Sunday, 13 March 2022

MAKALAH Kajian Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing Yang Bekerja Di Indonesia


 

MAKALAH



Kajian Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing Yang Bekerja Di Indonesia

 

Dosen Pengampu:

Herman Felani, S.H., MHKI

 

 

Disusun Oleh :

Muhammad Tanzilul Furqon

2021115003

Kelas B

              

 

 

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MADURA

PAMEKASAN

2021


KATA PENGANTAR

 

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Serta tak lupa kita kirimkan Shalawat beserta Salam kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah ini dibuat guna memenuhuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk menjelaskan materi tentang “Kajian hukum terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia”.

Makalah ini disusun untuk dijadikan pembelajaran ilmu Perilaku Organisasi, dan rangkaian materi yang disajikan diharapkan dapat membantu para pembaca dapat mengerti sub “Kajian hukum terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia” ini. Kami juga berharap semoga makalah ini juga dapat menambah wawasan kami yang membuatnya.

Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terimakasih, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang telah membimbing kami, dan tidak lupa juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung dalam penyelesaian tugas ini.

            Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa serta materi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu kami menerima kritikan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah di masa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

 

 

Pamekasan, 01 November 2021

 

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................   i

DAFTAR ISI................................................................................................   ii

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.............................................................................   1

B.     Rumusan Masalah........................................................................   4

C.     Tujuan Penulisan..........................................................................   4

BAB II PEMBAHASAN

A.    Aspek Hukum Tenaga Kerja Asing Tanggungjawab Negara....... 5

B.     Penegakan Hukum Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia........   7

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan...................................................................................   18

B.     Saran.............................................................................................   19

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................   20

 

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

    Kondisi saat ini, Indonesia sebagai Negara berkembang masih membutuhkan investor asing. Hal tersebut juga beriringan dengan pengaruh globalisasi peradaban. Dalam hal ini, Indonesia merupakan bagian dari komunitas perdagangan dunia seperti World Trade Organization (WTO), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sehingga diharuskan turut memberikan peluang bagi tenaga kerja asing untuk masuk ke Indonesia.

Tenaga kerja merupakan salah satu pendukung dalam perekonomian
suatu negara yang memerlukan tenaga kerja yang berkualitas. Pekerja
merupakan elemen penting dalam penyelanggaraan perekonomian nasional
yang berorientasi pada kesejahteraan sosial sesuai dengan judul dalam Bab
XIV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yaitu
perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia telah terjadi bahkan sebelum proklamasi
kemerdekaan terselenggarakan yaitu pada masa penjajahan Belanda.

Untuk menghindari penggunaan Tenaga kerja asing yang berlebihan,
maka Pemerintah mengatur pekerjaan-pekerjaan yang dapat dijalankan oleh
tenaga kerja asing dengan pembatasan-pembatasannya juga penyediaan
kesempatan kerja itu bagi Warga Negara Indonesia sendiri. Kenyataan
menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun di dunia yang dapat
membebaskan diri dari keterlibatannya dengan Negara lain. Karena antara
Negara-negara tersebut terdapat adanya suatu keterkaitan dalam melaksanakan
kepentingan masing-masing.Berdasarkan hal tersebut timbullah suatu
hubungan yang tetap dan terus menerus antara Negara-negara yang
bersangkutan.

   Pemakaian tenaga kerja di Indonesia dijelaskan pada Pasal 28 D ayat
(2) bahwa, setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, pengaturan tersebut
sebagai landasan terhadap penggunaan tenaga kerja asing (selanjutnya disebut
TKA) di Indonesia terhadap kondisi pasar dalam negeri kebutuhan investasi,
kesepakatan internasional dan liberalisasi pasar bebas dengan berkaitan
dengan kepentingan nasional untuk memberikan perlindungan terhadap
kesempatan tenaga kerja Indonesia.

Ada beberapa hal yang menjadi alasan penggunaan TKA yakni adanya
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, kondisi pasar dalam
negeri, kebutuhan investasi, kesepakatan internasional dan liberalisasi kerja
pasar bebas. Kebijakan penggunaan TKA tidak boleh mengabaikan
perlindungan terhadap kesempatan kerja lokal sesuai dengan Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 dan Pasal 28 D Amandemen UUD 1945.

