Thursday 12 May 2016

Contoh MAKALAH




MAKALAH


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Filsafat Ilmu” yang di ampu oleh: Bpk. Ach. Shodiqil Hafil, M. Fil. L









Kelompok:5

LAYYINATUL HASANAH






JURUSAN TARBYAH
PRODI PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ADHFAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
TAHUN AKADEMIK 2015-2016



KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr.Wb.
Bismillahirrahmannirrahim,
Alhamdulillah, Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, Taufiq, dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul : Epistimologi
Salah satu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu . Kami menyadari bahwa dalam pembahasan makalah ini, tentunya akan ditemui beberapa hal yang belum sempurna, maka dari itulah kami mohon kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan makalah berikutnya.
Dihaturkan banyak terima kasih kepada :Bapak selaku pengampu yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penulisan makalah ini. Dan tak lupa pula kepada Teman-teman yang turut membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amien…......
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Pamekasan, 12 Mei  2016
Penulis,


Kelompok  5




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
a.       Latar belakang.................................................................................................. 1
b.      Rumusan masalah............................................................................................. 1
c.       Tujuan penulisan............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
a.       Pengertian Epistimologi ................................................................................... 2
b.      Macam-macam Epitimologi ............................................................................. 3
c.       Cara kerja Epistimologi ................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................... 8
A.    Kesimpulan....................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 9



BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
 Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus menerus berlangsung dengan seiring waktu manusia dalam memenuhi keingintahuaannya terhadap dunianya. 

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Epistimologi ?
2.      Apa saja macam-macam epistimologi ?
3.      Bagaimana cara kerja epistimologi ?

