BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian ini adalah jenis kualitatif,
karena data yang penulis peroleh berdasarkan data liberary
research (penelitian kepustakaan), yakni: Mengumpulkan data atau tulisan
ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian atau dengan kata lain penelitian
terhadap bahan-bahan pustaka.[1]
B. Pendekatan Penelitian
Dalam
penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Normatif dan
Kompratif:
1. Pendekatan
Normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang
dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka yang ada.[2]
2. Pendekatan
komperatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk membandingkan antara
dua kelompok atau lebih dari suatu variable tertentu.[3]
|
C. Sumber Data
Sumber
data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
1.
Data Primer
Data ini merupakan
sejumlah Pandangan-pandangan
ulama yang penulis baca dari:
a.
Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu
b.
Al-Fiqhu Al-Manhaji Li al-Syafi’i
c.
Al-Fiqhu Ala Madzahibi al-Arba’ah
d.
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
2.
Data Skunder
Data sekunder adalah
data yang berasal dari bahan-bahan pustaka lain yang berupa tulisan yang ada
kaitanntya dengan judul skripsi
ini seperti, buku, kitab, majalah,
artikel, Jurnal, makalah, internet dan lain-lain.
D.
Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang
digunakan adalah Study Dokumentasi yang penulis dapatkan dari telaah pustaka
pada kitab-kitab tersebut di atas yang ditambah dengan bahan-bahan bacaan lain
yang ada kaitannya dengan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.
Dokumen
merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk
tulisan misalnya catatan harian sejarah kehidupan (life histories), ceritera,
biografi, peraturan kebijakan.[4]
E. Analisis Data
Analisis
data adalah cara menguraikan atau memecahkan permasalahan secara keseluruhan
menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih kecil agar dapat
menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.[5]
Data yang penulis
analisa berdasarkan tehnik pengumpuan data lewat study dokumntasi ialah dengan
menggunakan metode deskriptif analisis. Yang dimaksud metode
deskriptif analisis yaitu
bahan-bahan yang terkumpul diuraikan, ditafsirkan, dibandingkan persamaan dan
perbedaannya dengan fenomena tertentu.
BAB IV
PEMBAHASAN
DAN HASIL PENELITIAN
A. Pandangan
Hukum Islam terhadap “Mobile Masjid” sebagai Sarana
Ibadah Shalat Jum’at
Dan I’tikaf.
1.
Hukum melaksanakan shalat jum’at di Mobile
Masjid
Mobile
masjid dengan fasilitas yang serba lengkap untuk keperluan melakukan ibadah
seperti di masjid-masjid pada umumnya sudah sangat terkenal dan aktif dalam kerjanya,
hanya saja mobile masjid tersebut tetaplah tidak dihukumi masjid karena tidak
mencukupi syarat untuk dijadikan dan dihukumi masjid, jadi mobile masjid hanya
sebatas nama saja artinya tidak berlaku hukum masjid.
Mengingat
mobile masjid tidak dihukumi masjid maka hukum melaksanakan shalat jum’at di
mobile masjid (di selain masjid) ada dua perincian yaitu:
a.
Dilihat dari Mobilenya (tempat yang bukan
masjid) yang dipergunakan untuk shalat jum’at terjadi ikhtilaf di kalangan para
ulama madzhab yaitu:
اتفق
ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء، وقال المالكية: لا تصح إلا في المسجد
وقد ذكرنا بيان المذاهب تحت الخ
|
(المالكية قالوا: لا تصح الجمعة
في البيوت ولا في الفضاء، بل لا بد أن تؤدي في الجامع.
الحنابلة
قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، ويعتبر القرب بحسب العرف فإن
لم يكن قريباً فلا تصح الصلاة، وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف.
الشافعية
قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، وحد القرب عندهم المكان الذي
لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل عنده، وسيأتي تفصيله في مباحص "قصر
الصلاة" ومثل الفضاء الخندق الموجود داخل سور البلد إن كان لها سور
الحنفية
قالوا: لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد، بل تصح في الفضاء، بشرط أن لا يبعد
عن المصر بأكثر من فرسخ، وأن يأذن الإمام بإقامة الجمعة فيه، كما تقدم في الشروط).[6]
1)
Menurut Madzhab Maliki shalat jum’at tidak sah dikerjakan
di rumah-rumah atau di lapangan tapi harus dikerjakan di masjid jamik.
