Monday 8 October 2018

Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif sebagai Fokus Pembelajaran Matematika


Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif sebagai Fokus Pembelajaran Matematika


Tatag Yuli Eko Siswono
Universitas Negeri Surabaya
https://www.forwardpathway.com/

Abstrak
Kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif semakin diperlu dalam kehidupan ini. Masyarakat dunia menghadapi permasalahan global seperti perkembangan penduduk, keterbatasan sumber daya, perubahan mode lapangan pekerjaan, perubahan iklim akibat pemanasan global, perubahan budaya, dan perubahan dinamis ekonomi masyarakat. Persaingan semakin ketat tetapi dilain pihak kerjasama dan fleksibilitas dalam menghadapi pekerjaan dan sesuatu tetap diperlukan. Kondisi demikian merupakan tantangan dunia pendidikan sekaligus kewajiban guru yang langsung menghadapi generasi masa depan. Pendidik perlu semakin dibuka kesadarannya bahwa pesan pendidikan bukan sekedar menyampaikan materi tetapi mendidik membangun kemampuan kritis sekaligus kreatif. Pendidik perlu mewariskan budaya untuk cermat, sistematis,evaluatif, analitis, fleksibel, dan menerima ide-ide yang berbeda. Guna membekali harapan tersebut terutama bagi guru matematika, tulisan ini akan membahas ikwal tentang kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif, dan pembelajaran yang mendorong kemampuan tersebut.     
Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi-informasi, media-sosial, dan keterbatasan sumber daya alam serta perubahan yang tidak menentu memerlukan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif.  Halpern dalam Stein, Haynes, Redding, Ennis,& Cecil (2007) menyebutkan  “virtually every business or industry position that involves responsibility and action in the face of uncertainty would benefit if the people filling that position obtained a high level of the ability to think critically”.  Hasil survey tentang keterampilan yang diperlukan dunia kerja menempatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif termasuk empat besar keterampilan utama dalam bisnis yang penting.
Pendidikan Matematika memiliki peran tidak hanya membekali nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga nilai edukasi yang membantu membentuk karakter siswa, termasuk berpikir kritis dan berpikir kreatif.  Kemampuan tersebut tidak sekedar muncul secara alamiah tetapi perlu diajarkan dan dirancang sejak di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Kemampuan dan keterampilan tersebut perlu dikembangkan pada setiap mata pelajaran termasuk matematika. Pembekalan keterampilan dan kemampuan tersebut perlu dilakukan di dalam kelas-kelas ketika proses pembelajaran berlangsung.
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam mata pelajaran matematika sebenarnya sejak lama menjadi tujuan atau arah pembelajaran baik secara eksplisit maupun implisit (Kurikulum 1994, 2006, 2013).  Pendidik mungkin telah berupaya menekankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif tetapi muatan materi kurikulum yang demikian menjadikan pendidik memprioritaskan aspek lain seperti hanya pemahaman konsep. Umumnya, pembelajaran belum memberikan kesempatan peserta didik menemukan jawaban ataupun cara yang berbeda dari yang sudah diajarkan pendidik. Pendidik tidak membiarkan peserta didik mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri terhadap suatu konsep matematika. Berpikir kritis dan kreatif jarang ditekankan pada pembelajaran matematika karena strategi pembelajaran yang diterapkan cenderung berorientasi pada pengembangan pemikiran analitis dengan masalah-masalah yang rutin.
Khusus untuk berpikir kreatif, Beghetto (2010) menuliskan bahwa peneliti-peneliti telah mengidentifikasi kendala-kendala dalam pengembangan kreativitas (termasuk berpikir kritis) di kelas, yaitu praktek pengajaran yang konvergen, sikap dan keyakinan guru terhadap kreativitas, motivasi lingkungan, dan keyakinan siswa sendiri terhadap kreativitas. Pengajaran konvergen cenderung didominasi guru untuk “bicara” atau lebih dari 70% waktu pelajaran digunakan untuk mentransfer informasi.  Guru tidak menerima ide atau masukan dari siswa, jika siswa melontarkan ide dianggap sesuatu yang destruktif atau mengganggu. Ini menunjukkan keterampilan berpikir kritis tidak sepenuhnya diterima dalam aktivitas pembelajaran. Praktek tersebut seringkali dipengaruhi sikap dan keyakinan guru sendiri. Sikap dan keyakinan tersebut terbangun ketika masa sekolah dan juga situasi lingkungan yang membangun pengalamannya. Masih banyak pandangan bahwa kreativitas dan pengetahuan akademik merupakan sesuatu yang terpisah. Pembelajaran untuk mengembangkan potensi kritis dan kreatif siswa berbeda untuk pengetahuan akademik. Beghetto  (2010) memberikan contoh pandangan Guilford, Vygotsky, dan ahli lain yang menghubungkan antara kreativitas dan pembelajaran suatu pengetahuan. Guru dapat mengembangkan potensi kreatif siswa (termasuk berpikir kritis) sekaligus pengetahuan akademiknya. 
