MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Filsafat
Ilmu” yang di ampu oleh: Bpk. Ach. Shodiqil Hafil, M. Fil. L
Kelompok:5
LAYYINATUL HASANAH
JURUSAN TARBYAH
PRODI PENDIDIKAN GURU RAUDHATUL ADHFAL
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PAMEKASAN
TAHUN AKADEMIK 2015-2016
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr.Wb.
Bismillahirrahmannirrahim,
Alhamdulillah,
Kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
Taufiq, dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
: Epistimologi
Salah satu
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai guna memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu . Kami menyadari bahwa dalam pembahasan makalah ini,
tentunya akan ditemui beberapa hal yang belum sempurna, maka dari itulah kami
mohon kritik dan saran maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya membangun untuk
dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan makalah berikutnya.
Dihaturkan
banyak terima kasih kepada :Bapak selaku pengampu yang telah memberikan
dukungan dan motivasi dalam penulisan makalah ini. Dan tak lupa pula kepada Teman-teman
yang turut membantu dalam penulisan makalah ini.
Akhirnya kami
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.Amien…......
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pamekasan, 12 Mei 2016
Penulis,
Kelompok 5
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR
ISI.............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
a.
Latar
belakang.................................................................................................. 1
b.
Rumusan
masalah............................................................................................. 1
c.
Tujuan
penulisan............................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
a.
Pengertian Epistimologi ................................................................................... 2
b.
Macam-macam Epitimologi ............................................................................. 3
c.
Cara kerja Epistimologi ................................................................................... 6
BAB III PENUTUP................................................................................................... 8
A. Kesimpulan....................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Manusia pada dasarnya adalah makhluk
pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi
selalu mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk
mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut selalu memuaskan
manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang
dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang
bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang
ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru
sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk mencari dan mencari kebenaran
yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu
teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya sehingga manusia sekarang lebih
giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari
setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku,
artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus menerus berlangsung
dengan seiring waktu manusia dalam memenuhi keingintahuaannya terhadap
dunianya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Epistimologi ?
2. Apa saja macam-macam epistimologi ?
3. Bagaimana cara kerja epistimologi ?
C.
TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Epistimologi.
2. Untuk mengetahui macam-macam epistimologi.
3. Untuk mengetahui cara kerja Epistimologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistimologi
Epistimologi berasal dari kata yunani episteme
artinya pengetahuan, logos artinya teori. Dengan demikian epistimologi
secara etimologis berarti teori pengetahuan . Epistimologi dalam sejarah juga pernah disebut gnoseologi.
Sebagai kajian filosofis yang membuat
telaah kritis dan analisis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan,
epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; )[1]
Sebagai cabang ilmu filsafat, epistimologi
bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan cirri-ciri umum dan hakiki dari
pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan
diuji kebenarannya. Epistimologi juga bermaksud secara kritis mengkaji
pengandaian-pengandaian dan syarat logis yang mendasari di mungkinkannya
pengetahuan serta mencoba memberi pertanggung jawaban rasional terhadap klaim kebenaran
dan objetivitasnya. Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?”
mau dicoba untuk menjawab secara seksama. Epistimologi atau filsafat
pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang
dan menentukan nilai kognitiv pengalaman manusia dalam intraksinya dengan diri,
lingkungan social, dan alam sekitarnya. Maka, epistimologi adalah suatu
disiplin ilmu yang bersifat evaluative, normative, dan kritis. Evaluative
berarti bersifat menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan
pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau
memiliki dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara nalar. Normative
berarti menentukan norma atau tolak ukur, dan dalam hal ini tolak ukur kenalaran
bagi kebenaran pengetahuan. Epistimologi sebagai cabang ilmu filsafat tidak
cukup hanya memberi deskripsi atau paparan tentang bagaimana proses manusia
mengetahui itu terjadi, tetapi perlu membuat penentuan yang betul dan mana yang
keliru berdasarkan norma epistemik .Sedangkan kritis berarti banyak
mempertanyakan dan memuji kenalaran cara maupun hasil kegiatan manusia
mengetahui.Yang di pertanyakan adalah baik asumsi asumsi ,cara kerja atau
pendekatan yang di ambil,maupun kesimpulan yang di tarik dalam berbagai
kegiatan kognitif manusia.
