Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif sebagai
Fokus Pembelajaran Matematika
Abstrak
Kemampuan berpikir kritis dan berpikir
kreatif semakin diperlu dalam kehidupan ini. Masyarakat dunia menghadapi permasalahan
global seperti perkembangan penduduk, keterbatasan sumber daya, perubahan mode
lapangan pekerjaan, perubahan iklim akibat pemanasan global, perubahan budaya,
dan perubahan dinamis ekonomi masyarakat. Persaingan semakin ketat tetapi
dilain pihak kerjasama dan fleksibilitas dalam menghadapi pekerjaan dan sesuatu
tetap diperlukan. Kondisi demikian merupakan tantangan dunia pendidikan
sekaligus kewajiban guru yang langsung menghadapi generasi masa depan. Pendidik
perlu semakin dibuka kesadarannya bahwa pesan pendidikan bukan sekedar
menyampaikan materi tetapi mendidik membangun kemampuan kritis sekaligus
kreatif. Pendidik perlu mewariskan budaya untuk cermat, sistematis,evaluatif,
analitis, fleksibel, dan menerima ide-ide yang berbeda. Guna membekali harapan
tersebut terutama bagi guru matematika, tulisan ini akan membahas ikwal tentang
kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif, dan pembelajaran yang
mendorong kemampuan tersebut.
Pendahuluan
Perkembangan teknologi komunikasi-informasi,
media-sosial, dan keterbatasan sumber daya alam serta perubahan yang tidak
menentu memerlukan kemampuan dan keterampilan berpikir kritis dan berpikir
kreatif. Halpern dalam Stein, Haynes,
Redding, Ennis,& Cecil (2007) menyebutkan “virtually every business or industry position
that involves responsibility and action in the face of uncertainty would
benefit if the people filling that position obtained a high level of the
ability to think critically”. Hasil
survey tentang keterampilan yang diperlukan dunia kerja menempatkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif termasuk empat besar keterampilan utama dalam
bisnis yang penting.
Pendidikan Matematika memiliki peran tidak
hanya membekali nilai edukasi yang bersifat mencerdaskan siswa tetapi juga
nilai edukasi yang membantu membentuk karakter siswa, termasuk berpikir kritis
dan berpikir kreatif. Kemampuan tersebut
tidak sekedar muncul secara alamiah tetapi perlu diajarkan dan dirancang sejak
di tingkat sekolah maupun perguruan tinggi. Kemampuan dan keterampilan tersebut
perlu dikembangkan pada setiap mata pelajaran termasuk matematika. Pembekalan
keterampilan dan kemampuan tersebut perlu dilakukan di dalam kelas-kelas ketika
proses pembelajaran berlangsung.
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif dalam mata pelajaran matematika sebenarnya sejak lama menjadi tujuan atau arah
pembelajaran baik secara eksplisit maupun implisit (Kurikulum 1994, 2006,
2013). Pendidik mungkin telah berupaya
menekankan kemampuan berpikir kritis dan kreatif tetapi muatan materi kurikulum
yang demikian menjadikan pendidik memprioritaskan aspek lain seperti hanya
pemahaman konsep. Umumnya, pembelajaran belum memberikan kesempatan peserta
didik menemukan jawaban
ataupun cara yang berbeda dari yang sudah diajarkan pendidik. Pendidik tidak
membiarkan peserta didik mengkonstruk pendapat atau pemahamannya sendiri
terhadap suatu konsep matematika. Berpikir kritis dan kreatif jarang ditekankan
pada pembelajaran matematika karena strategi pembelajaran yang diterapkan
cenderung berorientasi pada pengembangan pemikiran analitis dengan
masalah-masalah yang rutin.
Khusus untuk berpikir kreatif, Beghetto (2010) menuliskan bahwa
peneliti-peneliti telah mengidentifikasi kendala-kendala dalam pengembangan
kreativitas (termasuk berpikir kritis) di kelas, yaitu praktek pengajaran yang
konvergen, sikap dan keyakinan guru terhadap kreativitas, motivasi lingkungan,
dan keyakinan siswa sendiri terhadap kreativitas. Pengajaran konvergen
cenderung didominasi guru untuk “bicara” atau lebih dari 70% waktu pelajaran
digunakan untuk mentransfer informasi.
Guru tidak menerima ide atau masukan dari siswa, jika siswa melontarkan
ide dianggap sesuatu yang destruktif atau mengganggu. Ini menunjukkan
keterampilan berpikir kritis tidak sepenuhnya diterima dalam aktivitas
pembelajaran. Praktek tersebut seringkali dipengaruhi sikap dan keyakinan guru
sendiri. Sikap dan keyakinan tersebut terbangun ketika masa sekolah dan juga
situasi lingkungan yang membangun pengalamannya. Masih banyak pandangan bahwa
kreativitas dan pengetahuan akademik merupakan sesuatu yang terpisah.
Pembelajaran untuk mengembangkan potensi kritis dan kreatif siswa berbeda untuk
pengetahuan akademik. Beghetto (2010)
memberikan contoh pandangan Guilford, Vygotsky, dan ahli lain yang
menghubungkan antara kreativitas dan pembelajaran suatu pengetahuan. Guru dapat
mengembangkan potensi kreatif siswa (termasuk berpikir kritis) sekaligus
pengetahuan akademiknya.
Beberapa alasan perlunya pembelajaran matematika perlu
menekan pada berpikir kritis dan kreatif, antara lain:
1.
Matematika suatu pengetahuan yang kompleks
dan luas sehingga tidak cukup diajarkan dengan hafalan,
2.
Peserta didik memiliki potensi untuk berpikir
kritis dan kreatif dalam semua hal, termasuk matematika yang merupakan ilmu
tentang aktifitas manusia,
3.
Peserta didik dapat menemukan solusi-solusi
yang asli (original) saat memecahkan masalah, sehingga memuaskan diri
sendiri (memicu motivasi internal),
4.
Pendidik dapat melihat kontribusi asli dan
ide-ide yang menakjubkan dari peserta didik, sehingga memberi kesempatan
berbagi ide dan saling belajar,
5.
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan matematika peserta didik,
6.
