Wednesday 13 March 2019

Pandangan Hukum Islam Terhadap “Mobile Masjid


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


A.      Mobile Masjid sebagai sarana ibadah i’tikaf dan shalat jum’at
1.      Masjid
a.         Devinisi masjid
الْمَسْجِدُ فِي اللُّغَةِ : بَيْتُ الصَّلاَةِ وَمَوْضِعُ السُّجُودِ مِنْ بَدَنِ الإْنْسَانِ ، وَالْجَمْعُ مَسَاجِدُ ، وَهُوَ الْمَوْضِعُ الَّذِي يُسْجَدُ لِلَّهِ فِيهِ ، وَقَال الزَّجَّاجُ : كُل مَوْضِعٍ يُتَعَبَّدُ فِيهِ فَهُوَ مَسْجِدٌ.
وَالْمَسْجِدُ فِي الاِصْطِلاَحِ كَمَا قَال الْبَرَكَتِيُّ : الأْرْضُ الَّتِي جَعَلَهَا الْمَالِكُ مَسْجِدًا ، بِقَوْلِهِ : جَعَلْتُهُ مَسْجِدًا وَأَفْرَزَ طَرِيقَهُ وَأَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِيهِ.[1]
Artinya: Masjid Secara bahasa adalah tempat yang dipakai untuk shalat dan bersujuddari anggota badan manusia. Jamaknya masjid ialah masaajid yaitu yang digunakan untuk bersujud karena allah SWT
Namun imam As-Zujaj berkata: setiap tempat yang digunakan untuk beribadah itulah masjid.
Istilah masjid menurut syara’ seperti yang dikatakan oleh imam Al-barokati ialah bumi yang di jadikan masjid oleh pemiliknya, dengan pernyataan: saya jadikan bumi ini sebagai masjid. Sehingga masjid beda sama tempat yang bukan masjid dan ada orang adzan di dalamnya.
10
 
 


Istilah lain dari masjid ialah:
المسجد: بسكون السين وكسر الجيم ج مساجد، الموضع الذي يسجد فيه.
*المكان الذي أعد للصلاة فيه على الدوام.[2]
Artinya: Masjid bila dibaca sukun sin-nya dan kasroh jim-nya ialah jamak dari lafadz masajid yang mempunyai arti tempat yang digunakan untuk sujud. Secara istilah ialah tepat yang disediakan untuk shalat di dalamnya dan sifatnya tetap, bukan untuk sementara.
Pada dasarnya, istilah masjid menurut syara adalah setiap tempat di bumi yang digunakan untuk bersujud karena Allah di tempat itu.[3] Ini berdasarkan Hadits Sa’ib bin yazid r.a dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
جعلت لي الأرض مسجدا وطهورا فأيما رجل من أمتي أتى الصلاة فلم يجد ما صلي عليه وجد الأرض مسجدا وطهورا.[4]
Artinya:  Bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat shalat serta sarana bersuci (tayammum). Maka siapa pun dari umatku yang datang waktu shalat (di suatu tempat) dan tidak ada tempat untuk shalat, maka shalatlah karena semua  bumi adalah nasjid dan suci.

Disebutkan dalam hasil keputusan Pustaka Ilmu Suni Salafiyah-KTB (PISS-KTB) Beberapa makna untuk Masjid secara bahasa yaitu:[5]
1.         Dahi seseorang yang dikenai bekas sujud.
2.         Anggota Badan anggota sujud, seperti dahi, hidung, dua tangan, dua lutut dan dua kaki
3.         Tempat yg dipakai untuk beribadah
4.         Tempat sujud.
Secara Urf arti Masjid adalah Tempat yang dibangun untuk sholat,adapun macam-macamnya ialah:
1.      Masjid Aqsho ialah : Baitul Maqdis
2.      Masjid Jaami' ialah : Masjid yg digunakan untuk sholat Jumat
3.      Menurut Hanafiyyah ialah : yang ada Imam dan Muadzdzinnya
4.      Masjid Haram ialah : Ka'bah, Masjid di sekitar Ka'bah, Seluruh Makkah.

b.             Syarat-syarat Masjid
                        Membangun masjid sangat dianjurkan oleh syari'at Islam, baik membangun dengan dana milik pribadi ataupun dana kolektif dari masyarakat. Adapun dalil yang menjelaskan tentang pembangunan masjid yaitu:
1)      Al-Qur’an.
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (١٨)[6]
Artinya: “Hanyalah orangorang yang memakmurkan Masjid-Masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, serta tetap mendirikan Shalat, mengeluarkan Zakat dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Mereka itulah orang-orang yang diharapkan untuk menjadi orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At Taubah : 18).
2)        Hadits
عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِبِنَاءِ اَلْمَسَاجِدِ فِي اَلدُّورِ , وَأَنْ تُنَظَّفَ , وَتُطَيَّبَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيُّ , وَصَحَّحَ إِرْسَالَهُ .[7]
Artinya: Sayyidah Aisyah Radhiyallahu anha barkata: Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di kampung-kampung dan hendaknya dibersihkan dan diharumkan.(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At-Turmudzi).
Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda bahwa seseorang yang semasa hidupnya membangun masjid atau turut serta dalam pembangunannya, kelak di hari kiamat ia akan diberi fasilitas istana di surga, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim:
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ .رَوَاهُ البخاري مُسْلِمٌ .[8]
Artinya : Diriwayatkan dari sayyidina utsman bahwa Rasullah bersabda : "Barang siapa yang membangun masjid karena (mencari ridlo) Allah Ta'ala,maka Allah akan membangunkan baginya istana di surga". (HR.Bukhori & Muslim).
Dalam hasil keputusan bahsul masail NU-1926-1999 M dijelaskan tentang hukum membangun masjid di wilayah islam, hasil keputusan dari pertanyaan tersebut bahwasanya mendirikan masjid itu hukumnya sunnah muakkad sesuai dengan hadits nabi yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (ابنوا المسجد) ندبا مؤكدا (واتخذوها جماعة) (العزيزي شرح الجامع الصغير في باب الهمزة)
Artiya: Rasulullah SAW bersabda: “Bangunlah masjid dan jadikanlah sebagai tempat shalat berjamaah”. Perintah Rasulullah SAW ini berpngertian sunnah muakkad (sangat dianjurkan).[9]
Dalam hadits lain disebutkan bahwa semua bumi itu boleh dijadikan masjid, namun untuk membangun suatu tempat  menjadi masjid disyaratkan:
1)        Haruslah berupa wakaf.
لان المسجد لايكون الا وقفا[10]
Artinya: sesuatu yang akan dijadikan masjid tersebut harus berupa wakaf, tidak sah benda yang bukan wakaf dijadikan masjid.
Pengertian wakaf ialah:
والوقف شرعاً : حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود .[11]
Artinya: Wakaf menurut syara’ ialah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan membiarkan bendanya dan meninggalkannya pada jalan kebaikan.
Dalam wakaf juga disyaratkan harus di ucapkan dengan kalimat/sighat yang jelas bahwa benda tersebut diwakafkan menjadi masjid kecuali masjid tersebut dibangun di bumi yang sudah tidak ada penghuninya (ardun mawat), maka untuk menjadikannya sebagai masjid cukup dengan adanya niat saja tidak membutuhkan adanya lafadz sesuai dengan keterangan dalam kitab Mughni al-Muhtaj.
ﻭﻻ ﻳﺼﺢ ‏) ﺍﻟﻮﻗﻒ ‏( ﺇﻻ ﺑﻠﻔﻆ ‏) ﻣﻦ ﻧﺎﻃﻖ ﻳﺸﻌﺮ ﺑﺎﻟﻤﺮﺍﺩ ..
ﺗﻨﺒﻴﻪ ﻳﺴﺘﺜﻨﻰ ﻣﻦ ﺍﺷﺘﺮﺍﻁ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻣﺎ ﺇﺫﺍ ﺑﻨﻰ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻓﻲ ﻣﻮﺍﺕ ﻭﻧﻮﻯ ﺟﻌﻠﻪ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺼﻴﺮ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﻟﻢ ﻳﺤﺘﺞ ﺇﻟﻰ ﻟﻔﻆ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻔﺎﻳﺔ ﺗﺒﻌﺎ ﻟﻠﻤﺎﻭﺭﺩﻱ ﻷﻥ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻣﻐﻨﻴﺎﻥ ﻫﻨﺎ ﻋﻦ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﻭﻭﺟﻬﻪ ﺍﻟﺴﺒﻜﻲ ﺑﺄﻥ ﺍﻟﻤﻮﺍﺕ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﻣﻠﻚ ﻣﻦ ﺃﺣﻴﺎﻩ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﺣﺘﻴﺞ ﻟﻠﻔﻆ ﻹﺧﺮﺍﺝ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻜﻪ ﻋﻨﻪ ﻭﺻﺎﺭ ﻟﻠﺒﻨﺎﺀ ﺣﻜﻢ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺗﺒﻌﺎ
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﺳﻨﻮﻱ ﻭﻗﻴﺎﺱ ﺫﻟﻚ ﺇﺟﺮﺍﺅﻩ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪ ﺃﻳﻀﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭﺱ ﻭﺍﻟﺮﺑﻂ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ ﻭﻛﻼﻡ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﺇﺣﻴﺎﺀ ﺍﻟﻤﻮﺍﺕ ﻳﺪﻝ ﻟﻪ.[12]
Artinya: Wakaf itu tidak sah kecuali disertai ucapan (dari yang mewakafkan) yang memberikan pengertian pewakafan yang dimaksud...
Dikecualikan dari syarat pengucapan bila seorang membangun masjid dilahan bebas, dan ia berniat menjadikannya masjid maka bangunan tersebut menjadi masjid dan tidak memerlukan ucapan pewakafan, hal ini sebagaimana ungkapan Ibn Rif’ah dalam kitab al-Kifaayah dengan mengikuti al-Mawardi “sebab aktifitas membangun disertai niat menjadikannya masjid sudah mencukupi pewakafan dari pengucapan wakaf, as-Subky memperkuatnya bahwa lahan bebas tersebut tidak menjadi milik seseorang yang membukanya sebagai masjid karena dibutuhkan adanya lafadz tersebut untuk mngeluarkan kepemilikan seseorang,dan hukum masjid karena mengikuti lahannya”.
Al-Asnawy berpendapat “Dan hukum qiyas kasus tersebut adalah pemberlakuannya pada selain masjid yaitu sekolah-se kolah, pesantren-pesantren dan selainnya”.
Dalam kitab i’anah at-Tholibin dijelaskan.
ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻭﻗﻔﺘﻪ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﺍﻟﺦ ‏) ﺃﻱ ﻭﺇﺫﺍ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻮﺍﻗﻒ ﻭﻗﻔﺖ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻟﻠﺼﻼﺓ ﻓﻬﻮ ﺻﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﻣﻄﻠﻖ ﺍﻟﻮﻗﻔﻴﺔ ‏( ﻗﻮﻟﻪ ﻭﻛﻨﺎﻳﺔ ﻓﻲ ﺧﺼﻮﺹ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪﻳﺔ ﻓﻼ ﺑﺪ ﻣﻦ ﻧﻴﺘﻬﺎ ‏) ﻓﺈﻥ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﻤﺴﺠﺪﻳﺔ ﺻﺎﺭ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻭﺇﻻ ﺻﺎﺭ ﻭﻗﻔﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻓﻘﻂ ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﻛﺎﻟﻤﺪﺭﺳﺔ.[13]
Ungkapan Syekh Zainuddin al-Malibari “Saya mewakafkannya untuk shalat” yakni si pewakaf berkata “saya mewakafkan tempat ini untuk shalat” maka ucapan tersebut termasuk sharih (jelas) dalam kemutlakan wakaf.
Ungkapan beliau “Dan kinayah dalam kekhususannya sebagai masjid, maka harus ada niat untuk menjadikannya masjid”) Jika ia berniat menjadikannya masjid maka tempat tersebut menjadi masjid, jika tidak maka hanya menjadi wakaf untuk shalat saja dan tidak menjadi masjid seperti sekolahan.
Dalam wakaf disyaratkan adanya Shighat/kalimat yang menunjukkan terhadap maksud dari wakif.
Dalam kitab Fiqhu al-Manhaji dijelaskan:
أقسام الصيغة
الصيغة قسمان :
أ - صريحة : وهي التي لا تحتمل إلا المعنى المراد ، مثل أن يقول وقفت داري على الفقراء ، أو هي موقوفة عليهم ، أو يقول : حبستها لهم ، أو سبّلتها لهم .
ومثل هذه الألفاظ الصريحة الواضحة في الدلالة على المقصود لا تحتاج إلى نيّة لصحة الوقف ، شأنها شأن كل لفظ صريح في العقود ، بل يكفي فيها النطق بها .
ب - كناية : وهي اللفظ الذي يحتمل مع المعنى المراد غيره ، كأن يقول : مالي صدقة  على الفقراء ، أو حرمته لهم ، أو أبّدته عليهم ، وهكذا .[14]
Artinya: Shighat Wakaf ada dua yaitu:
a)         Shighat Shorih seperti contoh: “aku jadikan sebidang tanah ini masjid karena allah ta’ala”, walaupun tanpa disertai niat wakaf akan tetap menjadi masjid karna kalimat shorih tidak membutuhkan adanya niat.
b)        Kinayah seperti contoh: “aku wakafkan sebidang tanah ini untuk shalat” karena itu apabila berniat masjid maka menjadi masjid, dan apabila tidak maka menjadi wakaf untuk tempat shalat saja (menjadi mosholla).
Namun dalam kitab Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro dijelaskan:
ﻭَﻋِﺒَﺎﺭَﺓُ ﺷَﺮْﺡِ ﺍْﻹِﺭْﺷَﺎﺩِ الى ان قال ﻭَﻻَ ﻓِﻲْ ﻣَﺴْﺠِﺪٍ ﺃَﺭْﺿُﻪُ ﻣُﺴْﺘَﺄْجرَﺓٌ ﻭَﻫُﻮَ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﻧَﻌَﻢْ ﺭَﺟَّﺢَ ﺍْﻹِﺳْﻨَﻮُّﻱِ ﻗَﻮْﻝَ ﺑَﻌْﻀِﻬِﻢْ ﻟَﻮْ ﺑَﻨَﻰ ﻓِﻴﻪِ ﻣَﺴْﻄَﺒَﺔً ﻭَﻭَﻗَﻔَﻪَﺍ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﺻَﺢَّ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﺼِﺢُّ ﻋَﻠَﻰ ﺳُﻄْﺤِﻪِ ﻭَﺟُﺪْﺭَﺍﻥِﻩِ ﻭَﻗَﻮْﻝُ ﺍﻟﺰَّﺭْﻛَشيِ ﻳَﺼِﺢُّ ﻭَﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻦِ ﻣَﺴْﻄَﺒَﺔً ﻣَﺮْﺩُﻭﺩٌ ﺇِﺫِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺒِﻨَﺎﺀُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻓِﻲْ ﺗِﻠْﻚَ ﺍْﻷَﺭْﺽِ ﻻَ ﺍْﻷَﺭْﺽُ ﻭَﻣِﻦْ ﻫُﻨَﺎ ﻋُﻠِﻢَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺼِﺢُّ ﻭَﻗْﻒُ ﺍﻟْﻌُﻠُﻮِّ ﺩُﻭﻥَ ﺍﻟﺴُّﻔْﻞِ ﻣَﺴْﺠِﺪًﺍ ﻛَﻌَﻜْﺴِﻪِ ﺍﻧْﺘَﻬَﺖْ[15]
Artinya: Masjid tidak harus dibangun di atas tanah wakaf akan tetapi boleh dibangun di atas tanah yang disewakan. Dengan penjelasan ini berarti masjid boleh di bangun di atas tanah yang diwakafkan atau tanah yang disewakan tapi bangunannya haruslah berupa wakaf.
2)        Harus permanen, artinya suatu tempat untuk bisa dijadikan masjid dan berlaku hukum masjid haruslah permanen atau tetap pada tempatnya tidak bisa dipindah-pindah dari suatu tempat ketempat yang lain.
Ketentuan ini seperti yang telah dijelaskan dalam kitab Hasyiyah al-Syarwani Ala al-Tuhfah.
( وَمَنْقُولٍ ) لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ فِيهِ نَعَمْ لَا يَصِحُّ وَقْفُهُ مَسْجِدًا ؛ لِأَنَّ شَرْطَهُ الثَّبَاتُ.[16]
Artinya: Sesuatu yang manqul karena berdasarkan hadits shohih itu tidak boleh diwakafkan dijadikan masjid, karena syarat masjid itu harus permanen (tetap).
Imam as-Syarwani dalam kitabnya Hasyiyah as-Syarwani Ala al-Tuhfah berkata bahwa tidak sah sesuatu yang manqul (bisa dipindah-pindah) diwakafkan menjadi masjid,dan imam syarwani menqiyaskan masalah tersebut pada sejadah (alas shalat) yang dipaku (dipermaninkan) maka hukumnya boleh diwakafkan menjadi masjid. [17] sejadah termasuk barang yang manqul karena bisa dipindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan sejadah tersebut bisa dihukumi masjid dan berlaku hukum masjid apabila dipermanenkan di waktu diwakafkan seperti dipaku dan lain sebagainya walaupun paku walaupun paku tersebut dihilangkan dan sejadahnya dibawa.
وَعَنْ النِّهَايَةِ فِي الْوَقْفِ فِي عَدَمِ جَوَازِ وَقْفِ الْمَنْقُولِ مَسْجِدًا مَا نَصُّهُ وَالْقِيَاسُ  عَلَى تَسْمِيرِ الْخَشَبِ أَنَّهُ لَوْ سَمَّرَ السَّجَّادَةَ صَحَّ وَقْفُهَا مَسْجِدًا وَهُوَ ظَاهِرٌ ثُمَّ رَأَيْت الْعَنَانِيَّ فِي حَاشِيَتِهِ عَلَى شَرْحِ التَّحْرِيرِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ قَالَ وَإِذَا سَمَّرَ حَصِيرًا أَوْ فَرْوَةً فِي أَرْضٍ أَوْ مَسْطَبَةٍ وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ ذَلِكَ وَجَرَى عَلَيْهِمَا أَحْكَامُ الْمَسَاجِدِ وَيَصِحُّ الِاعْتِكَافُ فِيهِمَا الى ان قال.....وَلَوْ وَقَفَ إنْسَانٌ نَحْوَ فَرْوَةٍ كَسَجَّادَةٍ مَسجِدًا فَإِنْ لَمْ يُثْبِتْهَا حَالَ الْوَقْفِيَّةِ بِنَحْوِ تَسْمِيرٍ لَمْ يَصِحَّ وَإِنْ أَثْبَتَهَا حَالَ الْوَقْفِيَّةِ بِذَلِكَ صَحَّ وَإِنْ أُزِيلَتْ بَعْدَ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الْوَقْفِيَّةَ إذَا ثَبَتَتْ لَا تَزُولُ وَبِهَذَا يُلْغَزُ فَيُقَالُ لَنَا شَخْصٌ يَحْمِلُ مَسْجِدَهُ عَلَى ظَهْرِهِ وَيَصِحُّ اعْتِكَافُهُ عَلَيْهَا حِينَئِذٍ ا ه[18]
Juga dijelaskan dalam kitab Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu.
وهو أن المسجد لا يعود ميراثاً ولا يجوز نقله ،[19]
Artinya: Masjid itu tidak boleh diwariskan, tidak boleh dipindah ke tempat lain.



