MAKALAH
Kajian Hukum Terhadap
Tenaga Kerja Asing Yang Bekerja Di Indonesia
Dosen Pengampu:
Herman Felani, S.H.,
MHKI
Disusun Oleh :
Muhammad Tanzilul
Furqon
2021115003
Kelas B
FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS MADURA
PAMEKASAN
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Serta tak lupa kita kirimkan Shalawat beserta Salam kepada Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat nanti. Makalah
ini dibuat guna memenuhuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk menjelaskan materi tentang “Kajian hukum terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di
Indonesia”.
Makalah ini disusun untuk dijadikan
pembelajaran ilmu Perilaku Organisasi, dan rangkaian materi yang disajikan
diharapkan dapat membantu para pembaca dapat mengerti sub “Kajian hukum terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di
Indonesia”
ini. Kami juga berharap semoga makalah ini juga dapat menambah wawasan kami
yang membuatnya.
Pada
kesempatan kali ini kami mengucapkan terimakasih, khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Hukum Ketenagakerjaan yang telah membimbing kami, dan tidak lupa juga mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang mendukung dalam penyelesaian tugas ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa serta materi
yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu kami menerima kritikan yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah di masa yang akan datang. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.
Pamekasan, 01 November 2021
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR
ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................ 4
C.
Tujuan Penulisan.......................................................................... 4
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Aspek
Hukum Tenaga Kerja Asing Tanggungjawab Negara.......
5
B. Penegakan
Hukum Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia........ 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................... 18
B.
Saran............................................................................................. 19
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 20
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kondisi
saat ini, Indonesia sebagai Negara berkembang masih membutuhkan investor asing.
Hal tersebut juga beriringan dengan pengaruh globalisasi peradaban. Dalam hal
ini, Indonesia merupakan bagian dari komunitas perdagangan dunia seperti World
Trade Organization (WTO), ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), sehingga diharuskan turut memberikan peluang
bagi tenaga kerja asing untuk masuk ke Indonesia.
Tenaga kerja
merupakan salah satu pendukung dalam perekonomian
suatu negara yang memerlukan tenaga kerja yang
berkualitas. Pekerja
merupakan elemen penting dalam penyelanggaraan perekonomian
nasional
yang berorientasi pada kesejahteraan sosial sesuai
dengan judul dalam Bab
XIV Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
yaitu
perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.
Permasalahan
ketenagakerjaan di Indonesia telah terjadi bahkan
sebelum proklamasi
kemerdekaan terselenggarakan yaitu pada masa penjajahan
Belanda.
Untuk
menghindari penggunaan Tenaga kerja asing yang berlebihan,
maka Pemerintah mengatur pekerjaan-pekerjaan yang dapat
dijalankan oleh
tenaga kerja asing dengan pembatasan-pembatasannya juga
penyediaan
kesempatan kerja itu bagi Warga Negara Indonesia
sendiri. Kenyataan
menunjukkan bahwa tidak ada satu negarapun di dunia
yang dapat
membebaskan diri dari keterlibatannya dengan Negara
lain. Karena antara
Negara-negara tersebut terdapat adanya suatu
keterkaitan dalam melaksanakan
kepentingan masing-masing.Berdasarkan hal tersebut
timbullah suatu
hubungan yang tetap dan terus menerus antara
Negara-negara yang
bersangkutan.
Pemakaian tenaga kerja di Indonesia dijelaskan
pada Pasal 28 D ayat
(2) bahwa, setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,
pengaturan tersebut
sebagai landasan terhadap penggunaan tenaga kerja asing
(selanjutnya disebut
TKA) di Indonesia terhadap kondisi pasar dalam negeri
kebutuhan investasi,
kesepakatan internasional dan liberalisasi pasar bebas
dengan berkaitan
dengan kepentingan nasional untuk memberikan
perlindungan terhadap
kesempatan tenaga kerja Indonesia.
Ada beberapa
hal yang menjadi alasan penggunaan TKA yakni adanya
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia,
kondisi pasar dalam
negeri, kebutuhan investasi, kesepakatan internasional
dan liberalisasi kerja
pasar bebas. Kebijakan penggunaan TKA tidak boleh mengabaikan
perlindungan terhadap kesempatan kerja lokal sesuai
dengan Pasal 27 ayat (2)
UUD 1945 dan Pasal 28 D Amandemen UUD 1945.
Aspek hukum
ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
(selanjutnya disebut UU
Ketenagakerjaan) menyatakam bahwa ketenagakerjaan
adalah hal-hal yang
berkaitan dengan tenaga kerja baik sebelum, selama
hubungan kerja dan
sesudah melakukan pekerjaan. Hal ini harus sejalan dengan perkembangan ketenagakerjaan
saat ini yang sudah sangat pesat, sehingga
substansi kajian hukum ketenagakerjaan tidak
hanya meliputi hubungan kerja semata, tapi sudah bergeser menjadi hubungan hukum selama bekerja juga dan setelah hubungan kerja
selesai.
