MAKALAH
PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA TENTANG PENDIDIKAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Disusun Oleh:
1. Lia Elfani (2021112142)
2. Nur Aropah (2021112147)
3. Amar Ma�ruf (2021112173)
Kelas: F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
BAB I
PENDAHULUAN
Berbagai tokoh dengan pandangannya terhadap pendidikan tentu sangat berguna dalam perkembangan dan kemajuan proses pendidikan. Baik pandangannya dalam segi tujuan pendidikan, kurikulum dan metode pendidikan. Dengan ciri khas masing-masing tokoh pendidikan, mereka berusaha membentuk suatu sistem pendidikan yang humanis dan teologis. Namun setiap tokoh tentunya memiliki satu item yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam makalah akan disajikan pemikiran tentang pendidikan dalam perspektif Hasan Al Banna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Hasan Al Banna
Hasan Al Banna lahir tahun 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairoh, Mesir. Pada usia 12 tahun, Hasan Al Banna telah menghafal separuh isi Al-Qur�an. Ayahnya syeikh Ahmad Al Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits, terus memberikan motivasi kepada Al Banna agar melengkapi hafalannya. Akhirnya pada usia 14 tahun Hasan Al-Banna menghafal seluruh Al-Qur�an.[1]
Sejak kecil Hasan Al Banna sudah menunjukkan kecemerlangan otaknya. Hasan Al Banna lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di seluruh Mesir. Di usia 16 tahun dia telah menjadi mahasiswa diperguruan tinggi Dar al Ulum, Universitas Kairo. Selain itu ia juga mempunyai bakat kepemimpinan yang cemerlang. Hasan Al Banna selalu terpilih menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun Al Banna menamatkan studinya di Dar al Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma�iliyah.[2]
Hasan Al Banna sangat menyukai syair dalam suatu ujian dia ditanya tentang berapa jumlah syair yang dihafal. Hasan Al Banna menunnjukkan kepada gurunya buku-buku yang dia bawa. Di dalam buku-buku tersebut terdapa 10.000 bait syair, padahal yang diminta hanya 100 bait syair saja. Dan gurunya sangat heran kepadanya.[3]
B. Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulhijjah 1346 H yang bertepatan dengan bulan Maret 1928 M, Hasan Al-Banna didatangi oleh beberapa orang yang mengaku tertarik pada kepribadian dan keuletan dakwahnya. Mereka adalah Hafidz Abdul Hamid, Ahmad Al-Husyairi, Fuad Ibrahim Ismail Izz, Zaky Al-Maghriby dan Adburrahman Hasbullah. Beberapa oang tersebut menyatakan kesetiaan kepada Al-Banna dan bermaksud menggabungkan diri ke dalam sebuah perkumpulan yang dipimpin oleh Hasan Al-Banna. Sebagai bukti kesetiaan, mereka rela menyumbangkan sebagian harta kekayaan yang dimiliki demi kepentingan dakwah Islamiyah. Dengan senang hati Al-Banna menyambut niat baik mereka. Dari pertemuan tersebut dimusyawarahkanlah nama sebuah organisasi, yang akhirnya disepakati menggunakan nama Ikhwanul Musilimin. Dengan nama tersebut dimaksudkan agar mereka dapat bersatu padu pada sebuah ikatan tali persaudaraan yang semata-mata untuk mengabdi kepada Islam.[4]
Dari segi bahasa, Ikhwanul Muslimin berasal dari dua lafadz yaitu al-ikhwan yang merupakan bentuk jamak dari al-akh (saudara atau persaudaraan) dan al-muslimin yang merupakan bentuk jamak dari muslim yang artinya orang-orang yang beragama Islam atau orang-orang yang berserah diri, patuh dan tunduk kepada Allah agar selamat dan sejahtera di dunia dan di akhirat.[5]
Setelah nama perkumpulan ditetapkan, Al-Banna dan jamaahnya menyewa sebuah tempat (paviliun) yang sangat sederhana sebagai markas, yang mana markas tersebut di kemudian hari dikenal sebagai �Sekolah Penempaan�. Dari sekolah tersebut, mereka mulai merancang dan menerapkan sebuah sistem pendidikan pertama kalinya dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Secara ringkas bentuk-bentuk kegiatan yang mereka lakukan yaitu berupa membaca dan menghafal Al-Qur�an, memahami dan menghafal hadits-hadits Nabi Muhammad Saw., latihan khotbah dan latihan mengajar.[6]
Perkembangan perkumpulan Ikhwanul Muslimin cukup pesat, yang ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah jamaah. Pada perkembangan selanjutnya, mereka sepakat membeli sebidang tanah di Kota Ismailiyah dan membangun sebuah gedung sebagai sekretariat yang kemudian diberi nama �Jamaah Ikhwan�.