c.               Ta’addud al-Masajid
Ta’addud (تعدد) ialah mashdar dari fi’il madhi Ta’addada yang berarti : Berjumlah banyak, berbilang[20].
Pengertian dari masjid telah disebutkan di atas dalam banyak pendapat dari kalangan ulama yang di antaranya yaitu: adalah tempat yang dipakai untuk shalat dan bersujud dari anggota badan manusia.
Jadi pengertian dari ta’addud al-Masajid ialah banyaknya masjid atau berbilangnya masjid lebih dari satu.
            Membangun banyak masjid dalam satu desa atau satu kota sangat erat kaitannya dengan hukum ta’addud al-Jumat (banyaknya shalat jum’at). Ulama empat madzhab tidak melarang dalam membangun masjid yang lebih dari satu selama tidak ada tujuan akan dipergunakan untuk kepentingan shalat jum’at, namun apabila tujuannya untuk ditempati shalat jum’at maka ulama empat madzhab berbeda pendapat, dan masalah hukum dari ta’addud al-jum’at akan penulis sebutkan dengan rinci pada penjelasan tentang Hukum Ta’addud al-jumat.
            Dalam kitab Qurrotil Ain syaikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani menjelaskan:
سؤال: ماقولكم في بناء مسجدين او اكثر في قرية واحدةلا لكثرة المجتمعين فيها بل لوقوع التشاجر والعداوة بينهم ففريق منهم يمنع اخر من ان يصلي في مسجده وكذالك الفريق الاخر يمنعه من ان يصلي في مسجده؟
الجواب: والله الموفق للصواب لا مانع من كثرة المساجد في قرية واحدة. واما ماذكر في السؤال من كون كل مسجد منها يختص لطائفة ويمنعون الاخرين من الصلاة فيها فهذا لا يجوز فينبغي للعلماء المصلحين ان يعالجوا مثل هذه المشاكل بما يرفع الوحشة والبغضاء ويوجب الالفة والمودة بين المسلمين. [21]
Artinya: Pertanyaan: apa pendapat anda semua tentang membangun masjid yang lebih dari satu dalam satu desa yang tujuannya bukan untuk memperbanyak jamaah dari masjid tersebut akan tetapi karena ada permusuhan di antara mereka (jama’ah) yang mana satu kelompok saling mencegah kelompok yang lain dari melakukan shalat di masjid tersebut?
            Maka jawabannya ialah: semoga allah memberi petunjuk pada jalan yang benar, pada dasarnya tidak dilarang membangun banyak masjid dalam satu desa. Adapun masalah yang ada dalam pertanyaan yang mana tiap-tiap masjid milik satu golongan sehingga satu golongna mencegah golongan yang lain untuk shalat maka hal tersebut tidak diperbolehkan karena hal itu dapat melarang salah satu kaum datang ke masjid dan shalat di masjid yang satunya, dan wajiblah bagi ulama yang ada di sana untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi di antara jamaah tersebut bukan dengan cara membangun masjid yang baru.

