A.
Judul
Penentuan
Tarif Angkutan Umum Persepektif Hukum Ekonomi Syariah
(Studi Kasus Angkutan Umum Pedesaan trayek
Pasar Kolpajung-Pasar Branta)
B.
Konteks
Penelitian
Islam
berpegang pada asas kebebasan dalam tatanan muamalah. Setiap orang bebas
membelin, menjual, serta menukar barang dan jasa. Dalam bermuamalat tentu ada
akad-akad yang harus dipenuhi. Dalam pemenuhan akad tersebut tidak bisa
dilakukan sendiri, dibutuhkan orang lain karena dalam pemenuhan akad tidak
cukup hanya satu pihak saja, namun ada pihak kedua atau pihak ketiga yang
terlibat dalam pemenuhan akad tersebut.[1]Adanya
hubungan kerjasama dalam memenuhi akad merupakan bentuk bahwa dalam transaksi
tersebut ada hubungan tolong menolong antar pihak. Dalam bidang muamalah, salah
satu akad yang dipelajari adalah akad ijarah. Ijarah merupaka akad atas
suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu, serta menerima pengganti
atau kebolehan dengan pengganti tertentu.[2]
Salah satu
rukun ijarah adalah ujrah. Ujrah (upah) adalah
imbalan yang diberikan atau diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan.[3]
Rasulullah SAW memberikan contoh yang harus dijalankan kaum muslimin
setelahnya, yakni penentuan upah bagi para pegawai sebelum mereka mulai
menjalankan pekerjaannya. Namun, umat islam diberikan kebebasan untuk
menentukan waktu pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan antara pekerja
dengan yang mempekerjakan. Dalam hal penetapan upah harus memperhatikan nilai
kerja itu sendiri, karena tidak mungkin disamakan antara orang yang pandai dan
orang yang bodoh, orang yang cerdas dengan orang yang dungu. Karena menyamakan
antara dua orang yang berbeda adalah suatu kedzaliman, sebagaimana perbedaan
antara dua orang yang sama adalah suatu kedzaliman pula.[4]
Dalam hal
pemberian upah yang saat ini bermacam-macam caranya. Salah satu contoh sistem
pembayaran upah yang ada saat ini adalah membayar upah (ongkos) jasa layanan
angkutan umum. Dimana angkutan umum merupakan moda transportasi yang berperan
memberikan pelayanan terhadap kepentingan mobilitas masyarakat dalam melakukan
aktivitas, terutama masyarakat yang tidak memiliki alternatif pilihan. Angkutan
umum sangat diperlukan di wilayah perkotaan untuk mendukung mobolitas
masyarakat yang berperan dalam pengembangan kota.
Angkutan umum
memiliki peranan penting dalam perekonomian serta membantu masyarakat yang
tidak memiliki kendaraan pribadi supaya dapat melaksanakan kegiatannya sesuai
sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam masyarakat. Salah satu sumber mata
pencarian masyarakat Pamekasan ialah menjadi sopir atau pemilik angkutan umum.
Di Pamekasan jenis angkutan umum cukup beragam, mulai dari bus, bus mini,
hingga jenis angkutan umum yang disebut Pak De atau Pedesaan. Penumpang
yang terdiri dari ibu-ibu penjual ikan, penjual lauk pauk, masyarakat umum,
siswa dan mahasiswa yang melewati rute kota pamekasan sampai ke pasar branta
lebih memilih angkutan pedesaan karna tarifnya yang terjangkau, yakni
mulai dari Rp 2000, walaupun tarif angkutan pedesaan ini dibilang
terjangkau masih terdapat keluhan dari beberapa pengguna jasa angkutan ini,
karna penentuan tarif dari angkutan ini diminta setelah penumpang tiba di
tempat tujuannya. Hal ini biasanya di manfaatkan oleh sebagian supir angkutan pedesaan
untuk mengambil keuntungan dari pengguna jasa angkutan pedesaan.
Siti Aisyah yakni, berumur 22 tahun yang merupakan salah satu pengguna jasa
angkutan umum pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta berpendapat
bahwasanya:
“sistem penentuan
tarif angkutan umum yang berlangsung saat ini dapat mengakibatkan ketidak
adilan mengapa saya berpendapat seperti itu karena ketika saya menggunakan jasa
angkutan umum bila saya mengenal supirnya saya hanya dikenakan tarif Rp 1000 dan
terkadang tidak dikenakan tarif dengan jarak tempuh dari rumah (Larang Tokol depan
kodim) ke pasar Kolpajung, saya juga sering menjumpai penumpang lain yang baru
pertama kali menggunakan jasa angkutan umum pedesaan dari pasar Kolpang berhenti
di jembatan gurem di kenakan tarif Rp 3000. Hal tersebut merupakan bentuk
pengambilan keuntungan dari pengguna jasa angkutan umum pedesaan.”[5]
Seorang ibu
pedangang di pasar Kolpajung dikenakan tarif Rp. 2000, tarif ini merupakan
tarif yang sudah biasa diberikan ibu tersebut kepada sopir dengan jarak tempuh
dari jembatan pasar Gurem sampai pasar Kolpajung. Kemudian sorang mahasiswa dikenakan
tarif Rp. 3000 dengan jarak tempuh dari jembatan pasar Gurem sampai depan
kampus IAIN Madura, karena penumpang tersebut tidak mengetahui tarif/ongkos
yang biasa dikenakan.[6]
Kejiadian
tersebut menimbulkan perdebatan dikalangan penumpang angkutan karena dalam hal
pemberian upah tidak hanya dibutuhkan unsur keadilan saja namun juga harus ada
unsur kelayakan, kepatutan dan upah yang sepadan. Tarif menurut trayek angkutan
berdasarkan atas pemanfaatan operasional dari alat transportasi yang beroperasi
dengan perhitungan jarak yang berjalan. Sistem penerapan tarif memiliki peranan
penting dalam pengolahan angkutan umum agar nilai tarif yang sudah ditetapkan
dapat memberikan keadilan bagi semua pengguna angkutan umum. Namun dalam
penentuan tarif/ongkos yang terjadi saat ini membayar tarif/ongkos angkutan
umum dengan harga tertentu tanpa perincian jauh dekatnya jarak yang ditempuh,
dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh. Karena kebiasaan yang bersifat umum dan
berlaku bagi sebagian besar masyarakat dalam berbagai wilayah luas yang disebut
dengan Al-‘Urf al-Amm.[7]
Dengan adanya
sistem penentuan dan pembayaran tarif seperti halnya diatas, menimbulkan
pertanyaan mengenai status hukum karena terjadi ketidak jelasan dan ketidak
adilan dalam penetapan tarif yang dilakukan oleh pihak supir, sehingga penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai sistem penentuan tarif tersebut.