Pekerja/buruh
dalam Pasal 1 ayat (3) adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Para pekerja yang
bekerja di Indonesia selain warga asli juga terdapat
orang asing dari Negara
lain yang biasanya disebut dengan TKA. Sementara yang
dimaksud orang
asing adalah tiap orang bukan warga Negara Republik
Indonesia. Kemudian
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan tenaga kerja
adalah “setiap orang
yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang
dan/atau jasa
baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat” dan Pasal
1 angka (13) “Tenaga Kerja Asing adalah warga Negara
Asing pemegang visa
degan maksud bekerja di wilayah Indonesia”.
Untuk
menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan para pelaku
industri dan perdagangan, pengawasan ketenagakerjaan di
Indonesia dituntut
untuk mampu mengambil langkah-langkah antisipatif serta
mampu
menampung segala perkembangan yang terjadi. Oleh karena
itu
penyempurnaan terhadap sistem pengawasan ketenagakerjaaan
harus terus
dilakukan agar peraturan perundang-undangan dapat
dilaksanakan secara
efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan.
Dengan demikian
pengawasan ketenagakerjaan sebagai suatu sistem
mengemban misi dan
fungsi agar peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan dapat
ditegakkan. Penerapan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan juga
dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan
kewajiban bagi
pengusaha dan pekerja/buruh sehingga kelangsungan usaha
dan
ketenangakerja dalam rangka meningkatkan produktivitas
kerja dan
kesejahteraan tenaga kerja dapat terjamin.
Pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga
terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi
tenaga kerja dan
pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat
mewujudkan kondisi
yang kondusif bagi pembangunan dunia usaha. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan yang tidak hanya mengenai kepentingan
selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi
juga mengenai kepentingan pengusaha, pemerintah dan
masyarakat. Untuk itu diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan konprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya
manusia, peningkatan produktifitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya
perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga
kerja dan pembinaan hubungan industrial.
Beberapa
peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan
yang ada saat ini belum memberikan gambaran secara
jelas mengenai
pengawasan ketenagakerjaan terhadap tenaga kerja asing
yang bekerja di
wilayah Indonesia, di bidang ketenagakerjaan
internasional, pembahasan
mengenai pengawasan ketenagakerjaan masih dalam sector
perindustrian dan
perdagangan sebagaimana terdapat dalam konferensi
ketenagakerjaan
Internasional ketiga puluh tanggal 11 Juli 1994 di
Jenewa Swiss, telah
menyetujui ILO convention
No. 81 concerning
Labour Inspection in Industry
and Commerce.
Diperlukannya
suatu penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan
secara maksimal yang berfungsi untuk membatasi serta mengarahkan
pengusaha unutk bertindak sesuai dengan pertauran yang
berlaku. Regulasi
yang ditetapkan perlu mendapat perhatian sehingga
ketentuan yang
terkandung di dalamnya dapat ditegakkan secara
menyeluruh. pemberlakuan
Undang-undang Nomor. 21 Tahun 2003 tentang Ratifikasi
Konvensi ILO
Nomor 81 mengenai pengawasan Ketenagakerjaan dalam
industri dan
perdagangan telah memberikan sejumlah dampak positif
dalam industri
peraturan pengawasan ketenagakerjaan. Namun demikian,
hal tersebut tidak
menutup kemungkinan terdapat kekurangan dalam konvensi
ILO Nomor 81
tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
dapat diambil rumusan masalah :
1.
Bagaimana
aspek hukum ketenagakerjaan asing ditinjau dari tanggungjawab negara?
2.
Bagaimana penegakan hukum tenaga kerja asing illegal di Indonesia
dari aspek hukum
C.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang tersebut
dapat diambil tujuan penulisan :
1.
Untuk mengetaui bagaimana
aspek hukum ketenagakerjaan asing ditinjau dari
tanggungjawab negara yang memiliki kaitan erat dengan Pasal 27 ayat (2) UUD RI
1945
2.