Memberi pengalaman bahwa menemukan sesuatu yang
asli /original memerlukan proses, pemikiran mendalam dan kritis, ketekunan, dan
pantang menyerah, seperti membuat pembuktian
dari menemukan teorema-teorema,
7.
Kehidupan nyata sehari-hari memerlukan
matematika, sedangkan masalah sehari-hari bukanlah hal yang rutin, sehingga
memerlukan pemikiran kritis dan kreatif dalam menyelesaikannya.
Dalam tulisan berikut
akan dibahas: (1) pengertian berpikir kritis, (2) pengertian berpikir kreatif,
(3) hubungan antara berpikir kritis dan kreatif, (4) pembelajaran matematika yang
meningkatkan berpikir kritis dan berpikir kreatif.
Pengertian
Berpikir Kritis
Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang
dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang
harus dipecahkan. Suryabrata (1990) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses
yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses
berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan
pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pandangan ini
menunjukkan jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir,
orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang
direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk
pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan
membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari
situasi tersebut.
Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai
suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu
masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand).
Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah,
memecahkan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu
aktivitas berpikir.
Berpikir sebagai suatu kemampuan mental
seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir logis dapat diartikan
sebagai kemampuan berpikir siswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut
aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar (valid) sesuai
dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Berpikir
analitis adalah kemampuan berpikir siswa untuk menguraikan, memerinci, dan
menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu
pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar
perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan berpikir siswa
untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan,
langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien. Ketiga
jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan
berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami
informasi yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan
berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi.
Berpikir kritis dan berpikir kreatif perwujudan dari berpikir tingkat
tinggi (higher order thinking). Hal
tersebut karena kemampuan berpikir tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi
yang perlu dikuasai siswa di kelas. Berpikir kritis dapat dipandang sebagai
kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan
informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat
perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar
dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan
dengan berpikir kreatif.
Berpikir kritis adalah sebuah proses dalam menggunakan keterampilan
berpikir secara efektif untuk membantu seseorang membuat sesuatu, mengevaluasi,
dan mengaplikasikan keputusan sesuai dengan apa yang dipercaya atau dilakukan.
Beberapa keterampilan berpikir yang berkaitan dengan berpikir
kritis adalah membandingkan, membedakan, memperkirakan, menarik kesimpulan,
mempengaruhi, generalisasi, spesialisasi, mengklasifikasi, mengelompokkan,
mengurutkan, memprediksi, memfalidasi, membuktikan, menghubungkan, menganalis,
mengevaluasi dan membuat pola.
Seorang
siswa dikatakan
mampu berpikir kritis jika memiliki kemampuan dalam:
1.
Memilih kata-kata dan frase yang penting dalam sebuah pernyataan
dan akan didefinisikan secara hati-hati.
2.
Membutuhkan keyakinan untuk mendukung suatu kesimpulan ketika dia
dipaksa untuk menerimanya
3.
Menganalisa keyakinan itu dan membedakan suatu fakta
dari asumsi
4.
Menentukan asumsi penting yang tertulis dan yang tidak tertulis untuk kesimpulan tersebut
5.
Mengevaluasi asumsi-asumsi ini, menerima beberapa saja dan menolak
lainnya
6.
Mengevaluasi pendapat, menerima atau menolak kesimpulan
7.
Terus menerus memeriksa kembali asumsi yang telah dilakukan dan
percaya sebelumnya
Proses berpikir
kritis meliputi:
1.
Mengenal situasi
2.
Mempertimbangkan pendapat sesuai dengan bukti, data, atau asumsi
3.
Memberikan
argumentasi melampaui bukti
4.
Melaporkan dan mendukung kesimpulan/keputusan/solusi
5.
Mengaplikasikan kesimpulan/keputusan/solusi
Pengembangan keterampilan
berpikir kritis matematika disarankan dikaitkan dalam masalah
dunia nyata. Berikut ini adalah contoh kegiatan yang
mengintegrasikan keterampilan berpikir kritis ke dalam dunia nyata.
1.
Setelah membahas pembagian bahwa pembagi tidak boleh nol. Mengapa hal
itu terjadi?
2.
Setelah
memcahkan masalah, dari masalah yang sudah diselesaikan diajukan pertanyaan
bagaimana jika tidak seperti itu kondisinya apa yang terjadi? Bagaimana secara umumnya?
3.
Setelah
membahas makna bukti dalam geometri, siswa diminta untuk mendiskusikan hal-hal berikut:
Seorang ilmuwan memberikan suatu senyawa yang ia ciptakan untuk 20 orang selama
dua bulan. Tak seorang pun yang diserang rasa dingin selama dua bulan. Apakah
Anda pikir ilmuwan membuktikan bahwa senyawa ini mencegah flu? Bagaimana hal
ini berhubungan dengan arti bukti?
4.
Setelah
belajar tentang konvers, invers, dan kontrapositif, meminta siswa untuk
memutuskan apakah kesalahan penalaran telah dibuat dalam mengikuti dan
mendukung kesimpulan mereka tentang masalah berikut : ibu Katy memberitahunya,
"Jika Anda tidak menjaga kamar anda bersih, maka Anda tidak akan
mendapatkan wallpaper baru musim semi berikutnya. "Katy merasa selalu
membersihkan kamarnya, dan merasa ibunya telah melanggar janji ketika dia tidak
mendapatkan wallpaper baru.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan semangat siswa berpikir kritis yaitu dengan menciptakan
suasana kelas di mana siswa merasa nyaman
mempertanyakan sesuatu, menantang, menangguhkan penilaian, dan menuntut alasan
dan pembenaran karena mereka berhadapan dengan isi dunia nyata dan matematika. Ajukan
pertanyaan yang merangsang siswa untuk memonitor, mengevaluasi, dan bertindak
atas pemikiran mereka sendiri. Misalnya,
Mintalah siswa untuk bekerja dalam kelompok untuk (a) Membahas situasi di bawah
ini, (b) Brainstorming ide untuk
memecahkan itu. (c)Menemukan solusi yang diterima semua, atau ini laporan
minoritas, dan (d) Mendiskusikan pemikiran mereka untuk sampai pada keputusan.