C. Setting Sosial
Masa hidup Hasan Al Banna adalah masa-masa kritis hubungan kaum muslimin-kolonial. Ketika Hasan Al Banna menginjak remaja, perang dunia pertama telah berakhir. Hampir seluruh negara Islam kecuali Hijaz dan Yaman telah jatuh ke tangan penjajah. Inilah fenomena pertama yang menggerakkan jiwa Hasan Al Banna. Tidak berapa lama kemudian tiba-tiba khilafah islamiyah runtuh. Konsekuensinya, persatuan umat Islam tidak dapat dipertahankan. Mereka bercerai-berai. Umat Islam menghadapi gempuran imperialisme sendiri-sendiri sehingga dengan mudah dapat ditaklukkan. Ekpansi kolonial semakin meluas hingga turut menguasai sektor pendidikan, perbankan, hukum, ekonomi dan politik. Kaum kolonial telah menutup mata umat Islam dari dakwah dan konsep-konsep agama yang sebenarnya. Bahkan mereka menebar konsep-konsep yang keliru dan diplintir membuat kaum muslimin terpusat di masjid; menjadikan mereka sebatas care pada persoalan-persoalan ibadah dan mengesampingkan urusan lain. Semua itu menjadi fenomena yang tertangkap oleh jiwa seorang mukmin di awal usianya. Dari situlah kemudian Hasan Al Banna bertekad menghadapi realitas kehidupan.[7]
D. Pemikiran Hasan Al-Banna tentang Pendidikan
1. Konsep Pendidikan
Konsep pendidikan Hasan Al-Banna diarahkan pada pemecahan permasalahan yang muncul. Di antara pemikiran Hasan Al-Banna dalam hal ini berkaitan dengan upaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Berangkat dari maksud tersebut, Hasan Al-Banna melalui organisasi yang didirikannya berupaya memberi nilai agama pada pengetahuan umum serta memberi motivasi dan peningkatan terhadap pengetahuan dan amaliah agama sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual. Berkaitan dengan hal tersebut, Hasan Al-Banna berusaha memperbaharui makna iman yang dianggap telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang masih orisinil. Upaya ini tampak dari bingkai pendidikan Ikhwanul Muslimin yang berorientasi pada ketuhanan, universal dan terpadu.[8]
Tiang pendidikan berdasarkan ketuhanan ialah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah Swt., meyakini pertemuan dengan-Nya dan hisab-Nya, mengharapkan nikmat-Nya dan takut akan siksa-Nya. Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya, melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang digerakkan-Nya. Hakikat itu adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup seluruhnya, itulah hati. Hati adalah suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada Khaliq. Oleh sebab itu, di antara tujuan spiritual Ikhwanul Muslimin adalah menghidupkan hati supaya tidak mati, menghaluskannya supaya tidak keras.[9]
Al-Banna membuat program ibadah praktis yang diamalkan oleh jamaahya, baik secara perorangan maupun secara berjamaah. Di antara program tersebut adalah disiplin dalam bermujahadah, baik melalui wirid Al-Qur�an maupun wirid dzikir yang ma�tsur dengan harapan dapat mengikat perasaan selalu bersama dengan Allah. Di samping itu, Al-Banna menganjurkan untuk melaksanakan sholat dan puasa sesuai dengan hadits yang jelas keshahihannya. Melalui lembaga pendidikan spiritual Ikhwanul Muslimin (ma�had tarbiyah ruhiyah Ikhwanul Muslimin), Al-Banna menjelaskan beberapa petunjuk tentang sholat lail dan memotivasi anggotanya untuk melaksanakannya (Al-Banna, t.th.: 87-116).[10]
2. Lembaga Pendidikan
