Wednesday, 20 March 2019

KONSEP AKAD


KONSEP AKAD


MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah yang diampu  oleh Bapak Dr. Zainal Abidin, M.EI



                                                          Oleh:      
Kelompok IV






PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat taufik dan hidayahnya  kami dapat menyelesaikan tugas Makalah Fiqh Muamalah tentang Konsep Akad. Serta tak lupa sholawat dan salam selalu mengalir kepada Rasulullah SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang terang - benderang, seperti yang dapat kita rasakan saat ini.
Disini penulis menyadari dalam penyelesaian tugas makalah ini tidak terlepas dari bantuan pihak – pihak yang mengetahui hal – hal yang berkaitan dengan tugas makalah ini, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1.      Bapak Dr. Zainal Abidin, M.EI
2.      Bapak M.S. Dienil Aminy, SH.,M.Ag
3.      Teman-teman penulis makalah ini yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan dengan tangan terbuka untuk menuju pada kesempurnaan makalah ini kedepannya.
Semoga tugas makalah tentang Konsep Akad  ini memberi manfaat sebagaimana  yang di harapkan bersama Amin.
Wassalamualaikum wr.wb.


                                                            Pamekasan, 11 Maret 2019    
                          
Tim Penulis                
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang................................................................................ 1      
B.     Rumusan Masalah........................................................................... 1
C.     Tujuan Pembahasan........................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.    Konsep Akad
A.    Syarat – syarat Akad……………………………... 3
B.     Sifat – sifat Akad…………………………………         4
C.     Rukun – rukun Akad…………………………….. 4
D.    Tahapan Akad…………………………………… 6
E.     Ragam Akad……………………………………..  7
F.      Sebab berakhirnya Akad………………………...  8
G.    Tujuan Akad…………………………………….   9
H.    Dampak Akad…………………………………...  10
BAB III. PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................... 12
B.     Saran.............................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13










ii
 BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari – hari sering sekali kita melakukan akad. Namun, kata akad masih terasa asing bagi sebagian orang. Misalnya saja pada transaksi jual beli. Pada saat melakukan transaksi pasti pihak – pihak yang bersangkutan akan mengucapkan kata – kata yang menjelaskan bahwa dia akan membeli atau menjual suatu barang dengan harga yang telah disepakati. Kata – kata inilah yang disebut akad. Selain jual beli, masih banyak lagi kegiatan lainnya yang memerlukan akad, seperti hutang piutang.
Akad adalah bagian dari macam – macam tasharruf. Tasharruf terbagi menjadi dua yaitu, tasharruf fi’li dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain lidah, misalnya memanfaatkan tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli , merusakkan benda lain.
            Tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, tasharruf qauli terbagi menjadi dua yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi. Yang dimaksud tasharruf qauli ‘aqli ialah: tasharruf yang berbentuk Akad,  “ sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling bertalian.” Tasharruf qauli bukan ‘aqdi  terdiri dari dua macam yaitu: merupakan pernyataan pengadaan suatu hak atau mencabut suatu hak ( seperti wakaf, talak, dan memerdekakan ) dan tidak menyatakan suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntunan – tuntunan hak ( misalnya gugatan, iqrar, dll ).
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Akad adalah kategori transaksi yang berisi ucapan ( tasharruf qauli ‘aqdi ).  Karena Akad sendiri memiliki arti, menurut bahasa Akad adalah  Ar-rabbth (ikatan), sedangkan menurut istilah Akad memiliki dua makna yaitu:
B.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dibuat diatas maka kami dapat merumuskan  masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana konsep penggunaan akad?

C.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dibuat diatas maka kami dapat menentukan tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Mengetahui konsep penggunaan akad.


2.       
BAB II
PEMBAHASAN
1.     Konsep Akad
Makna khusus Akad yaitu ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggung jawab terhadap objek Akad (ma’qud’alaih). Sedangkan makna umum Akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak.
Dalam penggunaan akad tidaklah mudah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam penggunaan akad. Dalam makalah ini akad dibahas beberapa hal yang berhubungan dengan akad. Misalnya saja syarat – syarat dalam melaksanaan akad, rukun – rukun akad, dan masih banyak lagi hal lain yang berhubungan dengan akad.

