Monday 8 October 2018

pengertian tasawuf irfani


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak hanya mengajarkan masalah-masalah eksternal dalam membimbing manusia untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah diinterpretasikan oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan yang sangat beragam. Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah pemikiran-pemikiran tasawuf.
Tasawuf bukan ilmu yang stagnan ditempat. Walaupun naman taswuf  baru terdengar mulai awal-awal abad ke-2 H tetappi dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hadirnya berbagai tokoh tasawuf memperkaya cara pandang ilmu tasawuf.
Salah satu aliran pemikiran tasawuf adalah tasawuf irfani. Aliran ini terkenal dengan cara pandang tokohnya yang susah untuk dipahami oleh orang awam. Bahkan terdapat tokohnya yang sangat controversial dan mengundang perdebatan dikalangan ahli syari’at dan ahli tasawuf.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tasawuf irfani?
2.      Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf irfani?
C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2.      Untuk mengetahui tokoh dan pemikiran dalam paham tasawuf irfani.







BAB II
PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN TASAWUF ‘IRFANI
Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan kata jadian [masdhar], dari kata ‘arafa’ [mengenal atau pengenalan]. Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan makrifat sufistik. Orang yang ‘irfan/ makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf  [ketersingkapan]. Ahli ‘irfan adalah orang yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentikkan dengan sifat-sifat inheren yang tanpak pada diri seorang ‘arif [bijaksana][1], dan menjadi hal baginya[2]
Tasawuf ‘irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetatpi melalui pemberian tuhan secara langsung [muhibbah]
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bbagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud [ontology], mendiskusikan manusia, tuhan serta alam semesta.[3]
B. TOKOH-TOKOH TASAWUF IRFANI
1.      Rabi’ah Al-Adawiyah
a.       Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir padatahun 95 H/713 M di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orangtuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orangtuanya meninggal ketika ia masih kecil.[4] Konon pada saat terjadi bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya di bebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjahui kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan matei yang diberikan orang kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.Rabi’ah Al-Adawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah. Sebagai wanita zahidah, ia selalu menolak setiap lamaran beberapa pria shaleh.[5] Ia dianggap mempunyai konstribusi besar dalam menjalani “Cinta Allah” di lautan mistikisme Islam yang sangat luas dan dalam itu. Adapun doa yang terkenal dan yang pernah diucapkan sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang sufi terhadap Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali untuk merindudambakan pertemuan dengan-Nya.[6]
b.      Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Oleh karena itu, ia mengabdi, melakukan amal sholeh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya kepada Allah. Cinta-lah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuatnya sedih karena takut terpisah dari yang dicintai. Bagi Rabi’ah, Allah merupakan Dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti.[7] Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah mahabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan hubb (cinta) dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut, penuh kasih, dan memiliki rasa estetika yang dalam. Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mansyur adalah sebagai berikut :

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah karena Engkau singkapkan tirai sampai Engkau nyata bagiku
Bagiku, tidak ada puji untuk ini dan itu
Tetapi segala puji hanya bagi-Mu selalu[8]

Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”[9]
2.      Dzu An-Nun Al-Mishri
a.    Riwayat Hidup  Dzun An-Nun Al-Misri
Dzun An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim,dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT. Kepadanya.1
Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadist, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Sepanjang perjalanan hidupnya, ia selalu berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Ia pernah menjelajahi daerah di mesir, baitul makdis, bakdad, mekkah, hijaz, shiriyah, prgunungan libanon atokiah dan lembah kan’an.2
Ia pun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang pertama yang member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf.

