BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak
hanya mengajarkan masalah-masalah eksternal dalam membimbing manusia untuk
mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang
bersifat internal dalam sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah
diinterpretasikan oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan yang
sangat beragam. Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah
pemikiran-pemikiran tasawuf.
Tasawuf bukan ilmu yang stagnan ditempat.
Walaupun naman taswuf baru terdengar
mulai awal-awal abad ke-2 H tetappi dalam perjalanannya mengalami perkembangan
yang cukup signifikan. Hadirnya berbagai tokoh tasawuf memperkaya cara pandang
ilmu tasawuf.
Salah satu aliran pemikiran tasawuf adalah
tasawuf irfani. Aliran ini terkenal dengan cara pandang tokohnya yang susah
untuk dipahami oleh orang awam. Bahkan terdapat tokohnya yang sangat
controversial dan mengundang perdebatan dikalangan ahli syari’at dan ahli
tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf irfani?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2. Untuk mengetahui tokoh dan pemikiran dalam paham tasawuf irfani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TASAWUF ‘IRFANI
Secara etimologis, kata ‘irfan merupakan
kata jadian [masdhar], dari kata ‘arafa’ [mengenal atau
pengenalan]. Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentikkan dengan
makrifat sufistik. Orang yang ‘irfan/ makrifat kepada Allah adalah yang
benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf [ketersingkapan]. Ahli ‘irfan adalah
orang yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentikkan dengan
sifat-sifat inheren yang tanpak pada diri seorang ‘arif [bijaksana][1],
dan menjadi hal baginya[2]
Tasawuf ‘irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetatpi melalui pemberian
tuhan secara langsung [muhibbah]
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki
dua aspek, yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah
bbagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap
dirinya, dunia, dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah
wujud [ontology], mendiskusikan manusia, tuhan serta alam semesta.[3]
B. TOKOH-TOKOH TASAWUF IRFANI
1.
Rabi’ah Al-Adawiyah
a.
Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyah
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah
Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir padatahun 95 H/713 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185
H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin.
Karena ia putri keempat, orangtuanya menamakannya Rabi’ah. Kedua orangtuanya
meninggal ketika ia masih kecil.[4]
Konon pada saat terjadi bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di
jual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia dikenal dengan
Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras,
tetapi akhirnya di bebaskan lantaran tuannya melihat cahaya yang memancar di
atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang
beribadah.
Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani
kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya
dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. sebagai
kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjahui kehidupan duniawi. Ia hidup
dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan matei yang diberikan orang
kepadanya. Bahkan, dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi
dari Tuhan.Rabi’ah Al-Adawiyah seumur hidupnya tidak pernah menikah. Sebagai
wanita zahidah, ia selalu menolak setiap lamaran beberapa pria shaleh.[5] Ia
dianggap mempunyai konstribusi besar dalam menjalani “Cinta Allah” di lautan
mistikisme Islam yang sangat luas dan dalam itu. Adapun doa yang terkenal dan
yang pernah diucapkan sebagai perwujudan cinta dan rindu seorang sufi terhadap
Tuhannya, hingga baginya tak ada nafas dan detak jantung kecuali untuk
merindudambakan pertemuan dengan-Nya.[6]
b.
Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Isi pokok ajaran tasawuf Rabi’ah
adalah tentang cinta. Oleh karena itu, ia mengabdi, melakukan amal sholeh bukan
karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya
kepada Allah. Cinta-lah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan
cinta itu pulalah yang membuatnya sedih karena takut terpisah dari yang
dicintai. Bagi Rabi’ah, Allah merupakan Dzat yang dicintai, bukan sesuatu yang
harus ditakuti.[7]
Ajaran terpenting dari sufi wanita ini adalah mahabbah dan bahkan
menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan hubb (cinta)
dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf. Hal ini barangkali ada kaitannya
dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut, penuh kasih, dan memiliki
rasa estetika yang dalam. Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya
dalam tasawuf yang dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis.
Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mansyur adalah sebagai berikut :
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku, adalah senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu, adalah karena Engkau singkapkan tirai sampai
Engkau nyata bagiku
Bagiku,
tidak ada puji untuk ini dan itu
Tetapi
segala puji hanya bagi-Mu selalu[8]
Sikap
dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya,
baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan
bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar
kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami
tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”[9]
2.
Dzu An-Nun Al-Mishri
a.
