KONSEP AKAD
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah yang diampu oleh Bapak Dr. Zainal Abidin, M.EI
Oleh:
Kelompok IV
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
MADURA
2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
wr.wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada
Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Fiqh Muamalah
tentang Konsep Akad. Serta tak lupa sholawat dan salam selalu mengalir kepada Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang
- benderang, seperti yang dapat kita rasakan saat ini.
Disini penulis menyadari dalam penyelesaian tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak
– pihak yang mengetahui hal
– hal yang berkaitan dengan tugas makalah ini, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
:
1. Bapak Dr. Zainal Abidin, M.EI
2. Bapak M.S. Dienil
Aminy, SH.,M.Ag
3. Teman-teman penulis makalah ini yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun selalu
kami harapkan dengan tangan terbuka untuk menuju pada kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Semoga tugas makalah tentang Konsep
Akad ini memberi manfaat sebagaimana yang di harapkan bersama Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.
Pamekasan,
11 Maret 2019
Tim
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah........................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan........................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Konsep Akad
A. Syarat – syarat Akad……………………………... 3
B. Sifat – sifat Akad………………………………… 4
C. Rukun – rukun Akad…………………………….. 4
D. Tahapan Akad…………………………………… 6
E. Ragam Akad…………………………………….. 7
F. Sebab berakhirnya Akad………………………... 8
G. Tujuan Akad……………………………………. 9
H. Dampak Akad…………………………………... 10
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 12
B. Saran.............................................................................................. 12
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari sering sekali kita melakukan akad.
Namun, kata akad masih terasa asing bagi sebagian orang. Misalnya saja pada
transaksi jual beli. Pada saat melakukan transaksi pasti pihak – pihak yang
bersangkutan akan mengucapkan kata – kata yang menjelaskan bahwa dia akan
membeli atau menjual suatu barang dengan harga yang telah disepakati. Kata –
kata inilah yang disebut akad. Selain jual beli, masih banyak lagi kegiatan
lainnya yang memerlukan akad, seperti hutang piutang.
Akad adalah bagian dari macam – macam tasharruf. Tasharruf
terbagi menjadi dua yaitu, tasharruf fi’li dan tasharruf qauli.
Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan
badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang
dalam jual beli , merusakkan benda lain.
Tasharruf qauli
ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi
menjadi dua yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi. Yang dimaksud
tasharruf qauli ‘aqli ialah: tasharruf yang berbentuk Akad, “ sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua
belah pihak yang saling bertalian.” Tasharruf qauli bukan ‘aqdi terdiri dari dua macam yaitu: merupakan
pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak ( seperti wakaf, talak,
dan memerdekakan ) dan tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntunan
– tuntunan hak ( misalnya gugatan, iqrar, dll ).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Akad adalah
kategori transaksi yang berisi ucapan ( tasharruf qauli ‘aqdi ). Karena Akad sendiri memiliki arti, menurut
bahasa Akad adalah Ar-rabbth (ikatan),
sedangkan menurut istilah Akad memiliki dua makna yaitu:
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dibuat diatas maka kami dapat
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep penggunaan akad?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat diatas maka kami dapat
menentukan tujuan penulisan sebagai berikut :
1.
Mengetahui
konsep penggunaan akad.
2.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Akad
Makna khusus Akad yaitu ijab dan
qabul yang melahirkan hak dan tanggung jawab terhadap objek Akad (ma’qud’alaih).
Sedangkan makna umum Akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak, atau
mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu
pihak ataupun dua pihak.
Dalam penggunaan akad tidaklah
mudah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam penggunaan akad. Dalam
makalah ini akad dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan akad. Misalnya
saja syarat – syarat dalam melaksanaan akad, rukun – rukun akad, dan masih
banyak lagi hal lain yang berhubungan dengan akad.
A.
Syarat – syarat Akad
Setiap bentuk Aqad
atau Akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib
disempurnakan, syarat – syarat terjadinya aka dada dua macam.
1.
Syarat
– syarat yang bersifat umum, yaitu syarat – syarat yang wajib sempurna wujudnya
dalam berbagai akad.
2.
Syarat
– syarat yang bersifat khusus, syarat – syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad. Syarat khusus ini bisa
juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat –
syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat – syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1.
Kedua
orang yang melakukan akad cakap bertidak (ahli).
2.
Yang
dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad
itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya
walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.
Janganlah
akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.
5.
Akad
dapat memberi faedah
6.
Ijab
itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
7.
Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila
seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut
menjadi batal.[1]
B.
Sifat – sifat Akad
Segala bentuk
tasharruf (aktivitas hokum) termasuk akad memiliki dua keadaan umum.[2]
1.
Akad
Tanpa Syarat (Akad Munjiz)
Akad
Munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu
kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat.
2.
Akad
Bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad
ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu,
yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akad pun tidak jadi, baik
dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditanggukan pelaksanaanya.
Akad
Ghairu Munjiz ada tiga macam:
1.
Ta’liq
syarat
2.
Taqyid
syarat
3.
Syarat
idhafah[3]
C.
Rukun – rukun Akad
Setelah
diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua
orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing – masing, maka timbul bagi kedua
belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh akad, rukun –
rukun akad adalah sebagai berikut.
1.
‘Aqid
ialah yang berakad, terkadang masing – masing pihak terdiri dari satu
orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli
beras di pasar biasanya masing – masing pihak satu orang, ahli waris sepakat
untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa
orang.
2.
Ma’qud’
alaih ialah benda – benda yang diakadkan,
seperti benda – benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah
(pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3.
Maudhu’
al’ aqd ialah tujuan atau maksud pokok
mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda pula tujuan pokok akad. Dalam akad
jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli
dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindakan barang dari pemberi
kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh).
4.
Shighat
al’ aqd ialah ijab dan qabul. Ijab adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan
yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab.
Hal – hal yang harus diperhatikan dalam Shighat al’ aqd ialah :
1.
Shighat al’ aqd harus
jelas pengertiannya. Kata – kata dalam ijab dan qabul harus jelas dan tidak
memiliki banyak pengertian, misalnya
seseorang berkata “ aku serahkan barang ini “, kalimat tersebut masih kurang
jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan. Apakah benda ini akan diberikan,
dijual, atau dititipkan. Kaliamat yang tepat adalah “ aku serahkan barang ini
kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian”.
2.
Harus
bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang
menerima berbeda lafazh, misalnya
seeorang yang berkata, “ aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”,
tetapi yang mengucapkan qabul berkata “aku terima benda ini sebagai
ppemberian”. Adanya ketidaksamaan antara ijab dan qabul menimbulkan
permasalahan. Untuk itu ijab dan qabul harus saling bersesuaian.
3.
Menggambarkan
kesungguhan kemauan dari pihak – pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan
tidak karena diancam atau ditakut – takuti oleh orang lain karena dalam tijarah
haru saling ridha.[4]
Mengucakan
dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad.
Tetapi ada juga cara lain. Para ulama menerangkan beberapa cara dalam
meyampaikan akad:
1.
Dengan
cara tulisan (kitabah).
2.
Isyarat
D.
Tahapan Akad
Menurut
Hanafiyah, ada dua fase yang harus dilalui sehingga sebuah akad itu menjadi sah
dan melahirkan akibat hukumnya secara sempurna yaitu sebagai berikut:
Pertama, Fase
in’iqad (pembentukan)
Setiap akad
harus melewati fase kelahirannya atau pembentukannya (fase in’iqad) dengan memenuhi
rukun dan syarat sah akad. Jika rukun dan syarat akad terpenuhi, maknanya akad
itu mulai terbentuk. Begitu pula sebaliknya.
Kedua, Fase
shihhah (legalitas)
Fase kedua
adalah fase legalitas dimana itu tidak mengandung sifat – sifat yang dilarang
oleh syara’. Jika hal tersebut terpenuhi, maka akad tersebut menjadi akad yang
sah. Setelah akad cukup rukun dan syaratnya serta tidak mengandung sifat –
sifat yang dilarang oleh syara’ itu juga tidak serta merta sah dan melahirkan
akibat hukum yang sempurna karena harus memenuhi ketentuan lain.
Ketiga, Fase
nafadz (terjadinya akad)
Jika akad itu
mun’aqid dan sah itu belum menjadi akad yang sempurna jika belum melahirkan
akibat – akibat akad secara langsung karena membutuhkan persetujuan pihak lain.
Oleh karena itu, agar akad yang sah tersebut bisa berlaku efektif sejak akad
disepakati, maka harus memenuhi ketentuan nafadz.
Keempat, Fase
luzum (akad mengikat)
Inilah fase
terakhir suatu akad, maka jika akad itu terbentuk, legal, nafidz, dan lazim
maka akad tersebut bisa melairkan akibat hukumnya secara sempurna.[5]
E.