Masa depan peradaban Islam akan cerah andaikata lembaga pendidikan Islam ditata secara Islami, dan seluruh aktivitasnya diwarnai dengan ajaran Islam. Dengan kata lain lembaga pendidikan Islam hendaknya berfungsi sebagai sarana untuk manusia yang berkarakter Islam. Menurutnya lembaga pendidikan Islam hendaknya independen dan dan tidak terikat atau terbelenggu oleh keotoriteran pemerintah.[11]
3. Dasar Pendidikan
Dasar pertama Tarbiyah Khuluqiyyah adalah al-Qur�an. Meskipun al-Qur�an tidak membicarakan secara detail seluruh zona kebutuhan manusia secara aplikatif, tetapi kejumudan pemahaman terhadap kandungannya menyebabkan umat Islam tidak pernah lagi bangkit, akan tetapi jusru terkungkunng dalam pemahaman yang sempit.[12]
Sementara dasar Sunnah Rasul merupakan tabyin (penjelas) akan ayat yang bersifat mujmal. Keberadaan Nabi Muhammad sebagai pendidik angpaling berhasil di dunia, secara aplikatif selalu memperlihatkan tindakan yang bersifat mendidik dalam seala aspe kedudukannya. Adapun dasar sejarah para sahabat Nabi Saw (al-salaf al-shalih) mengandung nilai-nilai pedagogis, sebab mereka orang yang hidup di zaman Nabi Saw, dan mereka adalah orang yang sangat dekat, selalu bergaul dan paling banyak mengetahui petunjuknya dan paling dipercayai dalam menyampaikan semua perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw.[13]
4. Tujuan Pendidikan
Tujuan yang akan dicapai tetap dalam koridor qur�ani. Adapun tujuan pendidikan Islam (tarbiyah khuluqiyyah) dirumuskan sebagai berikut:
a. Menjelaskan posisi manusia diantara makhluk lain dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini.
b. Menjelaskan hubungan manusia dengan masyarakat dan tanggung jawabnya dalam tatanan hidup bermasyarakat.
c. Menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya dan mengetahui hikmah penciptaan dalam rangka memakmurkan alam semesta.
d. Menjelaskan hubungan manusia dengan Allah sebagai pencipta alam semesta.
Keempat tujuan pendidikan al-Qur�an yang dinukilkan di atas, pada intinya adalah terbinanya manusia sebagai satu pribadi yang betul-betul memperhambakan dirinya secara ikhlas kepada Allah. Dengan tujuan tersebut diharapkan segala aktivitas dan perjalanan hidup manusia senantiasa dalam koridor qur�ani. [14]
Di samping tarbiyah khuluiyyah secara umum, maka setiap cabang juga memiliki tujuan spesifik seperti tarbiyah jasmaniah yang bertujuan: (1) agar setiap muslim berbadan sehat dan berupa memelihara kesehatan fisik dan mental, (2) agar setiap muslim dapat beraktivitas dengan lincah dan positif, (3) agar setiap muslim mempunyai daya tahan yang senantiasa prima.[15]
5. Metode Pendidikan
Sebagai halnya pendidikan lainnya tarbiyah khuluqiyyah merupakan aktivitas yang menuntut adanya interaksi yang baik antara pendidik (murabbi) dan peserta didik (murabba).[16]Sebagai usaha manusia dalam rangka membimbing, menerangkan, transformasi dan internalisasi nilai-nilai Islam ke dalam jiwa peserta didik.
Dalam proses mendidik, Hasan Al-Banna senantiasa berpedoman pada prinsip-prinsip keikhlasan. Ia tidak suka mencela, menghujat atau menyindir peserta didik. Ia juga tidak menanggapi suatu kemungkaran dengan caci maki, sebaliknya ia berusaha menggunakan cara dan gaya yang menarik serta dapat diterima peserta didik. Dengan penambahan ilustrasi dan kisah-kisah agar penyampaian materi senantiasa berkesan.