Aspek hukum ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) menyatakam bahwa ketenagakerjaan adalah hal-hal yang
berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum, selama hubungan kerja dan
sesudah melakukan pekerjaan. Hal ini harus sejalan dengan perkembangan ketenagakerjaan saat ini yang sudah sangat pesat, sehingga substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak hanya meliputi hubungan kerja semata, tapi sudah bergeser menjadi hubungan hukum selama bekerja juga dan setelah hubungan kerja selesai.

Pekerja/buruh dalam Pasal 1 ayat (3) adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Para pekerja yang
bekerja di Indonesia selain warga asli juga terdapat orang asing dari Negara
lain yang biasanya disebut dengan TKA. Sementara yang dimaksud orang
asing adalah tiap orang bukan warga Negara Republik Indonesia. Kemudian
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan tenaga kerja adalah “setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat” dan Pasal
1 angka (13) “Tenaga Kerja Asing adalah warga Negara Asing pemegang visa
degan maksud bekerja di wilayah Indonesia”.

Untuk menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku
industri dan perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia dituntut
untuk mampu mengambil langkah-langkah antisipatif serta mampu
menampung segala perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu
penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaaan harus terus
dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan secara
efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan. Dengan demikian
pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem mengemban misi dan
fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dapat
ditegakkan. Penerapan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan juga
dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi
pengusaha dan pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha dan
ketenangakerja dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan
kesejahteraan tenaga kerja dapat terjamin.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pembangunan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan yang tidak hanya mengenai kepentingan selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga mengenai kepentingan pengusaha, pemerintah dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan konprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktifitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja dan pembinaan hubungan industrial.

Beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan
yang ada saat ini belum memberikan gambaran secara jelas mengenai
pengawasan ketenagakerjaan terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di
wilayah Indonesia, di bidang ketenagakerjaan internasional, pembahasan
mengenai pengawasan ketenagakerjaan masih dalam sector perindustrian dan
perdagangan sebagaimana terdapat dalam konferensi ketenagakerjaan
Internasional ketiga puluh tanggal 11 Juli 1994 di Jenewa Swiss, telah
menyetujui ILO convention No. 81 concerning Labour Inspection in Industry
and Commerce
.

Diperlukannya suatu penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan
secara maksimal yang berfungsi untuk membatasi serta mengarahkan
pengusaha unutk bertindak sesuai dengan pertauran yang berlaku. Regulasi
yang ditetapkan perlu mendapat perhatian sehingga ketentuan yang
terkandung di dalamnya dapat ditegakkan secara menyeluruh. pemberlakuan
Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2003 tentang Ratifikasi Konvensi ILO

Nomor 81 mengenai pengawasan Ketenagakerjaan dalam industri dan
perdagangan telah memberikan sejumlah dampak positif dalam industri
peraturan pengawasan ketenagakerjaan. Namun demikian, hal tersebut tidak
menutup kemungkinan terdapat kekurangan dalam konvensi ILO Nomor 81
tersebut.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah :

1.      Bagaimana aspek hukum ketenagakerjaan asing ditinjau dari tanggungjawab negara?

2.      Bagaimana penegakan hukum tenaga kerja asing illegal di Indonesia dari aspek hukum

 

C.    Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil tujuan penulisan :

1.      Untuk mengetaui bagaimana aspek hukum ketenagakerjaan asing ditinjau dari tanggungjawab negara yang memiliki kaitan erat dengan Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945

2.      Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum tenaga kerja asing illegal di Indonesia dari aspek hukum

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Aspek Hukum Ketenagakerjaan Asing dari Tanggungjawab Negara

Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
” menekankan
pada jaminan dan perlindungan hak warga negara dalam hal pekerjaan dan
seluruh penunjang kehidupan yang layak dalam ukuran kemanusiaan. Pasal ini penting bagi keberlangsungan hidup setiap warga negara dan merupakan bagian
dari tanggungjawab negara terhadap warga negaranya. Frasa “berhak atas” dalam pasal tersebut ditelaah sebagai makna bahwa seseorang berhak memiliki haknya yang telah disediakan atau sudah ada sebelumnya. Ini berbeda dengan makna “berhak” atau “berhak memiliki” yang maksudnya seseorang dapat memiliki hak namun hak tersebut masih harus dicari untuk bisa mendapatkannya.  Sementara “berhak atas pekerjaan” dalam Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 ini menekankan bahwa pekerjaan berhak didapatkan warga negara tanpa perlu mencarinya dengan penghasilan karena telah disediakan oleh negara. Sementara frasa “penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” memiliki makna mengenai sarana pendukung untuk kehidupan yang layak bagi standar kehidupan manusia.

