistematis malelaui penyajian data dalam pola hubungan sehingga mudah di pahami.
c.         Kesimpulan/verifikasi
Kesimpulan dalam penelitian bukan merupakan sasuatu karangan atau diambil dari pembicaraan-pembicaraan lain, namun hasil suatu proses tertentu. Penarikan kesimpulan harus didasarkan atas data dan bukan atas angan-angan atau keinginan peneliti.[56] Pengambilan kesimpulan dilakukan setelah peneliti yakin bahwa data yang diperoleh dalam penelitian benar.
7.        Pengecekan Keabsahan Data
Untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh di lapangan dalam mendapatkan data yang benar sehingga mencapai tujuan dari penelitian dan tidak menjadikan penelitian ini hanya sia-sia maka peneliti dalam rangka mengukur keabsahan temuannya tersebut melakukan beberapa teknik pemeriksaan, diantaranya sebagai berikut:
a.    Perpanjangan Keikutsertaan
Sebagaimana sudah dikemukakan, peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpenjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan.
b.    Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.

c.    Metode Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Triangulasi cara yang terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan.
d.   Pemeriksaan Sejawat
Teknik ini dilakukan dengan cara mengespos hasil sementara maupun hasil akhir yang akan diperoleh dari hasil penelitian yang diteliti. Dengan cara mengumpulkan teman-teman yang sebaya, yang memilki pengetahuan umum tentang apa yang sedang diteliti, sehingga pada saat perkumpulan tersebut peneliti dapat menggambarkan apa  yang diteliti oleh peneliti mengenai persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pandangan kristis, menguji hipotesis kerja antara temuan dan teori membantu mengembangkan langkah berikutnya dan dapat menjadi pembandingan.
e.    Analisis Kasus Negatif
Hal ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.


f.     Pengecekan Anggota
Pengecekan anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan data sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan. Adapun yang dicek dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analistis, penafsiran, dan kesimpulan. Para anggota yang terlibat yang mewakili rekan-rekan mereka dimanfaatkan untuk memberikan reaksi daris segi pandangan dan situai mereka sendiri terhadap data yang telah diorganisasikan oleh peneliti.
g.    Uraian Rinci
Usaha membangun keteralihan dalam penelitian kualitatif jelas sangat berbeda dengan non kualitatif dengan validitas eksternalnya. Dalam penelitian kualitatif hal itu dilakukan dengan cara uraian rinci. Keteralihan bergantung pada pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks penerima. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab terhadap penyediaan dasar secukupnya yang memungkinkan seseorang merenungkan suatu aplikasi pada penerima sehingga memungkinkan adanya pembandingan.[57]
8.        Tahap-Tahap Penelitian
 Tahap-tahap penelitian yang telah ditempuh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi tiga tahap.
a.    Tahap Pra Lapangan
Adapun tahap pra lapangan dalam penelitian ini yakni, pertama menyusun rancangan penelitian kemudian dilanjutkan dengan memilih lapangan penelitian yang sesuai dengan objek penelitian yaitu angkutan umum pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta. Setelah lapangan penelitian sudah ditentukan peneliti mengurus perizinan kepada pihak yang mau diteliti untuk diizinkan melakukan penelitian di pasar kolpajung dan pasar branta dengan cara meminta surat izin resmi melukakan penelitian dari IAIN Madura yang dilanjutkan dengan penjajakan dan penilaian lapangan dengan cara mencari lingkungan pasar kolpajung dan pasar branta untuk menyesuaikan diri dan memilih serta memanfaatkan informan yang sesuai dengan objek penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara.
b.    Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan dalam penelitian ini yaitu pertama dengan memahami latar belakang angkutan pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta. Hal ini dilakukan dengan mencari informasi serta menyesuaikan diri dengan lingkungan di sana yang dilanjutkan dengan memasuki lapangan dengan menjaga sikap serta keakraban dengan masyarakat (supir angkutan umum) yang sesuai dengan tempat penelitian dengan memakai teknik wawancara, observasi serta dokumentasi.
c.    Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap terakhir dari penelitian ini adalah menyusun semua data yang telah didapatkan dalam sebuah laporan tertulis, kemudian tahap penyusunan laporan penelitian meliputi: pertama, paparan data yaitu dilakukan dengan mendeskripsikan hasil-hasil wawancara maupun observasi dalam bentuk tulisan dan menunjukkan hasil temuan dengan tulisan. kedua, pembahasan yaitu menjelaskan hasil dari yang berkaitan dengan paparan data dan yang sudah berbentuk tulisan tersebut.