2.      Mobil Masjid
a.      Penjelasan Mobile Masjid
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam devinisi istilah tentang mobile dan masjid maka Mobile masjid ialah kendaraan roda empat yang dipergunakan untuk kepentingan melakukan ibadah dan dapat berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Sumber yang menjelaskan tentang mobile masjid ada tiga yaitu:
1)    Akhdi Martin Pratama, Mobile masjid jakarta
                        Dalam tulisannya akhdi martin pratama menjelaskan: Yayasan Masjid Nusantara memiliki masjid yang unik. Masjid tersebut bisa berpindah-pindah lokasi. Tempat ibadah tersebut dinamakan “Mobile Masjid” atau nama lain Masjid Portable. “Mobile Masjid” merupakan sebuah mobil yang disulap menjadi masjid untuk umat Islam menunaikan ibadah shalat. Mobile Masjid bisa dipakai oleh umat Islam beribadah di mana pun. Mobile Masjid tersebut dilengkapi beberapa fasilitas seperti karpet, sajadah, kain sarung, mukena, sound system, hingga tempat berwudhu.
                        Pengelola “Mobile Masjid” Ridwan, mengatakan: “Kehadiran mobil itu untuk membantu warga Jakarta yang kesulitan mencari mushalla atau masjid untuk menunaikan shalat.“Mobile Masjid” itu merupakan satu-satunya di Indonesia.
Menurut Ridwan, mobil ini dibuat karena terinspirasi dengan aktivitas warga Ibu Kota yang sangat sibuk hingga melupakan kewajibannya. Diharapkan, mobil itu mampu menjadi solusi bagi warga yang kesulitan beribadah karena jarak masjid atau mushalla jauh dari tempat aktivitas. "Sekarang ini kan banyak event, nah mungkin pengunjung event itu, khususnya yang Muslim, kesulitan mencari tempat ibadah saat acara itu. Akhirnya kami dirikan ini untuk mempermudah umat agar di mana pun, kapan pun, tetap bisa beribadah," ujar Ridwan kepada Kompas.com, Rabu (1/3/2017).
                        Ridwan mengatakan, mobil itu tiap hari mencari lokasi yang banyak dipadati warga. Biasanya, mobil itu berkeliling mulai dari area perkantoran dan taman-taman yang ada di Jakarta. "Di mana titik ramai, kami berhenti di situ.Kalau bahasa pedagang, kami cari titik keramaian agar laku," ucap dia. Ridwan menjelaskan, mobil itu bisa menampung hingga 30 anggota jemaah, namun kapasitas tersebut tergantung dengan lokasi mobil itu diparkir. Mobil itu, kata Ridwan, sudah mulai beroperasi sejak Agustus 2016.Selain untuk shalat wajib, mobil itu juga bisa digunakan untuk menunaikan shalat Jumat berjemaah.
                        Biasanya, jika digunakan untuk shalat Jumat, pengelola akan menggelar karpet dan terpal di sekitar mobil. Dalam kondisi semacam itu, mobil tersebut bisa digunakan oleh khatib shalat Jumat untuk menyampaikan ceramahnya.Penceramahnya sendiri, kata Ridwan.Ia mengatakan, tiap hari ada dua orang yang mengoperasikan mobil tersebut. Dua orang tersebut merupakan relawan dari Yayasan Masjid Mandiri. Ridwan mengatakan, selain mobil ini akan mencari tempat keramaian, masyarakat juga dapat memintanya hadir dalam suatu acara yang membutuhkan tempat untuk shalat. Masyarakat cukup menghubungi nomor 081291837814 untuk meminta mobil itu."Khusus Sabtu-Minggu dan tanggal merah, silakan untuk request di nomor kontak kami.Minimal satu minggu sebelum acara.Jangan mendadak karena takutnya bentrok," kata dia.
                        Ridwan menyatakan, tak ada biaya bagi masyarakat yang ingin menggunakan mobil itu namun, kata dia, ada juga masyarakat yang suka mengisi kotak amal di mobil tersebut.Biasanya, infak digunakan untuk biaya operasional mobil. Biaya akan dikenakan jika ada masyarakat memesan mobil itu untuk kegiatan di luar Jakarta. "Kalau ke luar kota kami kenakan charge buat biaya transpor. Enggak ada biaya sewa buat mobil," ujarnya. Ridwan menambahkan, untuk biaya operasional, pihaknya menggunakan dana dari Yayasan Masjid Nusantara.
                        Sumber dana tersebut dari sumbangan umat. Suka duka Ia menceritakan, ada beberapa kesulitan yang dia hadapi selama ini. Salah satunya adalah mencari lokasi.
Cara menarik perhatian warga adalah mempromosikan mobile itu dengan menggunakan pengeras suara. Salah satu promosi yang dilakukannya adalah dengan memberi tahu fasilitas dan kegunaan mobile itu kepada warga. Tiap setengah jam sebelum masuk waktu shalat, dia selalu memberitahukan warga melalui pengeras suara. Keletihan Ridwan terbayar jika melihat warga berbondong-bondong menggunakan mobile itu untuk beribadah."Ketika warga berbondong-bondong untuk shalat, berarti mobile ini manfaatnya banyak," ujarnya.Ridwan berharap keberadaan mobile itu bisa membantu orang beribadah. Ridwan juga berharap agar “ Mobile Masjid” itu semakin banyak di Indonesia. Ia meminta kepada para dermawan yang memiliki rezeki berlebih untuk membuat mobil serupa. "Kalau ada yang mau donasi mobile, itu hanya kasih aja Rp 800 juta.Nanti semuanya kami yang atur kami yang kelola,” kata Ridwan.[22]
2)   baban gandapurnama, mobile masjid di bandung
baban gandapurnama dalam tulisannya menjelaskan: Muhammad Sobirin warga Kota Bandung, dia juga mempraktikkan suguhan kreatif. Pria berusia 40 tahun tersebut mencetuskan konsep Mobile Masjid yang diklaim sebagai pelopor di Indonesia. Salut! "Kalau pun ada ya di Timur Tengah. Ini (Mobile Masjid) pertama di Indonesia," ucap Sobirin bernada bangga saat berbincang bersama detikcom di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jalan Setiabudhi, Kota Bandung, Kamis petang, 25 Juni 2015.
Berbendera Yayasan Masjid Nusantara (YMN), Sobirin meluncurkan Mobile Masjid kepada publik Bandung pada Selasa 16 Juni lalu. Satu unit kendaraan jenis minibus ini siap berkeliling menjelajah Bandung Raya.
   "Mobile Masjid tujuannya memudahkan umat muslim menjalankan salat saat berada jauh dari tempat ibadah," ujar Sobirin selaku Direktur YMN.
Fokus membidangi urusan sosial membuat pihak YMN menggelorakan kolaborasi dengan sistem donasi. Semangat itulah yang melahirkan Mobile Masjid.
"Mobile Masjid ada berkat donasi dari para donatur YMN dan juga RZ (Rumah Zakat). Insya Allah menjadi pahala tak terputus selama Mobile Masjid beroperasi membantu umat muslim menjalankan ibadah," kata Sobirin.
Dia menjelaskan, mobil tersebut mengangkut peralatan salat seperti karpet, sarung, mukena, penunjuk arah kiblat, genset dan sound system. Selain itu, mobil dilengkapi wadah penampung air bersih berkapasitas 500 liter untuk keperluan wudu.
"Kami bawa dua keran yang difungsikan sebagai tempat wudu. Karpet untuk salat ini kapasitasnya 50 orang," ujar Sobirin.[23]
Berita terbaru tentang mobile masjid juga telah ditemukan dari CNN-Indonesia.
3)        Ahmad Bachrain, Mobile Masjid di jepang
Ahmad Bachrain, dalam tulisannya menjelaskan: Jakarta, CNN Indonesia -- Jepang langsung gerak cepat untuk menyambut gelaran Olimpiade 2020 di Tokyo. Salah satu persiapannya adalah dengan menyediakan masjid 'berjalan' untuk melayani para penonton Muslim.
Masjid yang dibuat dari modifikasi truk kontainer tersebut bakal memudahkan para penonton Muslim menemukan tempat salat yang nyaman dan layak.
Tempat salat di dalam kotak kontainer truk itu dilengkapi penyejuk ruangan dan tempat wudu. Masjid truk putih-biru itu sudah terparkir di area stadion-stadion di Jepang.
                        Itu merupakan edisi pertama masjid berjalan yang terparkir di Stadion Toyota, Kota Toyota, Aichi, yang merupakan markas dari pabrik perusahaan kendaraan roda empat tersebut.
Bagian belakang truk akan terbuka ke bawah menjadi gerbang masuk menuju ruang salat. Ruangan seluas 48 meter persegi itu pun bisa menampung sekitar 50 orang untuk menunaikan salat.
Keberadaan masjid berjalan itu diyakini bakal membuat para penonton yang beragama Islam bakal nyaman seperti di negara mereka sendiri.
Direktur Eksekutif Yasu Project, Yasuharu Inoue, menerangkan kepada Aljazeera keberadaan masjid bergerak ini untuk mengantisipasi tidak tertampungnya para penonton Muslim yang ingin salat selama Olimpiade 2020. Masjid truk itu juga bakal bergerak dari satu venue ke venue lainnya pada Olimpade 2020 nanti.
"Sebagai negara yang terbuka dan ramah, kami ingin ingin berbagi nilai-nilai omotenashi [keramahan orang-orang Jepang] kepada para Muslim," ujar Inoue.
Nur Azizah, mahasiswi asal Indonesia di Jepang, mengungkapkan keberadaan masjid truk amat membantu dia untuk menunaikan salat.
"Masjid mobil itu sangat penting bagi para Muslim baik orang-orang Jepang maupun turis negara lain yang ke Jepang," ujar Azizah kepada Aljazeera.[24]

b.      Status Hukum Mobile Masjid
Mobile Masjid atau yang dikenal dengan Masjid berjalan dan dapat berpindah-pindah setiap harinya tidak sepi dari pengunjung yang akan melaksanakan ibadah, baik itu i’tikaf ataupun shalat jum’at Namun bagaimana status dari mobile masjid tersebut, apakah dihukumi sama dengan masjid-masjid pada umumnya ataukah mobile masjid hanyalah sebatas nama dari sebuah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan melakukan ibadah yang artinya tidak dihukumi masjid.
a.       Status hukum dari mobile masjid tidak di akui sebagai masjid atau tidak dihukumi masjid karena tidak mencukupi persyaratan dalam membangun masjid yaitu harus permanen. dalam membangun masjid ialah masjid harus permanen tidak boleh dipindah-pindah, dalam arti tidak sah mewakafkan benda yang bisa dipindah-pindah menjadi masjid. Contohnya seperti sejadah yang diwakafkan menjadi masjid, sejadah termasuk barang yang manqul yang bisa dipindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Dan sejadah tersebut bisa dihukumi masjid dan berlaku hukum masjid apabila dipermanenkan di waktu diwakafkan seperti dipaku dan lain sebagainya walaupun paku walaupun paku tersebut dihilangkan dan sejadahnya dibawa.
وَعَنْ النِّهَايَةِ فِي الْوَقْفِ فِي عَدَمِ جَوَازِ وَقْفِ الْمَنْقُولِ مَسْجِدًا مَا نَصُّهُ وَالْقِيَاسُ  عَلَى تَسْمِيرِ الْخَشَبِ أَنَّهُ لَوْ سَمَّرَ السَّجَّادَةَ صَحَّ وَقْفُهَا مَسْجِدًا وَهُوَ ظَاهِرٌ ثُمَّ رَأَيْت الْعَنَانِيَّ فِي حَاشِيَتِهِ عَلَى شَرْحِ التَّحْرِيرِ لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ قَالَ وَإِذَا سَمَّرَ حَصِيرًا أَوْ فَرْوَةً فِي أَرْضٍ أَوْ مَسْطَبَةٍ وَوَقَفَهَا مَسْجِدًا صَحَّ ذَلِكَ وَجَرَى عَلَيْهِمَا أَحْكَامُ الْمَسَاجِدِ وَيَصِحُّ الِاعْتِكَافُ فِيهِمَا الى ان قال.....وَلَوْ وَقَفَ إنْسَانٌ نَحْوَ فَرْوَةٍ كَسَجَّادَةٍ مَسجِدًا فَإِنْ لَمْ يُثْبِتْهَا حَالَ الْوَقْفِيَّةِ بِنَحْوِ تَسْمِيرٍ لَمْ يَصِحَّ وَإِنْ أَثْبَتَهَا حَالَ الْوَقْفِيَّةِ بِذَلِكَ صَحَّ وَإِنْ أُزِيلَتْ بَعْدَ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ الْوَقْفِيَّةَ إذَا ثَبَتَتْ لَا تَزُولُ sوَبِهَذَا يُلْغَزُ فَيُقَالُ لَنَا شَخْصٌ يَحْمِلُ مَسْجِدَهُ عَلَى ظَهْرِهِ وَيَصِحُّ اعْتِكَافُهُ عَلَيْهَا حِينَئِذٍ ا ه[25]
Adapun mobil masjid yaitu termasuk dari sesuatu yang manqul (bisa dipindah-pindah) dan tidak permanen. Jadi ketika melihat kriteria yang harus dipenuhi suatu benda untuk bisa sah dijadikan masjid maka mobile masjid tidak memenuhi kriteria tersebut artinya mobile masjid tidak dihukumi masjid seperti masjid pada umunya hanya saja penamaan mobile masjid hanya sebatas nama dan tidak berlaku hukum masjid karena mobile masjid tersebut bisa dipindah-pindah, sedangkan benda wakaf yang akan dibangun masjid haruslah permanen agar benda tersebut tidak bisa berubah status yang hari ini masjid maka besok berubah status lain.
Mobile masjid yang sudah tidak berstatus masjid lagi maka akan mempunyai hukum seperti tempat ibadah biasanya seperti mosholla dan lain sebagainya.
Musholla ialah:
الْمُصَلَّى لُغَةً : مَوْضِعُ الصَّلاَةِ أَوِ الدُّعَاءِ ، قَال تَعَالَى : { وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى }  أَيْ مَوْضِعًا لِلدُّعَاءِ .
وَاصْطِلاَحًا : الْفَضَاءُ وَالصَّحْرَاءُ ، وَهُوَ الْمُجْتَمَعُ فِيهِ لِلأْعْيَادِ وَنَحْوِهَا.[26]
Artinya: Musholla secara etimologi ialah tempat shalat atau berdo’a. Seperti firman allah dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan jadikanlah maqom ibrohim itu sebagai tempat shalat (berdo’a)”.
Secara terminologi musholla ialah Tanah lapang atau bangunan yang digunakan untuk melakukan shalat ied dan lain.

3.         Shalat Jum’at
a.         Pengertian Shalat Jum’at
         Shalat Jum’at adalah shalat wajib dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului oleh dua khutbah.[27]

b.        Hukum Shalat Jum’at
Hukum shalat jum’at Fardhu ‘Ain, artinya kewajiban individu mukallaf(muslim, baligh, berakal) kecuali 6 golongan:
1)      Hamba sahaya (budak belian)
2)      Perempuan
3)      Anak kecil (yang belum baligh)
4)       Orang sakit yang tidak dapat menghadiri Jumat
5)      Musafir, yakni orang yang sedang dalam perjalanan jauh
6)      Orang yang udzur jum’at, seperi ada bencana alam atau bahaya.
Pengecualian ini ditetapkan oleh sabda Nabi SAW:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا أَرْبَعَةً: مَمْلُوكٌ, وَاِمْرَأَةٌ, وَصَبِيٌّ, وَمَرِيضٌ.(صحيح علي شرطي البخا ري ومسلم)
“Jum'at itu hak yang wajib bagi setiap Muslim dengan berjama'ah kecuali empat orang, yaitu: budak, wanita, anak kecil, dan orang yang sakit."
Adapun bagi musafir, dan ada yang udzur, karena perbuatan Rasulullah SAW, apabila mengadakan perjalanan jauh, dan sampai hari jum’at beliau dan para sahabatnya tidak menunaikan shalat jum’at, melainkan hanya shalat Zuhur, demikian pula ketika kejadian badai hari jum’at dikota madinah, Beliau menganjurkan para sahabatnya shalat masing-masimg di rumah mereka.[28]

c.         Kewajiban Mengerjakan Shalat Jum’at
Para ulama sependapat bahwa hukum shalat jum’at adalah fardhu Ain dan jumlah rakaatnya dua. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
يَا اَيٌّهَا الّذِيْنَ امَنُوْااِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الجُمُعَةُ فَاسْعَوْااِلىَ ذِكْرِاللهِ وَذَرُوْالبَيْعِ ذَالِكُمْ خَيْرُلَّكُمْ انْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْن
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Kandungan Hukum:
Merujuk ayat di atas, para ulama menyimpulkan bahwa kandungan hukum berikut:
1)   Jum’at Wajib ‘Aini bagi yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Orang yang meniggalkannya tanpa udzur adalah dosa besar.
2)   Bila sudah dikumandangkan adzan jum’at, wajib segera untuk mendengar khutbah dan menunaikan shalat jum’at.
3)   Sesudah adzan jum’at berkumandang haram hukumnya bagi yang wajib jum’at melakukan kegiatan yang bersifat duniawi seperti jual beli atau pekerjaan lainnya.[29]
Kewajiban shalat jum’at ditetapkan oleh Al-Qur’an dan dikuatkan oleh hadis Nabi SAW, salah satunya dengan ancaman bagi orang yang meninggalkan jum’at tanpa udzur.