Hal tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban dan tanggungjawab dalam penyediaan lapangan kerja dengan pendapatan yang layak serta kehidupan yang berkemanusiaan. Konsep kepemilikan hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan berdasarkan UUD RI 1945 adalah sebuah mata rantai antara hak dengan kewajiban yang harus berfungsi menurut posisinya masing-masing. Adanya persamaan hak dalam mendapatkan pekerjaan yang layak artinya setiap warga negara harus mendapatkan keadilan yang sama dari pemerintah. Sementara itu, warga negara memiliki kewajiban juga untuk mematuhi hukum serta aturan yang berlaku. Walaupun di samping itu warga Negara juga diberikan kebebasan dalam menuntut haknya. Namun kebebasan tersebut bukan seperti kebebasan demokrasi barat. Akan tetapi, kebebasan dalam konteks WNI adalah kebebasan untuk bertanggungjawab. Begitu pula pemerintah yang memiliki hak dalam memberikan tindakan pada warga negaranya sepanjang mampu dipertanggungjawabkan.

Subjek “setiap orang” mempunyai arti luas yaitu negara wajib melindungi
TKI dan TKA. Namun, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 menggunakan
subjek ―tiap-tiap warga‖ yang mempunyai arti spesifik yaitu negara lebih
mementingkan dan melindungi TKI. Hal tersebut dalam rangka mengembangkan negara bukan merendahkan negara. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja pada hakikatnya adalah bagian dari pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi dalam konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945. Tiap warga negara, baik warga Indonesia maupun asing, haruslah memiliki kepastian hukum didalamnya yang memberikan rasa keadilan. Seperti dalam aspek keamanan dan aspek legalitas, kehadiran TKA tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman bagi TKI, sebaliknya justru seharusnya dijadikan sebagai pemicu bagi TKI untuk lebih professional dan meningkatkan diri agar dapat bersaing baik antara sesama TKI dan TKA. Oleh karenanya UU Nomor 13 Tahun 2003 membatasi jabatan-jabatan yang dapat diduduki oleh TKA. Dalam konteks pra hubungan kerja, pengawasan terhadap pengaturan mengenai hubungan kerja bagi tenaga kerja asing terkait adanya rincian atau pembatasan pekerjaan merupakan bentuk jaminan kepastian hukum dari negara.

Namun dalam masa tersebut, tanggungjawab negara adalah memenuhi hak-hak TKA di Indonesia, seperti:

1.      Memperoleh fasilitas sebagai seorang tenaga kerja;

2.      Memperoleh upah yang memenuhi standar upah lokal, nasional, regional,
ataupun internasional;

3.      Memiliki hak dalam memilih jalan hidupnya sendiri
termasuk dalam menentukan pasangan hidupnya baik sebagai suami atau istri;
dan

4.      Memiliki hak dalam menerima perlakuan yang layak sebagai seorang
masyarakat yang membutuhkan kehidupan bersama dengan orang lain yang
berbeda warga negara.

Konteks pra hubungan kerja ini artinya TKA seharusnya betul-betul sah
dalam kepemilikan status kedudukan yang sah dan memberi manfaat bagi
pembangunan nasional. Berangkat dari hal tersebut, dalam konteks pada masa
dalam hubungan kerja, tanggungjawab negara terhadap TKA seharusnya
mampu mengakomodasi hak atas pekerjaan dimana dalam menjalankan tugasnya sudah ditetapkan standar kehidupan yang layak bagi warga negara.
Selain itu, dalam penempatan TKA harus memiliki akses atas pekerjaan
dimana TKA bebas dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti kerja
paksa, praktik perbudakan dan praktik yang disamakan dengan perbudakan,
jeratan hutang, perdagangan orang, dan pernikahan paksa. Tanggungjawab
negara dalam hal ini akan terimplementasi dengan baik apabila pemenuhan hakhak dasar TKA yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
yakni kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja telah
terpenuhi.

