Wednesday 13 March 2019

Pandangan Hukum Islam Terhadap “Mobile Masjid


BAB III
METODE PENELITIAN

A.      Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian ini adalah jenis kualitatif, karena data yang penulis peroleh berdasarkan data liberary research (penelitian kepustakaan), yakni: Mengumpulkan data atau tulisan ilmiah yang sesuai dengan objek penelitian atau dengan kata lain penelitian terhadap bahan-bahan pustaka.[1]

B.       Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Normatif dan Kompratif:
1.      Pendekatan Normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.[2]
2.      Pendekatan komperatif adalah jenis penelitian yang digunakan untuk membandingkan antara dua kelompok atau lebih dari suatu variable tertentu.[3]

76
 
 


C.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
1.                  Data Primer
Data ini merupakan sejumlah Pandangan-pandangan ulama yang penulis baca dari:
a.       Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuhu
b.      Al-Fiqhu Al-Manhaji Li al-Syafi’i
c.       Al-Fiqhu Ala Madzahibi al-Arba’ah
d.      Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah
2.                  Data Skunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan-bahan pustaka lain yang berupa tulisan yang ada kaitanntya dengan judul skripsi ini seperti, buku, kitab, majalah, artikel, Jurnal, makalah, internet dan lain-lain.

D.      Prosedur Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah Study Dokumentasi yang penulis dapatkan dari telaah pustaka pada kitab-kitab tersebut di atas yang ditambah dengan bahan-bahan bacaan lain yang ada kaitannya dengan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan misalnya catatan harian sejarah kehidupan (life histories), ceritera, biografi, peraturan kebijakan.[4]

E.       Analisis Data
Analisis data adalah cara menguraikan atau memecahkan permasalahan secara keseluruhan menjadi bagian-bagian atau komponen-komponen yang lebih kecil agar dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya.[5]
 Data yang penulis analisa berdasarkan tehnik pengumpuan data lewat study dokumntasi ialah dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Yang dimaksud metode deskriptif analisis yaitu bahan-bahan yang terkumpul diuraikan, ditafsirkan, dibandingkan persamaan dan perbedaannya dengan fenomena tertentu.








BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A.      Pandangan Hukum Islam terhadap “Mobile Masjid” sebagai Sarana Ibadah Shalat Jum’at Dan I’tikaf.
1.    Hukum melaksanakan shalat jum’at di Mobile Masjid
Mobile masjid dengan fasilitas yang serba lengkap untuk keperluan melakukan ibadah seperti di masjid-masjid pada umumnya sudah sangat terkenal dan aktif dalam kerjanya, hanya saja mobile masjid tersebut tetaplah tidak dihukumi masjid karena tidak mencukupi syarat untuk dijadikan dan dihukumi masjid, jadi mobile masjid hanya sebatas nama saja artinya tidak berlaku hukum masjid.
Mengingat mobile masjid tidak dihukumi masjid maka hukum melaksanakan shalat jum’at di mobile masjid (di selain masjid) ada dua perincian yaitu:
a.                   Dilihat dari Mobilenya (tempat yang bukan masjid) yang dipergunakan untuk shalat jum’at terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama madzhab yaitu:
اتفق ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء، وقال المالكية: لا تصح إلا في المسجد وقد ذكرنا بيان المذاهب تحت الخ
79
 