d.        Orang-orang yang berkewajiban menunaikan shalat Jum’at
adapun yang mempunyai kewajiban melaksanakan shalat jum’at ialah:
1)      Islam
2)      Laki-laki
3)      Merdeka (Bukan Hamba Sahya)
4)      Baligh (Cukup Umur)
5)      Aqil (Berakal)
6)      Sehat (Tidak Sakit)
7)      Muqim (Penduduk Tetap) bukan seorang musafir
 الجمعة حقّ واجب علي كلّ مسلم الا أربعة عبد مملوك أوامرأة أو صبيّ أومريض
Shalat jum’at adalah hak yang wajib atas setiap muslim kecuali empat golongan: budak belian, wanita, anak-anak, orang sakit. (HR.Abu Dawud)[30]

e.         Syarat sah shalat Jum’at
Adapun syarat-syarat sahnya jum’at menurut madzhab syafi’i antara lain:
1)   Dua raka’at shalat jm’at dan dua khutbahnya harus masih masuk waktu shlat dzuhur.
2)   Dilaksanakan disuatu perkampungan atau perkotaan (maksudnya apabila yang shalat jum’at itu semuanya musafir maka shalat jum’atnya tidak sah).
3)    Minimal mendapati satu raka’at (dengan berjama’ah) dari dua raka’at shalat jum’at, maka jika seorang makmum shalat jum’at tidak mendapati satu raka’at shalat jum’at bersama imam, maka ia tetap niat shalat jumat tetapi perakteknya shalat juhur empat raka’at
4)   Jumlah makmum yang shalat jum’at minimal 40 orang dari penduduk setempat atau penduduk asli (mustauthin) yang telah wajib jum’at.
5)   Shalat jum’atnya tidak berbarengan atau didahului oleh shalat jum’at dimasjid lain yang masih satu perkampungan. Artinya tidak boleh ada dua jum’at atau lebih dalam satu kapung atau satu tempat yang sama.
6)   Harus didahului dua khutbah.[31]

f.          Waktu Shalat Jum’at
Golongan mayoritas dari kalangan sahabat dan tabi’in sepakat bahwa waktu shalat jum’at itu adalah waktu shalat zuhur, berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Baihaqi dari Anas r.a.,
رَوَى الْبُخَارِيُّ عَنْ أَنَسٍ : { أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِينَ تَمِيلُ الشَّمْسُ }[32]
Rasulullah SAW melaksanakan shalat Jum’at ketika matahari tergelincir. (H.R. Bukhari dari Anas).
كُنَّا نُصَلِّى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعِةَ اِذَا زَالَتِ الشَّمْسِ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنَتْبَعُ الْفَيْءَ اَيْ ظِلَّ الحيطان
Kami shalat dengan Rasulullah SAW ketika matahari tergelincir, kemudian kami pulang dengan mengikuti bayang-bayang tembok. (H.R. Muslim).
Bukhari mengatakan, “waktu shalat jum’at ialah apabila matahari telah tergelincir.” Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar, Ali, Nu’man bin Basyri, dan dari Umar bin Huraits. Syafi’I mengatakan, “Nabi SAW., Abu Bakar, Umar, Utsman, dan imam-imam lainnya mengerjakan shalat jum’at setelah tergelincirnya matahari.”[33]

g.         Tempat Penyelenggaraan shalat Jum’at
Ditulis leh pengarang buku ar-Raudhah Naddiyyah bahwa shalat jum’at itu sah dilakukan, baik dikota maupun di desa, didalam masjid, didalam bangunan, maupun dilapangan yang terdapat disekelilingnya, sebagaimana juga sah dilakukan ditempat-tempat lainnya. Umar r.a. pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain yang isinya, “Lakukanlah shalat jum’at dimana saja kalian berada.”(HR. Ibnu Abu Syaibah dan menurut Ahmad sanadnya baik)
Hadis ini menunjukkan bolehnya mengerjakan shalat di perkotaan maupun di pedesaan atau ditempat manapun yang sekiranya sah dan bisa dilaksanakannya shalat.adapun hadis lain yang menguatkan bahwa dibolehkannya shalat jum’at sealin dimasjid.
Diriwayatkan dari Umar r.a. bahwa ia pernah melihat penduduk mesir dan daerah-daerah sekitar mata air yang terletak diantara Makkah dan Madinah mengerjakan shalat ditempat mereka masing-masing dan mereka tidak ditegurnya.(Riwayat Abdur Razaq dengan Sanad yang Shahih)[34]