B.  Penegakan Hukum Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia

Memasuki era liberalisasi pasar kerja bebas, mobilitas tenaga kerja antar Negara (free labor movement) cenderung meningkat ditandai dengan adanya request dan offer negara anggota WTO kepada Indonesia yang meminta Indonesia membuka kesempatan kerja Tenaga Kerja Asing (TKA) profesional agar dapat bekerja di Indonesia. Selanjutnya kemajuan teknologi di bidang komunikasi, transportasi, dan informasi melaju cepat sekaligus mendorong percepatan proses globalisasi. Era reformasi yang ditandai demokratisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini adalah pengganti dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaran pemerintahan daerah.

Dalam undang-undang ini sektor ketenagakerjaan dikategorikan dalam urusan pemerintahan daerah konkuren (Pasal 12), meskipun urusan-urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2): dikategorikan dalam urusan pemerintahan wajib. Penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang tenaga kerja dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan menjadi kewenangan dari pemerintah daerah kabupaten dan kota. Namun demikian kebijakan penggunaan TKA dalam rangka otonomi daerah tetap memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, kebijakan penggunaan TKA terkait erat dengan orang asing yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang; Keimigrasian, sehingga keberadaannya harus memperhatikan kebijakan saringan (selective policy) bahwa Pemerintah hanya memberikan izin kepada orang asing atau TKA untuk masuk tinggal dan bekerja di wilayah Indonesia. Kedua, keberadaan TKA terkait dengan hubungan internasional, sehingga pengaturannya tidak seluruhnya dapat dilaksanakan di daerah.

Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap. Sebelumnya, pemerintah melakukan pembinaan berupa instruksi, pemeriksaan sampai dengan penugasan pejabat pemerintah ke daerah untuk sosialisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib.

Kebijakan ketenagakerjaan termasuk kebijakan Penggunaan TKA dalam menyikapi perubahan-perubahan multi-dimensional mengarah pada prinsip selektivitas (selective policy) dan satu pintu (one gate policy), sehingga kepentingan perlindungan tenaga kerja dapat terlaksana tanpa mengabaikan prinsip globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang; Ketenagakerjaan Bab VIII; Penggunaan TKA, Pasal 42 Ayat (1) dan Pasal 43 Ayat (1) bahwa Kewenangan Ijin Mempekerjakan TKA (IMTA) dan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Saat ini telah diterbitkan beberapa peraturan pelaksanaan penggunaan TKA sebagai perintah dari Undang-Undang dengan tetap memperhatikan kepentingan globalisasi, otonomi daerah, dan demokratisasi yang mengarah pada peningkatan pelayanan penempatan (employment services) dengan menempatkan sebanyak mungkin angkatan Kerja pada kesempatan kerja yang terus diperluas dengan memanfaatkan penggunaan TKA yang lebih terarah dan terkendali dengan rambu-rambu yang rasional dan kondusif. Bahwa dalam pembangunan nasional masih memerlukan modal atau investasi, teknologi, dan tenaga kerja ahli asing dari luar negeri.

Terkait dengan penggunaanTKA, bahwa pasar kerja dalam negeri belum mampu sepenuhnya menyediakan tenaga kerja ahli/skill baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga kebijakan penggunaan TKA harus searah dengan perlindungan tenaga kerja Indonesia melalui penyediaan kesempatan kerja sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945 dan yang diamandemen yaitu Pasal 27 Ayat (2) bahwa; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan Pasal 28 D Ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Artinya, penggunaan TKA harus memberikan manfaat sebanyak mungkin untuk kepentingan tenaga kerja Indonesia melalui upaya perluasan usaha yang akan berdampak positif pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja serta terjadinya alih teknologi dari TKA ke tenaga kerja Indonesia. Sasaran pemberian IMTA adalah perlindungan tenaga kerja Indonesia melalui pengendalian penggunaan TKA sesuai dengan kebutuhan, sehingga dalam mempekerjakan TKA dipertimbangkan menyangkut 2 (dua) aspek yaitu:

a.       Aspek manfaat (prosperity), bahwa dalam mempekerjakan TKA harus membawa manfaat terhadap peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia melalui alih teknologi dan alih keahlian (Pasal 45 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003), mendorong investasi dan perluasan lapangan usaha, serta penyediaan kesempatankerjabagitenagakerjaIndonesia.