A.    Syarat – syarat Akad
Setiap bentuk Aqad atau Akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat – syarat terjadinya aka dada dua macam.
1.      Syarat – syarat yang bersifat umum, yaitu syarat – syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
2.      Syarat – syarat yang bersifat khusus, syarat – syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus  ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat – syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat – syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1.      Kedua orang yang melakukan akad cakap bertidak (ahli).
2.      Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah.
5.      Akad dapat memberi faedah
6.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul.
7.       Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qabul, maka ijab tersebut menjadi batal.[1]

B.     Sifat – sifat Akad
Segala bentuk tasharruf (aktivitas hokum) termasuk akad memiliki dua keadaan umum.[2]
1.      Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz)
Akad Munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat.
2.      Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akad pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditanggukan pelaksanaanya.
Akad Ghairu Munjiz ada tiga macam:
1.      Ta’liq syarat
2.      Taqyid syarat
3.      Syarat idhafah[3]

C.    Rukun – rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridhaan masing – masing, maka timbul bagi kedua belah pihak haq dan iltijam yang diwujudkan oleh akad, rukun – rukun akad adalah sebagai berikut.
1.      Aqid ialah yang berakad, terkadang masing – masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang, misalnya penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing – masing pihak satu orang, ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang.
2.      Ma’qud’ alaih ialah benda – benda yang diakadkan, seperti benda – benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibbah (pemberian), dalam akad gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3.      Maudhu’ al’ aqd ialah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad, maka berbeda pula tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli tujuan pokoknya adalah memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan akad hibah ialah memindakan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa ada pengganti (‘iwadh).
4.      Shighat al’ aqd ialah ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan qabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula, yang diucapkan setelah adanya ijab. Hal – hal yang harus diperhatikan dalam  Shighat al’ aqd ialah :
1.      Shighat al’ aqd harus jelas pengertiannya. Kata – kata dalam ijab dan qabul harus jelas dan tidak memiliki banyak  pengertian, misalnya seseorang berkata “ aku serahkan barang ini “, kalimat tersebut masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan. Apakah benda ini akan diberikan, dijual, atau dititipkan. Kaliamat yang tepat adalah “ aku serahkan barang ini kepadamu sebagai hadiah atau sebagai pemberian”.
2.      Harus bersesuaian antara ijab dan qabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima  berbeda lafazh, misalnya seeorang yang berkata, “ aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, tetapi yang mengucapkan qabul berkata “aku terima benda ini sebagai ppemberian”. Adanya ketidaksamaan antara ijab dan qabul menimbulkan permasalahan. Untuk itu ijab dan qabul harus saling bersesuaian.
3.      Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak – pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut – takuti oleh orang lain karena dalam tijarah haru saling ridha.[4]
Mengucakan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad. Tetapi ada juga cara lain. Para ulama menerangkan beberapa cara dalam meyampaikan akad:
1.      Dengan cara tulisan (kitabah).
2.      Isyarat

