Saturday, 23 March 2019

JENIS JENIS MORFEM ARTIKEL


JENIS JENIS MORFEM
ARTIKEL
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Morfologi
yang diampu oleh : Ibu Hesty Kusumawati, M.Pd.

oleh:

Achmad Naufal                     :20170701071005
Hamimah                                 :20170701072034
Moh. Febritriyanto Saleh        :20170701071066
Raudlatul Jannah                    :20170701072089

Description: IMG-20180514-WA0007.jpg











PROGRAM STUDI TADRIS BAHASA INDONESIA
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
2019
A.    PENGERTIAN MORFEM
Morfologi merupakan sebuah ilmu yang didalamnya mengkaji unsur dasar atau satuan terkecil dari suatu bahasa. Satuan terkecil atau satuan gramatikal terkecil itu disebut morfem. Sebagai satuan gramatikal morfem memiliki makna. Istilah terkecil mengisyaratkan bahwa satuan gramatikal (morfem) itu tidak dapat dibagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil.
Morfem berasal dari kata “morphe” yang berarti bentuk kata dan “ema” yang berarti membedakan arti. Jadi sederhananya, morfem itu satuan gramatikal terkecil yang memiliki makna. Dengan kata terkecil berarti “satuan” itu tidak dapat dianalisis menjadi lebih kecil lagi tanpa merusak maknanya. Contoh : Bentuk berpakaian dapat dianalisis kedalam satuan-satuan terkecil. Menjadi {ber-}, {pakai}, {-an}. Ketiganya adalah morfem di mana {ber-} adalah morfem prefiks, {pakai} adalah morfem dasar, dan {-an} adalah morfem sufiks. Ketiganya juga memiliki makna. Morfem {ber-} dan morfem {-an} memiliki makna gramatikal, sedangkan morfem {pakai} memiliki makna leksikal. Perlu di catat dalam konvensi linguistik sebuah bentuk dinyatakan sebagai morfem ditulis didalam kurung kurawal({...}).[1]
B.     JENIS-JENIS MORFEM
1.      Berdasarkan Kebebasan Bentuknya
Apabila ditinjau dari segi kebebesan bentuknya morfem dapat dibedakan menjadi:
a.       Morfem Bebas
Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti tanpa harus dihubungkan dengan morfem lain. Semua kata dasar tergolong sebagai morfem bebas. Misalnya buku, pensil, meja, rumah dan sebagainya. Contoh-contoh di atas dikatakan morfem karena merupakan bentuk terkecil yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai arti. Apabila bentuk itu kita pecah lagi, sehingga menjadi bu- ku, me- ja, pen- sil, ru- mah, dan seterusnya, maka bentuk bu- dan bentuk ku tidak mempunyai arti. Dengan demikian bentuk buku, meja, pensil dan rumah tidak dapat dipecah lagi. Bentuk yang demikian itilah yang disebut morfem bebas.[2]
b.      Morfem Terikat
Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak mempunyai arti. Makna morfem terikat baru jelas setelah morfem itu dihubungkan dengan morfem yang lain. Semua imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta kombinasi awalan dan akhiran) tergolong sebagai morfem terikat. Selain itu, unsur-unsur kecil seperti partikel –ku, -lah, -kah, dan bentuk lain yang tidak dapat berdiri sendiri, juga tergolong sebagai morfem terikat.
Morfem terikat apabila ditinjau dari segi tempat melekatnya dapat dibedakan menjadi:
·         Prefiks (awalan): me-, ber-, ter-, di-, ke-, pe-, per-, se-
·         Infiks (sisipan): -em, -el, er-
·         Sufiks (akhiran): -an, -i, -kan, -nya, -man, -  wati,                     - wan, -nda
·         Konfiks (gabungan)     :       ke+an, pe+an, per+an, me+kan, di+kan, me+per+kan, di+per+kan, me+per+i, di+per+i, ber+kan, ber+an.
Morfem terikat apabila ditinjau dari asal usulnya, maka dapat dibedakan menjadi :
·         Morfem terikat asli bahasa Indonesia ; lihat contoh-contoh di atas.
·         Morfem terikat dari bahasa asing, misalnya ;
Bahasa Jawa : tuna, tata, daya, wawan, pramu, sarwa.
Bahasa Sansekerta:pra, swa,maha, pri, wan, man, wati
Bahasa Barat: is, istis, isme, isasi, if, or, om, us, re, de, di, en, ab, in, eks, mon
Bahasa Arab: i, wi, ani, ni, iah, at, mun, mat.[3]
Berkenaan dengan morfem terikat ini, dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
Pertama, bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul, dan baur juga termasuk morfem terikat. Bentuk-bentuk itu meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam ujaran tanpa mengalami proses morfologi terlebih dahulu, seperti afiksasi, reduplikasi, dan atau komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut prakategorial.
Kedua, sehubungan dengan istilah prakatagorial, menurut konsep Verhaar bentuk-bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga termasuk bentuk prakategorial, karena bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal“ kata, sehingga baru bisa muncul dalam ujaran. Bentuk-bentuk tersebut dapat muncul tanpa bentuk lain dalam kalimat imperatif. Menurut Verhaar, dalam kalimat imperatif, bentuk-bentuk tersebut harus menggunakan prefiks inflektif zero (nol).
Ketiga, bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering keronta), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Oleh karena itu morfem-morfem bisa muncul dalam pasangan tertentu termasuk morfem terikat dan juga morfem unik.
Keempat, bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi seperti ke, dan, pada, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
Kelima, klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, yang biasanya hanya berupa satu suku kata, yang secara fologis tidak mendapat tekanan dan kemunculannya dalam ujaran selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Seperti klitika –lah posisinya dalam kalimat Ibulah yang akan datang. Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang dilekati, seperti ku dan kau pada kubawa kauambil. Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti –lah, -nya, dan –ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku.[4]