b.      Aspek keamanan (security), bahwa kebijakan penggunaan TKA terkait dengan kebijakan lalu lintas orang asing, sehingga masuknya orang asing atau TKA harus selektif (selective policy) melalui satu pintu (one gate policy) dimaksudkan agar dalam mempekerjakan TKA tetap memperhatikan kepentingan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk melindungi hak warga negara Indonesia dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, maka untuk pekerjaan-pekerjaan yang mampu diisi tenaga kerja Indonesia tidak diijinkan diduduki TKA, sehingga penggunaan TKA bersifat sementara selama tenaga kerja Indonesia belum mampu melaksanakan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu TKA yang akan dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu Pasal 42 Ayat (4) UU No 13 Tahun 2003. Dalam mempekerjakan TKA, pemberi kerja harus mentaati ketentuan mengenai jabatanjabatan yang terbuka bagi TKA dan standar kompetensi mengenai kualifikasi TKA meliputi pengetahuan, keahlian, dan keterampilan serta memahami budaya Indonesia termasuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia (Pasal 44 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003).

Bagi pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja untuk keperluan alih teknologi dan alih keahlian dari TKA ke tenaga kerja Indonesia Pasal 45 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003. Dengan demikian mestinya, setiap pengguna TKA mengangkat tenaga kerja pendamping sebagian dipersiapkan untuk menggantikan jabatan TKA apabila yang bersangkutan telah menyelesaikan tugasnya.

Agar kendali penggunaan TKA di Indonesia optimal, maka penerbitan ijin harus didasarkan alasan yang jelas dan realistis, sehingga pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang merupakan instrumen pengendalian terhadap penggunaan TKA yang memuat alasan penggunaan TKA, jabatan TKA, jangka waktu penggunaan, dan penunjukkan tenaga Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan (Pasal 43 dan 45 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003). Bagi pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib membayar kompensasi atas diisinya kesempatan kerja yang seharusnya diperuntukkan bagi tenaga kerja Indonesia. Kompensasi yang dibebankan kepada pengguna TKA merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus disetorkan ke kas negara dan bukan kas daerah (Pasal 47 UU No 13 Tahun 2003).

Selanjutnya Pemerintah akan mengatur peruntukkannya bagi pengembangan sumberdaya manusia secara nasional. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang; Ketenagakerjaan, bahwa kebijakan penggunaan TKA masa datang adalah mengendalikan penggunaan TKA agar tetap memperhatikan kepentingan nasional dan tetap memperhatikan prinsip pasar kerja bebas dengan memberlakukan standar kompetensi di semua sektor atau sub sektor sebagai alat untuk menfilter masuknya TKA serta persyaratan lain seperti kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Belakangan ini, muncul beberapa penyebab lain yang bersifat universal, yakni kecenderungan internasional atau regional dalam perdagangan sebagai akibat yang dikemas sebagai globalisasi, borderless, yang kemudian berakibat pada terjadinya perdagangan bebas, dan high peoples mobility.

Berlandaskan pada amanat Undang-undang tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa angka dan jenis peningkatan kualitas TKWNI merupakan fungsi dari penggunaan TKA. Melalui pelatihan atau pendampingan termaksud, selisih antara pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang dimiliki oleh TKA dengan yang dimiliki oleh TKWNI akan dapat diisi. Berdasarkan data Direktorat PPTKA, pada posisi akhir tahun 2015 terdapat 774.183 orang TKA yang bekerja dan menduduki jabatan tertentu di hampir seluruh sektor lapangan usaha di Indonesia.

        Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan, antara lain yaitu memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh TKA dan memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA paling kurang 5 (lima) tahun. Filosofi ketenagakerjaan Indonesia adalah melindungi tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Indonesia sehingga jika ada kebutuhan yang khusus dan sangat membutuhkan untuk memakai tenaga kerja asing, harus dibuat persyaratan yang ketat agar tenaga kerja Indonesia terhindar dari kompetisi yang tidak sehat. TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a.       memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh TKA;

b.      memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA paling kurang 5 (lima) tahun;

c.       membuatsurat pernyataanwajibmengalihkan keahliannya kepada TM pendamping yang dibuktikan dengan laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan;

d.      memiliki NPWP bagi TKA yang sudah bekerja lebih dari 6 (enam) bulan;

e.       memiliki bukti polis asuransi pada asuransi yang berbadan hukum Indonesia; dan

f.       kepesertaan Jaminan Sosial Nasional bagi TKA yang bekerja lebih dan 6 (enam) bulan.

Dengan catatan, persyaratan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tidak berlaku untuk jabatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, anggota Pengawas. Selain persyaratan di atas, perlu diingat bahwaTKAdapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. Serta TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu. Ini berarti hanya jabatan tertentu yang boleh diduduki oleh TKA.

Jika perusahaan atau pemberi kerja mempekerjakan TKA tanpa mempunyai izin, berarti perusahaan tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Atas pelanggaran tersebut, pemberi kerja dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta. Ini merupakan tindak pidana kejahatan yang di atur dalam UU dan Aparat penegak hukum harus menerapkan tindak pidana tersebut. Pelaporan yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya adalah pelaporan menggunakan jumlah TKA dan tenaga kerja lokal yang wajib dilakukan pemberi kerja. Sejak awal dari pengajuan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”), pejabat sebelum mengsahkan RPTKA tentunya memeriksa apakah TKA yang dipekerjakan memenuhi syarat atau tidak, baik syarat sponsor maupun administrasi. Jika tidak memenuhi syarat, maka RPTKA tidak disetujui. jika didapati perusahaan mempekerjakan TKA yang tidak memenuhisyarat, misalnya seorang TKAmemiliki kompetensi di Marketing, namun ia dipekerjakan di bagian Financial Administration, maka syarat TKA tidak terpenuhi dan IMTA perusahaan itu bisa dicabut.

Kemenakertrans mencatat akhir 2014 jumlah pengawas ketenagakerjaan 1.776 orang. Mereka bertugas mengawasi 265.209 perusahaan. Idealnya, dibutuhkan 4.452 petugas pengawas ketenagakerjaan sehingga masih ada kekurangan 2.676 orang pengawas. Dari 514 kabupaten/ kota di Indonesia, 155 kabupaten/kota belum punya pengawas ketenagakerjaan. Sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan terjadi perubahan signifikan dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan. Yakni penyelenggaraan yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi. Sehingga memberi kewenangan besar kepada pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola pengawasan ketenagakerjaan. Namun aspek pengawasan ketenagakerjaan dalam era otonomi daerah yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota, seringkali tidak berjalan optimal karena sering dipengaruhi oleh kepentingan praktis, menarik investasi dan kepentingan memperoleh pendapatan asli daerah. Anggaran yang terbatas juga jadi kendala pengawasan ketenagakerjaan. Kemudian, tingkat mutasi pegawai yang tinggi serta penempatan pegawai tidak sesuai kompetensinya. Ditambah lagi tidak tersedianya sarana dan prasarana pengawasan ketenagakerjaan.

Kondisi ini dapat memperlemah perlindungan terhadap masyarakat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan, sehingga dirasa perlu diperkuat kembali dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2014. TKA hanya boleh mengambil pekerjaan yang memerlukan keahlian (skilled jobs). Jika ada pekerja asing yang bekerja kasar, maka dari mana pun asalnya, sudah pasti itu kasus pelanggaran. Ada 2 jenis pelanggaran yang bisa dilakukan TKA. Pertama, pelanggaran imigrasi yaitu jika pekerja asing tidak punya izin tinggal atau izin tinggalnya kedaluwarsa (overstayed). Untuk kasus ini, pemeriksaan dan penegakan hukum dilakukan oleh pengawas imigrasi di bawah Kementerian Hukum & HAM. Jenis pelanggaran kedua adalah jika TKA bekerja di wilayah Indonesia tanpa mengantongi izin kerja. Atau punya izin kerja tapi penggunaannya tidak sesuai dengan izin yang dimiliki.