2)
Menurut Madzhab Hanbali shalat jum’at tidak harus di
masjid tapi boleh di tanah lapang apabila dekat dari bangunan. Batasan dekat
tersebut dikembalikan pada ufr (kebiasaan).
3)
Menurut kalangan Madzhab Syafiiyah pelaksanaan jum'at
tidak harus dilakukan di masjid, Bahkan boleh dilaksanakan di lapangan di
sekitar (dekat) bangunan.
Adapun batas
dekatnya yaitu tempat yang tidak memperbolehkan menqoshor shalat bagi orang
musafir.
4)
Menurut Madzhab Hanafiyah Shalat jumat boleh dilakukan di
selain masjid jami', Artinya shalat jum'at di sekitar bangunan dengan syarat
tidak jauh dari kota dengan jarak yang lebih dari satu pos, dan harus ada imam
yang adzan untuk shalat jum’at.
b.
Dilihat dari
ta’addud al-jum’atnya karena melakukan shalat jum’at di mobile masjid
dapat menimbulkan ta’addud al-jum’at
di darah-daerah yang sudah melaksanakan shalat jum’at, maka hukum melaksanakan
shalat jumat di mobile masjid dengan mengikuti pendapat ulama yang
memperbolehkan melakukan shalat jum’at di tempat selain masjid maka hukumnya
dikembalikan pada hukum ta’addud al-jumat yang sudah dijelaskan oleh ulama
empat madzhab yang telah dijelaskan di atas dalam masalah sah atau tidaknya.[7]
2. Hukum
I’tikaf di Mobile Masjid
Mobile
Masjid dengan adanya kriteria masjid yang telah dijelaskan di atas, juga
syarat-syarat sahnya melakukan i’tikaf sebagaimana telah di jelaskan oleh ulama
empat madzhab, maka i’tikaf di mobile masjid hukumnya tidak sah karena mobile
tersebut tidak mencukupi syarat untuk ditempati I’tikaf karena mobile tersebut
tidak dihukumi masjid atau tidak di akui sebagai masjid. Mobile masjid yang
tidak berstatus masjid maka sama halnya dengan mosholla pada umunya dan berlaku
hukum mosholla..
Adapun
keterangan yang tentang tidak sahnya i’tikaf di mobile masjid ialah:
وَنَقَل الزَّرْكَشِيُّ : عَنِ
الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ سُئِل عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيدِ
خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَال : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي
الاِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الأحْكَامِ.[8]
Artinya: Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari imam ghazali
bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat ied di
luar perkampungan. maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid
dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya.
An-Nawawi
dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhaddzab mengatakan:
مسائل
(احدها) لا يصح الاعتكاف من الرجل ولا من المرأة الا في المسجد[9]
Banyak permasalahan. Salah satunya ialah: bahwa
tidak sah i’tikaf bagi laki-laki dan wanita kecuali di masjid
Dan
lebih utamanya lagi ialah i’tikaf di masjid jami’ karena jama’ahnya banyak dan
keluar dari ikhtilaf ulama. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam al-Qur’an
yaitu:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ
فِي الْمَسَاجِدِ. الاية ( البقرة 187)[10]
Artinya: janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.(QS. Al-Baqaroh: 187)
Jadi
hukum melakukan i’tikaf di selain masjid tidak sah karena tidak sesuai dengan
tuntutan syariat karena tidak mencukupi syarat-syarat yang telah ditetapkan
dalam literatur fiqih.
B.
Pemanfaatan
“Mobile Masjid” untuk
Kegiatan Non
Ibadah Menurut Hukum
Islam
Mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid dan tidak
dihukumi masjid dalam kegiatannya bisa saja digunakan untuk
kepentingan-kepentingan selain ibadah seperti halnya sebagai alat transportasi
umum yang pastinya tidak lepas dari percampuran antara pria dan wanita, baik
mereka yg dalam keadaan bersih bahkan yang kotor (haid dan nifas dll), hukum
mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid sudah pasti menjadi mosholla
seperti moshlla pada umunya.
Masjid dan mosholla mempunyai peranan yang sama yaitu
dipergunakan untuk kepentingan melakukan ibadah, namun walaupun ada kesamaan di
antara keduanya begitu juga ada perbedaan yang dapat membedakan antara keduanya
(masjid dan mosholla).
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah di jelaskan:[11]
اخْتَلَفَ
الْفُقَهَاءُ فِي إِجْرَاءِ أَحْكَامِ الْمَسْجِدِ عَلَى الْمُصَلَّى .
