BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Metode Pembelajaran
Metode
Pembelajaran menurut Sudjana yang termasuk dalam komponen
pembelajaran adalah “tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian“ Metode
mengajar yang digunakan guru hampir tidak ada yang sia-sia, karena metode
tersebut mendatangkan hasil dalam waktu dekat atau dalam waktu yang relatif
lama. Hasil yang dirasakan dalam waktu dekat dikatakan sebagai dampak langsung
(Instructional effect) sedangkan hasil yang dirasakan dalam waktu yang relatif
lama disebut dampak pengiring (nurturant effect) biasanya bekenaan dengan sikap
dan nilai.
Menurut
Nana Sudjana metode pembelajaran adalah cara yang dipergunakan guru dalam
mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya
pengajaran.
Menurut M.Sobri
Sutikno menyatakan Metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan materi
pelajaran yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses pembelajaran pada
diri siswa dalam upaya untuk mencapai tujuan.[1]
B. Model Layanan
Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan khusus yang mengalami
kecacatan fisik, yaitu tunanetra, tunarungu, tuna daksa, tunagrahita, tunawicara,
dan anak berbakat. Untuk mengenal lebih lanjut layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bentuk atau jenis
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus secara umum dan khusus.
Setelah mengikuti uraian ini diharapkan saudara memiliki kompetensi untuk
menjelaskan bentuk layanan pendidikan bagi anak bekebutuhan khusus.
Menurut Hallahan dan
Kauffman bentuk penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus ada
berbagai pilihan, yaitu:
a)
Reguler Class Only (Kelas
biasa dengan guru biasa)
b)
Reguler Class with
Consultation (Kelas biasa dengan konsultan guru PLB)
c)
Itinerant Teacher (Kelas
biasa dengan guru kunjung)
d)
Resource Teacher (Guru
sumber, yaitu kelas biasa dengan guru biasa, namun dalam beberapa kesempatan
anak berada di ruang sumber dengan guru sumber)
e)
Pusat
Diagnostik-Prescriptif
f)
Hospital or Homebound
Instruction (Pendidikan di rumah atau di rumah sakit, yakni kondisi anak yang
memungkinkan belum masuk ke sekolah biasa)
g)
Self-contained Class (Kelas
khusus di sekolah biasa bersama guru PLB)
h)
Special Day School (Sekolah
luar biasa tanpa asrama)
i)
Residential School (Sekolah
luar biasa berasrama).
Samuel A. Kirk membuat
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari model segregasi ke model
mainstreaming seperti di bawah ini:
a)
LeastRestrectiveEnvironment(Sekolah
RegulerPenuh)
b)
meanstreamingsegregationReguler
Classroom Teacher Consultant(Sekolah Reguler dengan Guru Konsultan)
c)
Residential
Institution(Institusi Khusus)
d)
Residential School(Sekolah
Berasrama)
e)
Special Day School(Sekolah
Khusus Harian)
f)
RegulerClassroom
ItenerantTeacher(Sekolah Reguler dengan Guru Kunjung)
g)
RegulerClassroom Resource
Room(Sekolah Reguler dengan R. Sumber Belajar)
h)
Part-time Special
class(Sekolah Reguler Paruh Waktu)
i)
Self Contained Special
Classes(Kelas Khusus).
Berdasarkan kedua pendapat tersebut,
bentuk-bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
1. Bentuk
Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan
segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak
normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya
adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah
dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dengan kata lain anak
berkebutuhan khusus diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan khusus
untuk anak berkebutuhan khusus, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar
Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas Luar
Biasa. Sistem pendidikan segregasi merupakan sistem pendidikan yang
paling tua. Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan karena
adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap kemampuan anak berkebutuhan
khusus untuk belajar bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan
fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus memerlukan layanan pendidikan
dengan menggunakan metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka. Ada empat
bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu:
a)
Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan
bentuk sekolah yang paling tua. Bentuk SLB merupakan bentuk unit pendidikan. Artinya,
penyelenggaraan sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan tingkat
lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah dengan satu kepala sekolah. Pada
awalnya penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini berkembang sesuai dengan
kelainan yang ada (satu kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra
(SLB-A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita (SLB-C), SLB untuk
tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk tunawicara (SLB-E).Di setiap SLB tersebut ada
tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem pengajarannya
lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain ada SLB yang hanya
mendidik satu kelainan saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu
kelainan, sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu dan
tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
dan tunadaksa. Hal ini terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut
sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
b)
Sekolah Luar Biasa
Berasrama
Sekolah Luar Biasa
Berasrama merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas
asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal diasrama. Pengelolaan asrama
menjadi satu kesatuan dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut ada
tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut, serta unit asrama. Bentuk
satuan pendidikannyapun juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-A
untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak tunagrahita,
SLB-D untuk anak tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunawicara, serta SLB-AB untuk
anak tunanetra dan tunarungu.