Ragam Akad
Adapun yang termasuk macam – macam akad adalah:
a)
Akad
Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad.
Pernyataan akad diikuti dengan pelaksanaan akad, dimana tidak disertai syarat –
syarat dan pelaksanaan akadnya tidak ditentukan waktu.
b)
Akad
Mu’alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat – syarat yang
telah ditentukan ketika akad.
c)
Akad
Mudhaf yaitu akad yang pelaksanaanya terdapat syarat – syarat mengenai
penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan
hingga waktu yang ditentukan.[6]
Pembagian akad
dalam fikih itu berbeda – beda sesuai dengan aspek atau cara pandangnya,
sebagai berikut:
1.
Dilihat
dari sisi penamaan
Akad dibagi menjadi dua, yaitu akad musamma dan akad ghairu
musamma. Akad musamma adalah akad – akad yang sudah dijelaskan
ketentuan hukumnya dalam fikih, seperti akad jual – beli, hibah, ijarah, dan
syirkah. Sedangkan akad ghairu musamma adalah akad – akad yang belum ada
dan belum dijelaskan ketentuannya dalam fikih. Jumlahnya sangat banyak,
misalnya saja bai’wafa yang terdiri dari transaksi jual – beli dan Rahn.
Seperti akad istisna yang tediri dari akad jual – beli, janji dan
sewa.
2.
Dilihat
dari aspek legalitasnya
Akad itu dibagi menjadi akad yang legal dan akad tidak legal. Akad
legal adalah akad yang dibolehkan oleh syariah seperti rahn dan hibah.
Sedangkan akad yang tidak legal adalah akad – akad yang dilarang dalam syariah,
seperti jual beli minuman keras.[7]
3.
Dilihat
dari sah dan batalnya akad
a.
Akad
shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat – syarat yang
ditetapkan, baik syarat umum maupun khusus.
b.
Akad
fasidah yaitu akad – akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat –
syarat yang ditentukan, baik syarat umum maupun khusus.[8]
4.
Dilihat
dari aspek Nafadz
Dibagi
menjadi dua akad:
a.
Akad
nafidz, yaitu akad yang tidak bergantung pada keputusan pihak akad lain atau
larangan lain (langsung berlaku efektif).
b.
Akad
mauquf, yaitu akad yang tidak langsung berlangsung efektif tetapi bergantung
pada ridha dan keputusan pihak lain seperti akad fuduli (menjual barang milik orang
lain tanpa seizinnya).
5.
Dilihat
dari aspek target
1)
Akad
yang bertujuan tamaluk ( memiliki objek akad ), seperti jual beli, hibah dan
wasiat
2)
Akad
yang bertujuan bagi hasil, seperti akad syirkah, mudharabah, muzara’ah.
3)
Akad
yang bertujuan sebagai jaminan (tautsiq) seperti, akad rahn, dan kafalah.
4)
Akad
yang bertujuan untuk memberikan kewenangan pada pihak lain (tafwid) seperti,
kafalah dan wishoyah.
5)
Akad
yang bertujuan untuk pemeliharaan objek akad seperti wadiah[9]
Selain dari
pembagian akad diatas, masih banyak lagi pembagian akad – akad lainnya
berdasarkan sudut pandangnya masing – masing. Misalnya seperti ditijau dari
sifat objek akad yang terbagi menjadi akad ‘ainiyah dan akad gahir
‘ainiyah.[10]
F.
Sebab – sebab berakhirnya Akad
Akad dapat
berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf
(ditangguhkan).
Pada akad ghair
lazim , yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat
jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain – lain, atau yang ghair
lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang
yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan
orang yang menggadaikan barang.
Adapun
pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:
1.
Ketika
akad rusak
2.
Adanya
khiyar
3.
Pembatalan
akad
4.
Tidak
mungkin melaksanakan akad
5.
Masa
akad berakhir.[11]
Akad dengan
pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya seperti pada masa khiyar,
terkadang diakaitkan dengan masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam
sewa – menyewa dan pinjam – meminjam yang disepakati selama 5 bulan, tetapi
sebelum sampai 5 bulan, telah dibatalkan. [12]
G.
Tujuan Akad (Maudhu’ Akad)
Yang dimaksud maudhu’akad
adalah tujuan utama untuk apa kontrak itu dilakukan. Maudhu’ al-‘aqd dalah
tujuan disyariatkannya suatu akad tertentu. Tujuan akad ini berbeda – beda
sesuai dengan akadnya.