h.      Ta’addud al-Jum’at
Ta’addud (تعدد) ialah mashdar dari fi’il madhi Ta’addada yang berarti : Berjumlah banyak, berbilang[35].
Shalat Jum’at adalah shalat wajib dua raka’at yang dilaksanakan dengan berjama’ah diwaktu Zuhur dengan didahului oleh dua khutbah.[36]
Jadi yang dimaksud ta’addud al-Jum’at ialah pelaksanaan shalat jum’at yang lebih dari satu dan yang dimaksud banyak disini ialah dalam satu desa atau satu kota.
Adapun tujuan utama dilaksanakannya shalat jum’at ialah:
الغرض من صلاة الجمعة هو أن يجتمع الناس في مكان واحد خاشعين لربهم، فتتوثق بينهم روابط الإلفة، وتقوى صلات المحبة، وتحيا في أنفسهم عاطفة الرحمة والرفق، وتموت عوامل البغضاء والحقد، وكل منهم ينظر إلى الآخر نظرة المودة والإخاء، فيعين قويهم ضعيفهم، ويساعد غينيهم فقيرهم، ويرحم كبيرهم صغيرهم، ويوقر صغيرهم كبيرهم، ويشعرون جميعاً بأنهم عبيد اللّه وحده، وأنه هو الغني الحميد، ذو السلطان القاهر، والعظمة التي لا حد لها.
ذلك بعض أغراض الشريعة الإسلامية من حيث الناس على الاجتماع في العبادة؛ ومما لا ريب فيه أن تعدد المساجد لغير حاجة يذهب بهذه المعاني السامية، لأن المسلمين يتفرقون في المساجد. فلا يشعرون بفائدة الاجتماع، ولا تتأثر أنفسهم بعظمة الخالق الذي يجتمعون لعبادته خاضعين متذللين،[37]
Artinya: Tujuan di syariatkannya shalat juma’at ialah agar manusia bisa berkumpul dalam satu tempat untuk melakukan ibadah dengan khusyu’. Memperkokoh tali persatuan antara mereka, memperkuat kasih sayang antara mereka, menumbuhkan sifat lemah lembut dan dalam hati mereka, membuang rasa dengki dan marah antara mereka, mereka bisa memandang kehidupan akhirat dengan rasa cinta dan damai sehingga yang kuat dapat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, yang tua mengasihi yang muda,  yang muda menghormati yang lebih tua sehingga mereka semua dapat merasa bahwa mereka adalah hamba allah tuhan yang esa.
            Adanya ta’addu al-jum’ah banyak terjadi disebabkan banyaknya masjid dalam satu desa atau satu kota, maka dari itu membangun banyak masjid dalam satu desa tanpa adanya kebutuhan akan dapat menghilangkan tujuan dari disyariatkannya melakukan shalat jum’at dikarenakan akan timbulnya perpecahan umat muslim dalam banyak masjid sehingga mereka tidak lagi dapat merasakan indahnya berkumpul dalam beribadah kepada allah.
                        Dalam kitab Madzahib al-Arba’ah dijelaskan:
، فمن أجل ذلك قال بعض الأئمة: إذا تعددت المساجد لغير حاجة فإن الجمعة لا تصح إلا لمن سبق بها في هذه المساجد، فمن سبق بيقين كانت الجمعة له، وأما غيره فإنه يصليها ظهراً، وإليك بيان آراء المذاهب في هذا الموضوع تحت الخط (الشافعية قالوا: إما أن تتعدد الأمكنة التي تقام فيها الجمعة لغير حاجة إلى هذا التعدد، أو تتعدد لحاجة، كأن يضيق المسجد الواحد عن أهل البلدة، فإذا تعددت المساجد أو الأمكنة التي تقام فيها الجمعة لغير حاجة كانت الجمعة لمن سبق بالصلاة، بشرط أن يثبت يقيناً أن الجماعة التي صلت في هذا المكان سبقت غيرها بتكبيرة الإحرام، أما إذا لم يثبت ذلك، بل ثبت أنهم صلوا جميعاً في وقت واحد، بأن كبروا تكبيرة الإحرام معاً، أو وقع شك في أنهم كبروا معاً، أو سبق أحدهم بالتكبير فإن صلاتهم تبطل جميعاً، وفي هذه الحالة يجب عليهم أن يجتمعوا معاً، ويعيدوها جمعة إن أمكن ذلك، وإن لم يمكن صلوها ظهراً. أما إذا تعددت لحاجة، فإن الجمعة تصح في جميعها، ولكن يندب أن يصلوا الظهر بعد الجمعة.
المالكية قالوا: إذا تعددت المساجد في بلد واحد، فإن الجمعة لا تصح إلا في أول مسجد أقيمت فيه الجمعة من البلد، ولو كان بناءه متأخراً، مثلاً إذا كان في البلد - زوايا - لم تقم فيها الجمعة، ثم بني مسجد أقيمت فيه الجمعة، ثم بني بعده مسجد آخر أقيمت فيه الجمعة، فإن الجمعة لا تصح إلا في المسجد الذي أقيمت فيه الجمعة أولاً، ولكن هذا الحكم عندهم مشروط بأربعة شروط: أحدها: أن لا يهجر القديم بالصلاة في الجديد، بأن يترك الناس الصلاة في القديم رغبة في الجديد بدون عذر؛ ثانيها: أن يكون القديم ضيقاً، ولا يمكن توسعته، فيحتاج الناس إلى الجديد، - والمسجد الضيق هو الذي لا يسع من يغلب حضورهم الجمعة وإن لم تكن واجبة عليهم - ، ثالثها: أن لا يخشى من اجتماع أهل البلدة في مسجد واحد حدوث فتنة أو فساد، كما إذا كان بالبلدة أسرتان متنافستان إحداهما شرقي البلد، والثانية غربيها، فإنه يصح لكل منهما أن تتخذ لها مسجداً خاصاً؛ رابعها: أن لا يحكم حاكم بصحتها في المسجد الجديد.
الحنابلة قالوا: تعدد الأماكن التي تقام فيها الجمعة في البلد الواحد إما أن يكون لحاجة أو لغير حاجة، فإن كان لحاجة، كضيق مساجد البلد عمن تصح منهم الجمعة، وإن لم تجب عليهم، وإن لم يصلوا فعلاً - فإنه يجوز، وتصح الجمعة، سواء أذن فيها ولي الأمر، أو لم يأذن، وفي هذه الحالة يكون الأولى أن يصلي الظهر بعدها، أما إن كان التعدد لغير حاجة، فإن الجمعة لا تصح إلا في المكان الذي أذن بإقامتها فيه ولي الأمر، ولا تصح في غيره حتى ولو سبقت، وإذا أذن ولي الأمر بإقامتها في مساجد متعددة لغير حاجة، أو لم يأذن أصلاً، فالصحيحة منها ما سقت غيرها بتكبيرة الإحرام، فإن وقعت الصلاة في وقت واحد، بأن كبروا تكبيرة الإحرام معاً بطلت صلاة الجميع إن تيقنوا ذلك، ثم إذا أمكن إعادتها جمعة أعادوها، وإلا صلوها ظهراً، أما إذا لم تعلم الجمعة السابقة، فإن الجمعة تصح في واحد غير معين، فلا تعاد جمعة، ولكن يجب على الجميع أن يصلوا ظهراً.
الحنفية قالوا: تعدد الأماكن التي تصح فيها الجمعة لا يضر، ولو سبق أحدها الآخر في الصلاة على الصحيح، ولكن إذا علم يقيناً من يصلي الجمعة في مسجد أن غيره سبقه من المصلين في المساجد الأخرى، فإنه يجب عليه أن يصلي أربع ركعات بنية آخر ظهر بتسليمة واحدة، والأفضل أن يصليها في منزله حتى لا يعتقد العامة أنها فرض، وقد عرفت أن الواجب عند الحنفية أقل من الفرض، وإن شئت قلت: إنه سنة مؤكدة. أما إذا شك في أن غيره سبقه فإنه يندب له أن يصلي أربع ركعات بنية آخر ظهر فقط، وعليه أن يقرأ في كل ركعة سورة أو ثلاث آيات قصار، لاحتمال أن تكون هذه الصلاة نافلة، وقد تقدم أن قراءة السورة ونحوها واجبة في جميع ركعات النفل، وهل يصلي الركعات الأربع المذكورة قبل صلاة أربع ركعات سنة الجمعة أو بعدها؟ والجواب: يصليها بعدها فإذا صلاها قبلها فقد خالف الأولى والأمر في ذلك سهل، وعلى هذا يطلب ممن يصلي الجمعة أن يصلي بعدها أربع ركعات سنة الجمعة، ثم يصلي بعدها أربع ركعات بنية آخر ظهر، على الوجه المتقدم، ثم يصلي بعدها ركعتين سنة وقت الظهر كما تقدم في السنن).[38]
Maksud dari keterangan di atas yaitu: Dalam kitab madzahib al-arba’ah para ulama madzhab beda pendapat tentang hukum ta’addud al-jum’at ialah:
1)    Syafi’iyah
Imam Syafi’i berkata: tidak diadakan shalat jum’at pada suatu negeri walaupun jumlah penduduknya besar, banyak pekerja-pekerjanya serta masjid-masjidnya kecuali di masjid yang terbesar (masjid jami’).
Apabila kota tersebut memiliki masjid-masjid yang besar dan shalat jum’at diadakan pada salah satu masjid tersebut setelah matahari tergelincir, maka hal itu sah. Namun apabila shalat jum’at diadakan lagi di masjid yang lain, maka hal itu tidak terhitung sebagai shalat jum’at, dan mereka harus mengulangi dengan melakukan shalat dzuhur empat rakaat.
Demikianlah apabila dikerjakan shalat jum’at di suatu negeri pada beberapa tempat, maka shalat jum’at yang sah adalah yang pertama dilaksanakan dan yang lainnya tidak sah selain mengerjakan shalat dzuhur.
Dan apabila terjadi perselisihan antara mereka tentang siapakah yang lebih dahulu melaksanakan shalat jum’at, maka mereka harus mengulangi semua dengan melaksanakan shalat dzuhur.[39]
Imam Syafi’i berkata: apabila suatu negeri memiliki wilayah yang luas, memiliki bangunan yang banyak, serta banyak didirikan masjid-masjid besar (Agung) dan masjid-masjid kecil maka menurut pandangan saya adalah: tidak dikerjakan shalat jumat selain pada satu masjid. Demikian juga apabila negeri itu bersambung dengan kampung-kampung kecil, maka saya lebih menyukai agar shalat jum’at diadakan di masjid agung (masjid jami’). Apabila shalat jum’at dikerjakan pada masjid yang lain, maka (setelah itu harus) dikerjakan shalat dzuhur empat rakaat. Namun apabila shalat jum’at dikerjakan maka mereka harus mengulangi shalat jum’atnya.[40]
Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa salah satu syarat sahnya shalat Jum’at adalah tidak boleh didahului oleh shalat Jum’at yang lain kecuali karena besarnya kampung/kota sehingga mereka sulit berkumpul dalam satu tempat. Atau karena banyaknya jama’ah sehingga masjid tidak mungkin menampung semua jama’ah. Adanya permusuhan antara dua golongan, dan jarak batas daerah dengan daerah lain berjauhan sehingga suara azan tidak terdengar. Syarat syahnya shalat Jum’at ini didasarkan bahwa Rasulullah tidak pernah melaksanakan shalat Jum’at kecuali pada satu masjid. Meskipun demikian larangan Ta’addud Al-Jum’at ini bukanlah hal yang mutlak namun tetap diperbolehkan jika dalam kondisi membutuhkan.
Setidaknya kebutuhan tersebut bisa diukur dengan adanya kondisi kampung atau kota yang besar. Keadaan seperti ini menyulitkan mereka untuk berkumpul dalam satu tempat Seperti yang terjadi di kota baghdad. Disana Imam Syafi’i menyaksikan ta’addud shalat Jum’at. Beliau tidak berkomentar terhadap persaksiannya. Beliau hanya berkata ijtihad tidak boleh mengingkari ijtihad lain. Dalam kitab Al-majmu’ Imam Nawawi mengurai pendapat Imam Syafi’i dengan mengungkapkan pendapat para ulama bermadzhab Syafi’i. Didalam buku tersebut terdapat empat macam pendapat yang bertentangan di kalangan ulama Syafi’iyah. Perbedaan ini muncul karena imam Syafi’i tidak menjelaskan kenapa tidak melarang pelaksanaan ta’addud tersebut. Adapun asumsi mereka adalah sebagai berikut :[41]
a)      Ta’addud Al-Jum’at yang terjadi di kota Bagdad disebabkan wilayahnya yang begitu luas sehingga menyulitkan jama’ah untuk berkumpul dalam satu masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at. Atas dasar inilah para ulama Syafi’iyah memperbolehkan Ta’addud Al- Jum’at pada setiap kota yang penduduknya banyak dengan alasan sulit untuk dikumpulkan dalam satu masjid. Ini merupakan pendapat yang shahih karena di dukung oleh para ulama Syafi’iyah diantaranya adalah Abu Abbas Suraij, Abu Ishaq al-Marwaji bahkan Imam Rafi’i berkata pendapat ini merupakan pilihan mayoritas ulama Syafi’iyah seperti Ibnu Kaj, Hanati, Qadhi Abu Toyyib dalam kitabnya Al- Mujarrod, Arrouyani, Imam Al- Gazaly serta Imam Al-Muzany.
b)      Sebagian ulama Syafi’iyah beranggapan bahwa terjadinya Ta’addud Al-Jum’at di kota Bagdad bukan karena alasan diatas melainkan karena dibatasi sungai eufrat sehingga seolah-olah kota Bagdad itu seperti dua kota yaitu sisi barat dan sisi timur. Jama’ah kesulitan untuk melaksanakan shalat Jum’at pada satu tempat karena harus melewati sungai tersebut seperti harus berenang. Melihat alasan sebagian ulama ini Abu Toyyib membatasi bahwa tidak boleh lebih dari satu pelaksanaan Jum’at pada setiap sisi kota bagdad.
c)      Ulama lain dari kalangan Syafi’iyah juga ada yang berpendapat bahwa bolehnya Ta’addud Al-Jum’at karena sisi barat dan sisi timur kota Bagdad adalah dua kota yang terpisah. Sehingga tidak ada alasan untuk melarang pelaksanaan Jum’at di setiap sisi barat dan timur kota Bagdad.
d)     Pendapat yang keempat ini berpegang pada perkataan imam Syafi’i yang mengatakan tidak boleh Ta’addud Al-Jum’at dalam satu kampong sekalipun kampungnya besar.
Dalam hal pelaksanaan Ta’addud Al-Jum’at yang tidak berdasarkan kebutuhan maka ulama dari golongan Syafi’iyah sepakat untuk tidak memperbolehkannya. Pada pokoknya Shalat Jum’at hanya boleh didirikan satu dalam satu tempat, tidak boleh dua, tiga, apalagi empat. Sama saja apakah tempat itu bernama qoryah (dusun), baldah (negeri) dan lain-lainnya, yaitu suatu kesatuan perkampungan tempat tinggal penduduk, maka disitu hanya diperbolehkan mendirikan satu Jum’atan, tidak boleh lebih dari satu, dua, atau tiga Juma’tan.
Tetapi kalau ada udzur syar’i, yaitu udzur yang dibenarkan oleh syariat. seperti adanya jamaah tidak tertampung dalam satu tempat atau karena alasan-alasan geografis maka barulah Shalat Jum’at itu dibolehkan didirikan satu, dua, atau tiga dalam satu daerah sesuai dengan kebutuhannya. Andaikata didirikan Shalat Jum’at dua atau tiga tempat dalam satu tempat tanpa udzur syar’i maka Jum’at yang sah hanya satu, yaitu Shalat Juma’t yang terdahulu takbirnya, Shalat Jum’at yang lainnya tidak sah.
Jum’at yang tidak sah wajib diulangi dengan shalat dzuhur yakni shalat yang asal pada waktu itu. Kalau tidak diulangi berdosalah orang itu karena belum membayarkan shalat pada waktu dzuhur hari itu.
Kalau ragu-ragu yakni tidak diyakinkan bahwa takbir shalat Jum’at kita terdahulu dari shalat Jum’at yang lain di tempat itu, maka sunnah mengulangi dengan dzuhur sebagai tindakan Ihtiyath yakni berjaga-jaga dan melalui jalan aman. Mengulangi dengan dzuhur itu boleh berjama’ah boleh pula tidak.

1)      Malikiyah
                        Golongan ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika dalam suatu kota terdapat beberapa masjid yang didalamnya terjadi pelaksanaan Jum’at. Maka demikian shalat Jum’atnya tidak sah kecuali pada masjid yang didirikan dan digunakan pertama kali untuk melaksanakan shalat Jum’at (‘Atiq), meskipun pembangunannya terkendala. Seperti masjid kampung atau pondokan/perkantoran yang terdapat di kota. Awalnya memang tempat tersebut tidak digunakan untuk pelaksanaan shalat Jum’at tiba-tiba muncul ide supaya dibangun menjadi sebuah masjid baru dengan tujuan untuk menjadi tempat pelaksanaan shalat Jum’at. Dalam hal ini shalat Jum’at yang sah adalah shalat Jum’at yang dilaksanakan pada masjid ‘ATIQ (masjid yang pertama kali menjadi tempat pelaksanaan shalat Jum’at). Namun Masjid ‘ATIQ ini tidak selamanya menjadi satu-satunya masjid yang sah untuk tempat pelaksanaan Jum’at. Ada empat ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut adalah ;
a)      Hendaknya tidak meninggalkan shalat Jum’at pada masjid lama atau yang terdahulu dibangun. Karena menurut kebiasaan kebanyakan jama’ah berpindah dari masjid lama dengan adanya masjid baru. Meninggalkan shalat di masjid lama hanya karena alasan lebih senang dengan adanya masjid baru tanpa ada alasan yang sah (udzur).
b)             Apabila masjid yang lama (‘ATIQ) sempit dan tidak mungkin untuk diperluas. Salah satu alasannya adalah luas tanah yang terbatas seperti masjid yang terletak di dekat pemakaman. Alasan inilah yang membuat jama’ah ingin membangun masjid baru di tempat lain yang lebih besar. Namun salah seorang ulama bernama Addusuuqi tidak menjadikan hal tersebut sebagai alasan Ta’addud Al-Jum’at. Beliau menejelaskan dalam kitab Hasyiahnya bahwa masjid yang sempit dapat diperluas meskipun itu jalan atau pemakaman.
c)             Berkumpulnya penduduk suatu kampung atau kota pada satu masjid baru tidak menimbulkan fitnah atau kerusakan. Sebab hal ini bisa terjadi jika di suatu kampung atau kota terdapat dua keluarga yang bermusuhan. Satu pihak di bagian timur dan pihak lain di bagian barat. Maka dengan alasan ini diperbolehkan bagi mereka untuk membangun masjid khusus (masing-masing) untuk pelaksanaan shalat berjama’ah termasuk shalat Jum’at.
d)            Dan hendaknya hakim tidak memberi putusan terhadap sahnya shalat Jum’at di masjid yang baru.
                        Menurut Al-Khurasyi jika terjadi pembangunan dua masjid secara bersamaan maka shalat Jum’at yang sah adalah pada masjid yang diikuti oleh pemerintah setempat. Jika pemerintah setempat tidak shalat Jum’at pada salah satu dua masjid tersebut maka shalat Jum’at yang sah hanya masjid yang terdahulu takbiratul ihramnya. Adapun jika takbiratul ihramnya bersamaan maka kedua pelaksanaan shalat jumat tersebut batal dan seluruh jama’ah dari dua masjid tersebut berkumpul untuk melaksanakan shalat Jum’at selama masih ada waktu.
Menurut pendapat yang masyhur tidak boleh Ta’addud Al-Jum’at dalam satu kota. Apabila tetap dilakukan Ta’addud Al-Jum’at maka shalat jum’at tidak akan sah kecuali pada masjid yag atik. Atik adalah sebutan untuk masjid yang pertama kali dilakukan untuk shalat Jum’at. Namun larangan ini akan berlaku selama tidak menyalahi syarat sebagai berikut:[42]
(1)   Jama’ah tidak berpindah pada masjid yang baru dibangun.
(2)   Masjid yang atik sempit dan tidak memungkinkan untuk memperluasnya.
(3)   Tidak dikhawatirkan adanya fitnah dari penduduk kampung (perselisihan antara penduduk bagian barat dan timur).
(4)   Masjid yang baru tidak ada legalitas dari hakim. Jikalau masjid Atiq melaksanakan shalat Jum’at terlambat daripada masjid yang lain, tetap saja pelaksanaan yang dianggap sah adalah yang terjadi di masjid Atiq tersebut.