Untuk mengetahui
bagaimana penegakan hukum tenaga kerja asing illegal
di Indonesia dari aspek hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Hukum Ketenagakerjaan Asing dari
Tanggungjawab Negara
Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga
negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
menekankan
pada jaminan dan perlindungan hak warga negara dalam hal pekerjaan dan
seluruh penunjang kehidupan yang layak dalam ukuran kemanusiaan. Pasal ini
penting bagi keberlangsungan hidup setiap warga negara dan merupakan bagian
dari tanggungjawab negara terhadap warga negaranya. Frasa “berhak atas”
dalam pasal tersebut ditelaah sebagai makna bahwa seseorang berhak memiliki
haknya yang telah disediakan atau sudah ada sebelumnya. Ini berbeda dengan
makna “berhak” atau “berhak memiliki” yang maksudnya seseorang
dapat memiliki hak namun hak tersebut masih harus dicari untuk bisa
mendapatkannya. Sementara “berhak
atas pekerjaan” dalam Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 ini menekankan bahwa
pekerjaan berhak didapatkan warga negara tanpa perlu mencarinya dengan
penghasilan karena telah disediakan oleh negara. Sementara frasa “penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan” memiliki makna mengenai sarana pendukung untuk
kehidupan yang layak bagi standar kehidupan manusia.
Hal tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki kewajiban dan
tanggungjawab dalam penyediaan lapangan kerja dengan pendapatan yang layak
serta kehidupan yang berkemanusiaan. Konsep kepemilikan hak yang sama untuk
memperoleh pekerjaan berdasarkan UUD RI 1945 adalah sebuah mata rantai antara
hak dengan kewajiban yang harus berfungsi menurut posisinya masing-masing.
Adanya persamaan hak dalam mendapatkan pekerjaan yang layak artinya setiap
warga negara harus mendapatkan keadilan yang sama dari pemerintah. Sementara
itu, warga negara memiliki kewajiban juga untuk mematuhi hukum serta aturan
yang berlaku. Walaupun di samping itu warga Negara juga diberikan kebebasan
dalam menuntut haknya. Namun kebebasan tersebut bukan seperti kebebasan
demokrasi barat. Akan tetapi, kebebasan dalam konteks WNI adalah kebebasan
untuk bertanggungjawab. Begitu pula pemerintah yang memiliki hak dalam
memberikan tindakan pada warga negaranya sepanjang mampu dipertanggungjawabkan.
Subjek “setiap orang” mempunyai arti luas yaitu negara
wajib melindungi
TKI dan TKA. Namun, dalam Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945 menggunakan
subjek ―tiap-tiap warga‖ yang mempunyai arti spesifik yaitu negara lebih
mementingkan dan melindungi TKI. Hal tersebut dalam rangka mengembangkan negara
bukan merendahkan negara. Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja pada
hakikatnya adalah bagian dari pemenuhan hak dasar yang melekat dan dilindungi
dalam konstitusi sebagaimana diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUD RI 1945. Tiap
warga negara, baik warga Indonesia maupun asing, haruslah memiliki kepastian
hukum didalamnya yang memberikan rasa keadilan. Seperti dalam aspek keamanan
dan aspek legalitas, kehadiran TKA tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman
bagi TKI, sebaliknya justru seharusnya dijadikan sebagai pemicu bagi TKI untuk
lebih professional dan meningkatkan diri agar dapat bersaing baik antara sesama
TKI dan TKA. Oleh karenanya UU Nomor 13 Tahun 2003 membatasi jabatan-jabatan
yang dapat diduduki oleh TKA. Dalam konteks pra hubungan kerja, pengawasan
terhadap pengaturan mengenai hubungan kerja bagi tenaga kerja asing terkait
adanya rincian atau pembatasan pekerjaan merupakan bentuk jaminan kepastian
hukum dari negara.
Namun dalam masa tersebut, tanggungjawab negara adalah memenuhi
hak-hak TKA di Indonesia, seperti:
1.
Memperoleh
fasilitas sebagai seorang tenaga kerja;
2.
Memperoleh
upah yang memenuhi standar upah lokal, nasional, regional,
ataupun internasional;
3.
Memiliki
hak dalam memilih jalan hidupnya sendiri
termasuk dalam menentukan pasangan hidupnya baik sebagai suami atau istri;
dan
4.
Memiliki
hak dalam menerima perlakuan yang layak sebagai seorang
masyarakat yang membutuhkan kehidupan bersama dengan orang lain yang
berbeda warga negara.
Konteks pra hubungan kerja ini artinya TKA seharusnya betul-betul
sah
dalam kepemilikan status kedudukan yang sah dan memberi manfaat bagi
pembangunan nasional. Berangkat dari hal tersebut, dalam konteks pada masa
dalam hubungan kerja, tanggungjawab negara terhadap TKA seharusnya
mampu mengakomodasi hak atas pekerjaan dimana dalam menjalankan tugasnya sudah
ditetapkan standar kehidupan yang layak bagi warga negara.
Selain itu, dalam penempatan TKA harus memiliki akses atas pekerjaan
dimana TKA bebas dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti kerja
paksa, praktik perbudakan dan praktik yang disamakan dengan perbudakan,
jeratan hutang, perdagangan orang, dan pernikahan paksa. Tanggungjawab
negara dalam hal ini akan terimplementasi dengan baik apabila pemenuhan hakhak
dasar TKA yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,
yakni kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja telah
terpenuhi.