Selaras
dengan semakin berkembang dan pentingnya bentuk pengetahuan yang di
sebut ilmu pengetahuan positif atau sains,maka salah satu cabang epistimologi
yang mulai di minati sejak abad ke 17 dan mengalami perkembangan amat pesat
sejak pertengahan abad ke 20 adalah filsafat sains.Filsafat sains pada awalnya
lebih berupa metodologi atau telaah tentang cara kerja (metode)dalam
berbagai sains serta pertanggung
jawabannya secara rasional dalam logika sains biasa di bdakan apa yang di sebut
konteks penemuan ilmiah (conteks of scientific discovery)dan konteks
pembenaran atau pertanggung jawaban rasionalnya (konteks of scientific
justification).Sebagaimana amat di tekankan oleh kaum positivis logis ,yang
menjadi focus perhatian dalam filsafat sains sebagai metodologi adalah konteks
pembenaran.selain membuat telaah tentan cara kerja sains ,filsafat sains
kemudian juga merefleksikan secara kritis cirri cirri hakiki sains beserta arti
dan nilainya bagi kehidupan manusia secara keseluruhan.Sains dan teknologi
sebagai wujud penerapannya yang dalam masyararkat modern semakin menjadi bentuk
pengetahuan yang dominan ,di coba untuk secara kritis di nilai dan di tempatkan
dalam peta pengetahuan dan pemahaman menyeluruh tentang kenyataan .Filsafat
sains dewasa ini juga tidak dapat mengabaikan munculnya temuan temuan baru yang
di hasilkan oleh kajian ilmu ilmu lain seperti misalnya sejarah sains,psikologi
pengetahuan,dan sosiologi pengetahuan .[2]
B. Macam-macam Epistimologi
Berdasarkan cara kerja atau metode
pendekatan yang diambil terhadap gejala pengetahuan bisa dibedakan beberapa
macam epistimologi. Epistimologi yang mendekati gejala pengetahuan dengan
bertitik tolak dari pengadaian metafisika tertentu disebut epistimologi
metafisis. Epistimologi macam ini berangkat dari satu paham tertentu tentang
kenyataan, lalu membahas tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan
tersebut . Misalnya Plato meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan
dalam dunia ide-ide, sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunua ini
adalah kenyataan yang fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia
ide-ide. Bertitik tolak dari faham tentang kenyataan seperti itu, Plato dalam
epistimologinya memahami kegiatan mengetahui sebagai kegiatan jiwa mengingat (anamnesis) kenyataan sejati yang
pernah dilihatnya dalam dunia ide-ide. Plato juga lalu secara tegas membedakan
antara pengetahuan (episteme), sebagai sesuatu yang bersifat objektof,
universal dan tetap tak berubah, serta pendapat (doxa), sebagai suatu
yang bersifat subjektif, particular dan berubah-ubah. Kesulitan yang muncul
dengan pendekatan macam ini adalah bahwa epistimolog metafisis secara kritis
begitu saja mengandaikan bahwa kita dapat mengetahui kenyataan yang ada,
dialami dan difkirkan, serta hanya menyibukkan diri dengan uraian tentang
seperti apa pengetahuan macam itu dan bagaimana diperoleh. Selain itu,
metafisika atau pandangan dasar tentang kenyataan secara menyeluruh yang
diandaikan oleh epistimologimetafisis sebagai titik tolak, sendiri merupakan
jenis pengetahuan yang controversial.