Maka penulis memilih judul “Penentuan Tarif Angkutan Umum Persepektif Hukum
Ekonomi Syariah” (Studi Kasus Angkutan Umum Pedesaan Trayek Pasar
Kolpajung-Pasar Branta).
C.
Fokus
Penelitian
Dari latar
belakang masalah diatas, maka dapat ditarik pokok permasalahan menjadi rumusan
masalah dalam penyusunan penelitian, yaitu:
1.
Bagaimanakah
sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar
Kolpajung-pasar Branta?
2.
Bagaimanakah
tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap sistem penentuan dan pembayaran tarif
angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta?
D.
Tujuan Penelitian
Adapun beberapa tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:
a.
Untuk mengetahui sistem penentuan dan pembayarn tarif
angkutan umum trayek pasar Kolpajung-pasar Branta.
b.
Untuk mengetahui tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap
sistem penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar
Kolpajung-pasar Branta.
E.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai nilai manfaat atau kegunaan dari
beberapa kalangandiantaranya:
a.
Peneliti
Dari
penelitian yang dilakukan akan sangat membantu dan berguna untuk memperluas
pengalaman serta pemikiran peneliti yang fokusnya di jurusan Syariah prodi
Hukum Ekonomi Syariah, sehingga dapat mengaplikasikan mengenai keilmuan yang
diteliti khususnya yang telah dipelajari.
b.
Masyarakat
Hasil
penelitian ini diharapkan akan memberikan suatu kontribusi dalam upaya mengetahui
dan memahami terhadap penentuan tarif angkutan umum yang dianjurkan oleh
syariat islam.
c.
STAIN Pamekasan
Dari
penelitian ini di harapkan dapat membantu mahasiswa sebagai bahan bacaan dan
perbandingan dalam menulis karya ilmiah, dan bisa menjadi pedoman dan dapat
dikonsumsi oleh seluruh mahasiswa yang membutuhkan, khususnya bagi mahasiswa
jurusan Syariah prodi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan bidangnya.
F.
Definisi Istilah
Ada beberapa istilah yang perlu untuk di definisikan secara operasional, sehingga
dalam memahami istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki
persepsi yang sama antara pembaca dan peneliti, adapun istilah tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Penentuan tarif
Penentuan Tarif adalah besarnya biaya yang dikenakan kepada
setiap penumpang kendaraan angkutan umum yang dinyatakan dalam bentuk rupiah.
Perhitungan tarif angkutan umum merupakan hasil perkalian antara tarif pokok
dan jarak (kilometer) rata-rata satu perjalanan.
2.
Angkutan Umum
Angkutan umum pedesaan merupakan salah satu media
transportasi yang beroperasi di wilayah kabupaten dan digunakan masyarakat
secara bersama-sama dengan membayar tarif.
3.
Hukum Ekonomi Syariah
Hukum merupaka sebuah aturan yang harus dijalani bersama
sesuai dengan perintah yang menyangkut akan kehidupan masyarakat. Ekonomi
syariah atau ekonomi islam merupakan sebuah sistem ekonomi yang berlandasan
dengan hukum islam yang berlaku. Oleh karena itu, definisi hukum ekonomi
syariah bisa dikatakan sebagai sebuah hukum yang mengatur akan segala hal yang
berkaitan dengan sistem ekonomi berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad para
ulama.
G.
Kajian Pustaka
1.
Kajian Teoritik
a.
Pengertian Akad
Menurut bahasa akad mempunyai beberapa arti, antara
lain:
جَمْعَ طَرْفِيْ حَبْلَيْنِ وَيَشُدُّ اَحَدُهُمَا بِالاَخَرِحَتَّى
يَتَّصِلاَ فَيُصْبِحَا كَقِطْعَةٍ وَاحِدَةٍ
Artinya:
“Mengumpulkan banyak tali dan mengikat salah satunya dengan
yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda.”
b)
Sambungan (عَقْدَةٌ) , yaitu:
الْمَوْصِلُ الَّذِى يُمْسِكُهُمَا وَيُوَثِّقُهُمَا
Artinya:
“Sambungan yang
memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
Menurut
istilah (terminologi), yang dimaksud dengan akad adalah:[9]
اِرْتِبَاطُ الاِيْجَا بٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يُثِّبُتُ
الْثًرَاضِى
Artinya:
“Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan
keridhaan kedua belah pihak.”
Adapun dalam buku Rachmat Syafe’i mendefinisikan ijab-qabul
adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan
dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar
dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam islam
tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai
akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridaan dan syarat
islam.[10]
مَجْمُوْعُ اِيْجَابِ أَحَدِالطَّرْفَيْنِ مَعَ قَبُوْلِ الأَخَرِاَوِّالْكَلاَمُ
الْوَاحِدُالْقَائِمُ مَقَا مَهُمَا
Artinya:
“Berkumpulnya serah terima diantara dua pihak atau perkataan
seseorang yang berpengaruh pada kedua pihak.”
مَجْمُوْعُ الإِيْجَابِ وَالْقَبُوْلِ إِدِّعَايَقَوْمُ مَقَامَهُمَامَعَ
ذَلِكَ الاِرْتِبَاطِ الْحُكْمِيِّ
Artinya:
“Terkumpulnya persyaratan serah terima atau sesuatu yang
menunjukkan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.”
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama
dengan pengertian aqad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabillah, yaitu:[11]
كُلُّ مَاعَزَمَ الْمَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌصَدَرَبِاِرَادَةٍ
مُنْفَرَدَةٍكَالْوَقْفِ وَالْإِبْرَاءِوَالطَّلاَقِ وَالْيَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ
إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِى إِنْشَائِهِ كَالْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ
Artinya:
“Segala sesuatu yang
dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf,
talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua
orang seperti jual-beli, dan gadai.”
b.
Rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang
sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing-masing,
rukun-rukun akad ialah sebagai berikut:[12]
a)
‘Aqid ialah orang
yang berakad, terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang
terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang
memiliki haq (aqid ashil) dan terkadang merupakan wakil dari yang
memiliki haq.
b)
Ma’qud ‘alaih ialah benda-benda
yang diakadkan, seperti benda yang dijual dalam akad jual-beli, dalam akad
hibbah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad
kafalah.
c)
Maudhu’al’aqd ialah
tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbedalah tujuan
pokok akad.
d)
Shighat al’aqd ialah ijab dan qabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari
salah seorang yang berakad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari
pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan
qabul. Orang yang mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang
terjadinya akad tidak dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.[13]
c.
Syarat-syarat Akad
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’
yang wajib disempurnakan, syarat terjadinya akad ada dua macam.
1)
Syarat yang bersifat umum, yaitu syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad. Syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai
macam akad, yaitu:
a.
Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak
sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila.
b.
Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
c.
Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d.
Akad tersebut bukan termasuk akad yang dilarang oleh syara’.
2)
Syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat yang wujudnya wajib
ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini biasa juga disebut syarat idhafi
(tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat
adanya saksi dalam pernikahan.[14]
Kepemilikan dapat diperoleh melalui transaksi atau akad yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih. Apabila objek pertukarannya berupa sebuah
benda dengan sebuah benda dinamakan tukar-menukar (mubadalat), apabila
pertukaran tersebut antara benda dengan harga atau uang dinamakan jual-beli (al-bai
wal syira’), dan apabila pertukaran tersebut antara uang atau harga dengan
manfaat benda atau keahlian tertentu disebut dengan sewa-menyewa atau
upah-mengupah (ijarah atau ujrah/umulah).[15]
d.
Pengertian Upah Ijarah
Secara bahasa lafal al-ijarah dalam bahasa arab
berarti upah, sewa jasa, atau imbalan. Al-ijarah merupakan salah satu
bentuk kegiatan muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti sewa
menyewa, kontrak, atau sewa jasa perhotelan dan lain-lain.[16]
Menurut etimologi, ijarah adalah بَيْعُ الْمَنْفَعَةِ (menjual manfaat).[17]
Dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat ulama’fiqih:
a) Ulama’ Hanafiyah:
عَقْدٌعَلَى الْمَنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya:
“Akad atas suatu manfaat dengan pengganti.”
b) Ulama Asy-Syafi’iyah:
عَقْدٌعَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ
لِلْبَذْلِ وَالْإِبَاحَةِ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya:
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta
menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c) Ulama’ Malikiyah bahwa ijarah
ialah:[18]
تَسْمِيَةُ التَّعَا قُدِعَلَى مَنْفَعَةِ الآدَمِىِّ وَبَعْضِ الْمَنْقُوْلاَنِ
Artinya:
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk
sebagian yang dapat dipindahkan.”
Jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan
yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka
melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya,
sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya,
tetapi bendanya.[19]
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Menurut Idris Ahmad bahwa upah
artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut
syarat-syarat tertentu.[20]
Ijarah adalah
pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang kontrak tenaganya) oleh seorang musta’jir
(orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir
oleh seorang ajiir. Dimana ijarah merupakan transaksi terhadap jasa tertentu
dengan disertai kompensasi. Transaksi mengontrak ajiir tersebut adakalanya
dengan menyebutkan jasa pekerjaan itu sendiri. Apabila transaksi tersebut
menyebutkan jasa pekerjaan tertentu, maka yang disepakati itulah yang merupakan
jasa yang harus dilaksanakan.[21]
e. Dasar Hukum Ijarah
Upah ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan, ini merupakan asas pemberian.
Tujuan utama pemberian upah adalah agar para pegawai mampu memenuhi segala
kebutuhan pokok hidup mereka. Sehingga mereka tidak terdorong untuk melakukan
tindakan yang tidak dibenarkan untuk sekedar memenuhi nafkah diri dan
keluarganya (tidak korupsi).[22]
Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam
islam. Adapun golongan yang tidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham,
Ismail Ibn Aliah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan
beralasan bahwa ijarah adalah jual-beli kemanfaatan, yang tidak dapat dipegang
(tidak ada). Jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah disyariatkan berdasarkan
Al-Qur’an, As-Sunah, dan ijma’.[23]Dasar-dasar
hukum ijarah yang dapat dijadikan sebagai dalil atas kebolehan upah-mengupah (ijarah),
salah satunya tertera dalam Al-Qur’an surah al-Thalaq dan Qashash:[24]
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَأْتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ (الطلاق:6)
Artinya:
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”(Q.S At-Thalaq: 6)
Ayat diatas menjelaskan tentang seorang ibu yang menyusukan anaknya kepada
orang lain yang mana Allah SWT memerintahkan agar orang yang menyusukan
diberikan upah atas apa yang telah dilakukannya.
قَالَتْ إِحْدَهُمَ يَآاءَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَمَنْ اِسْتَأْجَرْتَ
الْقَوِيُّ الأَمِيْنُ(القصص:26)
Artinya:
“Salah seorang dari wanita itu berkata: Wahai bapakku, ambillah dia sebagai pekerja kita
karena orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja adalah orang yang kuat
dan dapat dipercaya”(Q.S Al-Qashash:
26)
Sedangkan ayat di atas menjelaskan seorang pekerja yang baik untuk dipilih
adalah seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Adapun Dasar hukum ijarah menurut As-Sunah yang tertera dalam salah
satu hadis Rasullah, yaitu:[25]
اُعْطُواالْاَجِيْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفﱠعَرَقُهُ (رواه ابن ماجه عن ابن عمر)
Artinya:
“berikan upah pekerja sebelum keringatnya kering”(HR. Ibnu Majah dari ibn Umar).
Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila
dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama
penyewaan berlansung.
f. Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut ulama
hanafiyah, rukun ijarah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan menyewa) dan qobul
persetujuan terhadap sewa menyewa. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa
rukun ijarah itu ada empat, yaitu:
a.
Orang yang
berakat, yaitu pemberi sewa dan orang yang menyewa.
b.
Sewa/ imbalan
c.
Manfaat, dan
d.
Shighat (ijab
dan qobul), ulama hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakat, sewa atau
imbalan, dan manfaat, termasuk syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.[26]
Rachmat Syafe’i dalam bukunya mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan akad ijarah,
adapun syarat-syaratnya yaitu:
1. Syarat terjadinya akad, Untuk
melakukan akad ijarah, aqid (orang yang melakukan akad) disyaratkan harus
berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun). Artinya orang gila atau anak
kecil yang belum mumayyiz tidak sah melakukan akad ini.
