JENIS
JENIS MORFEM
ARTIKEL
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi
yang
diampu oleh : Ibu Hesty Kusumawati, M.Pd.
oleh:
Achmad Naufal :20170701071005
Hamimah :20170701072034
Moh. Febritriyanto Saleh :20170701071066
Raudlatul Jannah :20170701072089
PROGRAM
STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2019
A. PENGERTIAN MORFEM
Morfologi merupakan sebuah ilmu yang didalamnya mengkaji unsur dasar atau
satuan terkecil dari suatu bahasa. Satuan terkecil atau satuan gramatikal
terkecil itu disebut morfem. Sebagai satuan gramatikal morfem memiliki makna.
Istilah terkecil mengisyaratkan bahwa satuan gramatikal (morfem) itu tidak
dapat dibagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil.
Morfem berasal dari kata “morphe” yang berarti bentuk kata dan “ema” yang
berarti membedakan arti. Jadi sederhananya, morfem itu satuan gramatikal
terkecil yang memiliki makna. Dengan kata terkecil berarti “satuan” itu tidak
dapat dianalisis menjadi lebih kecil lagi tanpa merusak maknanya. Contoh :
Bentuk berpakaian dapat dianalisis kedalam satuan-satuan terkecil. Menjadi
{ber-}, {pakai}, {-an}. Ketiganya adalah morfem di mana {ber-} adalah morfem
prefiks, {pakai} adalah morfem dasar, dan {-an} adalah morfem sufiks. Ketiganya
juga memiliki makna. Morfem {ber-} dan morfem {-an} memiliki makna gramatikal,
sedangkan morfem {pakai} memiliki makna leksikal. Perlu di catat dalam konvensi
linguistik sebuah bentuk dinyatakan sebagai morfem ditulis didalam kurung
kurawal({...}).[1]
B. JENIS-JENIS MORFEM
1. Berdasarkan Kebebasan Bentuknya
Apabila ditinjau dari segi kebebesan bentuknya morfem dapat dibedakan
menjadi:
a. Morfem Bebas
Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri
sendiri dan mempunyai arti tanpa harus dihubungkan dengan morfem lain. Semua
kata dasar tergolong sebagai morfem bebas. Misalnya buku, pensil, meja, rumah
dan sebagainya. Contoh-contoh di atas dikatakan morfem karena merupakan bentuk
terkecil yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Apabila bentuk itu kita
pecah lagi, sehingga menjadi bu- ku, me- ja, pen- sil, ru- mah, dan seterusnya,
maka bentuk bu- dan bentuk ku tidak mempunyai arti. Dengan demikian bentuk
buku, meja, pensil dan rumah tidak dapat dipecah lagi. Bentuk yang demikian
itilah yang disebut morfem bebas.[2]
b. Morfem Terikat
Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat
berdiri sendiri dan tidak mempunyai arti. Makna morfem terikat baru jelas
setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua imbuhan (awalan,
sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran) tergolong sebagai morfem
terikat. Selain itu, unsur-unsur kecil seperti partikel –ku, -lah, -kah, dan
bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri, juga tergolong sebagai morfem
terikat.
Morfem terikat apabila ditinjau dari segi
tempat melekatnya dapat dibedakan menjadi:
·
Prefiks
(awalan): me-, ber-, ter-, di-, ke-, pe-, per-, se-
·
Infiks (sisipan): -em, -el, er-
·
Sufiks (akhiran): -an, -i, -kan, -nya, -man, - wati, - wan, -nda
·
Konfiks
(gabungan) : ke+an, pe+an, per+an, me+kan, di+kan, me+per+kan,
di+per+kan, me+per+i, di+per+i, ber+kan, ber+an.
Morfem terikat
apabila ditinjau dari asal usulnya, maka dapat dibedakan menjadi :
·
Morfem
terikat asli bahasa Indonesia ; lihat contoh-contoh di atas.
·
Morfem terikat dari bahasa asing, misalnya ;
Bahasa Jawa : tuna, tata, daya, wawan, pramu, sarwa.