Artinya: ulama fiqih beda pendapat dalam menghukumi masjid dan mosholla.
فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : لَيْسَ
لِمُصَلَّى الْعِيدِ وَالْجِنَازَةِ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي مَنْعِ دُخُول الْحَائِضِ
، وَإِنْ كَانَ لَهُمَا حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي صِحَّةِ الاِقْتِدَاءِ مَعَ عَدَمِ
اتِّصَال الصُّفُوفِ .
Artinya: imam Hanafi berkata: musholla yang dipergunakan
untuk kepentingan shalat id dan shalat jenazah tidak berlaku hukum masjid dalam
melarang orang haid masuk mosholla, walaupun keduanya mempunyai hukum yang sama
dengan masjid dalam sahnya berjama’ah dan tidak bersambungnya shaf.
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ :
الْمُصَلَّى الْمُتَّخَذُ لِلْعِيدِ وَغَيْرِهِ الَّذِي لَيْسَ بِمَسْجِدٍ لاَ
يَحْرُمُ الْمُكْثُ فِيهِ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ عَلَى الْمَذْهَبِ ،
وَبَهْ قَطَعَ جُمْهُورُ الشَّافِعِيَّةِ وَذَكَرَ الدَّارِمِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ.
Artinya: menurut Imam syafi’i mosholla yang tidak
berstatus masjid dan dibangun untuk shlat id dan kepentingan lain, maka bagi
orang junub dan orang haid tidak haram berdiam di dalamnya, bahkan ulama-ulama
besar dari madzhab syafi’i telah menyatakan demikian.
وَنَقَل الزَّرْكَشِيُّ : عَنِ
الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ سُئِل عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيدِ
خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَال : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي
الاِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الأحْكَامِ ، لأِنَّ
الْمَسْجِدَ هُوَ الَّذِي أُعِدَّ لِرَوَاتِبِ الصَّلاَةِ وَعُيِّنَ لَهَا حَتَّى
لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ فِي غَيْرِهَا ، وَمَوْضِعُ صَلاَةِ الْعِيدِ مُعَد
لِلاِجْتِمَاعَاتِ وَلِنُزُول الْقَوَافِل وَلِرُكُوبِ الدَّوَابِّ وَلَعِبِ
الصِّبْيَانِ ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَةُ السَّلَفِ بِمَنْعِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ
فِيهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدُوهُ مَسْجِدًا لَصَانُوهُ عَنْ هَذِهِ الأْسْبَابِ وَلَقُصِدَ
لإِقَامَةِ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ ، وَصَلَوَاتُ الْعِيدِ تَطَوُّعٌ وَهُوَ لاَ
يَكْثُرُ تَكَرُّرُهُ بَل يُبْنَى لِقَصْدِ الاِجْتِمَاعِ ، وَالصَّلاَةُ تَقَعُ
فِيهِ بِالتَّبَعِ.
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari imam ghazali bahwasanya
beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat ied di luar
perkampungan. maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam
hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya karena masjid adalah
tempat yang disiapkan untuk shalat secara rutin dan ditentukan untuk shalat
hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. sedang tempat shalat ied
diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan
dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak. dan tidak berlaku
kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. jikalau mereka
menganggapnya masjid maka akan dijaga dari sebab2 tersebut dan ada niat untuk
melakukan semua shalat disana. dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak
berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan
orang-orang sedangkan shalat dilakukan disana sekedar sebagai fungsi ikutan.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ : يَحْرُمُ
عَلَى جُنُبٍ وَحَائِضٍ وَنُفَسَاءَ انْقَطَعَ دَمُهَا اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ
وَلَوْ مُصَلَّى عِيدٍ ، لأِنَّهُ مَسْجِدٌ لاَ مُصَلَّى الْجَنَائِزِ فَلَيْسَ
مَسْجِدًا[12]
Artinya:
Imam Hanbali berpendapat bahwa : Bagi
orang junub dan haid dan orang nifas
yang sudah putus darahnya diharamkan berdiam di masjid walau mosholla yang
digunakan untuk kepentingan shalat id, karena mosholla tersebut dihukumi masjid
berbeda dengan mosholla untuk shalat janazah maka tidak dihukumi masjid.
Jadi hukum dari pemanfaatan mobile masjid untuk
kepentingan non ibadah ada dua pendapat:
Pertama.
Menurut imam hanafi dan ulama-ulama besar dari madzhab syafi’i dan imam
al-Ghazali ialah diperbolehkan karena pada mosholla tersebut tidak berlaku
hukum masjid.