2. Syarat pelaksanaan akad, Agar
ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh aqid atau memiliki
kekuasaan penuh untuk akad (ahliah).
3. Syarat sah ijarah
Syarat sah ijarah
adalah sebagai berikut:
a) Adanya keridaan dari kedua
pihak yang ber akad.
b) Adanya kejelasan pada ma’qud
alaih (barang) dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa
seseorang.
c) Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syarak, yakni tidak sah mengupah
seseorang untuk minum khamar, diajak berzina, membunuh dan lain-lain.
d) Barang/jasa yang disewakan
dapat dimanfaatkan, pemanfaatan barang harus digunakan untuk perkara-perkara
yang dibolehkan syara’. Seperti menyewakan rumah untuk ditempati atau
menyewakan jaring untuk memburu dan lain-lain.
e) Tidak menyewa untuk pekerjaan
yang diwajibkan kepadanya, seperti menyewa orang untuk sholat fardu, puasa, dan
lain-lainnya.
f) Tidak mengambil manfaat bagi
diri orang yang disewa. Maksudnya tidak menyewakan diri untuk perbuatan
ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak
mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan
mengambil bubuknya untuk dirinya.
g) Manfaat ma’qud ‘alaih sesuai
dengan keadaan yang umum, tidak boleh menyewakan pohon untuk dijadikan jemuran
atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang dimaksud
dalam ijarah.
4. Syarat ujrah (upah)
Syarat-syarat ujrah
sebagai berikut:
a) Berupa harta tetap yang dapat
diketahui
b) Tidak boleh berupa manfaat
yang sejenis, seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah
tersebut.[27]
c) Diketahui jumlahnya oleh
kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.[28]
g.
Jenis-jenis Ijarah
Ada dua jenis ijarah
dalam hukum islam, yaitu:
a.
Ijarah yang
berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah
sebagai imbalan jasa yang disewakan.
b.
Ijarah yang
berhubungan dengan sewa aset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memekai
dari aset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan.[29]
h.
Gugurnya Upah
Adapun dalam
buku Rachmat Syafe’i yang berjudul Fiqih Muamalah ulama Hanafiyah berpendapat
gugurnya upah, yaitu:
a.
Jika benda ada
di tangan ajir:
·
Jika ada bekas
pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah sesuai bekas pekerjaan tersebut.
·
Jika tidak ada
bekas pekerjaannya, ajir berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya
sampai akhir.
b.
Jika benda
berada di tangan penyewa maka pekerja berhak mendapatkan upah setelah selesai
bekerja.[30]
i.
Pengertian ‘Urf
Menurut Amir
Syarifuddin kata ‘urf bersal dari
kata ‘arafah, ya’rifu, sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan
arti: sesuatu yang dikenal. Pengertian “dikenal” lebih dekat kepada pengertian
“diakui oleh orang lain”. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang
kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut
sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang
berbeda ini (ari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan
timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan
karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah
berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui oleh orang banyak,
sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka
perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. [31]
Adapun dalam
buku Asnawi mendefinisikan ‘Urf (kebiasaan masyarakat) adalah sesuatu
yang berulang-ulang dilakukan oleh masyarakat daerah tertentu, dan
terus-menerus dijalani oleh meraka, baik hal yang demikian terjadi sepanjang
masa atau pada masa tertentu saja.[32]
Dari adanya
ketentuan bahwa ‘urf adalah sesuatu yang harus telah dikenali, diakui,
dan diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripan dengan ijma’.
Namun antara keduanya terdapat beberapa perbedaan, diantaranya sebagai berikut:
1.
Dari segi
ruang lingkupnya, ijma’ harus diakui dan diterima semua pihak. Bila ada
sejumlah kecil ada pihak yang tidak setuju maka ijma’ tidak tercapai.
Sedangkan ‘urf dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal
sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua orang.
2.
‘urf dapat
mengalami perubahan, meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat islam.
Berbeda dengan ijma’ (menurut pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami
perubahan sekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya
yang datang kemudian.[33]
j.
Macam-macam ‘Urf
Amir
Syarifuddin dalam bukunya menggolongkan beberapa macam-macam ‘urf yang
dapat dilihat dari beberapa segi:[34]
1.
Ditinjau dari
segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf dibagi menjadi dua
macam:
a)
‘Urf qauli, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contihnya, dalam
kebiasaan sehari-hari (‘urf) bagi orang arab, kata walad itu
digunakan hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan , sehingga
untuk memahami kata walad kadang digunakan ‘urf qauli tersebut.
b)
‘Urf fi’li, yaitu
kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpanya kebiasaan saling mengambil
rokok diantara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi, tidak
dianggap mencuri.
2.
Dari segi
ruang lingkup penggunaanya, ‘urf terbagi atas dua macam, yaitu:
a)
‘Urf al-amm atau ‘urf umum,
yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru
dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Misalnya, membayar ongkos
kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak
yang ditempuh, dan hanya di batasi jarak tempuh maksimum.
b)
‘Urf al-khash atau ‘urf khusus,
yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada
waktu tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Seprti
halnya, kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuitansi sebagai alat
bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi.
3.
Dari segi
penilaiana baik dan buruk, ‘urf
terbagi dua, yaitu:
a)
‘Urf shahih, yaitu ‘urf yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak,
tidak bertentangan dengan agama, dan budaya yang ada. Atau ‘urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal, atau
sebaliknya mengubah ketentuan halal menjadi haram. Misalnya, memberi hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu tertentu.
b)
‘Urf fassid, yaitu kebiasaan masyarakat yang
bertentangan dengan ketentuan dan dalil-dalil syarak. Misalnya berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa.
k.
Kedudukan ‘Urf
dalam Menetapkan Hukum
Rahman Dahlan mengemukakan dalam bukunya, bahwa pada dasarnya semua ulama menyepakati kedudukan al-‘urf shahih sebagai salah satu dalil
syarak. Dalam hal ini, ulama Hanafiyah dan Malikiyah paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, dibandingkan
dengan ulama Syafi’iyah dan Hanabillah. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syarak, yang didasari atas argumen-argumen
berikut ini.[35]
a) Firman Allah pada
surah al-A’raf (7): 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْبِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَهِلِيْنَ
(199)
Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”
Melalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan
yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf ialah yang dinilai
kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak
bertentangan dengan watak manausia yang benar, dan yang dibimbing oleh
prinsip-prinsip umum ajaran agama.
b) Ucapan sahabat
Rasulullah Abdullah bin Mas’ud:
فَمَارَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَعِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ وَمَا رَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَىْئٌ
Artinya:
“Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun
maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syariat islam, adalah juga
merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah.