 (المالكية قالوا: لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء، بل لا بد أن تؤدي في الجامع.
الحنابلة قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريباً فلا تصح الصلاة، وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف.
الشافعية قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، وحد القرب عندهم المكان الذي لا يصح فيه للمسافر أن يقصر الصلاة متى وصل عنده، وسيأتي تفصيله في مباحص "قصر الصلاة" ومثل الفضاء الخندق الموجود داخل سور البلد إن كان لها سور
الحنفية قالوا: لا يشترط لصحة الجمعة أن تكون في المسجد، بل تصح في الفضاء، بشرط أن لا يبعد عن المصر بأكثر من فرسخ، وأن يأذن الإمام بإقامة الجمعة فيه، كما تقدم في الشروط).[6]
1)      Menurut Madzhab Maliki shalat jum’at tidak sah dikerjakan di rumah-rumah atau di lapangan tapi harus dikerjakan di masjid jamik.
2)      Menurut Madzhab Hanbali shalat jum’at tidak harus di masjid tapi boleh di tanah lapang apabila dekat dari bangunan. Batasan dekat tersebut dikembalikan pada ufr (kebiasaan).
3)      Menurut kalangan Madzhab Syafiiyah pelaksanaan jum'at tidak harus dilakukan di masjid, Bahkan boleh dilaksanakan di lapangan di sekitar (dekat) bangunan.
Adapun batas dekatnya yaitu tempat yang tidak memperbolehkan menqoshor shalat bagi orang musafir.
4)      Menurut Madzhab Hanafiyah Shalat jumat boleh dilakukan di selain masjid jami', Artinya shalat jum'at di sekitar bangunan dengan syarat tidak jauh dari kota dengan jarak yang lebih dari satu pos, dan harus ada imam yang adzan untuk shalat jum’at.
b.                  Dilihat dari  ta’addud al-jum’atnya karena melakukan shalat jum’at di mobile masjid dapat  menimbulkan ta’addud al-jum’at di darah-daerah yang sudah melaksanakan shalat jum’at, maka hukum melaksanakan shalat jumat di mobile masjid dengan mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkan melakukan shalat jum’at di tempat selain masjid maka hukumnya dikembalikan pada hukum ta’addud al-jumat yang sudah dijelaskan oleh ulama empat madzhab yang telah dijelaskan di atas dalam masalah sah atau tidaknya.[7]

2.      Hukum I’tikaf di Mobile Masjid
Mobile Masjid dengan adanya kriteria masjid yang telah dijelaskan di atas, juga syarat-syarat sahnya melakukan i’tikaf sebagaimana telah di jelaskan oleh ulama empat madzhab, maka i’tikaf di mobile masjid hukumnya tidak sah karena mobile tersebut tidak mencukupi syarat untuk ditempati I’tikaf karena mobile tersebut tidak dihukumi masjid atau tidak di akui sebagai masjid. Mobile masjid yang tidak berstatus masjid maka sama halnya dengan mosholla pada umunya dan berlaku hukum mosholla..
Adapun keterangan yang tentang tidak sahnya i’tikaf di mobile masjid ialah:
وَنَقَل الزَّرْكَشِيُّ : عَنِ الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ سُئِل عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيدِ خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَال : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي الاِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الأحْكَامِ.[8]
Artinya: Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari imam ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat ied di luar perkampungan. maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya.
An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhaddzab mengatakan:
مسائل (احدها) لا يصح الاعتكاف من الرجل ولا من المرأة الا في المسجد[9]
Banyak permasalahan. Salah satunya ialah: bahwa tidak sah i’tikaf bagi laki-laki dan wanita kecuali di masjid
Dan lebih utamanya lagi ialah i’tikaf di masjid jami’ karena jama’ahnya banyak dan keluar dari ikhtilaf ulama. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam al-Qur’an yaitu:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ. الاية ( البقرة 187)[10]
Artinya: janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid.(QS. Al-Baqaroh: 187)
Jadi hukum melakukan i’tikaf di selain masjid tidak sah karena tidak sesuai dengan tuntutan syariat karena tidak mencukupi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam literatur fiqih.