Beberapa alasan perlunya pembelajaran matematika perlu menekan pada berpikir kritis dan kreatif, antara lain:
1.       Matematika suatu pengetahuan yang kompleks dan luas sehingga tidak cukup diajarkan dengan hafalan,
2.       Peserta didik memiliki potensi untuk berpikir kritis dan kreatif dalam semua hal, termasuk matematika yang merupakan ilmu tentang aktifitas manusia,
3.       Peserta didik dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, sehingga memuaskan diri sendiri (memicu motivasi internal),
4.       Pendidik dapat melihat kontribusi asli dan ide-ide yang menakjubkan dari peserta didik, sehingga memberi kesempatan berbagi ide dan saling belajar,
5.       Meningkatkan kemampuan dan keterampilan  matematika peserta didik, 
6.       Memberi pengalaman bahwa menemukan sesuatu yang asli /original memerlukan proses, pemikiran mendalam dan kritis, ketekunan, dan pantang menyerah, seperti membuat pembuktian  dari  menemukan teorema-teorema,
7.       Kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, sedangkan masalah sehari-hari bukanlah hal yang rutin, sehingga memerlukan pemikiran kritis dan kreatif dalam menyelesaikannya.
Dalam tulisan berikut akan dibahas: (1) pengertian berpikir kritis, (2) pengertian berpikir kreatif, (3) hubungan antara berpikir kritis dan kreatif, (4) pembelajaran matematika yang meningkatkan berpikir kritis dan berpikir kreatif. 

Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Suryabrata (1990) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut.
Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir.
Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Berpikir analitis adalah kemampuan berpikir siswa untuk menguraikan, memerinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan berpikir siswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien. Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi.
Berpikir kritis dan berpikir kreatif perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Hal tersebut karena kemampuan berpikir tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai siswa di kelas. Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif.
Berpikir kritis adalah sebuah proses dalam menggunakan keterampilan berpikir secara efektif untuk membantu seseorang membuat sesuatu, mengevaluasi, dan mengaplikasikan keputusan sesuai dengan apa yang dipercaya atau dilakukan.
Beberapa keterampilan berpikir yang berkaitan dengan berpikir kritis adalah membandingkan, membedakan, memperkirakan, menarik kesimpulan, mempengaruhi, generalisasi, spesialisasi, mengklasifikasi, mengelompokkan, mengurutkan, memprediksi, memfalidasi, membuktikan, menghubungkan, menganalis, mengevaluasi dan membuat pola.
Seorang siswa dikatakan mampu berpikir kritis jika memiliki kemampuan dalam:
1.      Memilih kata-kata dan frase yang penting dalam sebuah pernyataan dan akan didefinisikan secara hati-hati.
2.      Membutuhkan keyakinan untuk mendukung suatu kesimpulan ketika dia dipaksa untuk menerimanya
3.      Menganalisa keyakinan itu dan membedakan suatu fakta dari asumsi
4.      Menentukan asumsi penting yang tertulis dan  yang tidak tertulis untuk kesimpulan tersebut
5.      Mengevaluasi asumsi-asumsi ini, menerima beberapa saja dan menolak lainnya
6.      Mengevaluasi pendapat, menerima atau menolak kesimpulan
7.      Terus menerus memeriksa kembali asumsi yang telah dilakukan dan percaya sebelumnya

Proses berpikir kritis meliputi:
1.      Mengenal situasi
2.      Mempertimbangkan pendapat sesuai dengan bukti, data, atau asumsi
3.      Memberikan argumentasi melampaui bukti
4.      Melaporkan dan mendukung kesimpulan/keputusan/solusi
5.      Mengaplikasikan kesimpulan/keputusan/solusi

Pengembangan keterampilan berpikir kritis matematika disarankan dikaitkan dalam masalah dunia nyata. Berikut ini adalah contoh kegiatan yang mengintegrasikan keterampilan berpikir kritis ke dalam dunia nyata.
1.      Setelah membahas pembagian bahwa pembagi tidak boleh nol. Mengapa hal itu terjadi?
2.      Setelah memcahkan masalah, dari masalah yang sudah diselesaikan diajukan pertanyaan bagaimana jika tidak seperti itu kondisinya apa yang terjadi? Bagaimana secara umumnya?
3.      Setelah membahas makna bukti dalam geometri, siswa diminta untuk mendiskusikan hal-hal berikut: Seorang ilmuwan memberikan suatu senyawa yang ia ciptakan untuk 20 orang selama dua bulan. Tak seorang pun yang diserang rasa dingin selama dua bulan. Apakah Anda pikir ilmuwan membuktikan bahwa senyawa ini mencegah flu? Bagaimana hal ini berhubungan dengan arti bukti?