Amir Syarifuddin mengemukakan dalam bukunya, para ulama yang mengamalkan ‘urf
dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa
persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut, yaitu:[36]
1. ‘Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini merupakan
kelaziman bagi adat atau ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan
untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal
mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski
kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak
dapat diterima leh akal sehat.
2. ‘Urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam
lingkungan ‘adat itu, atau dikalangan sebagian besar warga. Misalnya,
kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu jenis mata
uang, umpamanya dollar amerika, maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa untuk
tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua orang
telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang
berlaku.
3. ‘Urf dijadiakan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada
saat itu, bukan ‘urf yang muncul kemudian. Artinya ‘urf itu harus
telah ada sebelum penetapan hukum. Contonya, orang yang melakukan akad nikah
dan pada akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil,
sedangkan ‘adat yang ada pada saat itu adalah melunasi seluruh mahar.
Kemudian ‘adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang
terbiasa mencicil mahar. Lalau muncul kasus yang menyebabkan terjadinya
perselisihan anatara suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami
berpegang pada ‘adat yang sedang berlaku (yang muncul kemudian),
sehingga ia memutuskan untuk mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar
lunas (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada
syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan ‘adat
yang berlaku waktu akad berlangsung dan tidak menurut ‘adat yang
muncul kemudian.
4. ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti. [37]
Dalam bukunya Rahman Dahlan mengemukakan, bahwa telah dijelaskan
sebelumnya bahwa, al-‘urf ada
yang berlaku secara umum (al-‘urf al-‘amm) dan ada pula yang berlaku
khusus (‘urf al-khash) dalam komonitas tertentu saja. Demikian pula, ada
‘urf shahih (‘urf yang benar) dan ada pula ‘urf al-fasid (‘urf
yang salah). Dalam kaitan ini perlu ditegaskan, bahwa ‘urf yang
disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah ‘urf shahih al-‘amm
al-mutharid (‘urf yang benar berlaku umum sejak masa sahabat dan
seterusnya dan bersifat konstan, tidak bertentangan dengan nash syara’
yang bersifat qath’i, dan tidak pula bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’
yang bersifat prinsip). Apabila suatu ‘urf memenuhi kriteria
tersebut, maka menurut ulama Hanafiyyah, ‘urf tersebut bukan saja dapat
menjadi dalil syara’, tetapi juga dapat mengenyampingkan hukumyang
didasarkan atas qiyas, dan dapat pula men-takhsish dalil
syara’ lainnya.[38]
Dari uraian di atas
sudah jelas bahwa ‘urf atau ‘adat digunakan sebagai landasan
dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan para ulama atas ‘adat bukan
karena semata-mata ia bernama ‘adat atau ‘urf. ‘urf atau ‘adat
dapat menjadi dalil syara’ namun tidak sebagai dalil mandiri.
Ketidak mandiriannya adalah karena menggantung kepada maslahat yang
telah disepakati menjadi dalil.[39]
2.
Kajian Terdahulu
Dalam
mengangkat judul penelitian ini, sebelumnya telah melakukan kajian terhadap
penelitian-penelitian terdahulu, baik yang berupa jurnal maupun yang berbentuk
laporan penelitian (Skripsi) hal ini dimaksudkan untuk memperoleh orientasi
yang lebih luas mengenai topik yang dipilih, dan yang terpenting adalah untuk
menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian yang akan penulis lakukan
ini. Di antara hasil peneliti yang berhasil penulis kajian adalah sebagai
disajikan berikut:
“Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Sistem Pembayaran Satu Tarif Pada Jasa Layanan Angkutan
Umum (Studi Kasus Pada Angkutan Umum Perkotaan di Purwokerto)”, oleh Hanan
Darojat. Dalam skripsi ini peneliti lebih fokus kepada sistem pembayaran satu
tarif pada jasa layanan angkutan umum perkotaan di Purwokerto yang mana sistem
pembayaran satu tarif dengan tidak memperhitungkan jarak tempuh sebagai
penentuan jumlah tarif yang akan di keluarkan oleh penumpang. Berbeda dengan
penelitian yang saya lakukan yang mana penelitian yang saya teliti lebih fokus
kepada penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum pedesaan trayek pasar
kolpajung-pasar branta di pamekasan. Maksudnya bagaimana penentuan dan
pembayaran tarif angkutan umum yang berlangsung di pamekasan trayek pasar
kolpajung-pasar branta.
Penelitian
kedua dilakukan oleh Kiky Rizky Ananda dengan judul “Pemberlakuan Tarif
Angkutan Umum Pedesaan Bagi Pengguna Jasa Angkutan Umum Menurut Peraturan
Daerah No. 27 Tahun 2013 dan Maslahah Mursalah”. Dalam penelitian ini peneliti
lebih menekankan pada pemberlakuan tarif angkutan umum pedesaan yang dijelaskan
dalam peraturan daerah Kabupaten Malang No. 27 Tahun 2013. Namun dalam
pemberlakuannya terjadi pelanggaran yang membuat perturan pemerintah tidak lagi
dapat dilaksanakan dan perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah.
Penelitian
ketiga dilakukan oleh Lailatus Saedah dengan judul “Analisis Hukum Islam dan UU
No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 dan 5 Terhadap Tarif Angkutan Umum (Studi Kasus Angkutan
Len di Joyoboyo Surabaya)”. Yang menjelaskan tentang sistem pembayaran angkutan
len di Joyoboyo Surabaya belum terlaksana dengan baik karena ada beberapa supir
yang masih menetapkan tarif tidak sesuai dengan aturan kepada penumpang yang
bukan berasal dari Surabaya.
H.
Metode Penelitian
Bab
ini
membahas tentang metode yang digunakan oleh peneliti dalam melaksanakan
penelitiannya untuk memperoleh dan menganalisis data. Dalam bagian ini berisi
uraian tentang metode dan langkah-langkah penelitian secara operasional yang
menyangkut pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi
penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan
keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian.
1.