Pendidik dituntut menyesuaikan materi dan metode yang relevan dengan situasi para audien (peserta didik).[17]Inilah salah satu keunikan tarbiyah khuluqiyyah Hasan Al Banna. Ia juga menggunakan metode ketauladanan sebagai acuan dalam ide pendidikannya.
Di samping metode keteladanan, Hasan Al Banna juga menerapkan metode mendidik melalui kisah-kisah.[18]Metode ini digunakan pada lembaga pendidikan luar sekolah.
6. Materi Pendidikan
Materi tarbiyah khuluqiyyah Hasan Al Banna mengacu pada materi pendidikaan yang diajarkan sejak zaman Rasul Saw.. Secara keseluruhan ajaran Islam terdiri dari aspek aqidah, syari�ah dan akhlak. Aspek inilah yang menjadi materinya.
Akidah menjadi materi dan tujuan utama (terpenting)dalam pendidikan, yaitu akidah yang tidak dinodai oleh khurafat(dogeng, ajaran yang tidak masuk akal atau takhayul) dan keraguan.
a. Ibadah; tema sentral dari tarbiyah khuluqiyyah Hasan Al Banna adalah seruan kembali ke ajaran Al-Qur�an, membaca, mempelajari, mengamalkan isinya dan mengajarkan kepada orang lain.[19]Dengan memperbanyak dzikir yang benar kepada Allah, menurutnya akan menciptakan keadaan jiwa yang tenang dan cenderung mengingat Allah. Sehingga ia senantiasa memotivasi peserta didiknya untuk memperbanyak dzikir kepada Allah Swt.
b. Akhlak; dalam rangka membentengi peserta didik dari kemerosotan moral yang berimbas pada terjadinya berbagai krisis, maka Hasan Al Banna menanamkan nilai-nilai akhlak melalui tarbiyah khulukiyyah.
Di antara kekhasan materi pendidikan Hasan Al Banna adalah ibadah sunnah secara rutin, dzikir, membaca Al-Qur�an, shalat tahajjud, berdoa, bangun malam dan beribadah. Menurut Ali Abd. Al-Halim Mahmud, ibadah seperti itu merupakan sarana yang tiada bandingnya dalam rangka menerapkan tarbiyah al-nafs (pendidikan diri sendiri) yaitu mensucikan hati sehingga dekat kepada Allah Swt..[20]
c. Jasmani; aspek jasmani juga merupakan prioritas utama. Menurut Hasan Al Banna, kesehatan badan sangat berpengaruh terhadap jiwa dan akal. Aktivitas remaja dalam bidang olahraga misalnya gulat, tinju, basket, sepak bola bahkan ada pula program kemah wisata. Hal ini sebagai upaya melahirkan generasi muslim yang kuat jasmani dan rohaninya.
d. Jihad; peradaban imperialisme Barat yang mendominasi seluruh aspek kehidupan merupakan motivator yang mendorong lahirnya gerakan jihad untuk membebaskan bumi Mesir.[21]Konsep jihad menurut Hasan Al Banna tidak hanya terkonsentrasi secara kemiliteran tetapi memahami makna jihad dalam konteks yang lebih luas dan mendalam, yaitu meliputi mujahadah al-nafsi (melawan nafsu) dan mujahadahmelawan syaitan, dalam rangka merangsang dan menanamkan semangat jihad di kalangan peserta didik, yaitu semangat jihad yang berbasiskan keimanan, akhlak, spiritual dan pengorbanan.