3)      Hanabilah/Hambali 
Golongan Hanabilah berpendapat bahwa banyaknya tempat yang digunakan pelaksanaan shalat Jum’at di suatu negara berdasarkan dua sebab, yaitu :
a)             karena adanya kebutuhan seperti karena takut fitnah disebabkan permusuhan diantara warga yang dapat menimbulkan fitnah atau karena tempat yang jauh dari masjid pelaksanaan Jum’at.
b)             adalah karena kebutuhan lain seperti sempitnya masjid. Masjid negara “amr” (masjid negara dimesir yang didirikan oleh gubernur amr bin Aash pada masa khalifah umar bin khattab) maka shalat Jum’at mereka tetap dilakukan meskipun ada izin pemerintah atau tidak. namun untuk mencari yang lebih utama seharusnya melakukan shalat dzuhur sesudah shalat Jum’at.
Adapun apabila membangun masjid tanpa alasan atau kebutuhan kemudian dijadikan tempat pelaksanaan shalat Jum’at maka shalatnya tidak sah. kecuali pada masjid yang mempunyai izin dari pemerintah walaupun shalat Jum’at yang baru lebih dahulu selesai.
Mendapatkan izin dari pemerintah bukanlah hal yang sulit. Pemerintah telah membuat aturan sedemikian rupa supaya dapat merangkul semua kepercayaan yang ada dalam pendirian rumah ibadah.
Apabila pemerintah telah memberikan izin mendirikan shalat Jum’at di beberapa masjid yang tidak ada hajat atau tidak memberikan izin sama sekali maka shalat Jum’at yang sah darinya adalah shalat yang lebih dahulu takbiratul ihram. Dalam hal ini terdapat beberapa ketentuan tertang sah dan batalnya pelaksanaan Ta’addud shalat Jum’at. Yaitu ;
a)             Ta’addud shalat Jum’at dinyatakan batal Apabila shalat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Hal ini dapat dilihat dari Takbiratul ihram yang bersamaan. Jika yang demikian telah dilaksanakan maka kedua shalat Jum’at tersebut menjadi batal.
b)             Apabila shalatnya batal sebab takbiratul ihram yang bersamaan maka hendaknya kedua jama’ah berkumpul dalam satu tempat untuk mengulangi shalat Jum’at secara berjama’ah.
c)             Apabila waktunya tidak memungkinkan lagi maka hendaknya mereka mengulangi shalat Dzuhur. Akan tetapi jika terjadi keraguan seperti tidak diketahui siapa yang terdahulu dalam pelaksanaan shalat Jum’at maka yang sah adalah salah satu dari kedua pelaksanaan tersebut. Oleh karena itu tidak diulangi dengan bentuk shalat Jum’at lagi tapi diwajibkan bagi semuanya untuk melakukan shalat dzuhur.
4)      Hanafiyah
Golongan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa banyaknya tempat yang dijadikan untuk pelaksanaan shalat Jum’at adalah sah dan tidak apa-apa walaupun salah satunya mendahului dari shalat Jum’at yang lain. Ini adalah pendapat yang shahih. Akan tetapi olehnya Ta’addud Al-Jum’at selama belum ada satupun dari jama’ah yang telah tahu dan yakin bahwa ada pelaksanaan Jum’at lain. Jika telah ada dan terbukti telah mendahului shalat mereka, maka sesungguhnya wajib hukumnya untuk melaksanakan shalat empat raka’at dengan niat shalat dzuhur dengan satu salam. Tetapi yang lebih baik lagi disarankan agar pelaksanaan shalat tersebut dirumah saja. Sehingga pelaksanaan shalat tersebut tidak dianggap fardhu oleh jama’ah lain. Namun kalau ada keraguan masjid mana yang lebih dulu melaksanakan Jum’at maka hukum untuk mengulangi shalat zhuhur adalah sunnah.
Pendapat serupa juga ditemukan dalam kitab Ihya Al-Gazali yang mengatakan bahwa tidak Jum’at itu didahului oleh shalat Jum’at yang lain dalam negeri itu. Maka kalau sukar berkumpul pada dua, tiga tempat menurut kebutuhan maka yang sah adalah shalat Jum’at yang pertama takbiratul ihramnya. Adapun dalil mereka adalah hadist ‘Aisyah r.a: Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah bahwa ia berkata; “Ada orang-orang yang bergiliran datang untuk menunaikan shalat Jum’at dari rumah-rumah mereka di pegunungan. Mereka datang dengan memakai mantel lalu dipenuhi debu (hingga berbau tidak sedap). Beberapa orang di antara mereka mendatangi Rasulullah SAW yang ketika itu beliau berada di dekatku. Maka Rasulullah SAW pun bersabda kepada mereka: “Alangkah baiknya, jika kalian pada hari ini mandi yang bersih.” (HR. Muslim).
Sahabat Abu Hanifah yang bernama Muhammad Hasan Asy-syaibani. Muhammad Hasan Asy-syaibani membolehkan Ta’addud Al-Jum’at secara muthlak, tanpa adanya persyaratan seperti yang diungkapkan oleh Abu Yusuf. Pendapat Muhammad Hasan Asy-syaibani ini juga diriwayatkan oleh Abu Hanifah.[43]
Adapun kesimpulan dari penjelasan para imam ialah:
والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ[44]
           Adapun kesimpulan dari apa yang telah dijelaskan oleh para imam bahwa sebab-sebab diperbolehkannya ta’addud al-jum’at ada tiga:
a)      Sempitnya tempat shalat sehingga semua jamaah tidak tertampung.
b)      Adanya permusuhan antara dua golongan
c)      Jarak batas daerah dengan daerah yang lain berjauhan sehingga suara adzan tidak terdenganr, atau berada di suatu daerah yang seandainya keluar ke daerah lain  (yang melaksanakan jum’atan) telah terbit fajar, maka waktunya tidak mencukupi. Hal ini karena tidak ada keharusan untuk berusaha pergi ke daerah laintersebut kecuali setelah terbitnya fajar.

5)      Syaikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani
Pernyataan Syaikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani tentang ta’addud al-jum’at yaitu:
حكم تعدد الجمعة في بلدة واحدة اوقرية واحدة
مسئلة: ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة اوقرية واحدةمع تحقق العدد المعتبر في كل مسجد من مساجدها, فهل تصح جمعة الجميع او فيه تفصيل فيما يظهر لكم؟
الجواب: اما مسئلة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذالك مطلقا بشرط ان لا ينقص عدد كل عن اربعين رجلا, فان نقص عن ذالك انضموا –الى اقرب جمعة اليهم اذ لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم انه جمع بأقل من ذالك, وكذا السلف الصالح من بعده والقول بعدم الجواز الا عند تعذر الاجتماعفي مكان واحدليس عليه دليل صريح ولاما يقرب من الصريح لائضا ولا شبهة بل ان سر مقصود الشارع هو في اظهار الشعار في ذالك اليوم وان ترفع الاصوات على المنابر بالدعوة الى الله, والنصح للمسلمين, فكلما كانت المنابر اكثر كانت الشعارات اظهر وتباردت عزة دين الاسلام في أن واحد في اماكم متعددة اذا كان كل مسجد عامرا باربعين فاكثر. هذا هو الظاهر لي. والله ولي التوفيق.
Maksud dari keterangan ini ialah syekh isma’il pernah ditanya pendapatnya tentang ta’addud al-Jum’at dalam satu negara atau satu desa dalam tiap-tiap masjid yang jumlah jama’ahnya sampai pada hitungan yang ditentukan, apakah semua shalat jum’at tersebut dihukumi sah ataukah ada penafsilan?
Syekh isma’il menjawab bahwasanya ta’addud al-jumat itu hukumnya boleh secara mutlak dengan syarat jamaah shalat jum’at tidak kurang dari 40 orang laki-laki, namun apabila kurang dari 40 orang maka jum’at yang jamaahnya kurang 40 orang disatukan pada masjid terdekat yang jamaahnya sampai 40 orang.[45]
                        Adapun pengertian dari المصر, القرية, البلد  ialah:
قرية التعريف: 1- القرية في اللغة: كل مكان اتصلت به الأبنية واتخذ قرارا وتطلق القرية على المدن وغيرها والقريتان المذكورتان في قوله تعالى (وقالوا لولا نزل هذا القرآن على رجل من القريتين عظيم) هما مكة المكرمة شرفها الله والطائف كما تطلق على المساكن والأبنية والضياع واصطلاحا: عرفها القليوبي من الشافعية بأنها العمارة المجتمعة التي ليس فيها حاكم شرعي ولا شرطي ولا أسواق للمعاملة وعرفها الكاساني من الحنفية بأنها البلدة العظيمة إلا أنها دون المصر (الألفاظ ذات الصلة): أ- المصر: 2- المصر في اللغة: اسم لكل بلد محصور أي محدود تقام فيها الدور والأسواق والمدارس وغيرها من المرافق العامة ويقسم فيها الفيء والصدقات واختلفوا في معناها الاصطلاحي فعن أبي حنيفة رحمه الله: أن المصر بلدة كبيرة فيها سك وأسواق ولها رساتيق وفيها وال يقدر على إنصاف المظلوم من الظالم بحشمه وعلمه أو علم غيره والناس يرجعون في الحوادث إليه قال الكرخي: إن المصر الجامع ما أقيمت فيه الحدود ونفذت فيه الأحكام وقال القليوبي: المصر العمارة المجتمعة الذي فيه حاكم شرعي وشرطي وأسواق للمعاملات والمصر أعظم من القرية ب- البلد: 3- البلد في اللغة: اسم للمكان المختط المحدود المتأنس باجتماع قطانه وإقامتهم فيه ويستوطن فيه جماعات ويسمى المكان الواسع من الأرض بلدا والبلد أكبر من القرية[46]

a)         المِصْرُ   : adalah daerah yang telah memiliki fasilitas umum berupa pengadilan agama, departemen kepolisian dan pasar.
b)        اَلْبَلَدُ    : adalah daerah yang hanya mempunyai sebagian fasilitas yang dimiliki المِصْرُ  .
c)            اَلْقَرْيَةِ: adalah daerah yang sama sekali tidak memiliki fasilitas di atas.
Sehingga, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Kota/Kabupaten di Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai المِصْرُ, sedangkan kecamatan dan beberapa pedesaan yang cukup berkembang di Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai اَلْبَلَدُ, sedangkan pedesaan kecil yang masih terpencil dikategorikan sebagai    اَلْقَرْيَةِ.



4.      I’tikaf
a.      Pengertian i’tikaf
(فصل): في أحكام الاعتكاف وهو لغة الإقامة على الشيء من خير أو شر، وشرعاً إقامة بمسجد بصفة مخصوصة.[47]
I’tikaf secara etimologi mempunyai arti berdiam di suatu tempat untuk melakukan pekerjaan yang baik atau yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian. Adapun secara terminologi i’tikaf ialah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dengan sifat tertentu.
b.      Dalil i’tikaf
Dalil yang menerangkan disyariatkannya i’tikaf ialah:
1)                  Al-Qur’an
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ (١٢٥)[48]
Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".(QS. Al-Baqaroh: 125).
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ. الاية ( البقرة 187)[49]
Artinya: janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. (QS. Al-Baqaroh: 187)
2)      Hadits
وَعَن عَائِشَة رَضِيَ اللَّهُ عَنْها أَن النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كَانَ يعْتَكف الْعشْر الْأَوَاخِر من رَمَضَان حَتَّى توفاه الله عَزَّ وَجَلَّ ثمَّ اعْتكف أَزوَاجه من بعده مُتَّفق عَلَيْهِ[50]
Artinya: Dari sayyidah Aisyah r.a beliau berkata: bahwasanya rasul SAW melakukan i’tikaf di sepuluh akhir bulan ramadhon sampai beliau wafat, kemudian dilanjutkan oleh istri-istri beliau setelah beliau wafat. (H.R. Muttafaq alaih). Dalam satu riwayat dari imam bukhori bahwasanya rasulullah SAW melakukan i’tikaf dalam tiap-tiap bulan ramadhon.