Bahasa Sansekerta:pra, swa,maha, pri, wan, man, wati
Bahasa
Barat: is, istis, isme, isasi, if, or, om, us, re, de, di, en, ab, in, eks, mon
Bahasa
Arab: i, wi, ani, ni, iah, at, mun, mat.[3]
Berkenaan dengan morfem terikat ini, dalam bahasa Indonesia ada beberapa
hal yang harus diperhatikan:
Pertama, bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk
morfem terikat. Bentuk-bentuk itu meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul
dalam ujaran tanpa mengalami proses morfologi terlebih dahulu, seperti
afiksasi, reduplikasi, dan atau komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim
disebut prakategorial.
Kedua, sehubungan dengan istilah prakatagorial, menurut konsep Verhaar bentuk-bentuk
seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena
bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal“ kata, sehingga baru bisa muncul
dalam ujaran. Bentuk-bentuk tersebut dapat muncul tanpa bentuk lain dalam
kalimat imperatif. Menurut Verhaar, dalam kalimat imperatif, bentuk-bentuk
tersebut harus menggunakan prefiks inflektif zero (nol).
Ketiga, bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta),
kerontang (yang hanya muncul dalam kering keronta), dan bugar (yang hanya
muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Oleh karena itu
morfem-morfem bisa muncul dalam pasangan tertentu termasuk morfem terikat dan
juga morfem unik.
Keempat, bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi seperti ke,
dan, pada, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi
secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
Kelima, klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya
apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, yang biasanya
hanya berupa satu suku kata, yang secara fologis tidak mendapat tekanan dan
kemunculannya dalam ujaran selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat
dipisahkan. Seperti klitika –lah posisinya dalam kalimat Ibulah yang akan
datang. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan
enklitika. Proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang dilekati,
seperti ku dan kau pada kubawa kauambil. Sedangkan enklitika adalah klitika
yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti –lah, -nya, dan –ku pada
konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.[4]
2. Berdasarkan Keutuhan Bentuknya
Berdasarkan keutuhan bentuknya morfem dibedakan adanya morfem utuh dan
morfem terbagi. Morfem utuh secara fisik merupakan satu kesatuan yang utuh.
Semua morfem dasar, baik bebas atau terikat, seperti prefiks, infiks, dan
sufiks termasuk morfem utuh. Misalnya, meja, kursi, rumah, henti, juang, dan
sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud morfem
terbagi adalah morfem yang fisiknya
terbagi atau disisipi morfem lain. Karenanya semua konfiks (seperti pe-an, ke-an, dan per-an) adalah
termasuk morfem terbagi. Misalnya, pada kata satuan (satu) merupakan morfem
utuh dan (ke-/-an) adalah morfem terbagi.[5]
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa indonesia ada hal hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, {ber-/-an},
{per-/-an}, dan {pe-/-an} termasuk morfem terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an}
bisa merupakan konfiks seperti pada
bermunculan “banyak yang tiba-tiba muncul“, bersalaman saling menyalami‘,
tetapi juga bisa bukan konfiks seperti
pada beraturan ‘mempunyai aturan‘, dan berpakaian ‘mengenakan pakaian‘. Untuk
menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan konfiks harus
diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya.
Kedua, dalam Bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks yang disisipkan
di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er-} kerelip, infiks {-el-} pada kata
pelatuk, dan infiks {-em-} pada kata gemilang. Dengan demikian infiks tersebut
telah mengubah morfem utuh {kelip} menjadi morfem terbagi.[6]
3. Berdasarkan Ciri Semantik
Apabila ditinjau dari segi maknanya dapat
dibedakan menjadi:
a) Morfem Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang secara inher telah
memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dengan morfem lain.
Misalnya, morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan sebagainya adalah
morfem bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah dapat digunakan
secara bebas dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam pertuturan.
b) Morfem Tak Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai
makna apa-apa pada dirinya sendiri sebelum bergabung dengan morfem lainnya dalam
proses morfologis. Misalnya, morfem-morfem afiks (ber-), (me-), (ter-), dan
sebagainya.[7]
Dikotomi morfem bermakna leksikal dan tidak
bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah. Morfem-morfem
seperti {juang}, {henti}, dan {gaul} memiliki makna leksikal atau tidak. Kalau
dikatakan memiliki makna leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem itu belum
dapat digunakan dalam pertuturan sebelum mengalami proses morfologi, jika
dikatakan tidak bermakan leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem tersebut
bukan afiks.