Riwayat Hidup
Dzun An-Nun Al-Misri
Dzun
An-Nun Al-Misri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al-Faidh tsauban bin
Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim,dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M
dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatan yang diberi Allah SWT. Kepadanya.1
Ia
hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih,
ilmu hadist, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran
dari mereka. Sepanjang perjalanan hidupnya, ia selalu berpindah dari satu
tempat ketempat yang lain. Ia pernah menjelajahi daerah di mesir, baitul
makdis, bakdad, mekkah, hijaz, shiriyah, prgunungan libanon atokiah dan lembah
kan’an.2
Ia
pun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang pertama yang member definisi tauhid
dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan pemikiran tasawuf.
b.
Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun An-Nun Al-Misri
1) Pengertian Makrifat menurut Dzun An-Nun
Al-Misri
Al-Misri
adalah pelopor paham makrifat, penilaian ini sangat tepat Karena berdasarkan
riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian di analisis Nicholson dan Abd
al-Qadirdalam falsafah Ash-Shufiyyah fi
Al-Islam, Al-Misri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat
dalam bidang sufisme Islam.
Pandangan
Al-Misri tentang makrifat
a) Sesungguhnya makrifat yang hakiki
bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan.
b) Makrifat yang sebenarnya adalah Allah
SWT. Menyinari hatimu dengan cahaya makrifah yang murni, seperti matahari tidak
dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya.
Kedua
pandangan Al-Misri ini menjelaaskan bahwa makrifat kepada Allah SWT. Tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan
jalan makrifat batin, yaitu tuhan menyinari hari manusia dan menjaganya dari
ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Al-Misri membagi
pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam, yaitu :
a) Pengetahuan untuk seluruh muslim;
b) Pengetahuan khusus untuk para filsuf dan
ulama; dan
c) Pengetahuan khusus untuk para wali Allah
SWT.
Al-Misri mempunyai
sistematika tentu tentang jalan menuju tingkat makrifat :
a) Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya
orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, “orang tidak mengenal jalan menuju Allah
SWT. Dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.”
b) jalan itu ada dua macam, yaitu thariq al-inabah, harus dimulai dengan
meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq
al-ihtiba’.
c) Manusia itu ada dua macam, yaitu darij adalah orang berjalan menuju jalan
iaman, sedangkan wasil adalah yang
berjalanb (melayang) di atas kekuatan makrifat.
Ketika ditanya tentang
cara memperoleh makrifat, Al-Misri menjawab,
”Aku
mengenal Tuhan dengan (bantuan) Tuhan, kalau bukan karena bantuan-Nya, aku
tidak mungkin mengenal-Nya (‘araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi jama ‘araftu
rabbi).”
Tanda-tanda
seseorang arif, menurut Al-misri adalah sebagai berikut :
a) Cahaya makrifah tidak memadamkan cahaya
kewara’annya;
b) Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin
merusak hukumlahir;
c) Banyaknya nikmat Tuhan tidak
mendorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan tuhan.
2) Pandangan Dzun An-Nun Al-Misri tentang
maqamat dan ahwal
Pandangan
Al-Misri tentang maqamat adalah pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal, dan
ar-rida.
Menurut
Al-Misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat
awam dan tobat khawas. Orang awam
bertobat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan).
Al-Misri membagi tobat
menjadi tiga tingkatan, yaitu :
a) Orang yang bertobat dari dosa dan
keburukannya;
b) Orang yang bertobat dari kelalaian dan
kealfaan mengingat Tuhan;
c) Orang yang bertobat karena memandang
kebaikan dan ketaatannya.
Ketika
ditanya tentang ar-ridha, Al-Misri
menjawab bahwa ar-ridha adalah
kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya.
Berkenaan
dengan ahwal, Al-Misri menjadikan mahabbah (cinta kepada Tuhan) sebagai
urutan pertama dari empat ruang ligkup pembahasan tentang tasawuf. Orang-orang
yang mencintai Allah SWT. Senantiasa mengikuti sunnah Rasul,tidak mengabaikan
syariat. Ada tiga simbol mahabbah, yaitu
rida terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu
yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap
hal-hal yang diperingatkan.3
3.
Abu Yazid Al-Bustami
a.
Riwayat hidup Abu Yazid Al-bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin
surusyan Al-bustami, lahirn di daerah Bustam (Persia) tahun 874-947 M. keluarga
Abu Yazid termasuk keluarga yang berada di daerahnya, tetapi ia memilih hidup sederhan.
Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid mempunyai keajaiban. Kata ibunya,
bayinya yang dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan
makanan yang di ragukan kehalalannya.
b.
Ajaran tasawuf
Ajaran tasawuf terpenting
Abu Yazid adalah fana dan baqa’. Dari segi bahasa, fana berasal
dari kata faniyah yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah
tasawuf fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur.