b.    Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun An-Nun Al-Misri
1)   Pengertian Makrifat menurut Dzun An-Nun Al-Misri
Al-Misri adalah pelopor paham makrifat, penilaian ini sangat tepat Karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian di analisis Nicholson dan Abd al-Qadirdalam falsafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam.
Pandangan Al-Misri tentang makrifat
a)   Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan.
b)   Makrifat yang sebenarnya adalah Allah SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifah yang murni, seperti matahari tidak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya.
Kedua pandangan Al-Misri ini menjelaaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT. Tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yaitu tuhan menyinari hari manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu :
a)   Pengetahuan untuk seluruh muslim;
b)   Pengetahuan khusus untuk para filsuf dan ulama; dan
c)   Pengetahuan khusus untuk para wali Allah SWT.
Al-Misri mempunyai sistematika tentu tentang jalan menuju tingkat makrifat :
a)   Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “orang tidak mengenal jalan menuju Allah SWT. Dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b)   jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq al-ihtiba’.
c)   Manusia itu ada dua macam, yaitu darij adalah orang berjalan menuju jalan iaman, sedangkan wasil adalah yang berjalanb (melayang) di atas kekuatan makrifat.
Ketika ditanya tentang cara memperoleh makrifat, Al-Misri menjawab,
”Aku mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya, aku tidak mungkin mengenal-Nya (‘araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi jama ‘araftu rabbi).”
Tanda-tanda seseorang arif, menurut Al-misri adalah sebagai berikut :
a)   Cahaya makrifah tidak memadamkan cahaya kewara’annya;
b)   Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukumlahir;
c)   Banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan tuhan.
2)   Pandangan Dzun An-Nun Al-Misri tentang maqamat dan ahwal
Pandangan Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal, dan ar-rida.
  Menurut Al-Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan).
Al-Misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a)   Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya;
b)   Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan;
c)   Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.
Ketika ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang ligkup pembahasan tentang tasawuf. Orang-orang yang mencintai Allah SWT. Senantiasa mengikuti sunnah Rasul,tidak mengabaikan syariat. Ada tiga simbol mahabbah, yaitu rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal yang diperingatkan.3
3.      Abu Yazid Al-Bustami
a.    Riwayat hidup Abu Yazid Al-bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin surusyan Al-bustami, lahirn di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. keluarga Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhan. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid mempunyai keajaiban. Kata ibunya, bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang di ragukan kehalalannya.
b.    Ajaran tasawuf
Ajaran tasawuf  terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa’. Dari segi bahasa, fana berasal dari  kata  faniyah  yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
Adapun baqa’ dari segi bahasa berasal dari kata baqiyah adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada  Allah.[10]
4.     Abu Mansur Al-Hallaj
Nama lengkap al –hallaj adalah AI-Mughist AI-Husain bin Mansur bin muhammmad Al-Baidhawi ,lahir di baida ,sebuah kota kecil di wilayah Persia ,pada tahun 244H /855M .Pada usia 16 tahun ia belajar pada orang sufi terkenal yaitu Sahl bin Abdullah Al- Tusturi di Ahwaz.Dua tahun kemudian ,ia pergui ke basrah dan berguru pada Amr Al-Makki yang juga seorang sufi ,dan pada tahun 878M,ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-junaid setelah itu, ia pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf ,ia diberi gelar Al-Hallaj  karena penghidupannya yang diperoleh dan memintal wol.[11]                                                                                                                        Dalam semua perjalananan pengembaraannya ke berbagai kawasan islam,seperti khurasan, Ahwaz, India, turkistan, dan mekah, Al-hallaj banyak memperoleh pengikut. Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-hallaj dihukum gantung. Sebelum di gantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan tetapi, sebelum di pancung meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah selesai shalat, kaki dan tangannya dipotong, badannya digulung dalam akar bambu lalu di bakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya di bawa ke khurasan untuk dipertontonkan. Al-hallaj wafat pada tahun 922M.    
kematian tragis Al-hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya. Ajaran tetap msih berkembang.terbukti setelah satu abad dari kematianya, di irak ada 4000 orang yang menamakan diri HALLAJIYAH. Di sisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia di anggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.
Di antara ajaran tasawuf Al-hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdad asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibnu Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan tuhan (hulul) kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati sesuatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa tuhan manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Al-hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwikan ayat:
واذقلنا للملا ئكة اسجدوا لادم فسجدوا الاابليس ابى واستكبر وكان من الكافرين 
Artinya: “dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudulah kamu kepada adam!” maka merekapun bersujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir. (Q.S Al-Baqarah: 34)[12]
Pada ayat diatas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah. Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjaadi sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang mempunyai segala sifst dan nama. Bentuk copy ini addalah Adam. Pada diri Adamlah Allah muncul. 






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tasawuf ‘Irfani adalah tasawuf yang berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian tuhan secara langsung. Sedangkan tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah:
-          Rabi’ah Al-Adawiyah
-          Dzun An-Nun Al-Misri
-          Abu Yazid Al-Bustani
-          Abu Mansur Al-Hallaj
B.     Untuk para pembaca yang membaca karya tulis ini, dimohon mengajukan kritik dan saran kepada penulis demi peningkatan karya tulis yang penulis buat kedepannya, semoga karya tulis ini bermanfaat.













DAFTAR PUSTAKA
Sholihin dan Roshihun Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pusataka Setia, 2008.
Samsul Munir Amin. Ilmu tasawuf. Jakarta: Amzah, 2015.
K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. 2001.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan. Jakarta: Al-fattah, 2014.





[1] Pius  Partanto dan M. Dahlan Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 51
[2] Sholihin dan Roshihun Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV Pusataka Setia, 2008), hlm. 145.
[3] Ibid, Hlm. 146.
[4]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hlm. 253.
[5]Samsul Munir Amin, Ilmu tasawuf, (Amzah: Jakarta, 2015), hlm. 242
[6]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (PT. Rineka Cipta: Jakarta, 2004), hlm. 127
[7]Samsul Munir Amin,Ibid, hlm. 243
[8]Ibid, hlm. 244
[9]Rosihon Anwar, Ibid, hlm. 255
[10] Samsul Munir Amin, Ibid.hlm. 254
[11] Rosihon Anwar, Akhlak Tsawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 269-271.
[12] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Jakarta: Al-fattah, 2014), hlm. 6