Pendekatan
dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan
Kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh
Lexy J. Moleong yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.[40]
Metode penelitian kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, sutau
data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang
pasti merupakan suatu nilai dibalik data
yang tampak.[41]
Adapun jenis penelitian dalam penelitian
kualitatif ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yaitu “data yang
dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti”.[42]
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan alasan untuk menggambarkan secara deskriptif tentang
penentuan tarif angkutan umum persepektif hukum ekonomi syariah. Namun dalam
penelitian ini, peneliti hanya terfokus pada bagaimana penentuan tarif angkutan
umum trayek pasar kolpajung-pasar branta.
Dengan demikian, laporan penelitian akan
berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan. Data tersebut
mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape,
dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya. Pada penulisan
laporan demikian, peneliti menganalisis data yang sangat kaya tersebut dan
sejauh mungkin dalam bentuk aslinya.[43]
2.
Kehadiran Peneliti
Kehadiran peneliti selain bertujuan menjalin komunikasi dan silaturahmi
dengan informan juga untuk memperoleh data dan informasi terkait dengan masalah yang diteliti. Sehingga dengan kehadiran peneliti akan lebih
tahu situasi dan kondisi di lapangan. Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen atau pengumpul data, sekaligus pengamat. Sebagai pengamat peneliti merupakan perencana, pelaksana
pengumpul data, menganalisis data dan juga melaporkan hasil penelitian.
3.
Lokasi
Penelitian
Tempat atau lokasi
penelitian adalah tempat yang berkaitan dengan sasaran atau permasalahan penelitian
yang mana juga merupakan salah satu
sumber data, dari pemahaman lokasi dan lingkungan, peneliti bisa secara cermat
mencoba dan secara kritis menarik kesimpulan.
Lokasi
yang
dipilih dalam penelitian ini sebagaimana yang disebutkan dalam judul penelitian,
tentunya dilakukan di trayek angkutan umum pedesaan berada yang terletak
di pasar Kolpajung dan pasar Branta.
Alasan
peneliti mengambil disana karena tempat tersebut dimanfaatkan supir angkutan
umum pedesaan untuk mengangkut penumpang yang sebagian besar
penumpangnya adalah ibu-ibu yang berdangang di pasar Kolpajung dan pasar Branta
yang tidak memiliki kendaraan pribadi.
4.
Sumber Data
Menurut Lofland yang dikutip oleh Lexy J.
Moleong menyatakan bahwa sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data
tambahan datanya dibagi ke dalam
kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik.[44]
Dalam penelitian ini, sumber datanya adalah sumber data tertulis dan kata-kata,
yang terbagi menjadi data primer dan sekunder yaitu:
a.
Sumber Data
Primer
Sumber data
primer merupakan sumber utama dalam penelitian kualitatif berupa kata-kata dan
tindakan yang diperoleh secara langsung dari sumber-sumber asli atau pertama,
“bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan”.[45] Menurut Basrowi dan Suwandi data primer merupakan data utama yang harus
dilakukan secara tindakan atau kata-kata terhadap orang-orang yang diamati atau
diwawancarai. Pencatatan
sumber data utama melalui wawancara atau pengamatan berperanserta merupakan
hasil usaha gabungan dari kegiatan mengamati, mendengar dan bertanya.[46]
Adapun dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah hasil wawancara dengan sopir
angkutan umum pedesaan, dan pengguna angkutan untuk mengetahui terjadinya
penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum pedesaan trayek pasar
Kolpajung-pasar Branta.
b.
Sumber Data Sekunder
Sumber data
sekunder merupakan sumber data non manusia sebagai data tambahan atau pendukung
seperti “sumber data tertulis, foto, statistik”.[47]
Sebagai dokumen atau literatur yang berisi hal-hal yang berhubungan dengan
tujuan penelitian sehinga peneliti hanya tinggal mengambil dan mengumpulkan.
5.
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data
dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai
cara. Bila dilihat dari settingnya-nyam data dapat dikumpulkan pada
setting alamiah, pada laboratorium dengan metode eksperimen, dirumah dengan
berbagi responden, pada suatu smeinar, diskusi, di jalan dan lain-lain.[48]
Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a.
Metode Wawancara (interview)
Wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu, pecakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu.[49]Terdapat
dua jenis wawancara, yaitu:
Pertama, Wawancara
terstruktur, dalam wawancara jenis ini peneliti akan melakukan wawancara yang
semua pertanyaannya telah disiapkan dan dinyatakan menurut urutan yang telah
ditentukan.
Kedua, wawancara tidak
terstruktur merupakan penggabungan antara wawancara yang
berpedoman pada pertanyaan yang telah dipersiapkan dan pertanyaan yang lebih
luas dan mendalam berdasarkan topik atau isu yang beredar.
Adapun jenis
wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berupa jenis wawancara tidak
terstruktur, karena peneliti memerlukan wawancara yang bebas tanpa pedoman
wawancara yang tersusun. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan bentuk
komonikasi secara langsung kepada narasumber yang mewakili dalam pengambilan
data. Adapun yang menjadi narasumber dalam penelitian ini adalah supir atau
pemilik angkutan umum pedesaan dan pengguna jasa angkutan umum pedesaan.
Alasan pemilihan narasumber di atas karena mereka merupakan para pihak yang
terlibat dan memang mengetahui kejadian tersebut.
b.
Metode observasi (pengamatan)
Obsevasi merupakan proses pengamatan dengan melihat, mendengar dan mengamati, yang di observasi oleh
peneliti adalah supir atau pemilik angkutan umum pedesaan. Alasan
pemilihan pengamatan diatas, karena mereka merupakan para pihak yang terlibat
dan mengetahui kejadian tersebut.
Observasi dibedakan berdasarkan
peran peneliti menjadi dua, yaitu:[50]
1) Observasi partisipan
yaitu observasi yang dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai anggota yang
berperan serta dalam kehidupan masyarakat topik penelitian. Biasanya peneliti
tinggal atau hidup bersama anggota masyarakat dan ikut terlibat dalam semua
aktivitas dan perasaan mereka. Selanjutnya peneliti memainkan dua peran, yaitu
pertama berperan sebagai anggota peserta dalam kehidupan masyarakat, dan yang
kedua sebagai peneliti yang mengumpulkan data tentang perilaku masyarakat dan
perilaku individunya.
2) Observasi
nonpartisipan adalah observasi yang menjadikan peneliti sebagai penonton atau
penyaksi terhadap gejala atau kejadian yang menjadi topik penelitian. Dalam
observasi jenis ini peneliti melihat atau mendengarkan pada situasi sosial
tertentu tanpa partisipasi aktif di dalamnya. Peneliti berada jauh dari
fenomena topik yang diteliti.