B. Penegakan Hukum
Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia
Memasuki
era liberalisasi pasar kerja bebas, mobilitas tenaga kerja antar Negara (free
labor movement) cenderung meningkat ditandai dengan adanya request dan offer
negara anggota WTO kepada Indonesia yang meminta Indonesia membuka kesempatan
kerja Tenaga Kerja Asing (TKA) profesional agar dapat bekerja di Indonesia.
Selanjutnya kemajuan teknologi di bidang komunikasi, transportasi, dan
informasi melaju cepat sekaligus mendorong percepatan proses globalisasi. Era
reformasi yang ditandai demokratisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam UndangUndang No. 32
Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah. Undang-undang ini adalah pengganti dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan
penyelenggaran pemerintahan daerah.
Dalam
undang-undang ini sektor ketenagakerjaan dikategorikan dalam urusan
pemerintahan daerah konkuren (Pasal 12), meskipun urusan-urusan Pemerintahan
Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 Ayat (2): dikategorikan dalam urusan pemerintahan wajib.
Penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang tenaga kerja dibagi antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dengan menjadi kewenangan dari pemerintah
daerah kabupaten dan kota. Namun demikian kebijakan penggunaan TKA dalam rangka
otonomi daerah tetap memperhatikan dua hal yaitu: Pertama, kebijakan penggunaan
TKA terkait erat dengan orang asing yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2011 tentang; Keimigrasian, sehingga keberadaannya harus memperhatikan
kebijakan saringan (selective policy) bahwa Pemerintah hanya memberikan izin
kepada orang asing atau TKA untuk masuk tinggal dan bekerja di wilayah
Indonesia. Kedua, keberadaan TKA terkait dengan hubungan internasional,
sehingga pengaturannya tidak seluruhnya dapat dilaksanakan di daerah.
Pasal
8 Ayat (1) menyebutkan bahwa dalam penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada
standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara
bertahap. Sebelumnya, pemerintah melakukan pembinaan berupa instruksi,
pemeriksaan sampai dengan penugasan pejabat pemerintah ke daerah untuk
sosialisasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib.
Kebijakan
ketenagakerjaan termasuk kebijakan Penggunaan TKA dalam menyikapi
perubahan-perubahan multi-dimensional mengarah pada prinsip selektivitas
(selective policy) dan satu pintu (one gate policy), sehingga kepentingan
perlindungan tenaga kerja dapat terlaksana tanpa mengabaikan prinsip
globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang; Ketenagakerjaan Bab VIII; Penggunaan TKA, Pasal 42 Ayat (1) dan Pasal
43 Ayat (1) bahwa Kewenangan Ijin Mempekerjakan TKA (IMTA) dan pengesahan
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) merupakan kewenangan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Saat
ini telah diterbitkan beberapa peraturan pelaksanaan penggunaan TKA sebagai
perintah dari Undang-Undang dengan tetap memperhatikan kepentingan globalisasi,
otonomi daerah, dan demokratisasi yang mengarah pada peningkatan pelayanan
penempatan (employment services) dengan menempatkan sebanyak mungkin angkatan
Kerja pada kesempatan kerja yang terus diperluas dengan memanfaatkan penggunaan
TKA yang lebih terarah dan terkendali dengan rambu-rambu yang rasional dan
kondusif. Bahwa dalam pembangunan nasional masih memerlukan modal atau
investasi, teknologi, dan tenaga kerja ahli asing dari luar negeri.
Terkait
dengan penggunaanTKA, bahwa pasar kerja dalam negeri belum mampu sepenuhnya
menyediakan tenaga kerja ahli/skill baik secara kuantitas maupun kualitas,
sehingga kebijakan penggunaan TKA harus searah dengan perlindungan tenaga kerja
Indonesia melalui penyediaan kesempatan kerja sesuai amanat Undang-Undang Dasar
1945 dan yang diamandemen yaitu Pasal 27 Ayat (2) bahwa; tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan Pasal 28
D Ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Artinya, penggunaan TKA
harus memberikan manfaat sebanyak mungkin untuk kepentingan tenaga kerja
Indonesia melalui upaya perluasan usaha yang akan berdampak positif pada
penciptaan dan perluasan kesempatan kerja serta terjadinya alih teknologi dari
TKA ke tenaga kerja Indonesia. Sasaran pemberian IMTA adalah perlindungan
tenaga kerja Indonesia melalui pengendalian penggunaan TKA sesuai dengan
kebutuhan, sehingga dalam mempekerjakan TKA dipertimbangkan menyangkut 2 (dua)
aspek yaitu:
a.