c.       Macam-macam I’tikaf
فأما أقسامه فهي اثنان: واجب، وهو المنذور، فمن نذر أن يعتكف وجب عليه الاعتكاف، وسنة، وهو ما عدا ذلك،[51]
Mayoritas fuqaha sepakat bahwa I’tikaf terbagi menjadi dua macam yaitu, i’tikaf wajib dan I’tikaf sunnah.
1)      I’tikaf Wajib
I’tikaf wajib ialah I’tikaf yang dinadzarkan, maka I’tikaf yang di nadzarkannya itu wajib dilaksanakan.
Hal ini  di perkuat oleh atsar dari imam bukhari RA. Beliau berkata bahwa Umar RA. Telah bernadzar untuk beri’tikaf sehari semalam maka rasulallah SAW. Memerintahakan kepada Umar RA. untuk memenuhi nadzarnya.
والجمهور: على أن اعتكاف المتطوع، إذا قطع لغير عذر أنه يجب فيه القضاء لما ثبت أن رسول الله (ص) أراد أن يعتكف العشر الاواخر من رمضان، فلم يعتكف، فاعتكف عشرا من شوال.[52]
Karena wajibnya menurut mayoritas ulama fiqh, apabila I’tikaf nadzar ini ditinggalkan atau tidak dilaksanakan maka wajib di qadha hal ini bersandarkan kepada sebuah atsar yang menyatakan bahwa Rasulallah Saw. Berniat untuk I’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan tetapi tidak melaksanakan niatnya itu maka Rasulallah menggantinnya dengan beri’tikaf sepuluh hari terakhir bulan syawal.
2)      I’tikaf Sunnah
I’tikaf sunnah ialah I’tikaf yang dilaksanakn selain adanya nadzar seperti yang telah disebutkan di atas.
وفي كون السنة مؤكدة في بعض الأحيان دون بعض تفصيل في المذاهب مذكور تحت الخط
(الحنابلة قالوا: يكون سنة مؤكدة في شهر رمضان وآكده في العشر الأواخر منه.
الشافعية قالوا: إن الاعتكاف سنة مؤكدة في رمضان وغيره، وهو في العشر الأواخر منه آكد.
الحنفية قالوا: هو سنة كفاية مؤكدة في العشر الأواخر من رمضان، ومستحب في غيرها فالأقسام عندهم ثلاثة.
المالكية قالوا: هو مستحب في رمضان وغيره على المشهور، ويتأكد في رمضان مطلقاً وفي العشر الأواخر منه آكد، فأقسامه عندهم اثنان: واجب، وهو المنذور، ومستحب، وهو ما عداه). وأقل مدته لحظة زمانية بدون تحديد، وخالف المالكية، والشافعية، فانظر مذهبيهما تحت الخط (المالكية قالوا: أقله يوم وليلة على الراجح.
الشافعية قالوا: لا بد في مدته من لحظة تزيد عن زمن قول: "سبحان اللّه".
Artinya: adapun para fuqaha berbeda pendapat tentang tingkatan sunahnya :
a)    Jama’ah Imam Hanbali berpendapat bahwa sunnah I’tikaf menjadi sunnah muakkad pada bulan Ramadhan dan lebih muakkad lagi bila dlaksanakannya pada sepuluh hari akhir bulan ramadhan.
b)   Imam Syfi’i berpendapat bahwa I’tikaf hukumnya adalah sunnah muakkad baik dilakukan pada bulan ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya dan lebih muakkad lagi bila dilaksanakan pada sepuluh hari akhir bulan ramadhan.
c)    Imam Hanafi berpendapat I’tikaf hukumnya adalah sunnah baik pada bulan ramadhan maupun pada bulan bulan lainnya adapun I’tikaf yang dilaksanakan pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan maka hukumya adalah sunnah kifayah muakkadah.
d)   Adapun Imam Maliki berpendapat bahwa I’tikaf baik yng dilaksanakan pada bulan ramadhan maupun pada bulan-bulan linnya hukumnya sunnah dan pada sepuluh hari akhir bulan ramadhan maka hukumnya sunnah mukkadah.

d.      Lamanya waktu I’tikaf
وأما أقله، فإنهم اختلفوا فيه: وكذلك اختلفوا في الوقت الذي يدخل فيه المعتكف لاعتكافه، وفي الوقت الذي يخرج فيه منه، أما أقل زمان الاعتكاف، فعند الشافعي، وأبي حنيفة، وأكثر الفقهاء أنه لاحد له.
واختلف عن مالك في ذلك، فقيل ثلاثة أيام، وقيل: يوم، وليلة
وقال ابن القاسم عنه: أقله عشرة أيام.
وعند البغدادين من أصحابه أن العشرة استحباب، وأن أقله يوم، وليلة.[53]
Artinya: Minimal lamanya waktu I’tikaf para fuqaha berbeda pendapat menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama perpendapat waktu minimal untuk beri’tikaf tidak terbatas dalam arti I’tikaf dilaksanakan walaupun hanya sesaat. Adapun sebagian pengikut Imam Malik berpendapat minimal lamanya waktu yang digunakan untuk I’tikaf ialah tiga hari dan sebagiannya lagi berpendapat satu hari. Ibnu Qasim dalam hal ini berpendapat untuk minimal lamanya waktu beri’tikaf ialah sepuluh hari, tetapi para penduduk bagdad berpendapat dianjurkan untuk maksimal waktu I’tikaf ialah sepuluh hari dan minimalnya adalah sehari semalam. Adapun tentang maksimal lamanya waktu untuk beri’tikaf menurut mayoritas ulama tidak terbatas.

e.       Syarat-Syarat I’tikaf [54]
وأما شروطه: فمنها الإسلام، فلا يصح الاعتكاف من كافر، ومنها التمييز، فلا يصح من مجنون ونحوه؟ ولا من صبي غير مميز، أما الصبي المميز فيصح اعتكافه، ومنها وقوعه في المسجد، فلا يصح في بيت ونحوه، على أنه لا يصح في كل مسجد؛ بل لا بد أن تتوافر في المسجد الذي يصح فيه الاعتكاف شروط مفصلة في المذاهب، مذكورة تحت الخط ومنها النية فلا يصح الاعتكاف بدونها وقد عرفت انها من الشروط عند الحنفية, والحنابلةو وخالف المالكية, والشافعية, فانظر مذهبهم تحت الخط, ومنها الطهارة من الجنابة, والحيض , النفاس, عند الشافعية, والحنابلة, واما المالكية والحنفية فانظر مذهبهما تحت الخط[55]
Secara garis besar mayoritas fuqaha sepakat bahwa syarat-syarat I’tikaf ialah :
1)        Islam.
2)   Dapat membedakan yang halal dan yang haram (tamyiz) sekalipun dia seorang anak.
3)   Bertempat di masjid.
4)   Niat.
5)   Suci dari haid dan Nifas.
Adapun pada syarat yang ke-tiga yaitu bertempat di masjid para fuqaha berbeda pendapat dalam mengartikan dan memahami masjid yang dapat digunakan untuik beri’tikaf, maka perbedaan tersebut dapat kita lihat di bawah ini :
(المالكية: اشترطوا في المسجد أن يكون مباحاً لعموم الناس، وأن يكون المسجد الجامع لمن تجب عليه الجمعة، فلا يصح الاعتكاف في مسجد البيت ولو كان المعتكف امرأة، ولا يصح في الكعبة، ولا في مقام الولي.
الحنفية قالوا: يشترط في المسجد أن يكون مسجد جماعة، وهو ما له إمام ومؤذن سواء أقيمت فيه الصلوات الخمس أو لا.
هذا إذا كان المعتكف رجلاً، أما المرأة فتعتكف في مسجد بيتها الذي أعدته لصلاتها، ويكره تنزيهاً اعتكافها في مسجد الجماعة المذكور، ولا يصح لها أن تعتكف في غير موضع صلاتها المعتاد، سواء أعدت في بيتها مسجداً لها أو اتخذت مكاناً خاصاً بها للصلاة.
الشافعية قالوا: متى ظن المعتكف أن المسجد موقوف خالص المسجدية - أي ليس مشاعاً - صح الاعتكاف فيه للرجل والمرأة، ولو كان المسجد غير جامع، أو غير مباح للعموم.
الحنابلة قالوا: يصح الاعتكاف في كل مسجد للرجل والمرأة، ولم يشترط للمسجد شروط، إلا أنه إذا أراد أن يعتكف زمناً يتخلله فرض تجب فيه الجماعة، فلا يصح الاعتكاف حينئذ إلا في مسجد تقام فيه الجماعة ولو بالمعتكفين)،[56]
Adapun pada syarat yang ke-tiga yaitu bertempat di masjid para fuqaha berbeda pendapat dalam mengartikan dan memahami masjid yang dapat digunakan untuik beri’tikaf, maka perbedaan tersebut dapat kita lihat di bawah ini :
Menurut Imam Maliki : Yang dimaksud masjid disini ialah masjid yang yang terbuka untuk umum dan yang digunakan untuk shalat jum’at dalam arti bukan masjid yang dikhususkan untuk perorangan atau keluarga dan tidak digunakan untuk melaksanakan shalat jum’at.
Menurut Imam Hanafi : Yang dimaksud masjid disini masjid yang mempunyai muadzin dan imam yang tetap.
Menurut Imam Syafi’i : Yang dimaksud masjid disini adalah sesaui dengan sudut pandang orang yang beri’tikaf kepada sebuah masjid baik masjid itu masjid jami’ maupun bukan.
Menurut Imam Hambali : Masjid yang dapat digunakan untuk beri’tikaf adalah sebuah masjid tanpa syarat tertentu.

B.   Kegiatan Non ibadah
1.      Di masjid
Kegiatan selain ibadah lebih banyak daripada kegiatan yang berupa ibadah, kadang-kadang kegiatan tersebut dilakukan di masjid oleh sebagian orang, namun apakah kegiatan-kegiatan yang tidak berupa ibadah boleh dilakukan di masjid, ataukah ada larangan melakukannya di masjid, atauakah ada pemilahan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab Hasyiyata Qolyubi wa Umairoh.
وَلِكُلِّ أَحَدٍ دُخُولُ الْمَسَاجِدِ وَنَحْوِهَا كَمَنْ فِيهِ لِنَحْوِ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَنَوْمٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، مِمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِمَّا لَمْ يُضَيَّقْ وَلَمْ يُقَدَّرْ وَلَمْ يُطْلَبْ تَرْكُهَا فِيهَا كَمَا مَرَّ .[57]
Artinya: Tiap-tiap orang boleh masuk masjid dan sebagainya dengan tujuan untuk makan, minum, tidur dan lain sebagainya sesuai adat selagi tidak mengganggu kenyamanan masjid tersebut.
     Bahkan ngobrol di dalam masjid pun diperbolehkan sesuai keterangna dalm kitab majmu’ yaitu.
(فرع) يجوز التحدث بالحديث المباح في المسجد وبأمور الدنيا وغيرها من المباحات وان حصل فيه ضحك ونحوه ما دام مباحا لحديث جابر بن سمرة رضي الله عنه قال (كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يقوم من مصلاه الذى صلى فيه الصبح حتى تطلع الشمس فإذا طلعت قام قال وكانوا يتحدثون فيأخذون في أمر الجاهلية فيضحكون ويتبسم) رواه مسلم: (السادسة عشرة) لا بأس بانشاد الشعر في المسجد إذا كان مدحا للنبوة أو الاسلام أو كان حكمة أو في مكارم الاخلاق أو الزهد ونحو ذلك من أنواع الخير: فأما ما فيه شئ مذموم كهجو مسلم أو صفة الخمر أو ذكر النساء أو المرد أو مدح ظالم أو افتخار منهى عنه أو غير ذلك فحرام لحديث أنس السابق في المسألة التاسعة: فمما يحتج به للنوع الاول حديث سعيد بن المسيب قال مر عمر بن الخطاب في المسجد وحسان ينشد الشعر فلحظ إليه فقال انشد فيه وفيه من هو خير منك ثم التفت إلى أبي هريرة فقال أنشدك بالله أسمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول (أجب عنى اللهم أيده بروح القدس) قال نعم: رواه البخاري ومسلم ومما يحتج به للنوع الثاني حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده (ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن تناشد الاشعار في المسجد) حديث حسن[58]
Maksud dari penjelasan tersebut bahwa ngobrol di dalam masjid hukumnya boleh walaupun sampai ketawa-ketawa asalkan bukan ngomongin hal-hal yang diharamkan oleh syariat seperti ngerasanin dan lain sebagainya. Adapun ketawa-ketawa dalam masjid termasuk pada kurang etika (su’ul adab) dan hukumnya nakruh karena bisa membuat gelap dalam kubur.
     Inti dari penjelasan ini ialah melakukan kegiatan-kegiatan yang bukan ibadah di masjid ialah tergantung dari adanya perkara tersebut, apabila perkara tersebut berupa perkara haram maka haram pula dilakukan di masjid seperti, ngerasanin orang, minuman keras dan lain sebagainya, apabila perkara tersebut berupa sesuatu yang diperbolehkan oleh agama maka ada yang boleh dan ada yang tidak boleh, yang boleh seperti makan, minum, tidur dan lainnya, adapun yang tidak boleh seperti mencari barag hilang, berjualan dan lain sebagainya yang dilakukan di masjid karena masjid tidak dibangun untuk hal demikian.

