Friday, 3 June 2016

Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Metode Pembelajaran
Metode Pembelajaran menurut Sudjana yang termasuk dalam komponen pembelajaran adalah “tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian“ Metode mengajar yang digunakan guru hampir tidak ada yang sia-sia, karena metode tersebut mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif lama. Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan sebagai dampak langsung (Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan dalam waktu yang relatif lama disebut dampak pengiring (nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap dan nilai.
Menurut Nana Sudjana metode pembelajaran adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran. 
Menurut M.Sobri Sutikno menyatakan Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.[1]

B.  Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang mengalami kecacatan fisik, yaitu tunanetra, tunarungu, tuna daksa, tunagrahita, tunawicara, dan anak berbakat. Untuk mengenal lebih lanjut layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bentuk atau jenis layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum dan khusus. Setelah mengikuti uraian ini diharapkan saudara memiliki kompetensi untuk menjelaskan bentuk layanan pendidikan bagi anak bekebutuhan khusus.
Menurut Hallahan dan Kauffman bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada berbagai pilihan, yaitu:
a)    Reguler Class Only (Kelas biasa dengan guru biasa)
b)   Reguler Class with Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
c)    Itinerant Teacher (Kelas biasa dengan guru kunjung)
d)   Resource Teacher (Guru sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
e)    Pusat Diagnostik-Prescriptif
f)    Hospital or Homebound Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa)
g)   Self-contained Class (Kelas khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
h)   Special Day School (Sekolah luar biasa tanpa asrama)
i)     Residential School (Sekolah luar biasa berasrama).
Samuel A. Kirk membuat layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari model segregasi ke model mainstreaming seperti di bawah ini:
a)    LeastRestrectiveEnvironment(Sekolah RegulerPenuh)
b)   meanstreamingsegregationReguler Classroom Teacher Consultant(Sekolah Reguler dengan Guru Konsultan)
c)    Residential Institution(Institusi Khusus)
d)   Residential School(Sekolah Berasrama)
e)    Special Day School(Sekolah Khusus Harian)
f)    RegulerClassroom ItenerantTeacher(Sekolah Reguler dengan Guru Kunjung)
g)   RegulerClassroom Resource Room(Sekolah Reguler dengan R. Sumber Belajar)
h)   Part-time Special class(Sekolah Reguler Paruh Waktu)
i)     Self Contained Special Classes(Kelas Khusus).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:

1.    Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa.  Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena adanya  kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
a)    Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunawicara (SLB-E).Di setiap SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.

b)   Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunawicara, serta SLB-AB untuk anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.

c)    Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.Pengelenggaraan kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar.  Anak berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas.
Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.

d)   Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan tunawicara.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tunagrahita memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingkat dasar 8 tahun.  Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2 tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan pendidikan luar biasa terdiri dari:
a)    Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
b)    Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) minimal 3 tahun
c)     Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3 tahun.
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991 juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan lama pendidikan satu sampai tiga tahun.

2.    Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.  Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan.Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri.Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.[2]  Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut Depdiknas Ketiga bentuk tersebut adalah:

a)    Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.

b)   Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.

c)    Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.[3]

Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan pendidikan khusus, yaitu
1)   Individual differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda. memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda, sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya.
2)   Potensi siswa akan berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus.
3)   Siswa ABK akan lebih terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.[4]

C.  Metode-metode Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Metode pembelajaran sangatlah penting dalam dunia pendidikan anak, begitupun juga pada Sekolah Dasar Luar Biasa, Metode Pembelajaran sendiri dalam pendidikan Sekolah Luar Biasa terdiri dari berbagai Metode diantaranya :
1.    Communication
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari komunikasi baik siswa antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya.
2.    Task Analisis
Analisis tugas adalah prosedur dimana tugas-tugas dipecah kedalam rangkaian komponen-komponen langkah atau bagian kecil satu tujuan akhir atau sasaran.Analisis tugas dimaksudkan untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang harus dilakukan ke dalam indikator-indikator kompetensi. Analisis tugas untuk menentukan daftar kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh guru di sekolah sebagai tenaga professional, yang pada giliranya ditentukan kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan , sehingga dapat pula diketahui apakah seorang siswa telah melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensi yang dituntut kepadanya. Kompetensi dasar berfungsi untuk mengarahkan guru dan fasilitator mengenai target yang harus dicapai dalam pembelajaran.