Macam epistimologi yang kedua adalah
epistimologi skeptic. Dalam epistimologi macam ini, seperti misalnya dikerjakan
oleh Deskartes, kita perlu membuktikan dulu apa yang dapat kita ketahui sebagai
sungguh nyata atau benar-benar tak dapat diragukan lagi dengan menganggap
sebagai tidak nyata atau keliru segala sesuatu yang keberannya masih dapat
diragukan. Kesulitan dengan metode pendekatan ini adalah apabila orang sudah
masuk sarang skeptisisme dan konsisten dengan sikapnya, tak gampang menemukan
jalan keluar. Apalagi seluruh kegiatan epitimologi sendiri sebenarnya sejak
awal telah mengaidaikan bahwa ada pengetahuan dan bahwa manusia dapat
mengetahui sesuatu. Memang pengetahuan yang diandaikan itu belum selalu
terjamin kebenarannya, sebab bisa betul, tetapi bisa juga keliru. Pengetahuan
yang diandaikan itu memang masih perlu diuji kebenrannya. Tetapi untuk dapat
menguji kebenarannya, sejak awal perlu
diandaikan bahwa ada kebenaran dan bahwa manusia dapat mengenalinya. Sama
sekali meragukannya akan membuat seluruh penyelidikan tentang pengetahuan tidak
mungkin dilakukan atau sia-sia. Descartes sendiri, seperti masih akan kita
lihat lebih jauh kemudian, memang bukan orang penganut skeptisisme mutlak atau
orang yang sama sekali meragukan kemampuan manusia untuk mengetahui dan
mencapai kebenaran. Skeptisisme Descartes adalah skeptisisme metodis. Yakni
suatu strategi awal untuk melakukan segala sesuatu, justru dengan maksud agar
dapat sampai ke kebenaran yang tak dapat diragukan lagi. Ia menolak argument
untuk membuktikan kebenaran pengetahuan berdasarkan otoritas (keagamaan)
sebagaimana biasa dilakukan pada Abad Pertengahan dan mendasarkan diri pada
daya terang akal budi manusia.
Macam epistimologi yang ketiga adalah
epistimologi kritis. Epistimologi ini tidak memprioritaskan metafisika atau
epistimologi tertentu, melainkan berangkat dari asumsi, prosedur dan asumsi, prosedur
dan kesimpulan pemikiran akal sehat ataupun asumsi, prosedur, dan kesimpulan
pemikiran ilmiah sebagaimana kita temukan dalam kehidupan, lalu kita ciba
tanggapi secara kritis asumsi, prosedur, dan kesimpulan tersebut.
Keyakinan-keyakinan dan pendapat yang ada kita jadikan data penyelidikan atau
bahan refleksi kritis untu kita uji kebenarannya dihadapan pengadilan nalar.
Sikap kritis diperlukan untuk pertama-utama berani mempertanyakan apa yang
selama ini sudah diterima begitu saja tanpa dinalar atau tanpa
dipertanggungjawabkan secara rasional, dan kemudian mencoba menemukan alasan
yang sekurang-kurangnya masuk akal untuk penerimaan atau penolakannya.
Selain tiga macam epistimologi berdasarkan
titik tolak pendekatannya secara umum berdasarkan objek yang dikaji,
epistimologi juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni epistimologi
individual dan epistimologi social. Epistimologi sebagaimana secara klasik
dimengerti sampai sekarang adalah epistimologi individual. Kajian tentang
pengetahuan, baik tentang status kognitifnya maupun proses pemerolehannya,
dianggap sebagai dapat didasarkan atas kegiatan manusia individual bekerja
dalam proses mengetahui , misalnya, dianggap cukup mewakili untuk menjelaskan
sebagaimana semua pengetahuan manusia pada umumnya diperoleh. Dalam
memgembangkan epistimologi individual filsafat pengetahuan dapat dan perlu
memanfaatkan sumbangan yang diberikan oleh ilmu psikologi ognitif. Epistimologi
evolusioner (evolutionary epistemology) atau kadang juga disebut
epistimologi alami (natural epistemology)termasuk jenis epistimologi
individual. Tetapi belakangan ini, epistimologi alami juga dikembangkan dalam
perspektif epistimologi social. Sedangkan epistimologi social adalah kajian
filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistimologi
social, hubungan social, kepentingan social, dan lemaga social dipandang
sebagai factor-faktor yang amat menentukan dalam proses, cara, maupun
pemerolehan pengetahuan. Dalam upaya ini filsafat perlu memperhatikan apa yang
disumbangkan oleh ilmu-ilmu social dan kemanusiaan dalam kajiaanya mengenai
system-sistem social dan kebudayaan, khususnya
dalam melihat dampak pengaruhnya bagi pengetahuan mausia.[3]
C.