Menurut
Glaser (1941) indikator-indikator berpikir kritis adalah sebagai berikut:
a) Mengenal masalah,
b) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk
menangani masalah-masalah itu
c) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang
diperlukan
d) Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang
tidak dinyatakan
e) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat,
jelas, dan khas
f) Menganalisis data
g) Menilai fakta dan mengevaluasi
pernyataan-pernyataan
h) Mengenal adanya hubungan yang logis antara
masalah-masalah
i)
Menarik
kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan
j)
Menguji
kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil
k) Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang
berdasarkan pengalaman yang lebih luas
l)
Membuat
penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam
kehidupan sehari-hari.
Beyer (dalam Hassoubah, 2004)
mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi beberapa kemampuan
sebagai berikut :
(1) Menentukan kredibilitas suatu
sumber.
(2). Membedakan antara yang relevan
dari yang tidak relevan.
(3). Membedakan fakta dari penilaian.
(4). Mengidentifikasi dan mengevaluasi
asumsi yang tidak terucapkan.
(5). Mengidentifikasi bias yang ada.
(6). Mengidentifikasi sudut pandang.
(7). Mengevaluasi bukti yang
ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Sementara itu Ennis (1996)
mengemukakan bahwa keterampilan berpikir kritis meliputi kemampuan-kemampuan
sebagai berikut :
(1). Mampu membedakan antara fakta
yang bisa diverifikasi dengan tuntutan nilai.
(2). Mampu membedakan antara
informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang relevan dengan yang tidak
relevan.
(3). Mampu menetapkan fakta yang
akurat.
(4). Mampu menetapkan sumber yang
memiliki kredibilitas.
(5). Mampu mengidentifikasi tuntutan
dan argumen-argumen yang ambiguistik.
(6). Mampu mengidentifikasi
asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan.
(7). Mampu menditeksi bias.
(8). Mampu mengidentifikasi
logika-logika yang keliru.
(9). Mampu mengenali logika yang tidak
konsisten.
(10). Mampu menetapkan argumentasi
atau tuntutan yang paling kuat.
Nickerson (dalam Lipman, 2003) seorang
ahli dalam berpikir kritis menyampaikan ciri-ciri orang yang berpikir kritis
dalam hal pengetahuan, kemampuan, sikap, dan kebiasaan dalam bertindak sebagai
berikut:
1. Menggunakan fakta-fakta secara mahir dan
jujur.
2. Mengorganisasi pikiran dan
mengartikulasikannya dengan jelas, logis atau masuk akal.
3. Membedakan antara kesimpulan yang didasarkan
pada logika yang valid dengan logika yang tidak valid.
4. Mengidentifikasi kecukupan data.
5. Memahami perbedaan antara penalaran dan
rasionalisasi.
6. Mencoba untuk mengantisipasi kemungkinan
konsekuensi dari berbagai kegiatan.
7. Memahami ide sesuai dengan tingkat
keyakinannya.
8. Melihat similiritas dan analogi secara tidak
dangkal.
9. Dapat belajar secara independen dan mempunyai
perhatian yang tak kunjung hilang dalam bekerjanya.
10. Menerapkan teknik problem solving dalam domain lain dari yang sudah dipelajarinya.
11. Dapat
menyusun representasi masalah secara informal ke dalam cara formal seperti
matematika dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.
12. Dapat
menyatakan suatu argumen verbal yang tidak relevan dan mengungkapkan argumen
yang esensial.
13. Mempertanyakan suatu pandangan dan
mempertanyakan implikasi dari suatu pandangan.
14. Sensitif terhadap perbedaan antara validitas
dan intensitas dari suatu kepercayaan dengan validitas dan intensitas yang
dipegangnya.
15. Menyadari bahwa fakta dan pemahaman seseorang
selalu terbatas, banyak fakta yang harus dijelaskan dengan sikap non inquiri.
16. Mengenali kemungkinan keliru dari suatu
pendapat, kemungkinan bias dalam pendapat, dan mengenali bahaya dari pembobotan
fakta menurut pilihan pribadi.
Pengertian
Berpikir Kreatif
Berpikir
kreatif atau kreativitas seringkali dipertukarkan maknanya. Weisberg (2006)
mengartikan berpikir kreatif mengacu pada proses-proses untuk menghasilkan
suatu produk kreatif yang merupakan karya baru (inovatif) yang diperoleh dari
suatu aktivitas/kegiatan yang terarah sesuai tujuan. Kalimat lain dikatakan
berpikir kreatif melibatkan produksi intensif
yang memenuhi kebaruan, sehingga seseorang dapat dikatakan kreatif
dengan menghasilkan sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya. Jika menghasilkan
sesuatu yang baru menurut anda, tetapi sudah dihasilkan orang lain, maka anda
masih dapat dikatakan kreatif.