4.      Setelah belajar tentang konvers, invers, dan kontrapositif, meminta siswa untuk memutuskan apakah kesalahan penalaran telah dibuat dalam mengikuti dan mendukung kesimpulan mereka tentang masalah berikut : ibu Katy memberitahunya, "Jika Anda tidak menjaga kamar anda bersih, maka Anda tidak akan mendapatkan wallpaper baru musim semi berikutnya. "Katy merasa selalu membersihkan kamarnya, dan merasa ibunya telah melanggar janji ketika dia tidak mendapatkan wallpaper baru.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan semangat siswa berpikir kritis yaitu dengan menciptakan suasana kelas di mana siswa merasa nyaman mempertanyakan sesuatu, menantang, menangguhkan penilaian, dan menuntut alasan dan pembenaran karena mereka berhadapan dengan isi dunia nyata dan matematika. Ajukan pertanyaan yang merangsang siswa untuk memonitor, mengevaluasi, dan bertindak atas pemikiran mereka sendiri. Misalnya, Mintalah siswa untuk bekerja dalam kelompok untuk (a) Membahas situasi di bawah ini, (b) Brainstorming ide untuk memecahkan itu. (c)Menemukan solusi yang diterima semua, atau ini laporan minoritas, dan (d) Mendiskusikan pemikiran mereka untuk sampai pada keputusan.
Menurut Glaser (1941) indikator-indikator berpikir kritis adalah sebagai berikut:
a)      Mengenal masalah, 
b)      Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu 
c)      Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan 
d)      Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan
e)      Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas 
f)       Menganalisis data
g)      Menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan
h)      Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah
i)        Menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan
j)        Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil
k)      Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas
l)        Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Beyer (dalam Hassoubah, 2004) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi beberapa kemampuan sebagai berikut :
(1) Menentukan kredibilitas suatu sumber.
(2). Membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan.
(3). Membedakan fakta dari penilaian.
(4). Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan.
(5). Mengidentifikasi bias yang ada.
(6). Mengidentifikasi sudut pandang.
(7). Mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Sementara itu Ennis (1996) mengemukakan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
(1). Mampu membedakan antara fakta yang bisa diverifikasi dengan tuntutan nilai.
(2). Mampu membedakan antara informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang relevan dengan yang tidak relevan.
(3). Mampu menetapkan fakta yang akurat.
(4). Mampu menetapkan sumber yang memiliki kredibilitas.
(5). Mampu mengidentifikasi tuntutan dan argumen-argumen yang ambiguistik.
(6). Mampu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan.
(7). Mampu menditeksi bias.
(8). Mampu mengidentifikasi logika-logika yang keliru.
(9). Mampu mengenali logika yang tidak konsisten.
(10). Mampu menetapkan argumentasi atau tuntutan yang paling kuat.
Nickerson (dalam Lipman, 2003) seorang ahli dalam berpikir kritis menyampaikan ciri-ciri orang yang berpikir kritis dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kebiasaan dalam bertindak sebagai berikut:
1.      Menggunakan fakta-fakta secara mahir dan jujur.
2.      Mengorganisasi pikiran dan mengartikulasikannya dengan jelas, logis atau masuk akal.
3.      Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan pada logika yang valid dengan logika yang tidak valid.
4.      Mengidentifikasi kecukupan data.
5.      Memahami perbedaan antara penalaran dan rasionalisasi.
6.      Mencoba untuk mengantisipasi kemungkinan konsekuensi dari berbagai kegiatan.
7.      Memahami ide sesuai dengan tingkat keyakinannya.
8.      Melihat similiritas dan analogi secara tidak dangkal.
9.      Dapat belajar secara independen dan mempunyai perhatian yang tak kunjung hilang dalam bekerjanya.
10.   Menerapkan teknik problem solving dalam domain lain dari yang sudah dipelajarinya.
11.   Dapat menyusun representasi masalah secara informal ke dalam cara formal seperti matematika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
12.   Dapat menyatakan suatu argumen verbal yang tidak relevan dan mengungkapkan argumen yang esensial.
13.   Mempertanyakan suatu pandangan dan mempertanyakan implikasi dari suatu pandangan.
14.   Sensitif terhadap perbedaan antara validitas dan intensitas dari suatu kepercayaan dengan validitas dan intensitas yang dipegangnya.
15.   Menyadari bahwa fakta dan pemahaman seseorang selalu terbatas, banyak fakta yang harus dijelaskan dengan sikap non inquiri.
16.   Mengenali kemungkinan keliru dari suatu pendapat, kemungkinan bias dalam pendapat, dan mengenali bahaya dari pembobotan fakta menurut pilihan pribadi.