D.    Tahapan Akad
Menurut Hanafiyah, ada dua fase yang harus dilalui sehingga sebuah akad itu menjadi sah dan melahirkan akibat hukumnya secara sempurna yaitu sebagai berikut:
Pertama, Fase in’iqad (pembentukan)
Setiap akad harus melewati fase kelahirannya atau pembentukannya (fase in’iqad) dengan memenuhi rukun dan syarat sah akad. Jika rukun dan syarat akad terpenuhi, maknanya akad itu mulai terbentuk. Begitu pula sebaliknya.
Kedua, Fase shihhah (legalitas)
Fase kedua adalah fase legalitas dimana itu tidak mengandung sifat – sifat yang dilarang oleh syara’. Jika hal tersebut terpenuhi, maka akad tersebut menjadi akad yang sah. Setelah akad cukup rukun dan syaratnya serta tidak mengandung sifat – sifat yang dilarang oleh syara’ itu juga tidak serta merta sah dan melahirkan akibat hukum yang sempurna karena harus memenuhi ketentuan lain.
Ketiga, Fase nafadz (terjadinya akad)
Jika akad itu mun’aqid dan sah itu belum menjadi akad yang sempurna jika belum melahirkan akibat – akibat akad secara langsung karena membutuhkan persetujuan pihak lain. Oleh karena itu, agar akad yang sah tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan nafadz.
Keempat, Fase luzum (akad mengikat)
Inilah fase terakhir suatu akad, maka jika akad itu terbentuk, legal, nafidz, dan lazim maka akad tersebut bisa melairkan akibat hukumnya secara sempurna.[5]
E.     Ragam Akad
Adapun yang termasuk macam – macam akad adalah:
a)      Akad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada saat selesainya akad. Pernyataan akad diikuti dengan pelaksanaan akad, dimana tidak disertai syarat – syarat dan pelaksanaan akadnya tidak ditentukan waktu.
b)      Akad Mu’alaq yaitu akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat – syarat yang telah ditentukan ketika akad.
c)      Akad Mudhaf yaitu akad yang pelaksanaanya terdapat syarat – syarat mengenai penangguhan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.[6]
Pembagian akad dalam fikih itu berbeda – beda sesuai dengan aspek atau cara pandangnya, sebagai berikut:
1.      Dilihat dari sisi penamaan
Akad dibagi menjadi dua, yaitu akad musamma dan akad ghairu musamma. Akad musamma adalah akad – akad yang sudah dijelaskan ketentuan hukumnya dalam fikih, seperti akad jual – beli, hibah, ijarah, dan syirkah. Sedangkan akad ghairu musamma adalah akad – akad yang belum ada dan belum dijelaskan ketentuannya dalam fikih. Jumlahnya sangat banyak, misalnya saja bai’wafa yang terdiri dari transaksi jual – beli dan Rahn. Seperti akad istisna yang tediri dari akad jual – beli, janji dan sewa.
2.      Dilihat dari aspek legalitasnya
Akad itu dibagi menjadi akad yang legal dan akad tidak legal. Akad legal adalah akad yang dibolehkan oleh syariah seperti rahn dan hibah. Sedangkan akad yang tidak legal adalah akad – akad yang dilarang dalam syariah, seperti jual beli minuman keras.[7]
3.      Dilihat dari sah dan batalnya akad
a.       Akad shahihah yaitu suatu akad yang telah memenuhi syarat – syarat yang ditetapkan, baik syarat umum maupun khusus.
b.      Akad fasidah yaitu akad – akad yang cacat karena tidak memenuhi syarat – syarat yang ditentukan, baik syarat umum maupun khusus.[8]
4.      Dilihat dari aspek Nafadz
Dibagi menjadi dua akad:
a.       Akad nafidz, yaitu akad yang tidak bergantung pada keputusan pihak akad lain atau larangan lain (langsung berlaku efektif).
b.      Akad mauquf, yaitu akad yang tidak langsung berlangsung efektif tetapi bergantung pada ridha dan keputusan pihak lain seperti akad fuduli (menjual barang milik orang lain tanpa seizinnya).
5.      Dilihat dari aspek target
1)      Akad yang bertujuan tamaluk ( memiliki objek akad ), seperti jual beli, hibah dan wasiat
2)      Akad yang bertujuan bagi hasil, seperti akad syirkah, mudharabah, muzara’ah.
3)      Akad yang bertujuan sebagai jaminan (tautsiq) seperti, akad rahn, dan kafalah.
4)      Akad yang bertujuan untuk memberikan kewenangan pada pihak lain (tafwid) seperti, kafalah dan wishoyah.
5)      Akad yang bertujuan untuk pemeliharaan objek akad seperti wadiah[9]
Selain dari pembagian akad diatas, masih banyak lagi pembagian akad – akad lainnya berdasarkan sudut pandangnya masing – masing. Misalnya seperti ditijau dari sifat objek akad yang terbagi menjadi akad ‘ainiyah dan akad gahir ‘ainiyah.[10]
F.     Sebab – sebab berakhirnya Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan).
Pada akad ghair lazim , yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang, perwakilan, dan lain – lain, atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut:
1.      Ketika akad rusak
2.      Adanya khiyar
3.      Pembatalan akad
4.      Tidak mungkin melaksanakan akad
5.      Masa akad berakhir.[11]
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya seperti pada masa khiyar, terkadang diakaitkan dengan masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa – menyewa dan pinjam – meminjam yang disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai 5 bulan, telah dibatalkan. [12]
G.    Tujuan Akad (Maudhu’ Akad)
Yang dimaksud maudhu’akad adalah tujuan utama untuk apa kontrak itu dilakukan. Maudhu’ al-‘aqd dalah tujuan disyariatkannya suatu akad tertentu. Tujuan akad ini berbeda – beda sesuai dengan akadnya.
         Seperti tujuan akad jual beli adalah perpindahan kepemilikan objek jual beli dari penjual ke pembeli dan perpindahan uang atau harga dari pembeli ke penjual. Begitu pula tujuan akad hibah adalah pemberian hadiah kepada satu pihak tanpa imbalan.
Dari contoh tersebut diatas tujuan akad itu berbeda dengan motif bertransaksi. Dalam akad jual beli, motif penjual diantaranya adalah kebutuhannya akan margin.
         Dari contoh yang disebutkan di atas adalah beberapa tujuan dari beberapa akad memiliki perbedaannya masing – masing tergantung akad yang akan dilakukan. Setiap berbeda akad maka  berbeda pula tujuan akadnya.
Berikut ini akan disebutkan beberapa akibat hukum/tujuan setiap akad:
1.      Tujuan hibah: memberikan harta kepada orang lain (Cuma-Cuma) tanpa imbalan.
2.      Tujuan ijarah: memberikan (tamlik) jasa dengan upah secara temporal.
3.      Tujuan wakalah: memberikan kewenangan kepada seseorang untuk melakukan kontrak atas nama dirinya.
4.      Tujuan rahn: menahan barang sebagai jaminan yang bisa diambil semuanya atau sebagiannya, jika pembeli tidak melunasi kewajiban.
5.      Tujuan kafalah: menjamin utang orang lain untuk melunasi utangnya.
6.      Tujuan hawalah: mengalihkan utang dari pihak yang berutang kepada orang yang berpiutang kepadanya.
7.      Tujuan ida’: seseorang meminta bantuan kepada orang lain untuk menjaga hartanya.
8.      Tujuan iqalah: kesepakatan pihak akad untuk mem-fasakh akad yang telah lalu antar keduanya.
9.      Tujuan ibra’: mengugurkan haknya terhadap orang lain.
10.  Tujuan mudharabah: kerja sama dalam usaha dengan cara kontribusi modal di satu pihak dengan skil dipihak lain dan pembagian keuntungan.
11.  Tujuan syirkah: kerja sama dalam usaha dengan cara kontribusi modal dan keahlian.[13]
Itulah beberapa tujuan dari beberapa akad. Setiap akad pasti memiliki tujuan, sehingga tujuan akad berbeda – beda, tergantung dengan akad yang dilaksanakan.
H.    Dampak Akad
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
1.      Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain – lain.
2.      Dampak umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil.[14]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari analisis makalah Konsep Akad dapat disimpulkan, bahwa makna akad adalah makna khusus Akad yaitu ijab dan qabul yang melahirkan hak dan tanggung jawab terhadap objek Akad (ma’qud’alaih). Sedangkan makna umum Akad adalah setiap perilaku yang melahirkan hak, atau mengalihkan atau mengubah atau mengakhiri hak, baik itu bersumber dari satu pihak ataupun dua pihak.
Selain itu, dari makalah Konsep Akad dapat pula disimpulkan konsep akad terdiri dari, syarat – syarat akad, sifat – sifat akad, rukun – rukun akad, tahapan akad, ragam akad, sebab berakhirnya akad, tujuan akad, dan dampak akad.