3.    Direct Instruction
Intruksi langsung adalah metode pengajaran yang menggunakan pendekatan selangkah-selangkah yang terstruktur dengan cermat, dalam instruksi atau perintah.Metode ini memberikan pengalaman belajar yang positif dengan demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi untuk berprestasi.Pelajaran disampaikan dalam bentuk yang mudah dipelajari sehingga anak mencapai keberhasilan pada setiap tahap pembelajaran. Sintaknya adalah orientasi, Prsentasi,  latihan terstruktur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi.

4.    Prompts
Prompt adalah setiap bantuan yang diberikan pada anak untuk menghasilkan respon yang benar. Prompts memberikan anak informasi tambahan atau bantuan untuk menjalankan instruksi.Adapun jenis prompts adalah sebagai berikut:
a)    Verbal Prompts
Bentuk informasi verbal yang memberikan tambahan pada instruksi tugas. Instruksi memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya
b)   Modelling
Modelling adalah memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya atau bagaimana melakukannya dengan mendemonstrasikan tugas.
c)    Gestural Prompts
Gestural Prompts adalah bantuan dalam bentuk isyarat dapat mencakup tangan, lengan, muka, atau gerakan tubuh lainnya yang dapat mengkomunikasikan informasi visual special spesifik.
d)   Physical Prompts
Physical Prompts adalah melibatkan kontak fisik, physical prompts digunakan hanya bila prompts yang lain tidak memberikan informasi cukup pada anak untuk mengerjakan tugas atau bila anak belum sampai mengembangkan kemampuan fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
e)    Peer Tuturial
Peer tutorial adalah dimana seorang siswa yang mampu (pandai) dipasangkan dengan temannya yang mengalami kesulitan/hambatan. Didalam pemasangan seperti ini siswa yang mampu bertindak sebagai tutor (pengajar).
f)    Cooperative Learning
Cooperative learning merupakan salah satu cara yang paling efektif dan menyenangkan untuk mengarahkan beberapa siswa dengan berbagai derajat kemampuan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan salah satu tugas. Cooperative learning mengembangkan lingkungan yang positif dan mendukung, yang mendorong penghargaan pada diri sendiri, menghargai pendapat orang lain dan menerima perbedaan individu.[5]
Misalnya, untuk anak tunanetra, pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksananya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan. Dibawah ini ada beberapa metode yang dapat dilaksanakn dengan menggunakan fungsi pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode tersebut ialah: Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, sorongan, bandongan, dan drill.[6]
Anak tunarungu memerlukan komunikasi total, bina persepsi bunyi; sedangkan  Anak tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.[7] Adapun hambatan belajar untuk perkembangan anak berkebutuhan khusus adalah masalah kesulitan belajar, masalah penyesuaian diri, masalah gangguan kepribadian dan emosi.[8]













[1] http:// Definisi-Metode-Pembelajaran-menurut  para ahli/, diakses  tanggal 22 maret 2016.
[2] https:// Model-dan-Bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus/, Diakses tanggal 22 maret  2016.
[3] Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Jakarta: Depdiknas,2005).hlm.22-23
[4] https:// Model-dan-Bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus/, Diakses tanggal 22 maret  2016.

[5] http:// Metode Pengajaran ABK/ Diakses tanggal 22 maret 2016.
[6] Ardhi Widjaya, Seluk-Beluk Tunanetra dan Strategi Pembelajarannya (Jogyakarta: Javalitera, 2013), hlm.63-65.
[7] Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu serta Strategi Pembelajarannya (Jogyakarta: Javalitera, 2014), hlm.34-35.

[8] Nunung Apriyanto, Seluk-Beluk Tunagrahita (Jogyakarta: Javalitera, 2012), hlm.91-93.