Pengertian Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif atau kreativitas seringkali dipertukarkan maknanya. Weisberg (2006) mengartikan berpikir kreatif mengacu pada proses-proses untuk menghasilkan suatu produk kreatif yang merupakan karya baru (inovatif) yang diperoleh dari suatu aktivitas/kegiatan yang terarah sesuai tujuan. Kalimat lain dikatakan berpikir kreatif melibatkan produksi intensif  yang memenuhi kebaruan, sehingga seseorang dapat dikatakan kreatif dengan menghasilkan sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya. Jika menghasilkan sesuatu yang baru menurut anda, tetapi sudah dihasilkan orang lain, maka anda masih dapat dikatakan kreatif. 
Pandangan tradisional meninjau kreativitas mengacu pada empat P (4P), yaitu proses, produk, person (pribadi/individu), dan place/press  (konteks, situasi, pendorong), tetapi Kozbelt, Beghetto, & Runco (2010) menambah 2P lagi, yaitu persuasi dan potensial.   Dalam satu pengertian sangat mungkin tekanannya tidak hanya pada satu “P” saja. Pengertian yang menekankan produk misalkan, Pehkonen (1997) menggunakan definisi Bergstom (ahli neurophysiologi) yang menyebutkan bahwa kreativitas merupakan kinerja (performance) seorang individu yang menghasilkan sesuatu yang baru dan tidak terduga (creativity as performance where the individual is producing something new and unpredictable). Pengertian kreativitas yang menekankan pada aspek pribadi, misalkan Sternberg (dalam Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu “kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah, penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan dan keseimbangan, dan integrasi intelektual secara umum. Gaya kognitif atau intelektual menunjukkan kelonggaran dan keterikatan pada konvensi, menciptakan aturan sendiri, melakukan hal-hal dengan cara sendiri, menyukai masalah yang tidak terlalu berstruktur, senang menulis, merancang dan ketertarikan terhadap jabatan yang menuntut kreativitas. Dimensi kepribadian atau motivasi meliputi kelenturan, toleransi, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan, keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan resiko yang sudah diperkirakan.  Pengertian yang menekankan faktor pendorong atau dorongan secara internal, misalkan dikemukakan Simpson (dalam Munandar, 1999) bahwa kemampuan kreatif merupakan sebuah inisiatif seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk mendobrak pemikiran yang biasa. Kreativitas tidak berkembang dalam budaya yang terlalu menekankan konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau perkembangan baru. Pengertian yang menekankan proses, misalkan Solso (1995) menjelaskan kreativitas diartikan sebagai suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu masalah atau situasi.  Pengertian yang melibatkan persuasi, seperti dalam Kozbelt, Beghetto, & Runco (2010) yang mengatakan ideasiasi dan perilaku kreatif dipengaruhi oleh tekanan pasar (market forces) dan analisis untung-rugi. Sedang yang melibatkan potensi, seperti pengertian kreativitas berkembang setiap waktu (dari potensinya sampai pencapaiannya) dimediasi oleh interaksi dari individu dan lingkungan. Dalam bermacam-macam definisi yang disebutkan di atas terdapat komponen yang sama, yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau memperhatikan kebaruan.
Cropley (dalam Haylock, 1997) meninjau satu sisi, kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari berpikir atau fungsi mental yang sering disebut berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas digunakan untuk menunjukkan pembuatan (generation) produk-produk yang dipandang (perceived) kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau musik. Dalam pengajaran anak-anak di sekolah, kreativitas mengacu pada kemampuan untuk mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli (original), berdaya cipta (inventive), dan ide-ide baru (novelty). Pengertian ini  menekankan pada aspek produk yang diadaptasikan pada kepentingan pembelajaran. Dengan demikian, kreativitas ditekankan pada produk berpikir untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna.
The (2003) memberi batasan bahwa berpikir kreatif (pemikiran kreatif) adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal budinya untuk menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang baru dari hasil berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam pikirannya.
Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus (kontinu), sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah. Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau melalui pemikiran analogis. Asosasi ide-ide membentuk ide-ide baru. Jadi, berpikir kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan menciptakan hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang  belum dikenal sebelumnya.
Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai suatu proses yang digunakan ketika seorang individu mendatangkan atau memunculkan suatu ide baru. Ide baru tersebut merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum pernah diwujudkan (Anonim, 2001). Pengertian ini lebih menfokuskan pada proses individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan gabungan ide-ide sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran. Pengertian berpikir kreatif ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan sebagai hasil dari proses berpikir tersebut.
Berdasar pendapat (Ruggiero, 1998; The, 2003; Evans, 1991; Anonim, 2001), maka berpikir kreatif dapat diartikan sebagai  suatu kegiatan mental yang digunakan seorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru.  Berpikir kreatif dalam matematika mengacu pada pengertian berpikir kreatif secara umum. Pehkonen (1997) memandang berpikir  kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam kesadaran.  Berpikir kreatif dipandang sebagai satu kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut merupakan salah satu indikasi dari berpikir kreatif dalam matematika.