Observasi yang digunakan oleh peneliti yaitu observasi partisipan, karena
peneliti ikut serta atau ikut terlibat dalam kejadian yang menjadi topik
penelitian.
c.
Dokumentasi
Metode
dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
lengger, agenda, dan sebagainya.[51] Ada beberapa dukumen yang dapat digunakan
sebagai sumber data karena dapat dimanfaatkan untuk menambah informasi dan
dapat dijadikan bukti yang otentik. Dokumen yang sering digunakan dalam
penelitian kualitatif ini adalah dokumen pribadi yang dapat berupa buku harian,
atau surat pribadi, selain itu dokumen yang dapat digunakan juga dokumen resmi.
6.
Analisis Data
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengategorikannya sehingga
diperoleh suatu temuan yang berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.[52]
Analisis data merupakan proses sistematis pencarian
dan pengaturan transkrip wawancara, catatan lapangan, dan materi-materi lain
yang telah dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman anda sendiri mengenai
materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan anda menyajikan apa yang sudah
anda temukan kepada orang lain.[53]
Proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan
lapangan di lokasi peneliti, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto, dan
sebagainya.[54]
Adapun langkah-langkah dalam mempersiapkan
data kualitatif adalah sebagai berikut:
a.
Reduksi Data
Data reduction (reduksi data) berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian
data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mecari bila diperlukan.
b.
Penyajian Data
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori flowchart dan sejenisnya. Yang
paling sering digunakan untuk
penyajian data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif[55].
Data diorganisasikan secara sistematis malelaui penyajian data dalam pola
hubungan sehingga mudah di pahami.
c.
Kesimpulan/verifikasi
Kesimpulan dalam penelitian bukan merupakan sasuatu karangan atau diambil
dari pembicaraan-pembicaraan lain, namun hasil suatu proses tertentu. Penarikan
kesimpulan harus didasarkan atas data dan bukan atas angan-angan atau keinginan
peneliti.[56]
Pengambilan kesimpulan dilakukan setelah peneliti yakin bahwa data yang
diperoleh dalam penelitian benar.
7.
Pengecekan
Keabsahan Data
Untuk mengecek keabsahan data yang diperoleh di
lapangan dalam mendapatkan data yang benar sehingga mencapai tujuan dari
penelitian dan tidak menjadikan penelitian ini hanya sia-sia maka peneliti
dalam rangka mengukur keabsahan temuannya tersebut melakukan beberapa teknik
pemeriksaan, diantaranya sebagai berikut:
a.
Perpanjangan Keikutsertaan
Sebagaimana sudah dikemukakan, peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen
itu sendiri. Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpenjangan
keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan berarti peneliti
tinggal di lapangan penelitian sampai kejenuhan pengumpulan data tercapai.
Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat
kepercayaan data yang dikumpulkan.
b.
Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam
situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri
pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain, jika perpanjangan keikutsertaan menyediakan lingkup, maka
ketekunan pengamatan menyediakan kedalaman.
c.
Metode Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling digunakan ialah
pemeriksaan melalui sumber lainnya. Triangulasi cara yang terbaik untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks
suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan
dari berbagai pandangan.
d.
Pemeriksaan Sejawat
Teknik ini dilakukan dengan cara mengespos hasil sementara maupun hasil
akhir yang akan diperoleh dari hasil penelitian yang diteliti. Dengan cara
mengumpulkan teman-teman yang sebaya, yang memilki pengetahuan umum tentang apa
yang sedang diteliti, sehingga pada saat perkumpulan tersebut peneliti dapat
menggambarkan apa yang diteliti oleh
peneliti mengenai persepsi, pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan pandangan kristis, menguji hipotesis kerja
antara temuan dan teori membantu mengembangkan langkah berikutnya dan dapat
menjadi pembandingan.
e.
Analisis Kasus Negatif
Hal ini dilakukan dengan jalan mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak
sesuai dengan pola dan kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan
digunakan sebagai bahan pembanding.
f.
Pengecekan Anggota
Pengecekan anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan data sangat
penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan. Adapun yang dicek dengan anggota
yang terlibat meliputi data, kategori analistis, penafsiran, dan kesimpulan.
Para anggota yang terlibat yang mewakili rekan-rekan mereka dimanfaatkan untuk memberikan reaksi daris segi pandangan dan situai mereka sendiri
terhadap data yang telah diorganisasikan oleh peneliti.
g.
Uraian Rinci
Usaha membangun keteralihan dalam penelitian kualitatif jelas sangat
berbeda dengan non kualitatif dengan validitas eksternalnya.
Dalam penelitian kualitatif hal itu dilakukan dengan cara uraian rinci. Keteralihan bergantung
pada pengetahuan seorang peneliti tentang konteks pengirim dan konteks
penerima. Dengan demikian peneliti bertanggung jawab terhadap penyediaan dasar
secukupnya yang memungkinkan seseorang merenungkan suatu aplikasi pada penerima
sehingga memungkinkan adanya pembandingan.[57]
8.
Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang telah ditempuh dalam
penelitian ini dikategorikan menjadi tiga tahap.
a. Tahap Pra Lapangan
Adapun tahap pra lapangan dalam penelitian ini yakni, pertama menyusun
rancangan penelitian kemudian dilanjutkan dengan memilih lapangan penelitian
yang sesuai dengan objek penelitian yaitu angkutan umum pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta. Setelah lapangan penelitian sudah ditentukan
peneliti mengurus perizinan kepada pihak yang mau diteliti untuk diizinkan melakukan penelitian di pasar kolpajung dan pasar branta dengan cara meminta surat izin resmi melukakan penelitian dari IAIN Madura yang dilanjutkan dengan penjajakan dan penilaian lapangan dengan cara
mencari lingkungan pasar kolpajung dan
pasar branta untuk
menyesuaikan diri dan memilih serta memanfaatkan informan yang sesuai dengan
objek penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan dalam penelitian ini yaitu pertama dengan memahami latar
belakang angkutan pedesaan trayek pasar kolpajung-pasar branta. Hal ini dilakukan dengan mencari informasi serta menyesuaikan diri dengan lingkungan di
sana yang dilanjutkan dengan memasuki lapangan dengan menjaga sikap serta keakraban
dengan masyarakat (supir angkutan umum) yang sesuai dengan tempat penelitian dengan memakai teknik
wawancara, observasi serta dokumentasi.
c. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Tahap terakhir dari penelitian ini adalah menyusun semua data yang telah
didapatkan dalam sebuah laporan tertulis, kemudian tahap
penyusunan laporan penelitian meliputi: pertama, paparan data yaitu dilakukan dengan
mendeskripsikan hasil-hasil wawancara maupun observasi dalam bentuk tulisan dan
menunjukkan hasil temuan dengan tulisan. kedua, pembahasan yaitu menjelaskan
hasil dari yang berkaitan dengan paparan data dan yang sudah berbentuk tulisan
tersebut.