Adapun baqa’ dari segi bahasa berasal dari kata
baqiyah adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf, baqa’ berarti
mendirikan sifat-sifat terpuji kepada
Allah.[10]
4. Abu Mansur Al-Hallaj
Nama lengkap al
–hallaj adalah AI-Mughist AI-Husain bin Mansur bin muhammmad Al-Baidhawi ,lahir
di baida ,sebuah kota kecil di wilayah Persia ,pada tahun 244H /855M .Pada usia
16 tahun ia belajar pada orang sufi terkenal yaitu Sahl bin Abdullah Al-
Tusturi di Ahwaz.Dua tahun kemudian ,ia pergui ke basrah dan berguru pada Amr
Al-Makki yang juga seorang sufi ,dan pada tahun 878M,ia masuk ke kota Baghdad
dan belajar kepada Al-junaid setelah itu, ia
pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan
pengalaman dalam ilmu tasawuf ,ia diberi gelar Al-Hallaj karena penghidupannya yang diperoleh dan
memintal wol.[11] Dalam
semua perjalananan pengembaraannya ke berbagai kawasan islam,seperti khurasan, Ahwaz,
India, turkistan, dan mekah, Al-hallaj banyak memperoleh pengikut. Setelah
dipenjara selama delapan tahun, Al-hallaj dihukum gantung. Sebelum di gantung,
ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan, lalu dipenggal kepalanya. Akan
tetapi, sebelum di
pancung meminta waktu untuk melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah
selesai shalat, kaki dan tangannya
dipotong, badannya
digulung dalam akar bambu lalu di bakar dan abunya dibuang ke sungai, sedangkan
kepalanya di bawa ke khurasan untuk dipertontonkan. Al-hallaj
wafat pada tahun 922M.
kematian tragis
Al-hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para pengikutnya.
Ajaran tetap msih berkembang.terbukti setelah satu abad dari kematianya, di
irak ada 4000 orang yang menamakan diri HALLAJIYAH. Di
sisi lain, pengaruhnya sangat besar terhadap para pengikutnya. Ia
di anggap mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah.
Di antara
ajaran tasawuf Al-hallaj yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdad
asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
dikembangkan Ibnu Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu
dengan tuhan (hulul) kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa
berarti menempati sesuatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf al-hulul
berarti paham yang mengatakan bahwa tuhan manusia tertentu untuk mengambil
tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan. Al-hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat
sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwikan ayat:
واذقلنا للملا ئكة اسجدوا لادم فسجدوا الاابليس ابى
واستكبر وكان من الكافرين
Artinya: “dan (ingatlah)
ketika kami berfirman kepada para malaikat, sujudulah kamu kepada adam!” maka
merekapun bersujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia
termasuk golongan kafir. (Q.S Al-Baqarah: 34)[12]
Pada ayat
diatas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk bersujud kepada Adam.
Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah. Dzat-Nya, cinta yang tidak dapat
disifatkan, dan cinta inilah yang menjaadi sebab dari yang banyak ini. Ia
mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang mempunyai
segala sifst dan nama. Bentuk copy ini addalah Adam. Pada diri Adamlah
Allah muncul.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf ‘Irfani adalah tasawuf yang
berusaha menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat diperoleh dengan tidak
melalui logika atau pembelajaran atau pemikiran, tetapi melalui pemberian tuhan
secara langsung. Sedangkan tokoh-tokoh tasawuf irfani adalah:
-
Rabi’ah Al-Adawiyah
-
Dzun An-Nun Al-Misri
-
Abu Yazid Al-Bustani
-
Abu Mansur Al-Hallaj
B. Untuk para pembaca yang
membaca karya tulis ini, dimohon mengajukan kritik dan saran kepada penulis
demi peningkatan karya tulis yang penulis buat kedepannya, semoga karya tulis
ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Sholihin dan Roshihun Anwar. Ilmu
Tasawuf. Bandung: CV Pusataka Setia, 2008.
Samsul Munir Amin. Ilmu
tasawuf. Jakarta: Amzah, 2015.
K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2004.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan Barry, Kamus
Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. 2001.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an
dan terjemahan. Jakarta: Al-fattah, 2014.
[5]Samsul Munir Amin, Ilmu tasawuf, (Amzah: Jakarta, 2015), hlm.
242
[6]K. Permadi, Pengantar Ilmu Tasawuf, (PT. Rineka Cipta: Jakarta,
2004), hlm. 127
[7]Samsul Munir Amin,Ibid, hlm. 243
[9]Rosihon Anwar, Ibid, hlm. 255
[12] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahan, (Jakarta:
Al-fattah, 2014), hlm. 6