Hubungan  Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
Dalam memandang kaitan antara berpikir kreatif dan berpikir kritis terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif. Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan menggunakan naluri atau perasaan (feelings) yang tiba-tiba (insight) tanpa berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda, sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis bersama-sama yang tidak terpisah.
Johnson (2002) menjelaskan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti pemecahan masalah, pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk  bernalar (to reason)  dalam suatu cara yang terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain. Berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental yang memperhatikan keaslian dan wawasan (ide). Berpikir dengan kritis dan kreatif memungkinkan siswa mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali tantangan dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang inovatif dan merancang/ mendesain solusi-solusi yang asli. Berpikir kreatif sebagai lawan dari berpikir destruktif, melibatkan pencarian kesempatan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi, mengungkapkan (to reveal) kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan inspirasi ide-ide yang tidak diharapkan. Pengertian ini membedakan dengan tegas berpikir kreatif dan berpikir kritis.
De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000) membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir lateral dan berpikir vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru dalam mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan ide-ide dan pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal adalah selektif dan berurutan yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah generatif yang dapat meloncat dan bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran lateral tidak harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan kategori-kategori, klasifikasi atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih pendekatan-pendekatan yang sangat menjanjikan pada suatu masalah selama pemikiran lateral membangun banyak alternatif pendekatan. Berpikir kreatif merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang saling melengkapi. Pengertian ini menyebutkan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan berpikir kritis (logis dan analitis) sekaligus intuitif, seperti pada pandangan kedua dalam pengertian berpikir kreatif.
Krulik & Rudnick (1995) membuat penjenjangan penalaran yang merupakan bagian dari berpikir. Tingkat tersebut di atas pengingatan (recall). Dalam penalaran dikategorikan dalam berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif. Kategori tersebut tidak diskrit dan sulit sekali untuk mendefinisikan dengan tepat. Berikut indikator yang menunjukkan tiap tingkat tersebut.
Tabel 1: Tingkat Penalaran (Berpikir) dari Krulik dan Rudnick 
Basic
·         Understanding of concepts
·         Recognizing a concept when it appears in a setting
Critical
·        Examining, relating, and evaluating all aspects of a situation or problem.
·        Focusing on parts of a situation or problem.
·        Gathering and organizing information.
·        Validating and analyzing information.
·        Remembering and associating previously learned information.
·        Determininng reasonableness of an answer.
·        Drawing valid conclusions.
·        Analytical and reflexive in nature.
Creative
·        Original, effective, and produces a complex product.
·        Inventive.
·        Synthesizing ideas.
·        Generating ideas.
·        Applying ideas.
                            






Tingkat terendah dari berpikir adalah pengingatan (recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Sebagai contoh adalah mengenali bahwa untuk menemukan harga total 12 es krim yang berharga Rp. 3.000 tiap buah menggunakan konsep perkalian. Batas-batas kategori itu tidak mudah ditentukan. Tingkat dasar bagi seseorang mungkin merupakan tingkat ingatan bagi orang lain.
Tingkat berikutnya adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji, menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah. Termasuk dalamnya adalah mengumpulkan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan menentukan inkosistensi dan kontradiksinya. Berpikir kritis bersifat analitis dan refleksif.
Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian, dan reflektif serta menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide tersebut. Juga melibatkan kemampuan untuk menemukan dan menghasilkan produk yang baru.
Krulik & Rudnick (1995) mengatakan bahwa kriteria tingkatan itu sering sekali bergerak menuju tingkat lebih rendah di antara tingkat-tingkat tersebut. Dengan demikian memungkinkan terjadi tumpang tindih tingkat berpikir siswa apakah termasuk dalam tingkat berpikir kritis atau kreatif, sehingga menjadi kesulitan dalam membedakan tingkat ini.
Dalam praktek pembelajaran pandangan teoritis tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Jika diharapkan siswa berpikir kreatif sekaligus kritis maka dapat diterapkan dengan menyelesaikan tugas-tugas yang memenuhi indikasi berpikir kreatif, sedangkan jika diharapkan siswa berpikir kritis maka tugas-tugas disesuaikan dengan indikasi berpikir kritis,

Pembelajaran Matematika yang Meningkatkan Kemampuan  Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
Umumnya pembelajaran yang berorientasi masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis maupun berpikir kreatif. Pembelajaran tersebut seperti  pemecahan masalah, pengajuan masalah, atau pembelajaran berdasarkan masalah. Khusus untuk pembelajaran untuk meningkatkan berpikir kreatif yang dapat diterapkan untuk berpikir kritis adalah model JUCAMA.
Model pembelajaran JUCAMA ini merupakan suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Model ini merupakan hasil penelitian yang dimulai sejak  tahun 2008 sampai sekarang. 