Daftar Rujukan
Syafe’i, Rachmat, Fiqih Muamalah,
(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2001).
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008)
Hakim, Lukman, Prinsip-prinsip Ekonomi
Islam,(Surakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2012).
Safitri, Revy, “Evaluasi Angkutan Umum
Berdasarkan Abbility To Pay (ATP) dan Willingness To Pay (WTP) di Kota
Pangkalpinang”. Jurnal Fropil, Vol. 4, No. 2, (Juli-Desember 2016).
Djamal, Fathurrahman, Hukum Ekonomi Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem
Alternatif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009).
Hadi, Abd, Dasar Dasar Hukum Ekonomi Islam,
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010).
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh jilid 2,
(Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 2014).
Dahlan, Abd Rahman, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2014).
Aznawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2011).
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian
Kulitatif Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014).
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung:
Alfabeta, 2016).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,2013).
Buna’i,
Metodologi Penelitian Pendidikan, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006).
Tim Penyusun, Pedoman Karya Ilmiah
(Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, 2015).
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif
Teori dan Praktik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013).
Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif
Analisis Data (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012).
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: RinekaCipta, 2010).
Ghony, M Djunaididan Fauzan Almanshur, Metode
Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014).
Lampiran-lampiran
A.
Pedoman Wawancara
Fokus 1 (Bagaimana sistem penentuan
dan pembayaran tarif angkutan umum trayek pasar kolpajung-pasar branta?)
1.
Berapa pendapatan per hari yang diperoleh?
2.
Berapa kira-kira besar ongkos penumpang
perkilonya?
3.
Jika ada penumpang membawa belanjaan yang
berat (banyak), apakah membayar 2 kali
lipat atau lebih?
4.
Bagaimana cara untuk menarik minat penumpang?
5.
Rata-rata barang apa saja yang sering dibawa
oleh penumpang?
Fokus 2 (Bagaimana tinjauan hukum
ekonomi syariah terhadap sistem penentuan dan pembayaran pada jasa layanan
angkutan umum trayek pasar kolpajung-pasar branta?)
1.
Bagaimana pelaksanaan akad pada penentuan jasa
layanan angkutan umum?
2.
Bagaimana sistem pembayaran jasa layanan
angkutan umum?
3.
Apakah pernah ada penumpang yang tidak jujur
dalam melakukan pembayaran atau ongkos?
4.
Tindakan apa yang dilakukan apabila ada
penumpang yang tidak jujur dalam melakukan pembayaran atau ongkos?
5.
Apakah penentuan tarif angkuatn umum
ditentukan dengan naiknya harga bbm?
B.
Pedoman Observasi
Hal-hal yang
akan diamati dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Lokasi/waktu
yang dilakukan.
2.
Mengamati
peristiwa-peristiwa yang terkait dengan proses pelaksanaan penentuan dan
pembayaran tarif angkutan umum.
3.
Proses
berlangsungnya penentuan dan pembayaran tarif angkutan umum.
C.
Pedoman
Dokumentasi
Dokumen yang
diperlukan dalam penelitian adalah:
1.
Riwayat hidup
sopir angkutan umum
2.
Hal-hal yang
berkaitan dengan bukti-bukti proses terjadinya penentuan dan pembayaran tarif
angkutan umum.
3.
Daftar
informan.
[4] Lukman Hakim, Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam,(Surakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2012), hlm, 202-204.
[5] Siti Aisyah, Pengguna Jasa Angkutan Umum Pedesaan,
Wawancara Langsung, (10 Juni 2018)
[6] Observasi, pada tanggal 5 September 2018.
[7] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
Amzah, 2014), hlm, 210.
[8]Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,
(Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2011), hlm, 44.
[9] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 46.
[10] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 45.
[11] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 44.
[12] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 46-47.
[13] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 45.
[14]Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 49-50.
[15] Fathurrahman Djamal, Hukum Ekonomi Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm, 212.
[16] Abd Hadi, Dasar-dasar Hukum Ekonomi Islam,
(Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010), hlm 194.
[17] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 121.
[18] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 114
[19] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 122.
[20] Suhendi, Fiqih Muamalah hlm, 115.
[21] Taqyuddin An Nabhani, Membangun Sistem
Alternatif Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 2009), hlm. 83.
[22] Hakim, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam,
hlm, 203.
[23] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 123.
[25] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 126.
[27] Syafe’i, Fiqih Muamalah, hlm, 126-129
[28] Suhendi, Fiqih Muamalah, hlm, 118.
[29] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,
hlm, 99.
[30] Ibid, hlm, 135-136.
[31] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta:
KENCANA PRENADAMEDIA GROUP, 201), hlm, 410.
[32] Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh,
(Jakarta: Amzah, 2011), hlm, 161.
[33] Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, hlm,
412.
[34] Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, hlm,
413-415.
[35] Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm, 212.
[36] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm,
424.
[37] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm,
425
[38] Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm,
214.
[39] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hlm,
426.
[40]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kulitatif Edisi Revisi (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2014), hlm. 4.
[42] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian
Kulitatif Edisi Revisi, hlm. 4.
[44] Ibid.157.
[45]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta,2013), hlm. 129.
[47] Ibid, hlm. 157.
[49] Moleong, Metodologi
Penelitian, hlm. 186.
[50] Emzir, Metodologi penelitian Analisis Data
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 39-40.
[52] Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif
Teori dan Praktik (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), hlm. 209.
[53]Emzir, Metodelogi Penelitian Kualitatif
Analisis Data, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 85.
[54] M Djunaidi Ghony dan Fauzan Almanshur, Metode
Penelitian Kualitatif (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014), hlm. 245.
[55]Sugiono, Metodologi Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2015), hlm. 243-249.
[56]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik, hlm. 385.
[57] Ibid. 327-337.