Misalnya, izin kerja Mr. X atas nama PT A, tapi kenyataannya yang bersangkutan bekerja untuk PT B. Pemeriksaan dan penegakan hukum untuk pelanggaran semacamini dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan. Sanksinya, deportasi bagi TKA yang melanggar dan blacklist bagi perusahaan pengguna TKAtersebut. Pertama, dapat dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat dan/ pendamping, dapat dikenakan hukuman penjara 1 – 12 bulan dan denda Rp 10 juta – Rp 40 juta. Jika pemberi kerja tidak melakukan pembayaran Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (DKPTKA) dan/atau memulangkan TKA setelah masa perjanjian kerja selesai, maka bisa dikenakan sanksi administrasi. Salah satunya pencabutan IMTA. Sesuai dengan rencana kerja dan/atau laporan/ pengaduan, maka pengawas ketenagakerjaan wajib:

a.       Melakukan pemeriksaan di perusahaan/ tempat kerja;

b.      Membuat penetapan tentang hak pekerja/ buruh yang belum diberikan atau dibayar oleh pengusaha;

c.       Memerintahkan pengusaha untuk melaksanakan peraturan perundangan dan membayar hak daripada pekerja/buruh melalui Nota Pemeriksaan; 

d.      Memeriksa pelaksanaan Nota Pemeriksaan, membuat dan menyampaikan Nota Pemeriksaan kedua kepada pengusaha dalam hal pengusaha belum melaksanakan Nota Pemeriksaan pertama yang telah diberikan;

e.       Dalam hal pengusaha tidak melaksanakan Nota Pemeriksaan kedua. Maka dapat diduga kuat berdasarkan bukti permulaan yang cukup pengusaha yang bersangkutan diduga kuat telah melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;

f.       Langkah selanjutnya yang harus dilakukan atau tembuskan ke Kementerian Ketenagakerjaan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan oleh Pengawas Ketenagakerjaan, adalah melakukan penyidikan terjadinya tindak Ketenagakerjaan dan K3. Laporan-laporan pidana di bidang ketenagakerjaan sesuai masyarakat terkait pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja asing pasti ditindaklanjuti dengan pengecekan, pemeriksaan dan penindakan hukum sesuai ketentuan yang ada. Jika sanksi untuk TKA yang melanggar adalah deportasi, sanksi dengan tata cara yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

g.      Setelah penyidikan selesai, maka PPNS memberkas perkara tersebut dan selanjutnya untuk perusahaan/pemberi kerja yang melanggar penggunaan TKA adalah hukuman penjara dan denda.

Sanksi untuk pelanggaran penggunaan TKA telah diatur dalam UU No.13 Tahun 2013. Pemberi kerja TKA yang tidak memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dapat dikenakan hukuman penjara 1- 5 tahun dan denda Rp 100 juta – Rp 400 juta. Jika jabatan TKA tidak sesuai kompetensi dan/atau pemberi kerja tidak menunjuk TKI menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri melalui Kepolisian setempat. Sanksi pidana terhadap pelanggaran keimigrasian sebagai hukum administratif yang diterapkan didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:

1)      Keimigrasian berkaitan erat dengan penegakan kedaulatan negara, ketentuanketentuan keimigrasian merupakan bagian dari instrumen penegakan Kedaulatan Negara.

2)      Keimigrasian berkaitan erat dengan Sistem Keamanan Negara, aspek keimigrasian terkait langsung dengan kegiatan intelijen, dukungan terhadap penegakan hukum secara umum misalnya pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan dan sebagainya.

3)      Keimigrasian berkaitan dengan aspek pencapaian kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan keimigrasian terhadap para wisatawan, investor asing dan lain-lain kegiatan yang mempunyai dampak langsung ataupun tidak langsung dalam rangka Pembangunan Nasional.

4)      Keimigrasian berkaitan dengan hubungan internasional baik dalam bentuk pelayanan maupun penegakan hukum ataupun dalam bentuk kerjasama secara bilateral maupun internasional.

5)      Keimigrasian berkaitan langsung dengan upaya-upaya memerangi kejahatan yang bersifat terorganisir dengan scope international, sesuai dengan konvensikonvensi PBB, termasuk dalam hal penanganan refugeesdan asylumseekers.