Seperti tujuan akad
jual beli adalah perpindahan kepemilikan objek jual beli dari penjual ke
pembeli dan perpindahan uang atau harga dari pembeli ke penjual. Begitu pula
tujuan akad hibah adalah pemberian hadiah kepada satu pihak tanpa imbalan.
Dari contoh
tersebut diatas tujuan akad itu berbeda dengan motif bertransaksi. Dalam akad
jual beli, motif penjual diantaranya adalah kebutuhannya akan margin.
Dari contoh yang
disebutkan di atas adalah beberapa tujuan dari beberapa akad memiliki
perbedaannya masing – masing tergantung akad yang akan dilakukan. Setiap
berbeda akad maka berbeda pula tujuan
akadnya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa akibat hukum/tujuan setiap
akad:
1.
Tujuan
hibah: memberikan harta kepada orang lain (Cuma-Cuma) tanpa imbalan.
2.
Tujuan
ijarah: memberikan (tamlik) jasa dengan upah secara temporal.
3.
Tujuan
wakalah: memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan kontrak atas
nama dirinya.
4.
Tujuan
rahn: menahan barang sebagai jaminan yang bisa diambil semuanya atau
sebagiannya, jika pembeli tidak melunasi kewajiban.
5.
Tujuan
kafalah: menjamin utang orang lain untuk melunasi utangnya.
6.
Tujuan
hawalah: mengalihkan utang dari pihak yang berutang kepada orang yang
berpiutang kepadanya.
7.
Tujuan
ida’: seseorang meminta bantuan kepada orang lain untuk menjaga hartanya.
8.
Tujuan
iqalah: kesepakatan pihak akad untuk mem-fasakh akad yang telah lalu antar
keduanya.
9.
Tujuan
ibra’: mengugurkan haknya terhadap orang lain.
10.
Tujuan
mudharabah: kerja sama dalam usaha dengan cara kontribusi modal di satu pihak
dengan skil dipihak lain dan pembagian keuntungan.
11.
Tujuan
syirkah: kerja sama dalam usaha dengan cara kontribusi modal dan keahlian.[13]
Itulah beberapa
tujuan dari beberapa akad. Setiap akad pasti memiliki tujuan, sehingga tujuan
akad berbeda – beda, tergantung dengan akad yang dilaksanakan.
H.
Dampak Akad
Setiap
akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1.
Dampak
Khusus
Dampak
khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau
maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam
jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain – lain.
2.
Dampak
umum
Segala sesuatu
yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun
hasil.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari analisis makalah Konsep Akad dapat
disimpulkan, bahwa makna akad adalah makna
khusus Akad yaitu ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggung
jawab terhadap objek Akad (ma’qud’alaih). Sedangkan makna umum Akad
adalah setiap perilaku yang melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau
mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak.
Selain itu, dari makalah Konsep Akad dapat pula disimpulkan
konsep akad terdiri dari, syarat – syarat akad, sifat – sifat akad, rukun –
rukun akad, tahapan akad, ragam akad, sebab berakhirnya akad, tujuan akad, dan
dampak akad.
B.
Saran
Didalam
pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin
tidak disadari oleh penulis. Maka dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca,
jika menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini,maka penulis
berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun supaya
penulis tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya - karya ilmiah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Suhandi,
Hendi. FIQH MUAMALAH. Depok: RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016
Sahroni,
Oni dan Hasanuddin. FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. Depok: RAJA GRAFINDO PERSADA,
2016
Sakinah,
FIQH MU’AMALAH. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Pamekasan, 2006
Huda,
Qomarul, FIQH MU’AMALAH. Yogyakarta: Teras, 2011
Syafe’I, Rachmat, FIQIH
MUAMALAH. Bandung: CV PUSTAKA, 2001
[1]
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016),
hlm. 49 - 50
[2]
M. Hasbi Ash-Shiddieqie, Pengantar
Fiqih Mu’amalah. (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 93
[3] Rachmat
Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm. 67-68
[4]
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016),
hlm. 46 - 48
[5]
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA,
2016), hlm. 96 -98
[6]
Qamarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 33
[7]
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA,
2016), hlm. 69 - 70
[8]
Qamarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 36
[9]
Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan
Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA,
2016), hlm. 73
[10]
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016),
hlm. 71
[11]
Sakinah, FIQH MU’AMALAH (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Pamekasan, 2006), hlm. 28
[12] Rachmat
Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm. 70
[13]
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016),
hlm. 45
[14]
Rachmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm. 66