Pandangan
tradisional meninjau kreativitas mengacu pada empat P (4P), yaitu proses,
produk, person (pribadi/individu), dan place/press (konteks, situasi, pendorong), tetapi
Kozbelt, Beghetto, & Runco (2010) menambah 2P lagi, yaitu persuasi dan
potensial. Dalam satu pengertian sangat
mungkin tekanannya tidak hanya pada satu “P” saja. Pengertian yang menekankan produk misalkan, Pehkonen (1997) menggunakan
definisi Bergstom (ahli neurophysiologi) yang menyebutkan bahwa kreativitas
merupakan kinerja (performance) seorang individu yang menghasilkan
sesuatu yang baru dan tidak terduga (creativity as performance where
the individual is producing something new and unpredictable). Pengertian
kreativitas yang menekankan pada aspek pribadi, misalkan Sternberg (dalam
Munandar, 1999) yang disebut “three facet model of creativity”, yaitu
“kreativitas merupakan titik pertemuan yang khas antara 3 atribut psikologi, yakni
intelegensi, gaya kognitif, dan kepribadian/motivasi”. Intelegensi meliputi
kemampuan verbal, pemikiran lancar, pengetahuan perencanaan, perumusan masalah,
penyusunan strategi, representasi mental, keterampilan pengambilan keputusan
dan keseimbangan, dan integrasi intelektual secara umum. Gaya kognitif atau
intelektual menunjukkan kelonggaran dan keterikatan pada konvensi, menciptakan
aturan sendiri, melakukan hal-hal dengan cara sendiri, menyukai masalah yang
tidak terlalu berstruktur, senang menulis, merancang dan ketertarikan terhadap
jabatan yang menuntut kreativitas. Dimensi kepribadian atau motivasi meliputi
kelenturan, toleransi, dorongan untuk berprestasi dan mendapat pengakuan,
keuletan dalam menghadapi rintangan dan pengambilan resiko yang sudah
diperkirakan. Pengertian yang menekankan
faktor pendorong atau dorongan secara internal, misalkan dikemukakan Simpson
(dalam Munandar, 1999) bahwa kemampuan kreatif merupakan sebuah inisiatif
seseorang yang diwujudkan oleh kemampuannya untuk mendobrak pemikiran yang
biasa. Kreativitas tidak berkembang dalam budaya yang terlalu menekankan
konformitas dan tradisi, dan kurang terbuka terhadap perubahan atau
perkembangan baru. Pengertian yang menekankan proses, misalkan Solso (1995)
menjelaskan kreativitas diartikan sebagai suatu aktivitas kognitif yang
menghasilkan suatu cara atau sesuatu yang baru dalam memandang suatu
masalah atau situasi. Pengertian
yang melibatkan persuasi, seperti dalam Kozbelt, Beghetto, & Runco (2010)
yang mengatakan ideasiasi dan perilaku kreatif dipengaruhi oleh tekanan pasar (market forces) dan analisis untung-rugi.
Sedang yang melibatkan potensi, seperti pengertian kreativitas berkembang
setiap waktu (dari potensinya sampai pencapaiannya) dimediasi oleh interaksi
dari individu dan lingkungan. Dalam
bermacam-macam definisi yang disebutkan di atas terdapat komponen yang sama,
yaitu menghasilkan sesuatu yang “baru” atau memperhatikan kebaruan.
Cropley (dalam Haylock, 1997) meninjau satu sisi, kreativitas mengacu pada suatu jenis khusus dari berpikir atau
fungsi mental yang sering disebut berpikir divergen. Sisi lain, kreativitas
digunakan untuk menunjukkan pembuatan (generation) produk-produk yang
dipandang (perceived) kreatif, seperti karya seni, arsitektur atau
musik. Dalam pengajaran anak-anak di sekolah, kreativitas mengacu pada kemampuan untuk mendapatkan ide-ide, khususnya yang bersifat asli (original),
berdaya cipta (inventive), dan ide-ide baru (novelty). Pengertian ini menekankan
pada aspek produk yang diadaptasikan pada kepentingan pembelajaran. Dengan
demikian, kreativitas ditekankan pada produk berpikir
untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan berguna.
The (2003) memberi batasan bahwa berpikir
kreatif (pemikiran kreatif) adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan orang
dengan menggunakan akal budinya untuk menciptakan buah pikiran baru dari
kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, dan
pengetahuan. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif ditandai dengan
penciptaan sesuatu yang baru dari hasil berbagai ide, keterangan, konsep,
pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam pikirannya.
Evans (1991) menjelaskan bahwa berpikir
kreatif adalah suatu aktivitas mental untuk membuat hubungan-hubungan (conections) yang terus menerus (kontinu),
sehingga ditemukan kombinasi yang “benar” atau sampai seseorang itu menyerah.
Asosiasi kreatif terjadi melalui kemiripan-kemiripan sesuatu atau melalui
pemikiran analogis. Asosasi ide-ide membentuk ide-ide baru. Jadi, berpikir
kreatif mengabaikan hubungan-hubungan yang sudah mapan, dan menciptakan
hubungan-hubungan tersendiri. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif
merupakan kegiatan mental untuk menemukan suatu kombinasi yang belum dikenal sebelumnya.
Berpikir kreatif dapat juga dipandang sebagai
suatu proses yang digunakan ketika seorang individu mendatangkan atau
memunculkan suatu ide baru. Ide baru tersebut merupakan gabungan ide-ide
sebelumnya yang belum pernah diwujudkan (Anonim, 2001). Pengertian ini lebih
menfokuskan pada proses individu untuk memunculkan ide baru yang merupakan
gabungan ide-ide sebelumnya yang belum diwujudkan atau masih dalam pemikiran.
Pengertian berpikir kreatif ini ditandai adanya ide baru yang dimunculkan
sebagai hasil dari proses berpikir tersebut.
Berdasar pendapat (Ruggiero, 1998; The, 2003; Evans, 1991; Anonim, 2001),
maka berpikir kreatif dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan mental yang
digunakan seorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru. Berpikir kreatif dalam matematika mengacu
pada pengertian berpikir kreatif secara umum. Pehkonen (1997) memandang berpikir kreatif sebagai suatu kombinasi dari berpikir
logis dan berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tetapi masih dalam
kesadaran. Berpikir kreatif dipandang sebagai satu
kesatuan atau kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen untuk
menghasilkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru tersebut merupakan salah satu
indikasi dari berpikir kreatif dalam matematika.
Hubungan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
Dalam memandang kaitan antara berpikir
kreatif dan berpikir kritis terdapat dua pandangan. Pertama memandang berpikir kreatif bersifat intuitif yang berbeda dengan
berpikir kritis (analitis) yang didasarkan pada logika, dan kedua memandang
berpikir kreatif merupakan kombinasi berpikir yang analitis dan intuitif.
Berpikir yang intuitif artinya berpikir untuk mendapatkan sesuatu dengan
menggunakan naluri atau perasaan (feelings)
yang tiba-tiba (insight) tanpa
berdasar fakta-fakta yang umum. Pandangan pertama cenderung dipengaruhi oleh
pandangan terhadap dikotomi otak kanan dan kiri yang mempunyai fungsi berbeda,
sedang pandangan kedua melihat dua belahan otak bekerja secara sinergis
bersama-sama yang tidak terpisah.
Johnson (2002) menjelaskan bahwa berpikir kritis
mengorganisasikan proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti
pemecahan masalah, pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis
asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to
reason) dalam suatu cara yang
terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk
mengevaluasi secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain.