6)      Keimigrasian berkaitan dengan tuntutan universal, mengenai hak-hak sipil dan hakhak asasi manusia yang sudah berlaku secara universal. Sebagai kesimpulan bahwa implementasi penegakan hukum keimigrasian terhadap orang asing dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang ada baik berupa tindakan yang bersifat administratif dan tindakan melalui proses peradilan (projustitia) dengan tetap menerapkan kebijakan yang bersifat selektif (selective security).

Pengawasan terhadap tenaga kerja asing masih lemah karena jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan termasuk jumlah perusahaan yang muncul karena investasi, selain jumlah kantor Imigrasi yang terbatas untuk mengawasi gerak-gerik tenaga kerja asing ilegal contoh dari 514 Kab/kota, hanya ada 185 kantor cabang Imigrasi. berupa membayar biaya beban/denda, Deportasi, pencabutan Izin Usaha, Apabila syarat memperkerjakan tenaga kerja asing tersebut tidak dipenuhi maka lembaga perijinan tersebut dapat memulangkan tenaga kerja asing ke Negara asalnya, dan penangkalan maupun sanksi pidana dengan ancaman pidana penjara. Dengan demikian harus ada pola koordiansi yang baik antar pemangku kepentingan agar Penegakan hukum terhadap tenaga kerja asing illegal dapat dilaksanakan dengan baik di Indonesia yaitu :

a.       Koordinasi intens dalam wadah TIMPORA sesuai amanah UU No. 6 Tahun 2011 dengan leading sector Imigrasi mulai dari tingkat pusat dengan Kab/Kota.

b.      Penggunaan sistem pengawasan yang terintegrasi dan terpadu secara online.

c.       Kemenakertrans sebagai leading sector dalam upaya pengawasan terhadap TKA secara kontinyu melakukan upaya check dan recheck bersama-sama K/L terkait dalam melakukan pengawasan terhadap keberadaan TKA Ilegal.

 

 

 

           

 

 

 

BAB III

 

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

          Tanggungjawab negara terhadap TKA seharusnya mampu mengakomodasi hak atas pekerjaan dimana dalam menjalankan tugasnya sudah ditetapkan standar kehidupan yang layak bagi warga negara. Selain itu, dalam penempatan TKA harus memiliki akses atas pekerjaan dimana TKA bebas dari HAM seperti kerja paksa, praktik perbudakan dan praktik yang disamakan dengan perbudakan, jeratan hutang, perdagangan orang, dan pernikahan paksa. Tanggungjawab negara dalam hal ini sudah akan terimplementasi dengan baik apabila pemenuhan hak-hak dasar TKA yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yakni kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja telah terpenuhi. Upaya perlindungan hukum ketengakerjaan Indonesia ditinjau dari tanggungjawab negara ini dapat dilihat pada implementasi mengenai upaya mendidik dan melatih TKI guna meningkatkan standar kompetensi yang mampu bersaing dengan TKA. Dari segi peraturan yang mengatur tujuan penggunaan TKA secara selektif dengan memprioritaskan TKI. Sehingga perlu adanya upaya dari pemerintah untuk mengintegrasikan setiap lembaga dan badan yang berkaitan dalam pengendalian dan pengawasan TKI ke dalam satu peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai instrumen hukum tetap mengenai pengaturan TKA. Selain itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk memberikan tambahan kompetensi bagi TKI yaitu dengan melakukan program pelatihan kerja yang dilakukan secara reguler dan tidak diskriminatif, artinya tidak hanya di daerah-daerah tertentu.

 

 

 

B.     Saran

        Perlunya revisi peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing terkait TKA dan Mendorong materi muatan dalam RUU tentang Pengawasan Ketengakerjaan yang menjadi bagian penting dalam melindungan kepentingan Negara terkait mekanisme dan prosesdur pengawasan ketenagakerjaan. Mendorong peraturan Menteri terkit Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah terkait urusan pemerintan konkuren yang bersifat wajib. Sehingga penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang tenaga kerja tidak mengalami hambatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Riza Fauziah. (2020). Dinamika Pengaturan Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Jurnal Hukum dan Kemanusiaan, Vol.15, No.1

Meifilianti, Nanda Rizky. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Asing Dalam Hal Pemutusan Hubungan Kerja Sebelum Masa Kontrak Berakhir. Jurist-Diction, Vol.2, No.1

Ariani, Nevey Farida. 2016. Penegakan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.1