Aspek manfaat
(prosperity), bahwa dalam mempekerjakan TKA harus membawa manfaat terhadap
peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia melalui alih teknologi dan alih
keahlian (Pasal 45 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003), mendorong investasi dan
perluasan lapangan usaha, serta penyediaan
kesempatankerjabagitenagakerjaIndonesia.
b.
Aspek keamanan
(security), bahwa kebijakan penggunaan TKA terkait dengan kebijakan lalu lintas
orang asing, sehingga masuknya orang asing atau TKA harus selektif (selective
policy) melalui satu pintu (one gate policy) dimaksudkan agar dalam
mempekerjakan TKA tetap memperhatikan kepentingan keamanan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Untuk melindungi hak warga negara
Indonesia dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, maka untuk pekerjaan-pekerjaan
yang mampu diisi tenaga kerja Indonesia tidak diijinkan diduduki TKA, sehingga
penggunaan TKA bersifat sementara selama tenaga kerja Indonesia belum mampu
melaksanakan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu TKA yang akan dipekerjakan di
Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu
Pasal 42 Ayat (4) UU No 13 Tahun 2003. Dalam mempekerjakan TKA, pemberi kerja
harus mentaati ketentuan mengenai jabatanjabatan yang terbuka bagi TKA dan
standar kompetensi mengenai kualifikasi TKA meliputi pengetahuan, keahlian, dan
keterampilan serta memahami budaya Indonesia termasuk mampu berkomunikasi dalam
bahasa Indonesia (Pasal 44 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003).
Bagi pemberi kerja yang mempekerjakan
TKA wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping TKA dan
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja untuk keperluan alih teknologi dan
alih keahlian dari TKA ke tenaga kerja Indonesia Pasal 45 ayat (1) UU No 13
Tahun 2003. Dengan demikian mestinya, setiap pengguna TKA mengangkat tenaga
kerja pendamping sebagian dipersiapkan untuk menggantikan jabatan TKA apabila
yang bersangkutan telah menyelesaikan tugasnya.
Agar kendali penggunaan TKA di Indonesia
optimal, maka penerbitan ijin harus didasarkan alasan yang jelas dan realistis,
sehingga pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang merupakan instrumen pengendalian
terhadap penggunaan TKA yang memuat alasan penggunaan TKA, jabatan TKA, jangka
waktu penggunaan, dan penunjukkan tenaga Indonesia sebagai pendamping TKA yang
dipekerjakan (Pasal 43 dan 45 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2003). Bagi pemberi kerja
yang mempekerjakan TKA wajib membayar kompensasi atas diisinya kesempatan kerja
yang seharusnya diperuntukkan bagi tenaga kerja Indonesia. Kompensasi yang
dibebankan kepada pengguna TKA merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
yang harus disetorkan ke kas negara dan bukan kas daerah (Pasal 47 UU No 13
Tahun 2003).
Selanjutnya Pemerintah akan mengatur
peruntukkannya bagi pengembangan sumberdaya manusia secara nasional.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang; Ketenagakerjaan, bahwa
kebijakan penggunaan TKA masa datang adalah mengendalikan penggunaan TKA agar
tetap memperhatikan kepentingan nasional dan tetap memperhatikan prinsip pasar
kerja bebas dengan memberlakukan standar kompetensi di semua sektor atau sub
sektor sebagai alat untuk menfilter masuknya TKA serta persyaratan lain seperti
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Belakangan ini, muncul beberapa
penyebab lain yang bersifat universal, yakni kecenderungan internasional atau
regional dalam perdagangan sebagai akibat yang dikemas sebagai globalisasi,
borderless, yang kemudian berakibat pada terjadinya perdagangan bebas, dan high
peoples mobility.
Berlandaskan pada amanat Undang-undang
tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa angka dan jenis peningkatan
kualitas TKWNI merupakan fungsi dari penggunaan TKA. Melalui pelatihan atau
pendampingan termaksud, selisih antara pengetahuan, keterampilan dan etos kerja
yang dimiliki oleh TKA dengan yang dimiliki oleh TKWNI akan dapat diisi.
Berdasarkan data Direktorat PPTKA, pada posisi akhir tahun 2015 terdapat
774.183 orang TKA yang bekerja dan menduduki jabatan tertentu di hampir seluruh
sektor lapangan usaha di Indonesia.