Model ini didasarkan pada lima teori utama, yaitu (1) Teori Piaget, (2) Teori Vygotski, (3) Teori Bruner, (4) Teori tentang Pemecahan dan Pengajuan Masalah,  dan (5) Teori tentang Berpikir Kreatif. Selain itu juga didukung dengan hasil-hasil penelitian yang relevan.  Model  JUCAMA memiliki tujuan instruksional, yaitu:
1.       Meningkatkan hasil belajar peserta didik terutama dalam memecahkan masalah. yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Hal tersebut sesuai dengan fokus pembelajaran matematika sampai saat ini yang terdapat pada kurikulum yang menekankan pada kemampuan memecahkan masalah.
2.       Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kreatif yang diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah matematika. Indikator kemampuan berpikir kreatif sebenarnya beragam sesuai dengan pengertian dari berpikir kreatif itu sendiri, tetapi yang umum dan banyak digunakan dalam matematika adalah ketiga kriteria tersebut.
Model JUCAMA juga mempunyai tujuan yang tidak langsung, antara lain:
1.       Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep lain dan pengalaman peserta didik sehari-hari. 
2.       Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah dipelajari atau dengan kata lain mendorong untuk belajar mandiri. 
3.       Melatih mengkomunikasikan ide secara rasional atau bernalar dan kritis, karena dituntut untuk menjawab masalah secara divergen.
Berdasar langkah yang terdapat pada pemecahan dan pengajuan masalah tersebut, maka dirumuskan sintaks model JUCAMA sebagai berikut.
Fase
Aktivitas/Kegiatan Pendidik
1. Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik.
Menjelaskan tujuan, materi prasyarat, memotivasi peserta didik, dan mengaitkan materi pelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari.
2.  Mengorientasikan peserta didik pada masalah dan mengorganisasikannya untuk belajar.
Memberikan masalah yang sesuai tingkat perkembangan anak untuk diselesaikan atau meminta peserta didik mengajukan masalah berdasar informasi ataupun masalah awal. Meminta peserta didik bekerja dalam kelompok atau individual dan mengarahkan peserta didik membantu dan berbagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya.
3.  Membimbing penyelesaian secara individual maupun kelompok.
Pendidik membimbing dan mengarahkan belajar secara efektif dan efisien.
4.  Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan dan pengajuan masalah.
Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan dan menetapkan suatu kelompok atau seorang peserta didik dalam menyajikan hasil tugasnya.
5.  Memeriksa pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
Memeriksa kemampuan peserta didik dan memberikan umpan balik untuk menerapkan masalah yang dipelajari pada suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah sehari-hari.

Dalam model ini pendidik dipandang sebagai fasilitator atau mediator yang membantu peserta didik mengkonstruk pemahamannya sendiri.  Hal tersebut sesuai dengan teori Bruner dan Vigotsky bahwa dalam belajar peran pendidik, orang dewasa, atau teman sebaya membantu membawa pengetahuan anak pada tingkat yang lebih tinggi. Ini dapat dilakukan dengan menyediakan penopang (scaffolds) yang tidak dibutuhkan lagi oleh anak setelah proses pembelajaran selesai. Peserta didik tidak dipandang sebagai kertas kosong, tetapi seseorang yang berpengetahuan akibat adaptasi secara individual terhadap lingkungannya. Peserta didik dibantu untuk menjangkau daerah kemapuan potensialnya yang lebih tinggi.
Setting kelas yang diperlukan pada model ini adalah kelas memungkinkan peserta didik bergerak dan berdikusi antar anggota atau kelompok lain. Sistem pengajarannya dapat secara klasikal maupun kelompok-kelompok kecil. Perangkat pembelajaran dapat menggunakan buku peserta didik atau lembar kegiatan peserta didik (LKS) yang di dalamnya memuat masalah yang dipilih untuk  memicu proses pemecahan maupun pengajuan masalah. Masalah yang dibuat seyogyanya yang divergen baik pada cara maupun jawaban penyelesaian. Pemberian masalah harus dimulai dari yang sederhana meningkat menjadi yang kompleks. Pada awal diberi masalah yang divergen pada jawaban, kemudian jika peserta didik menyadari bahwa jawaban suatu masalah matematika dapat tidak tunggal, dilanjutkan pada soal divergen pada cara penyelesaian. Setelah dipahami dan disadari benar, baru ditingkatkan pada soal yang divergen pada cara maupun jawaban. Pemberian masalah yang divergen, ditujukan agar mendorong kemampuan berpikir kreatif. 