Berpikir kreatif merupakan suatu aktifitas mental yang memperhatikan keaslian
dan wawasan (ide). Berpikir dengan kritis dan kreatif memungkinkan siswa
mempelajari masalah secara sistematik, mempertemukan banyak sekali tantangan
dalam suatu cara yang terorganisasi, merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang
inovatif dan merancang/ mendesain solusi-solusi yang asli. Berpikir kreatif
sebagai lawan dari berpikir destruktif, melibatkan pencarian kesempatan untuk
mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Berpikir kreatif tidak secara tegas
mengorganisasikan proses, seperti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan suatu
kebiasaan dari pemikiran yang tajam dengan intuisi, menggerakkan imaginasi,
mengungkapkan (to reveal)
kemungkinan-kemungkinan baru, membuka selubung (unveil) ide-ide yang menakjubkan dan inspirasi ide-ide yang tidak
diharapkan. Pengertian ini membedakan dengan tegas berpikir kreatif dan
berpikir kritis.
De Bono (dalam Barak dan Doppelt, 2000)
membedakan antara 2 tipe berpikir, yaitu berpikir lateral dan berpikir
vertikal. Berpikir lateral mengacu pada penemuan petunjuk-petunjuk baru dalam
mencari ide-ide, sedang berpikir vertikal berhadapan dengan perkembangan
ide-ide dan pemeriksaannya terhadap suatu kriteria objektif. Pemikiran vertikal
adalah selektif dan berurutan yang bergerak hanya jika terdapat suatu petunjuk
dalam gerakannya. Pemikiran lateral adalah generatif yang dapat meloncat dan
bergerak agar dapat membangun suatu petunjuk baru. Pemikiran lateral tidak
harus benar pada setiap langkah dan tidak menggunakan kategori-kategori,
klasifikasi atau label-label yang tetap. Pemikiran vertikal memilih
pendekatan-pendekatan yang sangat menjanjikan pada suatu masalah selama
pemikiran lateral membangun banyak alternatif pendekatan. Berpikir kreatif
merupakan suatu sintesis antara berpikir lateral dan vertikal yang saling
melengkapi. Pengertian ini menyebutkan bahwa dalam berpikir kreatif melibatkan
berpikir kritis (logis dan analitis) sekaligus intuitif, seperti pada pandangan
kedua dalam pengertian berpikir kreatif.
Krulik & Rudnick (1995) membuat
penjenjangan penalaran yang merupakan bagian dari berpikir. Tingkat tersebut di
atas pengingatan (recall). Dalam
penalaran dikategorikan dalam berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical)
dan berpikir kreatif. Kategori tersebut tidak diskrit dan sulit sekali untuk
mendefinisikan dengan tepat. Berikut indikator yang menunjukkan tiap
tingkat tersebut.
Tabel 1: Tingkat Penalaran (Berpikir) dari
Krulik dan Rudnick
Basic
·
Understanding
of concepts
·
Recognizing
a concept when it appears in a setting
|
Critical
·
Examining,
relating, and evaluating all aspects of a situation or problem.
·
Focusing
on parts of a situation or problem.
·
Gathering
and organizing information.
·
Validating
and analyzing information.
·
Remembering
and associating previously learned information.
·
Determininng
reasonableness of an answer.
·
Drawing
valid conclusions.
·
Analytical
and reflexive in nature.
|
Creative
·
Original,
effective, and produces a complex product.
·
Inventive.
·
Synthesizing
ideas.
·
Generating
ideas.
·
Applying
ideas.
|
Tingkat
terendah dari berpikir adalah pengingatan (recall)
yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan
refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika
atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu pemahaman dan pengenalan
konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau pengurangan dan aplikasinya
dalam masalah-masalah. Sebagai contoh adalah mengenali bahwa untuk menemukan
harga total 12 es krim yang berharga Rp. 3.000 tiap buah menggunakan konsep
perkalian. Batas-batas kategori itu tidak mudah ditentukan. Tingkat dasar bagi
seseorang mungkin merupakan tingkat ingatan bagi orang lain.
Tingkat berikutnya adalah berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji, menghubungkan dan
mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah. Termasuk dalamnya adalah
mengumpulkan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir
kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan
mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan
untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan menentukan
inkosistensi dan kontradiksinya. Berpikir kritis bersifat analitis dan
refleksif.
Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif.
Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian, dan reflektif
serta menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan
sintesis ide-ide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide tersebut. Juga
melibatkan kemampuan untuk menemukan dan menghasilkan produk yang baru.
Krulik & Rudnick (1995) mengatakan bahwa
kriteria tingkatan itu sering sekali bergerak menuju tingkat lebih rendah di
antara tingkat-tingkat tersebut. Dengan demikian memungkinkan terjadi tumpang
tindih tingkat berpikir siswa apakah termasuk dalam tingkat berpikir kritis
atau kreatif, sehingga menjadi kesulitan dalam membedakan tingkat ini.
Dalam praktek pembelajaran pandangan teoritis
tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Jika diharapkan siswa berpikir kreatif
sekaligus kritis maka dapat diterapkan dengan menyelesaikan tugas-tugas yang
memenuhi indikasi berpikir kreatif, sedangkan jika diharapkan siswa berpikir
kritis maka tugas-tugas disesuaikan dengan indikasi berpikir kritis,
Pembelajaran
Matematika yang Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Berpikir Kreatif
Umumnya pembelajaran
yang berorientasi masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis maupun
berpikir kreatif. Pembelajaran tersebut seperti
pemecahan masalah, pengajuan masalah, atau pembelajaran berdasarkan masalah.
Khusus untuk pembelajaran untuk meningkatkan berpikir kreatif yang dapat
diterapkan untuk berpikir kritis adalah model JUCAMA.
Model pembelajaran JUCAMA ini merupakan suatu model pembelajaran matematika yang berorientasi
pada pemecahan dan pengajuan masalah matematika sebagai fokus pembelajarannya
dan menekankan belajar aktif secara mental dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif. Model ini merupakan hasil penelitian yang
dimulai sejak tahun 2008 sampai
sekarang.