Tenaga
Kerja Asing yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan,
antara lain yaitu memiliki pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang
akan diduduki oleh TKA dan memiliki sertifikat kompetensi atau memiliki
pengalaman kerja sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA paling kurang 5
(lima) tahun. Filosofi ketenagakerjaan Indonesia adalah melindungi tenaga kerja
berkewarganegaraan Indonesia yang bekerja di Indonesia sehingga jika ada
kebutuhan yang khusus dan sangat membutuhkan untuk memakai tenaga kerja asing,
harus dibuat persyaratan yang ketat agar tenaga kerja Indonesia terhindar dari
kompetisi yang tidak sehat. TKA yang dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
memiliki
pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh TKA;
b.
memiliki
sertifikat kompetensi atau memiliki pengalaman kerja sesuai dengan jabatan yang
akan diduduki TKA paling kurang 5 (lima) tahun;
c.
membuatsurat
pernyataanwajibmengalihkan keahliannya kepada TM pendamping yang dibuktikan
dengan laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan;
d.
memiliki NPWP
bagi TKA yang sudah bekerja lebih dari 6 (enam) bulan;
e.
memiliki bukti
polis asuransi pada asuransi yang berbadan hukum Indonesia; dan
f.
kepesertaan
Jaminan Sosial Nasional bagi TKA yang bekerja lebih dan 6 (enam) bulan.
Dengan catatan, persyaratan pada huruf
a, huruf b, dan huruf c tidak berlaku untuk jabatan anggota Direksi, anggota
Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, anggota Pengawas.
Selain persyaratan di atas, perlu diingat bahwaTKAdapat dipekerjakan di
Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
Serta TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan tertentu. Ini berarti hanya jabatan tertentu yang boleh
diduduki oleh TKA.
Jika perusahaan atau pemberi kerja
mempekerjakan TKA tanpa mempunyai izin, berarti perusahaan tersebut telah
melanggar ketentuan Pasal 42 UU Ketenagakerjaan. Atas pelanggaran tersebut,
pemberi kerja dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp 100
juta dan paling banyak Rp 400 juta. Ini merupakan tindak pidana kejahatan yang
di atur dalam UU dan Aparat penegak hukum harus menerapkan tindak pidana
tersebut. Pelaporan yang dimaksud dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan
pelaksananya adalah pelaporan menggunakan jumlah TKA dan tenaga kerja lokal
yang wajib dilakukan pemberi kerja. Sejak awal dari pengajuan Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”), pejabat sebelum mengsahkan RPTKA
tentunya memeriksa apakah TKA yang dipekerjakan memenuhi syarat atau tidak,
baik syarat sponsor maupun administrasi. Jika tidak memenuhi syarat, maka RPTKA
tidak disetujui. jika didapati perusahaan mempekerjakan TKA yang tidak
memenuhisyarat, misalnya seorang TKAmemiliki kompetensi di Marketing, namun ia
dipekerjakan di bagian Financial Administration, maka syarat TKA tidak
terpenuhi dan IMTA perusahaan itu bisa dicabut.
Kemenakertrans mencatat akhir 2014
jumlah pengawas ketenagakerjaan 1.776 orang. Mereka bertugas mengawasi 265.209
perusahaan. Idealnya, dibutuhkan 4.452 petugas pengawas ketenagakerjaan sehingga
masih ada kekurangan 2.676 orang pengawas. Dari 514 kabupaten/ kota di
Indonesia, 155 kabupaten/kota belum punya pengawas ketenagakerjaan. Sejak UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diberlakukan terjadi perubahan
signifikan dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan. Yakni penyelenggaraan
yang tadinya sentralisasi menjadi desentralisasi. Sehingga memberi kewenangan
besar kepada pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengelola pengawasan
ketenagakerjaan. Namun aspek pengawasan ketenagakerjaan dalam era otonomi
daerah yang dilaksanakan oleh kabupaten/kota, seringkali tidak berjalan optimal
karena sering dipengaruhi oleh kepentingan praktis, menarik investasi dan
kepentingan memperoleh pendapatan asli daerah. Anggaran yang terbatas juga jadi
kendala pengawasan ketenagakerjaan. Kemudian, tingkat mutasi pegawai yang
tinggi serta penempatan pegawai tidak sesuai kompetensinya. Ditambah lagi tidak
tersedianya sarana dan prasarana pengawasan ketenagakerjaan.
Kondisi ini dapat memperlemah
perlindungan terhadap masyarakat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan,
sehingga dirasa perlu diperkuat kembali dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2014.
TKA hanya boleh mengambil pekerjaan yang memerlukan keahlian (skilled jobs).
Jika ada pekerja asing yang bekerja kasar, maka dari mana pun asalnya, sudah
pasti itu kasus pelanggaran. Ada 2 jenis pelanggaran yang bisa dilakukan TKA.
Pertama, pelanggaran imigrasi yaitu jika pekerja asing tidak punya izin tinggal
atau izin tinggalnya kedaluwarsa (overstayed). Untuk kasus ini, pemeriksaan dan
penegakan hukum dilakukan oleh pengawas imigrasi di bawah Kementerian Hukum
& HAM. Jenis pelanggaran kedua adalah jika TKA bekerja di wilayah Indonesia
tanpa mengantongi izin kerja. Atau punya izin kerja tapi penggunaannya tidak sesuai
dengan izin yang dimiliki.