E. Relevansi Pemikiran Hasan Al Banna tentang Pendidikan dengan Masa Kini
Konsep pendidikan Hasan Al Banna diarahkan dengan pada pemecahan permasalahan yang muncul. Berkaitan dengan hal tersebut Ia berupaya mengintegrasikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, hal ini pantas diterapkan di era globalisasi seperti sekarang ini di mana nilai-nilai spiritual generasi muda (pada khususnya) mulai terkikis dengan paham-paham sekuler. Secara operasional, tujuan pendidikan Hasan Al Banna (Ikhwanul Muslimin) dibagi dalam beberapa tingkat yaitu tingkat individu, tingkat keluarga, tingkat masyarakat lokal, tingkat organisasi, tingkat nasional dan tingkat internasional, dan dari seluruh tingkatan tersebut Ikhwanul Musliminberusaha menghidupkan kembali nilai-nilai keislaman di setiap jiwa dalam segala tingkatan dengan membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, baik dalam kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dan secara keseluruhan tujuan pendidikan tarbiyah khuluqiyyah adalah menjadikan insan yang ikhlas memperhambakan diri kepada Allah Swt.. Tujuan pendidikan semacam ini baik terapkan di zaman sekarang apabila kita menghendaki masa depan peradaban Islam yang kembali gemilang.
Sejalan dengan kegiatan pendidikan tersebut, Ikhwan al-Muslimin menawarkan berbagai metode pendidikan yang dapat digunakan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan. Di antara metode pendidikan tersebut, adalah metode pendidikan melalui teladan, teguran, hukuman, cerita-cerita, pembiasaan dan pengalaman-pengalaman konkret. Secara keseluruhan metode tersebut dapat dijumpai dasarnya baik dalam Al-Qur�an maupun praktek yang dilakukan Rasulullah SAW dalam membina para sahabat dan kader-kadernya. Pengaplikasian metode pendidikan madrasah Hasan Al Banna bersinergi dengan tujuan pendidikan masa kini yang berusaha mencetak generasi-generasi unggul secara intelektual dan kerohniannya.
Materi yang diajarkan dalam tarbiyah khuluqiyyah Hasan Al Banna mengacu pada materi pendidikan yang diajarkan sejak zaman Rasul Saw. seperti aspek akidah, syari�at, akhlak dan jihad. Pada masa kini penting ditanamkan rasa cinta tanah air demi kesatuan dan persatuan juga keutuhan bangsa. Sehingga materi jihad juga tak kalah penting untuk diajarkan bagi peserta didik di masa kini.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uaraian tersebut terlihat jelas bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Muslimin sejalan dengan visi dan orientasi perjuangannya, yaitu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan, baik dalam kehidupan keagamaan, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, maupun kebudayaan. Dengan demikian, Ikhwan al-Muslimin menempatkan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan harkat dan martabat ummat Islam khususnya yang berada di Mesir pada saat itu. Untuk mencapai visi dan misi tersebut, Ikhwan al-Muslimin telah menggunakan semua jenis dan model pendidikan, dari yang bersifat formal sampai kepada yang bersifat non formal untuk mewujudkan visi dan misinya itu. Demikian pula berbagai metode yang dipandang efektif dan berdaya guna dapat digunakan sebagai cara untuk menerapkan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikannya itu terlihat didasarkan pada ajaran yang terdapat dalam Al-Qur�an dan praktek kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Dalam kaitan ini, maka Ikhwan al-Muslimin dapat digolongkan kepada kelompok sunni dan salafi, karena selalu merujuk kepada kemurnian ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jundi, Anwar. 2003. Biografi Hasan Al-Banna. Solo: Media Insani Press.
Harahap, Khoirul Amru dan Achmad Faozan. 2007. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Herry Mohammad, dkk. 2006.Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Depok: Gema Insani.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia. Ciputat: Quantum Teaching.
[1]Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20 (Depok: Gema Insani, 2006), hlm. 201.
[3] Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007) hlm. 245.
[4]Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 158-159.
[5] Ibid, hlm. 159.
[7] Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna (Solo: Media Insani Press, 2003), hlm 10-11.
[10] Ibid, hlm. 163.
[11] Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), hlm. 90.
[13]Ibid, hlm. 92
[14]Ibid, hlm. 92-93
[15] Ibid, hlm. 93-94.
[16] Ibid, hlm. 94.
[17] Ibid, hlm. 94-95.
[19]Ibid, hlm. 96.
[20]Ibid, hlm. 97.
[21]Ibid, hlm. 98.