Daftar Rujukan
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001).
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008)
Hakim, Lukman, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam,(Surakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2012).
Safitri, Revy, “Evaluasi Angkutan Umum Berdasarkan Abbility To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) di Kota Pangkalpinang”. Jurnal Fropil, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember 2016).
Djamal, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Alternatif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009).
Hadi, Abd, Dasar Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010).
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2014).
Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014).
Aznawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011).
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kulitatif Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014).
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2016).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,2013).
Buna’i,  Metodologi  Penelitian  Pendidikan,  (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006).
Tim Penyusun, Pedoman Karya Ilmiah (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, 2015).
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013).
Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif Analisis Data (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: RinekaCipta, 2010).
Ghony, M Djunaididan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014).



                                                                                                          

Lampiran-lampiran
A.   Pedoman Wawancara
Fokus 1 (Bagaimana sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar kolpajung-pasar branta?)
1.     Berapa pendapatan per hari yang diperoleh?
2.     Berapa kira-kira besar ongkos penumpang perkilonya?
3.     Jika ada penumpang membawa belanjaan yang berat (banyak), apakah  membayar 2 kali lipat atau lebih?
4.     Bagaimana cara untuk menarik minat penumpang?
5.     Rata-rata barang apa saja yang sering dibawa oleh penumpang?
Fokus 2 (Bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap sistem penentuan dan pembayaran pada jasa layanan angkutan umum trayek pasar kolpajung-pasar branta?)
1.     Bagaimana pelaksanaan akad pada penentuan jasa layanan angkutan umum?
2.     Bagaimana sistem pembayaran jasa layanan angkutan umum?
3.     Apakah pernah ada penumpang yang tidak jujur dalam melakukan pembayaran atau ongkos?
4.     Tindakan apa yang dilakukan apabila ada penumpang yang tidak jujur dalam melakukan pembayaran atau ongkos?
5.     Apakah penentuan tarif angkuatn umum ditentukan dengan naiknya harga bbm?



B.  Pedoman Observasi
Hal-hal yang akan diamati dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.    Lokasi/waktu yang dilakukan.
2.    Mengamati peristiwa-peristiwa yang terkait dengan proses pelaksanaan penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum.
3.    Proses berlangsungnya penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum.
C.  Pedoman Dokumentasi
Dokumen yang diperlukan dalam penelitian adalah:
1.    Riwayat hidup sopir angkutan umum
2.    Hal-hal yang berkaitan dengan bukti-bukti proses terjadinya penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum.
3.    Daftar informan.











[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001), hlm, 120.
[2] Syafe’i, Fiqih Muamalah,  hlm, 131.
[3] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008), hlm, 110.
[4] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam,(Surakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2012), hlm, 202-204.
[5] Siti Aisyah, Pengguna Jasa Angkutan Umum Pedesaan, Wawancara Langsung, (10 Juni 2018)
[6] Observasi, pada tanggal 5 September 2018.
[7] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm, 210.
[8]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), hlm, 44.
[9] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 46.
[10] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 45.
[11] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 44.
[12] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 46-47.
[13] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 45.
[14]Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 49-50.
[15] Fathurrahman Djamal, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm, 212.
[16] Abd Hadi, Dasar-dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hlm 194.
[17] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 121.
[18] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 114
[19] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 122.
[20] Suhendi, Fiqih Muamalah hlm, 115.
[21] Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem Alternatif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), hlm. 83.
[22] Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam, hlm, 203.                                                                 
[23] Syafe’i, Fiqih Muamalah,  hlm, 123.
[24] Suhendi, Fiqih Muamalah,  hlm, 116.
[25] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 126.
[26] Abd Hadi, Dasar Dasar Hukum Ekonomi Islam, hlm. 197-198.
[27] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 126-129
[28] Suhendi, Fiqih Muamalah,  hlm, 118.
[29] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm, 99.
[30] Ibid, hlm, 135-136.
[31] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 201), hlm, 410.
[32] Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm, 161.
[33] Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hlm, 412.
[34] Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, hlm, 413-415.
[35] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm, 212.
[36] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm, 424.
[37] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm, 425
[38] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm, 214.
[39] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm, 426.
[40]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kulitatif Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014), hlm. 4.
[41] Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2016), hlm. 3
[42] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kulitatif Edisi Revisi, hlm. 4.
[43] Ibid, hlm.11.
[44] Ibid.157.
[45]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,2013), hlm. 129.
[46]Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif  (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm, 169.
[47] Ibid, hlm. 157.
[48] Ibid, hlm. 62.
[49] Moleong, Metodologi Penelitian, hlm. 186.
[50] Emzir, Metodologi penelitian Analisis Data (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 39-40.

[51] Ibid, hlm. 274.
[52] Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 209.
[53]Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 85.           
[54] M Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metode Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014), hlm. 245.
[55]Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 243-249.
[56]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, hlm. 385.
[57] Ibid. 327-337.