Model ini didasarkan pada lima teori utama, yaitu (1) Teori Piaget, (2)
Teori Vygotski, (3) Teori Bruner, (4) Teori tentang Pemecahan dan Pengajuan
Masalah, dan (5) Teori tentang Berpikir
Kreatif. Selain itu juga didukung dengan hasil-hasil penelitian yang
relevan. Model JUCAMA memiliki tujuan instruksional, yaitu:
1.
Meningkatkan hasil belajar peserta didik terutama dalam memecahkan masalah.
yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Hal tersebut sesuai dengan fokus
pembelajaran matematika sampai saat ini yang terdapat pada kurikulum yang
menekankan pada kemampuan memecahkan masalah.
2.
Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berpikir kreatif yang
diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, maupun kebaruan dalam memecahkan
maupun mengajukan masalah matematika. Indikator kemampuan berpikir kreatif
sebenarnya beragam sesuai dengan pengertian dari berpikir kreatif itu sendiri,
tetapi yang umum dan banyak digunakan dalam matematika adalah ketiga kriteria
tersebut.
Model JUCAMA juga mempunyai tujuan yang tidak langsung, antara lain:
1.
Mengaitkan konsep-konsep matematika yang sudah dipelajari dengan konsep
lain dan pengalaman peserta didik sehari-hari.
2.
Memusatkan perhatian dan melakukan pengulangan terhadap materi yang sudah
dipelajari atau dengan kata lain mendorong untuk belajar mandiri.
3.
Melatih mengkomunikasikan ide secara rasional atau bernalar dan
kritis, karena dituntut untuk menjawab masalah
secara divergen.
Berdasar
langkah yang terdapat pada pemecahan dan pengajuan masalah tersebut, maka
dirumuskan sintaks model JUCAMA sebagai berikut.
Fase
|
Aktivitas/Kegiatan Pendidik
|
1. Menyampaikan
tujuan dan mempersiapkan peserta didik.
|
Menjelaskan tujuan, materi
prasyarat, memotivasi peserta didik, dan mengaitkan materi pelajaran dengan
konteks kehidupan sehari-hari.
|
2. Mengorientasikan peserta didik pada masalah
dan mengorganisasikannya untuk belajar.
|
Memberikan masalah yang sesuai
tingkat perkembangan anak untuk diselesaikan atau meminta peserta didik
mengajukan masalah berdasar informasi ataupun masalah awal. Meminta peserta
didik bekerja dalam kelompok atau individual dan mengarahkan peserta didik
membantu dan berbagi dengan anggota kelompok atau teman lainnya.
|
3. Membimbing penyelesaian secara individual
maupun kelompok.
|
Pendidik membimbing dan mengarahkan
belajar secara efektif dan efisien.
|
4. Menyajikan hasil penyelesaian pemecahan dan
pengajuan masalah.
|
Pendidik membantu peserta didik
dalam merencanakan dan menetapkan suatu kelompok atau seorang peserta didik
dalam menyajikan hasil tugasnya.
|
5. Memeriksa
pemahaman dan memberikan umpan balik sebagai evaluasi.
|
Memeriksa
kemampuan peserta didik dan memberikan umpan balik untuk menerapkan masalah
yang dipelajari pada suatu materi lebih lanjut dan pada konteks nyata masalah
sehari-hari.
|
Dalam model ini pendidik dipandang sebagai fasilitator atau mediator yang
membantu peserta didik mengkonstruk pemahamannya sendiri. Hal tersebut sesuai dengan teori Bruner dan
Vigotsky bahwa dalam belajar peran pendidik, orang dewasa, atau teman sebaya
membantu membawa pengetahuan anak pada tingkat yang lebih tinggi. Ini dapat
dilakukan dengan menyediakan penopang (scaffolds)
yang tidak dibutuhkan lagi oleh anak setelah proses pembelajaran selesai.
Peserta didik tidak dipandang sebagai kertas kosong, tetapi seseorang yang
berpengetahuan akibat adaptasi secara individual terhadap lingkungannya.
Peserta didik dibantu untuk menjangkau daerah kemapuan potensialnya yang lebih
tinggi.
Setting kelas yang diperlukan pada model ini adalah kelas memungkinkan
peserta didik bergerak dan berdikusi antar anggota atau kelompok lain. Sistem
pengajarannya dapat secara klasikal maupun kelompok-kelompok kecil. Perangkat
pembelajaran dapat menggunakan buku peserta didik atau lembar kegiatan peserta
didik (LKS) yang di dalamnya memuat masalah yang dipilih untuk memicu proses pemecahan maupun pengajuan
masalah. Masalah yang dibuat seyogyanya yang divergen baik pada cara maupun
jawaban penyelesaian. Pemberian masalah harus dimulai dari yang sederhana
meningkat menjadi yang kompleks. Pada awal diberi masalah yang divergen pada
jawaban, kemudian jika peserta didik menyadari bahwa jawaban suatu masalah
matematika dapat tidak tunggal, dilanjutkan pada soal divergen pada cara
penyelesaian. Setelah dipahami dan disadari benar, baru ditingkatkan pada soal
yang divergen pada cara maupun jawaban. Pemberian masalah yang divergen,
ditujukan agar mendorong kemampuan berpikir kreatif.
Untuk
menilai berpikir kreatif sebenarnya bergantung pada kriteria atau indikator
dari berpikir kreatif yang dirumuskan oleh peneliti atau penggunanya. Plucker, Beghetto, & Dow dalam Plucker
dan Makel (2010) merekomendasikan bahwa “all
examinations of creativity clearly define the authors’ conception of creativity
as used in that work”. Guilford, Torrance, Wallach dan Kogan, Getzels dan
Jackson menggunakan kriteria berpikir divergen untuk menilai berpikir kreatif
seseorang. Meskipun menggunakan isi dan
instruksi yang bervariasi, tetapi berpikir divergen sama meminta
respons-respons yang berganda dan dinilai menggunakan kriteria kefasihan (fluency),
fleksibilitas, keasliaan, dan elaborasi ide-ide. Indikasi berpikir kreatif
dalam matematika menggunakan ketiga indikator tanpa elaborasi, seperti Presmeg,
Silver (1997), dan Torrance (dalam Yuan & Sriraman, 2011). Elaborasi tidak
digunakan karena dianggap tidak tepat menggambarkan kemampuan memerinci ide
matematis.