Pada SLB berasrama,
terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan
di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain
itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi peserta didik
yang berasal dari luar daerah, karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
c)
Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas
kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB.Pengelenggaraan
kelasjauh/kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka
menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak
berkebutuhan khusus tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di
kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini
diharapkan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus semakin luas.
Dalam penyelenggaraan kelas
jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang
bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka
berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya
dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
d)
Sekolah Dasar Luar Biasa
Dalam rangka menuntaskan
kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai Pelita II
menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan unit
sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang dididik dalam satu atap. Dalam
SDLB terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa dan tunawicara.
Tenaga kependidikan di SDLB
terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak
tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk anak tunadaksa, guru agama,
dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan
tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum,
dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist, audiolog. Selain
itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah.
Kurikulum yang digunakan di
SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat dasar yang disesuikan
dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok,
dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing. Pendekatan yang dipakai juga
lebih ke pendekatan individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam rangka
rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan pelayanan khusus sesuai dengan
ketunaan anak. Anak tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca braille
dan orientasi mobilitas; anak tunarungu memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi
total, bina persepsi bunyi dan irama; anak tunagrahita memperoleh layanan
mengurus diri sendiri; dan anak tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan
latihan koordinasi motorik.
Lama pendidikan di SDLB
sama dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk tingkat dasar 8 tahun.
Sejalan dengan perbaikan sistem perundangan di RI, yaitu UU RI No. 2
tahun 1989 dan PP No. 72 tahun 1991, dalam pasal 4 PP No. 72 tahun 1991 satuan
pendidikan luar biasa terdiri dari:
a)
Sekolah Dasar Luar Biasa
(SDLB) dengan lama pendidikan minimal 6 tahun
b)
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa
(SLTPLB) minimal 3 tahun
c)
Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) minimal 3
tahun.
Selain itu, pada pasal 6 PP No. 72 tahun 1991
juga dimungkinkan pengelenggaraan Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) dengan
lama pendidikan satu sampai tiga tahun.
2. Bentuk
Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan
terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal)
di sekolah umum. Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak berkebutuhan
khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi
disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa
anak berkebutuhan khusus kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan
tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan dalam rangka
sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah
anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa
keseluruhan.Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu jenis kelainan. Hal ini
untuk menjaga agar beban guru kelas tidak terlalu berat, dibanding jika guru
harus melayani berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan
yang dialami oleh anak berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai konsultan bagi guru kelas,
kepala sekolah, atau anak berkebutuhan khusus itu sendiri.Selain itu, GPK juga
berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada
kelas khusus.[2]
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus menurut Depdiknas Ketiga bentuk tersebut adalah:
a)
Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan
ini anak berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara penuh dengan
menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan
dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan
belajar-mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut
keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini guru
pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru
kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Sebagai
konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai
kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh
karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus.
Pendekatan, metode, cara
penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda dengan yang
digunakan pada sekolah umum. Tetapi untuk beberapa mata pelajaran yang
disesuaikan dengan ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk pelajaran
menggambar, matematika, menulis, membaca perlu disesuaikan dengan kondisi anak.
Untuk anak tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa asing/bahasa Indonesia
(lisan) perlu disesuaikan dengan kemampuan wicara anak.
b)
Kelas Biasa dengan Ruang
Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum biasa
serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat
diikuti oleh anak berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal. Pelayanan
khusus tersebut diberikan di ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus
(GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk
keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Misalnya untuk anak
tunanetra, di ruang bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga
keterpaduan sebagian.
c)
Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak
berkebutuhan khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara
penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan
terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/bangunan atau
keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan
ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas
khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan,
metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada
tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus
dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga,
keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain
yang diadakan oleh sekolah.[3]
Tiga alasan mengapa ABK memerlukan layanan
pendidikan khusus, yaitu
1)
Individual
differences, manusia diciptakan Tuhan berbeda-beda.
memiliki kapasitas intelektual, sosial, fisik, suku, agama yang berbeda,
sehingga memerlukan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya.
2)
Potensi siswa akan
berkembang optimal dengan adanya layanan pendidikan khusus.
3)
Siswa ABK akan lebih
terbantu dalam melakukan adaptasi sosial.[4]
C. Metode-metode Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Metode pembelajaran
sangatlah penting dalam dunia pendidikan anak, begitupun juga pada Sekolah
Dasar Luar Biasa, Metode Pembelajaran sendiri dalam pendidikan Sekolah Luar
Biasa terdiri dari berbagai Metode diantaranya :
1. Communication
Siswa dalam belajar tidak akan lepas dari
komunikasi baik siswa antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun
dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan
hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya.