Misalnya, izin kerja Mr. X atas nama PT
A, tapi kenyataannya yang bersangkutan bekerja untuk PT B. Pemeriksaan dan
penegakan hukum untuk pelanggaran semacamini dilakukan oleh pengawas
ketenagakerjaan. Sanksinya, deportasi bagi TKA yang melanggar dan blacklist
bagi perusahaan pengguna TKAtersebut. Pertama, dapat dilaporkan ke Dinas Tenaga
Kerja (Disnaker) setempat dan/ pendamping, dapat dikenakan hukuman penjara 1 –
12 bulan dan denda Rp 10 juta – Rp 40 juta. Jika pemberi kerja tidak melakukan
pembayaran Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (DKPTKA) dan/atau
memulangkan TKA setelah masa perjanjian kerja selesai, maka bisa dikenakan
sanksi administrasi. Salah satunya pencabutan IMTA. Sesuai dengan rencana kerja
dan/atau laporan/ pengaduan, maka pengawas ketenagakerjaan wajib:
a. Melakukan
pemeriksaan di perusahaan/ tempat kerja;
b. Membuat
penetapan tentang hak pekerja/ buruh yang belum diberikan atau dibayar oleh
pengusaha;
c. Memerintahkan
pengusaha untuk melaksanakan peraturan perundangan dan membayar hak daripada
pekerja/buruh melalui Nota Pemeriksaan;
d. Memeriksa
pelaksanaan Nota Pemeriksaan, membuat dan menyampaikan Nota Pemeriksaan kedua
kepada pengusaha dalam hal pengusaha belum melaksanakan Nota Pemeriksaan
pertama yang telah diberikan;
e. Dalam
hal pengusaha tidak melaksanakan Nota Pemeriksaan kedua. Maka dapat diduga kuat
berdasarkan bukti permulaan yang cukup pengusaha yang bersangkutan diduga kuat
telah melakukan tindak pidana di bidang ketenagakerjaan;
f. Langkah
selanjutnya yang harus dilakukan atau tembuskan ke Kementerian Ketenagakerjaan
Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan oleh Pengawas Ketenagakerjaan, adalah
melakukan penyidikan terjadinya tindak Ketenagakerjaan dan K3. Laporan-laporan
pidana di bidang ketenagakerjaan sesuai masyarakat terkait pelanggaran yang
dilakukan oleh pekerja asing pasti ditindaklanjuti dengan pengecekan,
pemeriksaan dan penindakan hukum sesuai ketentuan yang ada. Jika sanksi untuk
TKA yang melanggar adalah deportasi, sanksi dengan tata cara yang diatur dalam
UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
g. Setelah
penyidikan selesai, maka PPNS memberkas perkara tersebut dan selanjutnya untuk
perusahaan/pemberi kerja yang melanggar penggunaan TKA adalah hukuman penjara
dan denda.
Sanksi untuk pelanggaran penggunaan TKA
telah diatur dalam UU No.13 Tahun 2013. Pemberi kerja TKA yang tidak memiliki
Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA) dapat dikenakan hukuman penjara 1- 5
tahun dan denda Rp 100 juta – Rp 400 juta. Jika jabatan TKA tidak sesuai
kompetensi dan/atau pemberi kerja tidak menunjuk TKI menyerahkan berkas perkara
kepada Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri melalui Kepolisian setempat. Sanksi
pidana terhadap pelanggaran keimigrasian sebagai hukum administratif yang
diterapkan didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain:
1) Keimigrasian
berkaitan erat dengan penegakan kedaulatan negara, ketentuanketentuan
keimigrasian merupakan bagian dari instrumen penegakan Kedaulatan Negara.
2) Keimigrasian
berkaitan erat dengan Sistem Keamanan Negara, aspek keimigrasian terkait
langsung dengan kegiatan intelijen, dukungan terhadap penegakan hukum secara
umum misalnya pemeriksaan terhadap pelaku kejahatan dan sebagainya.
3) Keimigrasian
berkaitan dengan aspek pencapaian kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan
keimigrasian terhadap para wisatawan, investor asing dan lain-lain kegiatan
yang mempunyai dampak langsung ataupun tidak langsung dalam rangka Pembangunan
Nasional.
4) Keimigrasian
berkaitan dengan hubungan internasional baik dalam bentuk pelayanan maupun
penegakan hukum ataupun dalam bentuk kerjasama secara bilateral maupun
internasional.
5) Keimigrasian
berkaitan langsung dengan upaya-upaya memerangi kejahatan yang bersifat
terorganisir dengan scope international, sesuai dengan konvensikonvensi PBB,
termasuk dalam hal penanganan refugeesdan asylumseekers.