Untuk menilai berpikir kreatif sebenarnya bergantung pada kriteria atau indikator dari berpikir kreatif yang dirumuskan oleh peneliti atau penggunanya.  Plucker, Beghetto, & Dow dalam Plucker dan Makel (2010) merekomendasikan bahwa “all examinations of creativity clearly define the authors’ conception of creativity as used in that work”. Guilford, Torrance, Wallach dan Kogan, Getzels dan Jackson menggunakan kriteria berpikir divergen untuk menilai berpikir kreatif seseorang.  Meskipun menggunakan isi dan instruksi yang bervariasi, tetapi berpikir divergen sama meminta respons-respons yang berganda dan dinilai menggunakan kriteria kefasihan (fluency), fleksibilitas, keasliaan, dan elaborasi ide-ide. Indikasi berpikir kreatif dalam matematika menggunakan ketiga indikator tanpa elaborasi, seperti Presmeg, Silver (1997), dan Torrance (dalam Yuan & Sriraman, 2011). Elaborasi tidak digunakan karena dianggap tidak tepat menggambarkan kemampuan memerinci ide matematis.  
Mann (2005) merumuskan indiator berpikir kreatif dalam matematika terdiri dari 6 kemampuan, yaitu: (1) Ability to formulate mathematical hypotheses concerning cause and effect in mathematical situations; (2) Ability to determine patterns in mathematical situations; (3) Ability to break from established mind sets to obtain solutions in a mathematical situation; (4) Ability to consider and evaluate unusual mathematical ideas, to think through the possible consequences for a mathematical situation; (5)  Ability to sense what is missing from a given mathematical situation and to ask questions that will enable one to fill in the missing mathematical information; (6). Ability to split general mathematical problems into specific sub problems.
Dalam kaitannya dengan pembelajaran JUCAMA kriteria yang digunakan adalah kefasihan, kebaruan, dan fleksibilitas. Kemampuan tersebut bertingkat seperti digunakan penjenjangan kemampuan berpikir kreatif (Siswono, 2008) sebagai berikut.
Tingkat
Karakteristik
Tingkat  4
(Sangat Kreatif)
Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau kebaruan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 3
(Kreatif)
Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 2
(Cukup Kreatif)
Peserta didik mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 1
(Kurang Kreatif)
Peserta didik mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
Tingkat 0
(Tidak Kreatif)
Peserta didik tidak mampu menunjukkan ketiga aspek indikator berpikir kreatif.

Penjenjangan tersebut dapat menjadi rubrik penilaian dalam mengevaluasi kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Pada rubrik tersebut akan terlihat bagaimana pemahaman konsep peserta didik yang ditunjukkan dengan ketepatan peserta didik menyelesaikan tugas. Karena tugas yang diberikan merupakan pemecahan masalah, maka fokus dalam pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan dari mata pelajaran matematika. 
Kefasihan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memberi jawaban masalah yang beragam dan benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik membuat masalah sekaligus penyelesaiannya yang beragam dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti jenis bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam pengajuan masalah, beberapa masalah dikatakan beragam, bila masalah itu menggunakan konsep yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi dengan atribut-atribut yang berbeda atau masalah yang umum dikenal peserta didik setingkatnya. Misalkan seorang peserta didik membuat persegipanjang dengan ukuran berbeda, soal pertama menanyakan keliling persegi panjang dan soal kedua menanyakan luasnya. Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik mengajukan masalah yang mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda. Kebaruan dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik menjawab masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan oleh individu (peserta didik) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep matematika atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat oleh peserta didik pada tingkat pengetahuannya. Ketiga indikator tersebut digunakan sebagai dasar pengkategorian karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika.
Contoh tugas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Tujuan: Siswa dapat menentukan persamaan garis yang sejajar dengan garis lain secara kreatif.

Kegiatan belajar: Siswa diberikan suatu persamaan persamaan garis misalkan 2x + 3y = 6. Guru menentukan suatu titik tertentu misalkan A(2,3), tentukan garis sejajar yang melalui titik itu. Jika siswa sudah mengerti, siswa diminta menentukan titik lain sesuai keinginannya. Kalau tugas tersebut bisa dilakukan dilanjutkan siswa diminta membuat persamaan garis baru dan teman lain sebangku menentukan titik tertentu dan menentukan persamaan garis yang sejajar. Siswa disini mengembangkan kemampuan kelancaran (fasih), fleksibel, dan menghasilkan ide-ide yang baru.


Contoh tugas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
Tujuan: Siswa dapat menilai suatu ukuran pemusatan yang tepat untuk menginformasikan kumpulan data dengan kritis.
Kegiatan belajar:  Kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan kemampuan: (1) mengintepretasi informasi, (2) menilai bukti, (3) mengidentifikasi asumsi-asumsi dan kesalahan-kesalahan dalam bernalar, (4) menyajikan informasi, dan (5) menarik simpulan-simpulan.  Guru memberikan kumpulan berbagai data, misalkan tinggi badan, ukuran sepatu, dan kegemaran siswa. Dimodelkan ada seorang pengawas akan mencari data untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: (1) Saya akan mencari siswa yang akan dilatih untuk bermain bola basket. Berapa tinggi rata-rata siswa di sekolah ini? (2)  Berapa rata-rata ukuran sepatu siswa di sini? Ada bantuan sepatu gratis dari perusahaan tambang minyak. (3) Siswa di sini rata-rata menggemari sepak bola. Apakah tidak ada yang menyukai bola volley? Siswa diminta untuk menilai apakah pernyataan/pertanyaan pengawas itu sesuai dengan kebutuhan informasi yang diperlukan? Menurut kalian, apakah yang ditanyakan pengawas itu sesuai dengan informasi yang dibutuhkan? Ukuran pemusatan apakah yang sesuai? Jelaskan dan buatlah simpulan. 