B.       Pemanfaatan “Mobile Masjid” untuk Kegiatan Non Ibadah Menurut Hukum Islam
Mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid dan tidak dihukumi masjid dalam kegiatannya bisa saja digunakan untuk kepentingan-kepentingan selain ibadah seperti halnya sebagai alat transportasi umum yang pastinya tidak lepas dari percampuran antara pria dan wanita, baik mereka yg dalam keadaan bersih bahkan yang kotor (haid dan nifas dll), hukum mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid sudah pasti menjadi mosholla seperti moshlla pada umunya.
Masjid dan mosholla mempunyai peranan yang sama yaitu dipergunakan untuk kepentingan melakukan ibadah, namun walaupun ada kesamaan di antara keduanya begitu juga ada perbedaan yang dapat membedakan antara keduanya (masjid dan mosholla).
Dalam kitab Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah di jelaskan:[11]
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي إِجْرَاءِ أَحْكَامِ الْمَسْجِدِ عَلَى الْمُصَلَّى .
Artinya: ulama fiqih beda pendapat dalam menghukumi masjid dan mosholla.
فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : لَيْسَ لِمُصَلَّى الْعِيدِ وَالْجِنَازَةِ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي مَنْعِ دُخُول الْحَائِضِ ، وَإِنْ كَانَ لَهُمَا حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي صِحَّةِ الاِقْتِدَاءِ مَعَ عَدَمِ اتِّصَال الصُّفُوفِ .
Artinya: imam Hanafi berkata: musholla yang dipergunakan untuk kepentingan shalat id dan shalat jenazah tidak berlaku hukum masjid dalam melarang orang haid masuk mosholla, walaupun keduanya mempunyai hukum yang sama dengan masjid dalam sahnya berjama’ah dan tidak bersambungnya shaf.
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : الْمُصَلَّى الْمُتَّخَذُ لِلْعِيدِ وَغَيْرِهِ الَّذِي لَيْسَ بِمَسْجِدٍ لاَ يَحْرُمُ الْمُكْثُ فِيهِ عَلَى الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ عَلَى الْمَذْهَبِ ، وَبَهْ قَطَعَ جُمْهُورُ الشَّافِعِيَّةِ وَذَكَرَ الدَّارِمِيُّ فِيهِ وَجْهَيْنِ.
Artinya: menurut Imam syafi’i mosholla yang tidak berstatus masjid dan dibangun untuk shlat id dan kepentingan lain, maka bagi orang junub dan orang haid tidak haram berdiam di dalamnya, bahkan ulama-ulama besar dari madzhab syafi’i telah menyatakan demikian.
وَنَقَل الزَّرْكَشِيُّ : عَنِ الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ سُئِل عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيدِ خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَال : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي الاِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الأحْكَامِ ، لأِنَّ الْمَسْجِدَ هُوَ الَّذِي أُعِدَّ لِرَوَاتِبِ الصَّلاَةِ وَعُيِّنَ لَهَا حَتَّى لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ فِي غَيْرِهَا ، وَمَوْضِعُ صَلاَةِ الْعِيدِ مُعَد لِلاِجْتِمَاعَاتِ وَلِنُزُول الْقَوَافِل وَلِرُكُوبِ الدَّوَابِّ وَلَعِبِ الصِّبْيَانِ ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَةُ السَّلَفِ بِمَنْعِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فِيهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدُوهُ مَسْجِدًا لَصَانُوهُ عَنْ هَذِهِ الأْسْبَابِ وَلَقُصِدَ لإِقَامَةِ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ ، وَصَلَوَاتُ الْعِيدِ تَطَوُّعٌ وَهُوَ لاَ يَكْثُرُ تَكَرُّرُهُ بَل يُبْنَى لِقَصْدِ الاِجْتِمَاعِ ، وَالصَّلاَةُ تَقَعُ فِيهِ بِالتَّبَعِ.
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari imam ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat ied di luar perkampungan. maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya karena masjid adalah tempat yang disiapkan untuk shalat secara rutin dan ditentukan untuk shalat hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. sedang tempat shalat ied diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak. dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. jikalau mereka menganggapnya masjid maka akan dijaga dari sebab2 tersebut dan ada niat untuk melakukan semua shalat disana. dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang-orang sedangkan shalat dilakukan disana sekedar sebagai fungsi ikutan.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ : يَحْرُمُ عَلَى جُنُبٍ وَحَائِضٍ وَنُفَسَاءَ انْقَطَعَ دَمُهَا اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ وَلَوْ مُصَلَّى عِيدٍ ، لأِنَّهُ مَسْجِدٌ لاَ مُصَلَّى الْجَنَائِزِ فَلَيْسَ مَسْجِدًا[12]
Artinya: Imam Hanbali berpendapat bahwa :  Bagi orang junub dan haid  dan orang nifas yang sudah putus darahnya diharamkan berdiam di masjid walau mosholla yang digunakan untuk kepentingan shalat id, karena mosholla tersebut dihukumi masjid berbeda dengan mosholla untuk shalat janazah maka tidak dihukumi masjid.
Jadi hukum dari pemanfaatan mobile masjid untuk kepentingan non ibadah ada dua pendapat:
Pertama. Menurut imam hanafi dan ulama-ulama besar dari madzhab syafi’i dan imam al-Ghazali ialah diperbolehkan karena pada mosholla tersebut tidak berlaku hukum masjid.
Kedua: menurut Imam Hanbali tidak diperbolehkan mengingat hukum musholla yang ditempati shalat ied itu berlaku hukum masjid kecuali mosholla yang digunakan untuk pelaksanaan shalat janazah maka tidak dihukumi masjid.