2.      Berdasarkan Keutuhan Bentuknya
Berdasarkan keutuhan bentuknya morfem dibedakan adanya morfem utuh dan morfem terbagi. Morfem utuh secara fisik merupakan satu kesatuan yang utuh. Semua morfem dasar, baik bebas atau terikat, seperti prefiks, infiks, dan sufiks termasuk morfem utuh. Misalnya, meja, kursi, rumah, henti, juang, dan sebagainya.
 Sedangkan yang dimaksud morfem terbagi  adalah morfem yang fisiknya terbagi atau disisipi morfem lain. Karenanya semua konfiks  (seperti pe-an, ke-an, dan per-an) adalah termasuk morfem terbagi. Misalnya, pada kata satuan (satu) merupakan morfem utuh dan (ke-/-an) adalah morfem terbagi.[5]
Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa indonesia ada hal hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Pertama, semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, {ber-/-an}, {per-/-an}, dan {pe-/-an} termasuk morfem terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks seperti  pada bermunculan “banyak yang tiba-tiba muncul“, bersalaman saling menyalami‘, tetapi juga  bisa bukan konfiks seperti pada beraturan ‘mempunyai aturan‘, dan berpakaian ‘mengenakan pakaian‘. Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan konfiks harus diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya.
Kedua, dalam Bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks yang disisipkan di tengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er-} kerelip, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pada kata gemilang. Dengan demikian infiks tersebut telah mengubah morfem utuh {kelip} menjadi morfem terbagi.[6]
3.      Berdasarkan Ciri Semantik
Apabila ditinjau dari segi maknanya dapat dibedakan menjadi:
a)      Morfem Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang secara inher telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Misalnya, morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan sebagainya adalah morfem bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah dapat digunakan secara bebas dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam pertuturan.
b)      Morfem Tak Bermakna Leksikal, yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri sebelum bergabung dengan morfem lainnya dalam proses morfologis. Misalnya, morfem-morfem afiks (ber-), (me-), (ter-), dan sebagainya.[7]
Dikotomi morfem bermakna leksikal dan tidak bermakna leksikal ini, untuk bahasa Indonesia timbul masalah. Morfem-morfem seperti {juang}, {henti}, dan {gaul} memiliki makna leksikal atau tidak. Kalau dikatakan memiliki makna leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem itu belum dapat digunakan dalam pertuturan sebelum mengalami proses morfologi, jika dikatakan tidak bermakan leksikal, pada kenyataannya morfem-morfem tersebut bukan afiks.
Dalam hal ini barangkali perlu dibedakan antara konsep atau kategori semantik. Secara gramatikal bentuk-bentuk tersebut memang tidak dapat langsung digunakan dalam sebuah pertuturan. Namun, secara semantik bentuk-bentuk tersebut tetap memiliki makna leksikal.
Selain masalah tersebut terdapat satu masalah lain yang berkenaan dengan morfem leksikal ini, yaitu morfem-morfem yang berkategori gramatikal sebagai preposisi dan konjungsi. Banyak pakar yang menyatakan bahwa kelas-kelas preposisi dan konjungsi  tidak memiliki makna leksikal, dan hanya mempunyai fungsi gramatikal. Sebenarnya sebagai morfem dasar, dan bukan afiks, semua morfem preposisi dan konjungsi memiliki makna leksikal. Namun, kebebasannya dalam pertuturan memang terbatas. Meskipun keterbatasannya tidak seketat morfem afiks. Dalam morfologi morfem-morfem yang termasuk preposisi dan konjungsi memiliki kebebasan seperti morfem bebas lainnya, hanya secara sintaksis keduanya terikat pada satuan sintaksisnya.[8]
4.      Berdasarkan Jenis Fonem
Apabila ditinjau berdasarkan jenis fonemnya morfem dibagi atas morfem segmental dan suprasegmental
Perbedaan morfem segmental dan suprasegmental berdasarkan jenis fonem yang membentuknya. Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental seperti morfem {lihat}, {lah}, {sikat}, dan {ber}. Jadi semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmenntal seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.[9] Misalnya, dalam bahasa Ngbaka di Kongo Utara di benua Afrika, setiap verba selalu disertai dengan petunjuk kala (tense) yang berupa nada.
5.      Berdasarkan kehadirannya secara kongkret
Berdasarkan kehadirannya secara kongkret dibedakan adanya morfem wujud dan morfem tanwujud. Yang dimaksud dengan morfem wujud adalah morfem yang secara nyata ada, sedangankan morfem tanwujud adalah morfem yang kehadirannya tidak nyata.[10] Dalam Bahasa Indonsia tidak ada morfem tanwujud, akan tetapi dalam Bahasa Inggris terdapat jenis morfem ini yaitu yang dikenal dengan morfem beralomorf zero atau nol (lambangnya berupa Ø), yaitu morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi segmental maupun berupa prosodi (unsur suprasegmental), melainkan berupa ”kekosongan”.
Bentuk tunggal : I have a book ; I have a sheep
Bentuk jamak : I have two books ; I have two sheep
Kata kini : They call me; They hit me
Kata lampau : They called me ; They hit me
Bentuk tunggal untuk book adalah books dan bentuk jamaknya adalah books; bentuk tunggal untuksheep adalah sheep dan bentuk jamaknya adalah sheep juga. Karena bentuk jamak untuk books terdiri dari dua buah morfem, yaitu morfem {book} dan morfem {-s}, maka dipastikan bentuk jamak untuk sheepadalah morfem {sheep} dan morfem {Ø}. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa {Ø} merupakan salah satu alomorf dari morfem penanda jamak dalam bahasa Inggris.[11]