2.      Di selain masjid
  Kegiatan-kegiatan yang berupa non ibadah selain dikerjakan di masjid juga seringkali dikerjakan di selain masjid seperti mosholla, langgar dan tempat ibadah lainnya, namun apakah melakukan kegiatan-kegiatan tersebut di selain masjid (mosholla) sama halnya dengan melakukannya di masjid.
Dalam hal ini telah dijelaskan:
وَنَقَل الزَّرْكَشِيُّ : عَنِ الْغَزَالِيِّ أَنَّهُ سُئِل عَنِ الْمُصَلَّى الَّذِي بُنِيَ لِصَلاَةِ الْعِيدِ خَارِجَ الْبَلَدِ فَقَال : لاَ يَثْبُتُ لَهُ حُكْمُ الْمَسْجِدِ فِي الاِعْتِكَافِ وَمُكْثِ الْجُنُبِ وَغَيْرِهِ مِنَ الأحْكَامِ ، لأِنَّ الْمَسْجِدَ هُوَ الَّذِي أُعِدَّ لِرَوَاتِبِ الصَّلاَةِ وَعُيِّنَ لَهَا حَتَّى لاَ يُنْتَفَعُ بِهِ فِي غَيْرِهَا ، وَمَوْضِعُ صَلاَةِ الْعِيدِ مُعَد لِلاِجْتِمَاعَاتِ وَلِنُزُول الْقَوَافِل وَلِرُكُوبِ الدَّوَابِّ وَلَعِبِ الصِّبْيَانِ ، وَلَمْ تَجْرِ عَادَةُ السَّلَفِ بِمَنْعِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فِيهِ ، وَلَوِ اعْتَقَدُوهُ مَسْجِدًا لَصَانُوهُ عَنْ هَذِهِ الأْسْبَابِ وَلَقُصِدَ لإِقَامَةِ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ ، وَصَلَوَاتُ الْعِيدِ تَطَوُّعٌ وَهُوَ لاَ يَكْثُرُ تَكَرُّرُهُ بَل يُبْنَى لِقَصْدِ الاِجْتِمَاعِ ، وَالصَّلاَةُ تَقَعُ فِيهِ بِالتَّبَعِ.[59]
Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari imam ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat ied di luar perkampungan. maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum-hukum yang lain karena masjid adalah tempat yang disiapkan untuk shalat secara rutin dan ditentukan untuk shalat hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. sedang tempat shalat ied diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak. dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. jikalau mereka menganggapnya masjid maka akan dijaga dari sebab-sebab tersebut dan ada niat untuk melakukan semua shalat disana. dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang-orang sedangkan shalat dilakukan disana sekedar sebagai fungsi ikutan
.
C.    Keutamaan melakukan ibadah
1.      Di masjid
Masjid adalah tempat ibadah yang tidak sama dengan tempat ibadah yang lain. Melakukan ibadah di masjid mempunyai keutamaan dari melakukan ibadah di selain masjid. Dalam hal ini telah dijelaskan dalam kitab Al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah sebagai berikut:
ولا فرق في إدراك فضل الجماعة بين أن تكون في المسجد أو في البيت، ولكنها في المسجد أفضل إلا للنساء.[60]
Artinya: dalam menperoleh keutamaan shalat berjamaah itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik shalat di rumah atau di masjid, akan tetapi shalat di masjid lebih utama kecuali bagi wanita.
Dalam kitab Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu dijelaskan:
الجماعة في المسجد لغير المرأة أو الخنثى أفضل منها في غير المسجد، كالبيت وجماعة المرأة (4) ، لخبر الصحيحين: «صلوا أيها الناس في بيوتكم، فإن أفضل صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة» أي فهي في المسجد أفضل؛ لأن المسجد مشتمل على الشرف والطهارة وإظهار الشعائر وكثرة الجماعة.[61]
Artinya: Shalat berjamaah di masjid bagi selain wanita dan banci itu lebih utama daripada selain masjid, seperti di rumah-rumah dan perkumpulan wanita. Hal tersebut berdasarkan hadits Imam Bukhori & Imam Muslim bahwa rasulullah bersabda: shalatlah kalian semua wahai manusia di rumah-rumah kalian semua, karena keutamaan shalat seseorang ialah dirumahnya kecuali shalat fardho maka yang utama dilakukan di masjid karena masjid tempat yang mulia dan bersih, juga jelas syiarnya dan banyak jamaahnya.

2.      Di selain masjid
Melakukan ibadah di selain masjid adalah antonim dari melakukan ibadah di masjid, namun apakah melakukan ibadah di selain masjid juga mempunyai keutamaan yang sama dengan masjid. Dalam hal ini telah sangat jelas bahwa pada dasarnya yang mempunyai keutamaan ialah hanya masjid saja sesuai keterangan:
ولا فرق في إدراك فضل الجماعة بين أن تكون في المسجد أو في البيت، ولكنها في المسجد أفضل إلا للنساء.[62]
Artinya: dalam menperoleh keutamaan shalat berjamaah itu tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita, baik shalat di rumah atau di masjid, akan tetapi shalat di masjid lebih utama kecuali bagi wanita.
      Namun dalam melakukan ibadah tersebut ada pengecualian pada wanita. Bagi seorang wanita melakukan ibadah di masjid dan di selain masjid ialah lebih utama di selain masjid, dan yang dimaksud selain masjid tersebut ialah dirumah-rumah mereka sendiri bukan tempat orang lain.
فأما النساء فَصَلاتهن في بيوتهن أفضل لهن؛لما رواه أبو داود، عن عبد الله بن مسعود، رضي الله عنه، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "صلاة المرأة في بيتها أفضل من صلاتها في حجرتها، وصلاتها في مخدعها أفضل من صلاتها في بيتها[63]
Artinya: adapun para wanita ialah shalat mereka di rumahnya lebih utama, berdasarkan hadits yang di ceritakan imam abu dawud dari abdullah bin mas’ud bahwa nabi SAW bersabda: shalat seorang wanita di kamar khusus lebih utama daripada shalat diruang tengah kamarnya, shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharga) lebih utama daripada shalat dikamarnya.
Dari ummu salamah r.a Nabi bersabda:
وقال الإمام أحمد : حدثنا يحيى بن غيلان حدثنا رشدين حدثني عمرو عن أبي السمح عن السائب مولى أم سلمة عن أم سلمة رضي الله عنها عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : [ خير مساجد النساء قعر بيوتهن ][64]
Maksud dari hadit ini ialah: Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.
     Adanya keutamaan pada wanita tersebut karena seorang wanita semakin shalat dikamar dalamnya maka akan semakin tidak trlihat dan jauh dari ikhtilath (campur baur dengan lawan jenis) dan semakin mendapat keutamaan.
Namun apabila seorang wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah di masjid selama memperhatikan aturan-aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang.
وفي لفظ عند مسلم ، عن ابن عمر قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « لا تمنعوا نساءكم المساجِد إذا استأذنَّكم إليها »[65]
Dalam satu lafadz menurut imam muslim, dari ibnu umar berkata bahwa ibnu umar mendengar Rasulullah SAW bersabda: janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke masjid apabila mereka telah minta idzin pada kalian semua.






[1]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah Al-Kuwaitiyah,  h. 201
[2]Dr. Muhammad Rawas Qal’aji, Mu’jamu Lughati Al-Fuqaha’, h. 428
[3]Muhammad Abduurra’uf, Faidhu Al-Qodir, Juz IV (Bairut: Daar Al-Kutub Al-Imiyah, t.th), h. 458
[4]Muhammad Abduurra’uf, Faidhu Al-Qodir, Juz IV, h. 577
[6]QS, At-Taubah (09): 18.
[7]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughu al-Marom, (Surabaya: Nurul Huda, t.th.), h. 49-50
[8]Hisamuddin, Fatawa Yas’alunak, juz-VII, (Maktaba Syamilah, t.th.), h. 88
[9]Keputusan muktamar NU  1926-1999 M, tentang mendirikan masjid di wilayah islam, (Jawa timur: LTN NU & LSP2Surabaya, 2005), h. 146
[10]Ahmad Zainuddin, Fathu al-Mu’in bi Syarhi Qurroti al-Ain, (Cet, 1; Bairut: Daar Ibnu Hazam, 2004), h. 402
[11]Dr. Musthofa Bugho & Dr. Musthofa al-Khin & Ali as-Syurbaji, al-Fiqhu al-Manhaji Ala Madzhabi as-Syafi’I, Juz 5, (Cet, IV; Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), h. 9
[12]Imam As-Syarbini, Mughni al-Muhtaj Ila ma’rifati Ma’ani Alfadzi al-Minhaj, Juz IV, (Cet,1; Al-Jazirah: Al-Quds,2012), h. 338-339
[13]Sayyid Bakri Syatha, I’anah at-Tholibin, Juz 3, (Surabaya: Al-hidayah, t.th.), h. 160
[14]Dr. Musthofa al-Bugha, Dr. Mushtofa al-Khin, Ali as-Syarbaji, Al-fiqhu al-Manhaji, Juz-V, h. 25
[15]Ibnu Taimiyah, Fatawa al-Kubro, Juz IV, (Cet,1; Bairut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 1987), h. 236-237
[16]As-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani Ala al-Tuhfah, juz VI, (Mesir: Mutofa Muhammad, t.th.),h.238
[17]As-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani , juz VI, h.238
[18]Ibnu hajar Al-Haitami, Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj,  jus 3, (Mesir: Mushtofa Muhammad, t.th.), h. 465
[19]Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu, Juz 8, (Cet,II; Damasyqus: Daar al-Fikr, 1985), h. 220
[20]Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Edisi ke-II; Yogyakarta: Pustaka Progreesif, 1984), h. 904
[21]Isma’il Utsman zain al-Yamani, Qurrotul Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain, (Sidogiri: Sidogiri, t.th.), h. 83
[22]Lihat Akhdi Martin Pratama,  "Masjid "Mobile", Masjid yang Bisa Berpindah-pindah", lhttps://megapolitan.kompas.com/read/2017/03/01/18064711/masjid.Mobile.masjid.yang.bisa.berpindah-pindah. Diakses 07-032018
[24]Lihat Ahmad Bachrain, CNN Indonesia Kamis, 26/07/2018 20:05 https://m.cnnindonesia.com/olahraga/20180726190349-183-317307/jepang-sediakan-masjid-berjalan-untuk-olimpiade-2020 Diakses 28-07-2018
[25]Ibnu hajar Al-Haitami, Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj,  jus 3, h. 465
[26]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah. Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, Juz 38, h. 29
[27]Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, (Jakarta Pusat: al-Ghuraba, 2006), h. 75
[28]Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, h. 76
[29]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pena, 2006), h. 459
[30]Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 309
[31]Abbas Arfan, Fiqih Ibadah Peraktis, (Malang: Uin-Maliki Press, 2011), h. 113
[32]Imam Bukhori, Shohih Bukhori, Jus 4, (bairut: Dar Al-Kutub Al Ilmiyh, t.th.), h. 24
[33]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 462
[34]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, h. 464
[35]Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, h. 904
[36]Umay M. dja’far Shiddieq, Syari’ah Ibadah, h. 75
[37]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, (Cet,II;  Bairut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2003), h. 350
34Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, (Cet,II;  Bairut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2003), h. 350-351
[39]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, (Cet,II;  Bairut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2003), h. 350-351
[40]Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, jilid 1, (jakarta Selatan: Pustaka Azzam, t.th.),h. 266-267
[41]Ahmad Yani Nasution, Ta’addud Al-Jum’at menurut Empat Mazhab, (Jurnal Mandiri: Ilmu Pengetahuan, Seni, dan Teknologi, Vol. 1, No. 1, Juni 2017: 23 – 39), h. 35-36
[42]Ahmad Yani Nasution, Ta’addud Al-Jum’at menurut Empat Mazhab, h. 34
[43]Ahmad Yani Nasution, Ta’addud Al-Jum’at menurut Empat Mazhab,h. 31
[44]Sayyid Abdurrahman, Bughiyah al-Mustarsyidin, (Surabaya: Daar al-Fikr, t.th), h. 72
[45]Isma’il Utsman zain al-Yamani, Qurrotul Ain, h. 83
[46]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah. Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, juz 33, h. 160-161
[47]Syekh Muhammad Bin Qosim, Fathu al-Qorib al-Mujib, (Surabaya: Salim bin Said Nabhan, t.th.), h.27
[48]QS, Al-Baqaroh (2): 125.
[49]QS, Al-Baqaroh (2): 187.
[50]Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulughu al-Marom, (Surabaya: Nurul Huda, t.th.), h. 140
[51]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, (Cet, II; Bairut: Daar al-Kutub al-Alamiyah, 2003), h.529
[52]Abu Walid Muhammad bin Ahmad, bidayatul mujtahid, jus 2, (al-Hidayah: Surabaya, t,th.), h. 211
[53]Abu Walid Muhammad bin Ahmad, bidayatul mujtahid, (al-Hidayah: Surabaya, t,th.), hal. 230
[54]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, h. 530
[55]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, h. 530
[56]Abd. Rohman al-Jaziri, al-Fiqhu Ala Madzahib al-Ar’baah, Juz 1, h.530
[57]Al-Qolyubi dan Umairoh, Hasyiyata Qolyubi wa Umairoh, Jus 4, (Surabaya: al-Haromain, t.th), h. 24
[58]Imam Nawawi ,Al-Majmu’ Syarhi Al-Muhaddzab Li an-Nawawi, Juz 3, (Bairut: Daar al-Fikr, t.th), h. 329
[59]Wuzaroh al-Auqof wa as-Syu’anu al-Islamiyah, Al-Mawsu’ah Al-fiqhiyah, juz 38, h. 31-32
[60]Muhammad bin Abdullah az-Zarkazi, I’lamu as-Saajid fii Ahkami al-Masajid, (Cet,IV; Kairo: Ghuzaroh al_Auqof,1996), h. 375-376
[61]Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu, Juz VIII, h. 152
[62] Muhammad bin Abdullah az-Zarkazi, I’lamu as-Saajid, h. 375-376
[63]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jus 6, (Solo: Insan Kamil, t.th), h. 67
[64]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jus 3, h. 390
[65]Muhammad amin,  Adwa’u al-Bayan fii Idahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Jus 6, (Jakarta: Pustaka Azam, t.th), h. 25