Kedua:
menurut Imam Hanbali tidak diperbolehkan mengingat hukum musholla yang
ditempati shalat ied itu berlaku hukum masjid kecuali mosholla yang digunakan
untuk pelaksanaan shalat janazah maka tidak dihukumi masjid.
C.
Keutamaan Melakukan Ibadah di “Mobile Masjid”
Dalam hal ibadah juga perlu memperhatikan tempat yang
akan digunakan beribadah untuk mendapatkan keutamaan atau fadhilah yang dapat
memberikan nilai tambah pada ibadah yang kita lakukan.
Melakukan ibadah di masjid tidak sama dengan melakukan
ibadah di selain masjid dalam hal keutamaannya.
Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu
Ala Madzahib al-Ar’baah sebagai berikut:
ولا فرق في إدراك فضل الجماعة بين أن تكون في المسجد أو في البيت، ولكنها
في المسجد أفضل إلا للنساء.[13]
Artinya: dalam menperoleh keutamaan shalat
berjamaah itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik shalat di
rumah atau di masjid, akan tetapi shalat di masjid lebih utama kecuali bagi
wanita.
Dalam
kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu dijelaskan:
الجماعة
في المسجد لغير المرأة أو الخنثى أفضل منها في غير المسجد، كالبيت وجماعة المرأة
(4) ، لخبر الصحيحين: «صلوا أيها الناس في بيوتكم، فإن أفضل صلاة المرء في بيته إلا
المكتوبة» أي فهي في المسجد أفضل؛ لأن المسجد مشتمل على الشرف والطهارة وإظهار الشعائر
وكثرة الجماعة.[14]
Artinya: Shalat berjamaah di masjid bagi selain wanita
dan banci itu lebih utama daripada selain masjid, seperti di rumah-rumah dan
perkumpulan wanita. Hal tersebut berdasarkan hadits Imam Bukhori & Imam
Muslim bahwa rasulullah bersabda: shalatlah kalian semua wahai manusia di
rumah-rumah kalian semua, karena keutamaan shalat seseorang ialah dirumahnya
kecuali shalat fardho maka yang utama dilakukan di masjid karena masjid tempat
yang mulia dan bersih, juga jelas syiarnya dan banyak jamaahnya.
Mobile masjid
yang sudah tidak berstatus masjid lagi (berhukum mosholla) apakah mempunyai
keutamaan sebagai tempat dilaksanakannya ibadah di mobile tersebut.
Adapun Melakukan
ibadah di mobile masjid tidak ada keutamaan sama sekali karena status mobile
masjid tidak di akui dan tidak dihukumi masjid, sehingga mobile masjid
mempunyai peranan yang sama dengan mosholla-mosholla pada umumnya,[15]
namun shalat di mosholla masih mempunyai peran keutamaan apabila dirumah
pribadi dan bagi seorang wanita yang hendak melakukan ibadah beda halnya dengan
mobile masjid yang bukan untuk menetap dalam suatu tempat akan tetapi untuk
berjalan dan mencari daerh-daerah yang membutuhkan tempat ibadah.
[1]Sutrisno Hadi, Metodologi
research, (Yogyakarta: Andi Offect,1989), h. 09
[2]Soerjano Soekarto dan Sri
Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Cet,II;
Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 13-14
[3]Jhon M Echols dan Hasan Syadily, Kamus
Inggris Indonesia, (Cet, XIV; Jakarta: Gramedia, 1986), h. 131
[4]Ida Farida, Studi
Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, (Jurnal Sains dan Inovasi 6(1) 54–61
oleh Dosen PNSD Fisipol Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, 2010), h. 60
[5]Raudhah, Peran Taman
Pendidikan Masyarakat Tanyoe Terhadap Penguatan Keagamaan Remaja di Kemukiman
Sungai Limpah, (Skripsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Ar-Raniry, 2015).h. 20
[6]Abd.
Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, h. 351-352
[7]Lihat
halaman 22-37 tentang Ta’addud al-Jumat.
[9]Imam
Nawawi, Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhaddzab Li an-Nawawi, Juz 6, (Bairut: Daar
al-Fikr, t.th), h. 471
[10]QS,
Al-Baqoroh (2): 187
[12]Wuzaroh al-Auqof wa
as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwait, juz 38, h. 31-32
[13]Muhammad
bin Abdullah az-Zarkazi, I’lamu as-Saajid fii Ahkami al-Masajid, h.
375-376