C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian Epistimologi.
2.      Untuk mengetahui  macam-macam epistimologi.
3.      Untuk mengetahui  cara kerja Epistimologi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Epistimologi
Epistimologi berasal dari kata yunani episteme artinya pengetahuan, logos artinya teori. Dengan demikian epistimologi secara etimologis berarti teori pengetahuan . Epistimologi  dalam sejarah juga pernah disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat  telaah kritis dan analisis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; )[1]
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistimologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan cirri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya. Epistimologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat logis yang mendasari di mungkinkannya pengetahuan serta mencoba memberi pertanggung jawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objetivitasnya. Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dicoba untuk menjawab secara seksama. Epistimologi atau filsafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitiv pengalaman manusia dalam intraksinya dengan diri, lingkungan social, dan alam sekitarnya. Maka, epistimologi adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Evaluative berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normative berarti menentukan norma atau tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran bagi kebenaran pengetahuan. Epistimologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia mengetahui itu terjadi, tetapi perlu membuat penentuan yang betul dan mana yang keliru berdasarkan norma epistemik .Sedangkan kritis berarti banyak mempertanyakan dan memuji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia mengetahui.Yang di pertanyakan adalah baik asumsi asumsi ,cara kerja atau pendekatan yang di ambil,maupun kesimpulan yang di tarik dalam berbagai kegiatan kognitif manusia.
Selaras  dengan semakin berkembang dan pentingnya bentuk pengetahuan yang di sebut ilmu pengetahuan positif atau sains,maka salah satu cabang epistimologi yang mulai di minati sejak abad ke 17 dan mengalami perkembangan amat pesat sejak pertengahan abad ke 20 adalah filsafat sains.Filsafat sains pada awalnya lebih berupa metodologi atau telaah tentang cara kerja (metode)dalam berbagai  sains serta pertanggung jawabannya secara rasional dalam logika sains biasa di bdakan apa yang di sebut konteks penemuan ilmiah (conteks of scientific discovery)dan konteks pembenaran atau pertanggung jawaban rasionalnya (konteks of scientific justification).Sebagaimana amat di tekankan oleh kaum positivis logis ,yang menjadi focus perhatian dalam filsafat sains sebagai metodologi adalah konteks pembenaran.selain membuat telaah tentan cara kerja sains ,filsafat sains kemudian juga merefleksikan secara kritis cirri cirri hakiki sains beserta arti dan nilainya bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.Sains dan teknologi sebagai wujud penerapannya yang dalam masyararkat modern semakin menjadi bentuk pengetahuan yang dominan ,di coba untuk secara kritis di nilai dan di tempatkan dalam peta pengetahuan dan pemahaman menyeluruh tentang kenyataan .Filsafat sains dewasa ini juga tidak dapat mengabaikan munculnya temuan temuan baru yang di hasilkan oleh kajian ilmu ilmu lain seperti misalnya sejarah sains,psikologi pengetahuan,dan sosiologi pengetahuan .[2]
B.  Macam-macam Epistimologi
Berdasarkan cara kerja atau metode pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan bisa dibedakan beberapa macam epistimologi. Epistimologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan bertitik tolak dari pengadaian metafisika tertentu disebut epistimologi metafisis. Epistimologi macam ini berangkat dari satu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut . Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunua ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide. Bertitik tolak dari faham tentang kenyataan seperti itu, Plato dalam epistimologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat  (anamnesis) kenyataan sejati yang pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Plato juga lalu secara tegas membedakan antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektof, universal dan tetap tak berubah, serta pendapat (doxa), sebagai suatu yang bersifat subjektif, particular dan berubah-ubah. Kesulitan yang muncul dengan pendekatan macam ini adalah bahwa epistimolog metafisis secara kritis begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada, dialami dan difkirkan, serta hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang seperti apa pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh. Selain itu, metafisika atau pandangan dasar tentang kenyataan secara menyeluruh yang diandaikan oleh epistimologimetafisis sebagai titik tolak, sendiri merupakan jenis pengetahuan yang controversial.
Macam epistimologi yang kedua adalah epistimologi skeptic. Dalam epistimologi macam ini, seperti misalnya dikerjakan oleh Deskartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang keberannya masih dapat diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah masuk sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan jalan keluar. Apalagi seluruh kegiatan epitimologi sendiri sebenarnya sejak awal telah mengaidaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu. Memang pengetahuan yang diandaikan itu belum selalu terjamin kebenarannya, sebab bisa betul, tetapi bisa juga keliru. Pengetahuan yang diandaikan itu memang masih perlu diuji kebenrannya. Tetapi untuk dapat menguji  kebenarannya, sejak awal perlu diandaikan bahwa ada kebenaran dan bahwa manusia dapat mengenalinya. Sama sekali meragukannya akan membuat seluruh penyelidikan tentang pengetahuan tidak mungkin dilakukan atau sia-sia. Descartes sendiri, seperti masih akan kita lihat lebih jauh kemudian, memang bukan orang penganut skeptisisme mutlak atau orang yang sama sekali meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mencapai kebenaran. Skeptisisme Descartes adalah skeptisisme metodis. Yakni suatu strategi awal untuk melakukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar dapat sampai ke kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Ia menolak argument untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaan) sebagaimana biasa dilakukan pada Abad Pertengahan dan mendasarkan diri pada daya terang akal budi manusia.