C.      Keutamaan Melakukan Ibadah di “Mobile Masjid”
Dalam hal ibadah juga perlu memperhatikan tempat yang akan digunakan beribadah untuk mendapatkan keutamaan atau fadhilah yang dapat memberikan nilai tambah pada ibadah yang kita lakukan.
Melakukan ibadah di masjid tidak sama dengan melakukan ibadah di selain masjid dalam hal keutamaannya.
Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah sebagai berikut:
ولا فرق في إدراك فضل الجماعة بين أن تكون في المسجد أو في البيت، ولكنها في المسجد أفضل إلا للنساء.[13]
Artinya: dalam menperoleh keutamaan shalat berjamaah itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik shalat di rumah atau di masjid, akan tetapi shalat di masjid lebih utama kecuali bagi wanita.
            Dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu dijelaskan:
الجماعة في المسجد لغير المرأة أو الخنثى أفضل منها في غير المسجد، كالبيت وجماعة المرأة (4) ، لخبر الصحيحين: «صلوا أيها الناس في بيوتكم، فإن أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة» أي فهي في المسجد أفضل؛ لأن المسجد مشتمل على الشرف والطهارة وإظهار الشعائر وكثرة الجماعة.[14]
Artinya: Shalat berjamaah di masjid bagi selain wanita dan banci itu lebih utama daripada selain masjid, seperti di rumah-rumah dan perkumpulan wanita. Hal tersebut berdasarkan hadits Imam Bukhori & Imam Muslim bahwa rasulullah bersabda: shalatlah kalian semua wahai manusia di rumah-rumah kalian semua, karena keutamaan shalat seseorang ialah dirumahnya kecuali shalat fardho maka yang utama dilakukan di masjid karena masjid tempat yang mulia dan bersih, juga jelas syiarnya dan banyak jamaahnya.
     Mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid lagi (berhukum mosholla) apakah mempunyai keutamaan sebagai tempat dilaksanakannya ibadah di mobile tersebut.
        Adapun Melakukan ibadah di mobile masjid tidak ada keutamaan sama sekali karena status mobile masjid tidak di akui dan tidak dihukumi masjid, sehingga mobile masjid mempunyai peranan yang sama dengan mosholla-mosholla pada umumnya,[15] namun shalat di mosholla masih mempunyai peran keutamaan apabila dirumah pribadi dan bagi seorang wanita yang hendak melakukan ibadah beda halnya dengan mobile masjid yang bukan untuk menetap dalam suatu tempat akan tetapi untuk berjalan dan mencari daerh-daerah yang membutuhkan tempat ibadah.



[1]Sutrisno Hadi, Metodologi research, (Yogyakarta: Andi Offect,1989), h. 09
[2]Soerjano Soekarto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Cet,II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 13-14
[3]Jhon M Echols dan Hasan Syadily, Kamus Inggris Indonesia, (Cet, XIV; Jakarta: Gramedia, 1986), h. 131
[4]Ida Farida, Studi Dokumen Dalam Penelitian Kualitatif, (Jurnal Sains dan Inovasi 6(1) 54–61 oleh Dosen PNSD Fisipol Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai, 2010), h. 60
[5]Raudhah, Peran Taman Pendidikan Masyarakat Tanyoe Terhadap Penguatan Keagamaan Remaja di Kemukiman Sungai Limpah, (Skripsi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, 2015).h. 20
[6]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, h. 351-352
[7]Lihat halaman 22-37 tentang Ta’addud al-Jumat.
[8]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, juz 38, h. 31
[9]Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhaddzab Li an-Nawawi, Juz 6, (Bairut: Daar al-Fikr, t.th), h. 471
[10]QS, Al-Baqoroh (2): 187
[11]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, juz 38, h. 31-32
[12]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwait, juz 38,  h. 31-32
[13]Muhammad bin Abdullah az-Zarkazi, I’lamu as-Saajid fii Ahkami al-Masajid, h. 375-376
[14]Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu, Juz VIII, h. 152
[15]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, juz 38, h. 31-32