Cara kerja Epistimologi
Bicara tentang cara kerja atau metode
pendekatan epistimologi berarti bicara tentang ciri khas pendekatan filosofis
terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya menjadi objek kajian ilmu
filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi kognitif dan
sosiologi pengetahuan. Yang membedakan ilmu filsafat secara umum dari ilmu-ilmu
lain bukanlah objek materialnya atau apa yang dijadikan bahan kajian, tetapi
objek formal atau cara pendekatannya: bagaimana objek yang dijadikan bahan
kajian didekati. Cirri khas cara pendekatan filsafat terhadap objek kajiannya
tampak dari jenis pertanyaan yang diajukan dan upaya jawaban yang diberikan.
Filsafat berusaha secara kritis mengajukan dan mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar. Filsafat
bermaksud secara kritis menggugat serta mengusik pandangan dan pendapat umum
yang sudah mapan. Bukan sekedar cari perkara, tetapi guna merangsang orang
untuk berfikir secara lebih serius dan bertanggung jawab. Tidak asal menerima
pandangan dan pendapat umum. Juga dalam hal pengetahuan. Misalnya kalau
pengetahuan secara umum dianggap sama dengan ilmu pengetahuan, dan ilmu
pengetahuan dianggap identik denagn sains, maka lingkup pengetahuan manusia
menjadi dipersempit. Penyempitan paham pengetahuan seperti ini, sebagaimana
terjadi dengan paham saintisme, jelas telah dan akan dipermiskin kekayaan
budaya manusia dan perlu titanggapi dengan kritis.
Seperti sudah tersirat dari rumusan pengertian tentang
apa itu epistimologi yang diberikan diatas, pertanyaan-pertanyaan filosofis
yang bersifat umum dan mendasar dalam hal pengetahuan misalnya: Apa itu
pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya? Apa
beda antara pengetahuan dan pendapat? Apa beda antara pengetahuan dan kepercayaan?
Bagaimana proses manusia manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana
struktur dasar budi atau fikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga
pengetahuan itu mungkin bagi manusia? Apa peran imajinasi, introspeksi,
intuisi, ingatan, persepsi indrawa, konsep, dan putusan dalam kegiatan manusia
mengetahui? Apa artinya dan mana tolok ukurnya untuk dapat secara rasional dan
bertanggub jawab menyatakan bahwa “saya tahu sesuatu”? Sungguhkah manusia dapat
keliru? Apa itu kepastian dan keraguan? Apa itu kebenaran, dan manakah tolok
ukurnya? Apakah kebenaran sama dengan objekvitas? Dapatkah kita mengetahui
objek pada dirinya? Bukankah kita hanya dapat mengetahui sesuatu objek sejauh
tampak pada kita dan dapat kita tangkap? Apa hubungan antara pengetahuan dan
bahasa, pengetahuan dan kebudayaan? Adakah hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan? Kalau ada, bagaimana hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dapat
dijelaskan? Itulah beberapa pokok, dan masih banyak lain lagi, yang selama ini
telah menyibukkan para epistimolog dari masa ke masa. Para epistimolog dari
masa ke masa, sesuai dengan permasalahan pokok zamannya, masing-masing mencoba
menggeluti salah satu atau beberapa pertanyaa-pertanyaan mendasar di atas. [4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epistimologi
berasal dari kata yunani episteme artinya pengetahuan, logos artinya
teori. Dengan demikian epistimologi secara etimologis berarti teori pengetahuan
. Epistimologi dalam sejarah juga pernah
disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analisis tentang
dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistimologi juga disebut teori pengetahuan (theory
of knowledge; )
Sebagai
cabang ilmu filsafat, epistimologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan
cirri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.
Epistimologi
macam ini berangkat dari satu paham tertentu tentang kenyataan, lalu membahas
tentang bagaimana manusia mengetahui kenyataan tersebut . Misalnya Plato
meyakini bahwa kenyataan yang sejati adalah kenyataan dalam dunia ide-ide,
sedangkan kenyataan sebagaimana kita alami di dunua ini adalah kenyataan yang
fana dan gambaran kabur saja dari kenyataan dalam dunia ide-ide.
Bicara
tentang cara kerja atau metode pendekatan epistimologi berarti bicara tentang ciri
khas pendekatan filosofis terhadap gejala pengetahuan. Pengetahuan bukan hanya
menjadi objek kajian ilmu filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lain, seperti ilmu
psikologi kognitif dan sosiologi pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustansyir, Rizal Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Sudarminta. Epistimologi Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Ilmu, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2004.