Macam epistimologi yang ketiga adalah epistimologi kritis. Epistimologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau epistimologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan asumsi, prosedur dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita ciba tanggapi secara kritis asumsi, prosedur, dan kesimpulan tersebut. Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau bahan refleksi kritis untu kita uji kebenarannya dihadapan pengadilan nalar. Sikap kritis diperlukan untuk pertama-utama berani mempertanyakan apa yang selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa dipertanggungjawabkan secara rasional, dan kemudian mencoba menemukan alasan yang sekurang-kurangnya masuk akal untuk penerimaan atau penolakannya.
Selain tiga macam epistimologi berdasarkan titik tolak pendekatannya secara umum berdasarkan objek yang dikaji, epistimologi juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni epistimologi individual dan epistimologi social. Epistimologi sebagaimana secara klasik dimengerti sampai sekarang adalah epistimologi individual. Kajian tentang pengetahuan, baik tentang status kognitifnya maupun proses pemerolehannya, dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan manusia individual bekerja dalam proses mengetahui , misalnya, dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan sebagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Dalam memgembangkan epistimologi individual filsafat pengetahuan dapat dan perlu memanfaatkan sumbangan yang diberikan oleh ilmu psikologi ognitif. Epistimologi evolusioner (evolutionary epistemology) atau kadang juga disebut epistimologi alami (natural epistemology)termasuk jenis epistimologi individual. Tetapi belakangan ini, epistimologi alami juga dikembangkan dalam perspektif epistimologi social. Sedangkan epistimologi social adalah kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistimologi social, hubungan social, kepentingan social, dan lemaga social dipandang sebagai factor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun pemerolehan pengetahuan. Dalam upaya ini filsafat perlu memperhatikan apa yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu social dan kemanusiaan dalam kajiaanya mengenai system-sistem social dan kebudayaan, khususnya  dalam melihat dampak pengaruhnya bagi pengetahuan mausia.[3]
C.  Cara kerja Epistimologi
Bicara tentang cara kerja atau metode pendekatan epistimologi berarti bicara tentang ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat secara umum dari ilmu-ilmu lain bukanlah objek materialnya atau apa yang dijadikan bahan kajian, tetapi objek formal atau cara pendekatannya: bagaimana objek yang dijadikan bahan kajian didekati. Cirri khas cara pendekatan filsafat terhadap objek kajiannya tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan. Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar. Filsafat bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan dan pendapat umum yang sudah mapan. Bukan sekedar cari perkara, tetapi guna merangsang orang untuk berfikir secara lebih serius dan bertanggung jawab. Tidak asal menerima pandangan dan pendapat umum. Juga dalam hal pengetahuan. Misalnya kalau pengetahuan secara umum dianggap sama dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan dianggap identik denagn sains, maka lingkup pengetahuan manusia menjadi dipersempit. Penyempitan paham pengetahuan seperti ini, sebagaimana terjadi dengan paham saintisme, jelas telah dan akan dipermiskin kekayaan budaya manusia dan perlu titanggapi dengan kritis.
Seperti sudah tersirat dari rumusan pengertian tentang apa itu epistimologi yang diberikan diatas, pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat umum dan mendasar dalam hal pengetahuan misalnya: Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa beda antara pengetahuan dan pendapat? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan? Bagaimana proses manusia manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau fikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Apa peran imajinasi, introspeksi, intuisi, ingatan, persepsi indrawa, konsep, dan putusan dalam kegiatan manusia mengetahui? Apa artinya dan mana tolok ukurnya untuk dapat secara rasional dan bertanggub jawab menyatakan bahwa “saya tahu sesuatu”? Sungguhkah manusia dapat keliru? Apa itu kepastian dan keraguan? Apa itu kebenaran, dan manakah tolok ukurnya? Apakah kebenaran sama dengan objekvitas? Dapatkah kita mengetahui objek pada dirinya? Bukankah kita hanya dapat mengetahui sesuatu objek sejauh tampak pada kita dan dapat kita tangkap? Apa hubungan antara pengetahuan dan bahasa, pengetahuan dan kebudayaan? Adakah hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan? Kalau ada, bagaimana hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dapat dijelaskan? Itulah beberapa pokok, dan masih banyak lain lagi, yang selama ini telah menyibukkan para epistimolog dari masa ke masa. Para epistimolog dari masa ke masa, sesuai dengan permasalahan pokok zamannya, masing-masing mencoba menggeluti salah satu atau beberapa pertanyaa-pertanyaan mendasar di atas.   [4]


                                                                                                                                   
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Epistimologi berasal dari kata yunani episteme artinya pengetahuan, logos artinya teori. Dengan demikian epistimologi secara etimologis berarti teori pengetahuan . Epistimologi  dalam sejarah juga pernah disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat  telaah kritis dan analisis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; )
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistimologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan cirri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.
Epistimologi macam ini berangkat dari satu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut . Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunua ini adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide.
Bicara tentang cara kerja atau metode pendekatan epistimologi berarti bicara tentang ciri khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan.
                                                                         









DAFTAR PUSTAKA

Mustansyir, Rizal Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sudarminta.  Epistimologi  Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.








[1] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 16.
[2] Sudarminta,  Epistimologi  Dasar  (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm, 18-19.
                                                                                                                                                     
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 21-23

[4] Sudarminta, Epistimologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 20-21