2. Task Analisis
Analisis tugas adalah prosedur dimana tugas-tugas dipecah kedalam
rangkaian komponen-komponen langkah atau bagian kecil satu tujuan akhir atau
sasaran.Analisis tugas dimaksudkan untuk mendeskripsikan tugas-tugas yang harus
dilakukan ke dalam indikator-indikator kompetensi. Analisis tugas untuk
menentukan daftar kompetensi. Berdasarkan analisis tugas-tugas yang harus
dilakukan oleh guru di sekolah sebagai tenaga professional, yang pada giliranya
ditentukan kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan , sehingga dapat pula
diketahui apakah seorang siswa telah melakukan tugasnya sesuai dengan
kompetensi yang dituntut kepadanya. Kompetensi dasar berfungsi untuk
mengarahkan guru dan fasilitator mengenai target yang harus dicapai dalam
pembelajaran.
3. Direct Instruction
Intruksi langsung adalah metode pengajaran yang menggunakan
pendekatan selangkah-selangkah yang terstruktur dengan cermat, dalam instruksi
atau perintah.Metode ini memberikan pengalaman belajar yang positif dengan
demikian dapat meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi untuk
berprestasi.Pelajaran disampaikan dalam bentuk yang mudah dipelajari sehingga
anak mencapai keberhasilan pada setiap tahap pembelajaran. Sintaknya adalah
orientasi, Prsentasi, latihan terstruktur, latihan terbimbing, refleksi,
latihan mandiri, dan evaluasi.
4. Prompts
Prompt adalah setiap bantuan yang diberikan
pada anak untuk menghasilkan respon yang benar. Prompts memberikan anak
informasi tambahan atau bantuan untuk menjalankan instruksi.Adapun jenis
prompts adalah sebagai berikut:
a)
Verbal Prompts
Bentuk
informasi verbal yang memberikan tambahan pada instruksi tugas. Instruksi
memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya
b)
Modelling
Modelling
adalah memberi tahu anak apa yang harus dilakukannya atau bagaimana
melakukannya dengan mendemonstrasikan tugas.
c)
Gestural Prompts
Gestural
Prompts adalah bantuan dalam bentuk isyarat dapat mencakup tangan, lengan,
muka, atau gerakan tubuh lainnya yang dapat mengkomunikasikan informasi visual
special spesifik.
d)
Physical Prompts
Physical
Prompts adalah melibatkan kontak fisik, physical prompts digunakan hanya bila
prompts yang lain tidak memberikan informasi cukup pada anak untuk mengerjakan
tugas atau bila anak belum sampai mengembangkan kemampuan fisik yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatan tersebut.
e)
Peer Tuturial
Peer
tutorial adalah dimana seorang siswa yang mampu (pandai) dipasangkan dengan
temannya yang mengalami kesulitan/hambatan. Didalam pemasangan seperti ini
siswa yang mampu bertindak sebagai tutor (pengajar).
f)
Cooperative Learning
Cooperative
learning merupakan salah satu cara yang paling efektif dan menyenangkan untuk
mengarahkan beberapa siswa dengan berbagai derajat kemampuan untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan salah satu tugas. Cooperative learning mengembangkan
lingkungan yang positif dan mendukung, yang mendorong penghargaan pada diri
sendiri, menghargai pendapat orang lain dan menerima perbedaan individu.[5]
Misalnya, untuk anak
tunanetra, pada dasarnya metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir
sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa
modifikasi dalam pelaksananya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan
pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran ataupun perabaan.
Dibawah ini ada beberapa metode yang dapat dilaksanakn dengan menggunakan
fungsi pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun
metode-metode tersebut ialah: Metode ceramah, diskusi, tanya jawab, sorongan,
bandongan, dan drill.[6]
Anak tunarungu memerlukan
komunikasi total, bina persepsi bunyi; sedangkan Anak tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi
dan aksesibilitas, dan layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.[7] Adapun hambatan
belajar untuk perkembangan anak berkebutuhan khusus adalah masalah kesulitan
belajar, masalah penyesuaian diri, masalah gangguan kepribadian dan emosi.[8]
[2] https:// Model-dan-Bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus/,
Diakses tanggal 22 maret 2016.
[4] https:// Model-dan-Bentuk-layanan-anak-berkebutuhan-khusus/,
Diakses tanggal 22 maret 2016.
[6] Ardhi
Widjaya, Seluk-Beluk Tunanetra dan
Strategi Pembelajarannya (Jogyakarta: Javalitera, 2013), hlm.63-65.
[7] Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu serta Strategi
Pembelajarannya (Jogyakarta: Javalitera, 2014), hlm.34-35.