Mann
(2005) merumuskan indiator berpikir kreatif dalam matematika terdiri dari 6
kemampuan, yaitu: (1) Ability to
formulate mathematical hypotheses concerning cause and effect in mathematical
situations; (2) Ability to determine patterns in mathematical situations; (3)
Ability to break from established mind sets to obtain solutions in a
mathematical situation; (4) Ability to consider and evaluate unusual
mathematical ideas, to think through the possible consequences for a mathematical
situation; (5) Ability to sense what is
missing from a given mathematical situation and to ask questions that will enable
one to fill in the missing mathematical information; (6). Ability to split
general mathematical problems into specific sub problems.
Dalam
kaitannya dengan pembelajaran JUCAMA kriteria yang digunakan adalah kefasihan,
kebaruan, dan fleksibilitas. Kemampuan tersebut bertingkat seperti digunakan penjenjangan kemampuan berpikir kreatif
(Siswono, 2008) sebagai berikut.
Tingkat
|
Karakteristik
|
Tingkat 4
(Sangat Kreatif)
|
Peserta didik
mampu menunjukkan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan atau kebaruan dan
fleksibilitas dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
|
Tingkat 3
(Kreatif)
|
Peserta didik
mampu menunjukkan kefasihan dan kebaruan atau kefasihan dan fleksibilitas
dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
|
Tingkat 2
(Cukup Kreatif)
|
Peserta didik
mampu menunjukkan kebaruan atau fleksibilitas dalam memecahkan maupun
mengajukan masalah.
|
Tingkat 1
(Kurang Kreatif)
|
Peserta didik
mampu menunjukkan kefasihan dalam memecahkan maupun mengajukan masalah.
|
Tingkat 0
(Tidak Kreatif)
|
Peserta didik tidak mampu menunjukkan ketiga aspek
indikator berpikir kreatif.
|
Penjenjangan tersebut dapat menjadi rubrik penilaian dalam mengevaluasi
kemampuan berpikir kreatif peserta didik. Pada rubrik tersebut akan terlihat
bagaimana pemahaman konsep peserta didik yang ditunjukkan dengan ketepatan
peserta didik menyelesaikan tugas. Karena tugas yang diberikan merupakan
pemecahan masalah, maka fokus dalam pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan
dari mata pelajaran matematika.
Kefasihan
dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik memberi jawaban
masalah yang beragam dan benar, sedang dalam pengajuan masalah mengacu pada
kemampuan peserta didik membuat masalah sekaligus penyelesaiannya yang beragam
dan benar. Beberapa jawaban masalah dikatakan beragam, bila
jawaban-jawaban tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu, seperti jenis
bangun datarnya sama tetapi ukurannya berbeda. Dalam pengajuan masalah,
beberapa masalah dikatakan beragam, bila masalah itu menggunakan konsep
yang sama dengan masalah sebelumnya tetapi dengan atribut-atribut yang berbeda
atau masalah yang umum dikenal peserta didik setingkatnya. Misalkan seorang
peserta didik membuat persegipanjang dengan ukuran berbeda, soal pertama
menanyakan keliling persegi panjang dan soal kedua menanyakan luasnya.
Fleksibilitas dalam pemecahan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik
memecahkan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Fleksibilitas dalam
pengajuan masalah mengacu pada kemampuan peserta didik mengajukan masalah yang
mempunyai cara penyelesaian berbeda-beda. Kebaruan dalam pemecahan masalah
mengacu pada kemampuan peserta didik menjawab masalah dengan beberapa jawaban
yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang “tidak biasa” dilakukan
oleh individu (peserta didik) pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban
dikatakan berbeda, bila jawaban itu tampak berlainan dan tidak mengikuti
pola tertentu, seperti bangun datar yang merupakan gabungan dari beberapa macam
bangun datar. Kebaruan dalam pengajuan masalah mengacu pada kemampuan peserta
didik mengajukan suatu masalah yang berbeda dari masalah yang diajukan
sebelumnya. Dua masalah yang diajukan berbeda bila konsep matematika
atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat oleh peserta didik
pada tingkat pengetahuannya. Ketiga indikator tersebut digunakan sebagai dasar
pengkategorian karakteristik berpikir kreatif peserta didik dalam memecahkan
dan mengajukan masalah matematika.
Contoh tugas untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif.
Tujuan: Siswa dapat menentukan
persamaan garis yang sejajar dengan garis lain secara kreatif.
Kegiatan belajar:
Siswa diberikan suatu persamaan persamaan garis misalkan 2x + 3y = 6. Guru
menentukan suatu titik tertentu misalkan A(2,3), tentukan garis sejajar yang
melalui titik itu. Jika siswa sudah mengerti, siswa diminta menentukan titik
lain sesuai keinginannya. Kalau tugas tersebut bisa dilakukan dilanjutkan siswa
diminta membuat persamaan garis baru dan teman lain sebangku menentukan titik
tertentu dan menentukan persamaan garis yang sejajar. Siswa disini
mengembangkan kemampuan kelancaran (fasih), fleksibel, dan menghasilkan ide-ide
yang baru.
Contoh tugas untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis
Tujuan: Siswa dapat menilai suatu ukuran
pemusatan yang tepat untuk menginformasikan kumpulan data dengan kritis.
Kegiatan belajar: Kemampuan berpikir kritis ditunjukkan dengan
kemampuan: (1) mengintepretasi informasi, (2) menilai bukti, (3)
mengidentifikasi asumsi-asumsi dan kesalahan-kesalahan dalam bernalar, (4)
menyajikan informasi, dan (5) menarik simpulan-simpulan. Guru memberikan kumpulan berbagai data,
misalkan tinggi badan, ukuran sepatu, dan kegemaran siswa. Dimodelkan ada
seorang pengawas akan mencari data untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut:
(1) Saya akan mencari siswa yang akan dilatih untuk bermain bola basket. Berapa
tinggi rata-rata siswa di sekolah ini? (2)
Berapa rata-rata ukuran sepatu siswa di sini? Ada bantuan sepatu gratis
dari perusahaan tambang minyak. (3) Siswa di sini rata-rata menggemari sepak
bola. Apakah tidak ada yang menyukai bola volley? Siswa diminta untuk menilai
apakah pernyataan/pertanyaan pengawas itu sesuai dengan kebutuhan informasi
yang diperlukan? Menurut kalian, apakah yang ditanyakan pengawas itu sesuai
dengan informasi yang dibutuhkan? Ukuran pemusatan apakah yang sesuai? Jelaskan
dan buatlah simpulan.