B.     Saran
Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Maka dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca, jika menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini,maka penulis berharap pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun supaya penulis tidak lagi melakukan kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya -  karya ilmiah yang lebih baik.




DAFTAR PUSTAKA
Suhandi, Hendi. FIQH MUAMALAH. Depok: RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016
Sahroni, Oni dan Hasanuddin. FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan
    Implementasinya dalam Ekonomi Syariah. Depok: RAJA GRAFINDO PERSADA,
    2016
Sakinah, FIQH MU’AMALAH. Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
    Pamekasan, 2006
Huda, Qomarul, FIQH MU’AMALAH. Yogyakarta: Teras, 2011
Syafe’I, Rachmat, FIQIH MUAMALAH. Bandung: CV PUSTAKA, 2001






[1] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 49 - 50
[2] M. Hasbi  Ash-Shiddieqie, Pengantar Fiqih Mu’amalah. (Semarang:  PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 93
[3] Rachmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm.  67-68
[4] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 46 - 48
[5] Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 96 -98
[6] Qamarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 33
[7] Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 69 - 70
[8] Qamarul Huda, FIQH MU’AMALAH (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 36
[9] Oni Sahroni dan M. Hasanuddin, FIKIH MUAMALAH Dinamika Teori Akad dan Implementasinya dalam Ekonomi Syariah (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 73
[10] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 71
[11] Sakinah, FIQH MU’AMALAH (Pamekasan: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan, 2006), hlm. 28
[12] Rachmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm. 70
[13] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH (Depok: PT. RAJA GRAFINDO PERSADA, 2016), hlm. 45
[14] Rachmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH (Bandung: CV PUSTAKA, 2001), hlm. 66