Dalam hal ini barangkali perlu dibedakan
antara konsep atau kategori semantik. Secara gramatikal bentuk-bentuk tersebut
memang tidak dapat langsung digunakan dalam sebuah pertuturan. Namun, secara
semantik bentuk-bentuk tersebut tetap memiliki makna leksikal.
Selain masalah tersebut terdapat satu masalah
lain yang berkenaan dengan morfem leksikal ini, yaitu morfem-morfem yang
berkategori gramatikal sebagai preposisi dan konjungsi. Banyak pakar yang
menyatakan bahwa kelas-kelas preposisi dan konjungsi tidak memiliki makna leksikal, dan hanya
mempunyai fungsi gramatikal. Sebenarnya sebagai morfem dasar, dan bukan afiks,
semua morfem preposisi dan konjungsi memiliki makna leksikal. Namun, kebebasannya
dalam pertuturan memang terbatas. Meskipun keterbatasannya tidak seketat morfem
afiks. Dalam morfologi morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi
memiliki kebebasan seperti morfem bebas lainnya, hanya secara sintaksis
keduanya terikat pada satuan sintaksisnya.[8]
4. Berdasarkan Jenis Fonem
Apabila ditinjau berdasarkan jenis fonemnya
morfem dibagi atas morfem segmental dan suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan suprasegmental
berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang
dibentuk oleh fonem-fonem segmental seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan
{ber}. Jadi semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan
morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur
suprasegmenntal seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.[9] Misalnya, dalam bahasa
Ngbaka di Kongo Utara di benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan
petunjuk kala (tense) yang berupa nada.
5. Berdasarkan kehadirannya secara kongkret
Berdasarkan kehadirannya secara kongkret
dibedakan adanya morfem wujud dan morfem tanwujud. Yang dimaksud dengan morfem
wujud adalah morfem yang secara nyata ada, sedangankan morfem tanwujud adalah
morfem yang kehadirannya tidak nyata.[10] Dalam Bahasa Indonsia
tidak ada morfem tanwujud, akan tetapi dalam Bahasa Inggris terdapat jenis
morfem ini yaitu yang dikenal dengan morfem beralomorf zero atau nol
(lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud
bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa
”kekosongan”.
Bentuk tunggal : I have a book ; I have a sheep
Bentuk jamak : I have two books ; I have two sheep
Kata kini : They call me; They hit me
Kata lampau : They called me ; They hit me
Bentuk tunggal
untuk book adalah books dan bentuk jamaknya adalah books; bentuk tunggal
untuksheep adalah sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk
jamak untuk books terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan morfem
{-s}, maka dipastikan bentuk jamak untuk sheepadalah morfem {sheep} dan morfem
{Ø}. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa {Ø} merupakan salah satu alomorf dari
morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.[11]
6. Berdasarkan Kemungkinan Menjadi Dasar Dalam Pembentukan Kata
Berdasarkan kemungkinan menjadi dasar dalam
pembentukan kata, dibedakan atas morfem dasar dan morfem afiks. Morfem dasar
adalah morfem yang dapat menjadi dasar dalam suatu proses morfologis, misalnya morfem
{beli}, {makan}, dan {merah}. Namun, perlu dicatat bentuk dasar yang termasuk
dalam kategori preposisi dan konjungsi tidak pernah mengalami proses afikasasi.
Sedangkan, yang tidak dapat menjadi dasar melainkan hanya sebagai pembentuk
disebut morfem afiks, seperti morfem {me}, {-kan}, dan {pe-an}.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Morfologi Bahasa Indonesia, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2015.
HP, Achmad dan Alek Abdullah. Linguistik Umum,
Jakarta: Erlangga, 2012.
http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1
,diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
Kusumawati,
Hesty. Pengajaran Morfologi Bahasa
Indonesia, Surabaya: Pustaka Radja, 2018.
[1]Nurhidayah, “Morfologi Morfem”, Makalah, diakses dari http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1
, pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4] Achmad HP dan Alek Abdullah, Linguistik Umum
(Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 57-58.
[7]Nurhidayah, “Morfologi Morfem”, Makalah, diakses dari
http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1
, pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
[9]
Hesty
Kusumawati, Pengajaran Morfologi Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Radja, 2018), hlm. 18.
[11]Nurhidayah, “Morfologi
Morfem”, Makalah, diakses dari
http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1
, pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.