6.      Berdasarkan Kemungkinan Menjadi Dasar Dalam Pembentukan Kata
Berdasarkan kemungkinan menjadi dasar dalam pembentukan kata, dibedakan atas morfem dasar dan morfem afiks. Morfem dasar adalah morfem yang dapat menjadi dasar dalam suatu proses morfologis, misalnya morfem {beli}, {makan}, dan {merah}. Namun, perlu dicatat bentuk dasar yang termasuk dalam kategori preposisi dan konjungsi tidak pernah mengalami proses afikasasi. Sedangkan, yang tidak dapat menjadi dasar melainkan hanya sebagai pembentuk disebut morfem afiks, seperti morfem {me}, {-kan}, dan {pe-an}.[12]





















DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. Morfologi Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015.
HP, Achmad dan Alek Abdullah. Linguistik Umum, Jakarta: Erlangga, 2012.
http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1 ,diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
Kusumawati, Hesty.  Pengajaran Morfologi Bahasa Indonesia, Surabaya: Pustaka Radja, 2018.



[1]Nurhidayah, “Morfologi Morfem, Makalah, diakses dari  http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1 , pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4] Achmad HP dan Alek Abdullah, Linguistik Umum (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 57-58.
[5] Abdul Chaer, Morfologi Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015), hlm. 18.
[6] Achmad,  Linguistik Umum, hlm. 57-58.
[7]Nurhidayah, “Morfologi Morfem, Makalah, diakses dari  http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1 , pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
[8] Chaer, Morfologi, hlm. 20.
[9] Hesty Kusumawati, Pengajaran Morfologi Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Radja, 2018), hlm. 18.
[10] Chaer, Morfologi, hlm. 20.
[11]Nurhidayah, “Morfologi Morfem, Makalah, diakses dari  http://yayuhidayah.blogspot.com/2015/10/makalah-morfem-unm-2015.html?m=1 , pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 06.15.
[12] Chaer, Morfologi, hlm. 19.