Penutup
Berpikir
kritis dan kreatif merupakan dua sisi
yang tidak dapat dilepaskan dan menjadi tujuan pendidikan di mana saja.
Keduanya merupakan keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat diterapkan tergantung kemampuan dan keyakinan guru untukmenerapkan
di ruang-ruang praktek kelas. Tidak bergantung pada materiyang sulit atau
dipersulit. Masalah-masalah sederhana dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan
tersebut.
Budaya
pembelajaran di kelas yang perlu diubah dengan memberikan keleluasaan siswa
berpendapat dan beragumentasi dapat menciptakan sikap kritis. Dengan memberikan
kesempatan memberikan ide lain atau strategi lain meskipun tidak sama dari
kebiasaan dapat menciptakan siswa kreatif. Kemudian menghargai setiap hasil
tugas salah atau benar dapat menjadikan pembelajaran yang menyenangkan.
Harapannya adalah bagaimana semua siswa akan mewarisi kesenangan guru-guru
matematika terhadap matematika itu sendiri. Semoga bermanfaat.
Daftar
Pustaka
Anonim.
(2001). Creativity and Creative Thinking.
Infinite innovation. Ltd. . http://www.brainstorming.co.uk/tutorials/
tutorialcontents.html. Download 13 April 2001
Barak, Moses. & Doppelt, Yaron. (2000). Using Portfolio to Enhance Creative Thinking. The Journal of Technology Studies
Summer-Fall 2000, Volume XXVI, Number 2. http://scholar.lib.vt.edu/ejournals.
Didownload 27 Desember 2004
Becker, Jerry P., Shimada, Shigeru. 1997. The Open-Ended Aproach: A New Proposal for Teaching Mathematics.
Reston, Virginia: NCTM, Inc.
Beghetto,
Ronald A. 2010. Creativity in the Classroom. In Kaufman, James C &
Sternberg, Robert J (Eds). The Cambridge
Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge University Press
Beyer, B. K. (1995). Critical
Thinking. Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Ennis,
H. (1996). Critical Thinking,
Prentice Hall, Upper Saddle River, NJ 17458 New Jersey.
Evans,
James R. 1991. Creative Thinking in the
Decision and Management Sciences. Cincinnati :
South-Western Publishing Co.
Glaser, E.
1941. An Experience in the Development of
Critical Thinking. Advanced School of Education at Teacher’s College,
Columbia University.
Haylock,
Derek. 1997. Recognising Mathematical
Creativity in Schoolchildren. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum
29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6
Agustus 2002
Johnson, Elaine B. (2002). Contextual
Teaching and Learning: What it is and why it’s here to stay. California : Corwin
Press,Inc
Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A.
(1995). The New Sourcebook for Teaching
Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights : Allyn & Bacon
Kozbelt,
Aaron., Beghetto, Ronald A., and Runco, Mark A. 2010. Theories of Creativity.
In Kaufman, James C & Sternberg, Robert J (Eds). The Cambridge Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge
University Press
Lipman,
M. (2003). Thinking in Education. Cambridge:
Cambridge University Press
Mann, Eric
Louis. 2005. Mathematical
Creativity and School Mathematics: Indicators of Mathematical Creativity in
Middle School Students. A
Dissertation of Doctor of Philosophy at
the University of Connecticut
Munandar, S.C. Utami.1999. Kreativitas & Keberbakatan. Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif
& Bakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pehkonen,
Erkki 1997. The State-of-Art in
Mathematical Creativity. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum
29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6
Agustus 2002
Plucker,
Jonathan A. and Makel, Mathew C. 2010. Asssessment of Creativity. In Kaufman,
James C & Sternberg, Robert J (Eds). The
Cambridge Handbook of Creativity. Cambrigde: Cambridge University Press
Ruggiero,
Vincent R. 1998. The Art of Thinking. A
Guide to Critical and Creative Thought. New York : Longman, An Imprint of Addison
Wesley Longman, Inc.
Silver,
Edward A. 1997. Fostering Creativity
through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in
Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volum
29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. Download tanggal 6
Agustus 2002
Siswono, Tatag Y.E. 2008. Penjenjangan
Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif
Peserta didik dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Jurnal
Pendidikan Matematika “Mathedu”. ISSN 1858-344X, Volume 3 Nomer 1 Januari 2008,
hal. 41-52
Solso,
Robert L. 1995. Cognitive Psychology.
Needham Heights , MA : Allyn & Bacon
Suryabrata, Sumadi. (1990). Psikologi
Pendidikan. Jakarta: CV Rajawali
Stein,B., Haynes, A., Redding, M., Ennis, T., and Cecil, M.
(2007). Assessing Critical Thinking in STEM and Beyond. In M. Iskander (ed.), Innovations
in E-learning, Instruction Technology, Assessment, and Engineering Education,
79-82. © 2007 Springer.
The Liang Gie (2003). Tehnik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada Yogyakarta
Weisberg, Robert W. 2006. Expertise and
Reason in Creative Thinking: Evidence from Case Studies and the Laboratory. In
Kaufman, J.C. and Baer, J. (Eds). Creativity and Reason in Cognitive
Development. Cambridge: Cambridge University Press
Yuan, Xianwei & Sriraman, Bharath.
2011. An Exploratory Study of Relationships between Students’ Creativity
and Mathematical Problem-Posing
Abilities: Comparing Chinese and U.S Student. In Sriraman, Bharath, and
Lee, Kyeong Hwa (eds). The Elements of Creativity and Giftedness in
Mathematics. Rotterdam: Sense Publisher