6) Keimigrasian
berkaitan dengan tuntutan universal, mengenai hak-hak sipil dan hakhak asasi
manusia yang sudah berlaku secara universal. Sebagai kesimpulan bahwa
implementasi penegakan hukum keimigrasian terhadap orang asing dilakukan sesuai
dengan aturan hukum yang ada baik berupa tindakan yang bersifat administratif
dan tindakan melalui proses peradilan (projustitia) dengan tetap menerapkan
kebijakan yang bersifat selektif (selective security).
Pengawasan terhadap tenaga kerja asing
masih lemah karena jumlah pengawas tidak sebanding dengan jumlah perusahaan
termasuk jumlah perusahaan yang muncul karena investasi, selain jumlah kantor
Imigrasi yang terbatas untuk mengawasi gerak-gerik tenaga kerja asing ilegal
contoh dari 514 Kab/kota, hanya ada 185 kantor cabang Imigrasi. berupa membayar
biaya beban/denda, Deportasi, pencabutan Izin Usaha, Apabila syarat
memperkerjakan tenaga kerja asing tersebut tidak dipenuhi maka lembaga
perijinan tersebut dapat memulangkan tenaga kerja asing ke Negara asalnya, dan
penangkalan maupun sanksi pidana dengan ancaman pidana penjara. Dengan demikian
harus ada pola koordiansi yang baik antar pemangku kepentingan agar Penegakan
hukum terhadap tenaga kerja asing illegal dapat dilaksanakan dengan baik di
Indonesia yaitu :
a. Koordinasi
intens dalam wadah TIMPORA sesuai amanah UU No. 6 Tahun 2011 dengan leading
sector Imigrasi mulai dari tingkat pusat dengan Kab/Kota.
b. Penggunaan
sistem pengawasan yang terintegrasi dan terpadu secara online.
c. Kemenakertrans
sebagai leading sector dalam upaya pengawasan terhadap TKA secara kontinyu
melakukan upaya check dan recheck bersama-sama K/L terkait dalam melakukan
pengawasan terhadap keberadaan TKA Ilegal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tanggungjawab negara terhadap
TKA seharusnya mampu mengakomodasi hak atas pekerjaan dimana dalam menjalankan
tugasnya sudah ditetapkan standar kehidupan yang layak bagi warga negara.
Selain itu, dalam penempatan TKA harus memiliki akses atas pekerjaan dimana TKA
bebas dari HAM seperti kerja paksa, praktik perbudakan dan praktik yang
disamakan dengan perbudakan, jeratan hutang, perdagangan orang, dan pernikahan
paksa. Tanggungjawab negara dalam hal ini sudah akan terimplementasi dengan baik
apabila pemenuhan hak-hak dasar TKA yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003, yakni kesempatan dan perlakuan yang sama dalam hubungan kerja telah
terpenuhi. Upaya perlindungan hukum ketengakerjaan Indonesia ditinjau dari
tanggungjawab negara ini dapat dilihat pada implementasi mengenai upaya
mendidik dan melatih TKI guna meningkatkan standar kompetensi yang mampu
bersaing dengan TKA. Dari segi peraturan yang mengatur tujuan penggunaan TKA
secara selektif dengan memprioritaskan TKI. Sehingga perlu adanya upaya dari
pemerintah untuk mengintegrasikan setiap lembaga dan badan yang berkaitan dalam
pengendalian dan pengawasan TKI ke dalam satu peraturan perundang-undangan yang
dapat dijadikan sebagai instrumen hukum tetap mengenai pengaturan TKA. Selain
itu, perlu adanya upaya dari pemerintah untuk memberikan tambahan kompetensi
bagi TKI yaitu dengan melakukan program pelatihan kerja yang dilakukan secara
reguler dan tidak diskriminatif, artinya tidak hanya di daerah-daerah tertentu.
B.
Saran
Perlunya
revisi peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing terkait TKA dan Mendorong materi muatan dalam RUU
tentang Pengawasan Ketengakerjaan yang menjadi bagian penting dalam melindungan
kepentingan Negara terkait mekanisme dan prosesdur pengawasan ketenagakerjaan.
Mendorong peraturan Menteri terkit Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang
Otonomi Daerah terkait urusan pemerintan konkuren yang bersifat wajib. Sehingga
penyelenggaraan urusan pemerintah dalam bidang tenaga kerja tidak mengalami
hambatan.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, Riza
Fauziah. (2020). Dinamika Pengaturan Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Jurnal
Hukum dan Kemanusiaan, Vol.15, No.1
Meifilianti,
Nanda Rizky. (2019). Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Asing Dalam Hal
Pemutusan Hubungan Kerja Sebelum Masa Kontrak Berakhir. Jurist-Diction, Vol.2,
No.1
Ariani, Nevey
Farida. 2016. Penegakan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia.
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.18, No.1