Penutup
Berpikir kritis dan kreatif  merupakan dua sisi yang tidak dapat dilepaskan dan menjadi tujuan pendidikan di mana saja. Keduanya merupakan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk dapat diterapkan tergantung kemampuan dan keyakinan guru untukmenerapkan di ruang-ruang praktek kelas. Tidak bergantung pada materiyang sulit atau dipersulit. Masalah-masalah sederhana dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan tersebut.
Budaya pembelajaran di kelas yang perlu diubah dengan memberikan keleluasaan siswa berpendapat dan beragumentasi dapat menciptakan sikap kritis. Dengan memberikan kesempatan memberikan ide lain atau strategi lain meskipun tidak sama dari kebiasaan dapat menciptakan siswa kreatif. Kemudian menghargai setiap hasil tugas salah atau benar dapat menjadikan pembelajaran yang menyenangkan. Harapannya adalah bagaimana semua siswa akan mewarisi kesenangan guru-guru matematika terhadap matematika itu sendiri. Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka
Anonim. (2001). Creativity and Creative Thinking. Infinite innovation. Ltd. . http://www.brainstorming.co.uk/tutorials/ tutorialcontents.html. Download 13 April 2001
Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The Journal of Technology Studies Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2. http://scholar.lib.vt.edu/ejournals. Didownload 27 Desember 2004
Becker, Jerry P., Shimada, Shigeru. 1997. The Open-Ended Aproach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Reston, Virginia: NCTM, Inc.
Beghetto, Ronald A. 2010. Creativity in the Classroom. In Kaufman, James C & Sternberg, Robert J (Eds). The Cambridge Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge University Press
Beyer, B. K. (1995). Critical Thinking. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Ennis, H. (1996). Critical Thinking, Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 17458 New Jersey.
Evans, James R. 1991. Creative Thinking in the Decision and Management Sciences. Cincinnati: South-Western Publishing Co.
Glaser, E. 1941. An Experience in the Development of Critical Thinking. Advanced School of Education at Teacher’s College, Columbia University.
Haylock, Derek. 1997. Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002
Johnson, Elaine B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay. California: Corwin Press,Inc
Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. (1995). The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights: Allyn & Bacon
Kozbelt, Aaron., Beghetto, Ronald A., and Runco, Mark A. 2010. Theories of Creativity. In Kaufman, James C & Sternberg, Robert J (Eds). The Cambridge Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge University Press
Lipman, M. (2003). Thinking in Education. Cambridge: Cambridge University Press
Mann, Eric Louis. 2005.  Mathematical Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical Creativity in Middle School Students. A Dissertation of Doctor of Philosophy at  the University of Connecticut
Munandar, S.C. Utami.1999. Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pehkonen, Erkki 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002
Plucker, Jonathan A. and Makel, Mathew C. 2010. Asssessment of Creativity. In Kaufman, James C & Sternberg, Robert J (Eds). The Cambridge Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge University Press
Ruggiero, Vincent R. 1998. The Art of Thinking. A Guide to Critical and Creative Thought. New York: Longman, An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc.
Silver, Edward A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6 Agustus 2002
Siswono, Tatag Y.E. 2008. Penjenjangan  Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Peserta didik dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal Pendidikan Matematika “Mathedu”. ISSN 1858-344X, Volume 3 Nomer 1 Januari 2008, hal. 41-52
Solso, Robert L. 1995. Cognitive Psychology. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon
Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali
Stein,B., Haynes, A., Redding, M., Ennis, T., and Cecil, M. (2007). Assessing Critical Thinking in STEM and Beyond. In M. Iskander (ed.), Innovations in E-learning, Instruction Technology, Assessment, and Engineering Education, 79-82. © 2007 Springer.
The Liang Gie (2003). Tehnik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta
Weisberg, Robert W. 2006. Expertise and Reason in Creative Thinking: Evidence from Case Studies and the Laboratory. In Kaufman, J.C. and Baer, J. (Eds). Creativity and Reason in Cognitive Development. Cambridge: Cambridge University Press
Yuan, Xianwei & Sriraman, Bharath. 2011. An Exploratory Study of Relationships between Students’ Creativity and  Mathematical Problem-Posing Abilities: Comparing Chinese and U.S Student. In Sriraman, Bharath, and  Lee, Kyeong Hwa (eds). The Elements of Creativity and Giftedness in Mathematics. Rotterdam: Sense Publisher