Monday 24 October 2016

Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural


Hai sahabat pembaca! Apa kabar? Post ini adalah kelanjutan dari artikel Pengertian Pendidikan Multikultural. Dan judul artikel dibawah ini adalah Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural, semoga dengan dipostingya artikel ini akan menjadi manfaat buat sahabat pembaca semua. Selamat membaca!

      a.      Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Makhluk lain tidak ada yang memiliki kesempurnaan, baik ditinjau dari aspek fisik maupun psikisnya, sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia. Anugerah pealing agung yang diterima manusia dan anugerah ini tidak diterima oleh makhluk lainnya adalah kemampuan intelektualitas. Dengan anugerah intelektual manusia mampu menghasilkan cipta, karya dan karsa yang beranika ragam. Berbagai bentuk karya banyak dihasilkan manusia, baik bahasa, budaya, etnitas, bahkan dalam hal memilih keyakinan.
Dalam pandangan ajaran Islam, pluralitas merupakan sunnatullah yang tidak bisa dipungkiri. Justru dalam pluralitas tersebut terkandung nilai-nilai penting bagi pembangunan keimanan.[1]Sesuai dengan QS. Al-Rum ayat 22
 �dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui�. (QS. Al-Rum ayat 22)
Sejak awal perkembangannya, Islam telah menjadi agama dan peradaban yang senantiasa bersentuhan dengan agama dan peradaban lain. Di awal pertumbuhan dan perkembangannya, Islam berhadapan dengan budaya dan peradaban masyarakat Arab jahiliah yang menganut kepercyaan paganism. Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa pesan (risalah)  dan ajaran Allah berusaha meluruskan dan membenahi akidah masyarakat Arab pada waktu itu dengan tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.[2] 
Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia (Umaedi, 2004).4
Dalam Islam, pendidikan multikultural memiliki landasan dalam Piagam Madinah, kemudian menjadi rujukan suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat. Piagam Madinah juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Landasan multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian Rasulullah SAW. Muhammad seorang manusia multikultural. Beliau sangat menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perbedaan, seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti Uskup Sidon Paul of Antioch, Theodore Abu Qurrah, Kenneth Cragg, dan beberapa sarjana barat, seperti William Muir, dan Montgomery Watt. Kenyataan bahwa Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi landasan multikultural, dan Al-Quran sebagai muara landasan. Alasannya adalah:
a.    Piagam Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup bermasyarakat karena dukungan ayat-ayat Madaniyah.
b.    Ada keterangan yang menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Quran. Artinya, kedua alasan ini menegaskan bahwa landasan pendidikan multikultural dalam Islam adalah al-Quran (Azyumardi Azra, 2000).
      Dalam Al-Qur�an surat Al-Hujuraat ayat 13 Allah berfirman:  
Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.�
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari asal yang sama sebagai keturunan Adam dan Hawa yang tercipta dari tanah. Seluruh manusia sama di hadapan Allah, manusia menjadi mulia bukan karena suku, warna kulit ataupun jenis kelamin melainkan karena ketaqwaannya. Kemudian dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tujuan penciptaan semacam itu bukan untuk saling menjatuhkan, menghujat, dan bersombong-sombongan melainkan agar masing-masing saling kenal-mengenal untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan semangat saling tolong-menolong. Dari paparan ayat ini dapat di pahami bahwa agama Islam secara normatif telah menguraikan tentang kesetaraan dalam bermasyarakat yang tidak mendiskriminasikan kelompok lain.
Perspektif Islam dalam rangka membangun keberagamaan inklusif yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain: 
1.    Pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama (sikap toleran), adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan yaitu: 
�Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu� (Al-Baqarah/2: 148).
2.    Pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama:
 �8. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.
9. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim�
Kemudian Allah menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 213:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus�.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa sumber perselisihan, permusuhan dan perpecahan di kalangan umat beragama adalah  bukan karena ajaran agama yang dianutnya melainkan karena rasa dengki yang membuat mereka mengabaikan ajaran agamanya masing-masing. Seandainya mereka menghilangkan rasa dengkinya dan murni mengamalkan ajaran agamanya, niscaya tidak terjadi perslisihan semacam itu. Karena, semua agama mengajarkan pemeluknya untuk menjadi umat yang baik dan menghargai orang lain.
3.    Keadilan dan persamaan:
 �Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan� (An-Nisa�/4: 133).
      Orientasinya Pendidikan Islam Multikultural adalah tertanamnya sikap simpati, respek, apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa kita di sisi Allah. Karena Allah tidak melihat darimana manusia berasal, seberapa tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan, seberapa kuat badannya, tapi yang dilihat Allah adalah seberapa besar tingkat takwanya.[3] Untuk mewujudkan Pendidikan Islam Multikultural dapat ditempuh sbb, diantaranya:
1.     Pendidikan Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati budaya global. Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui adanya realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa mewarnai pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak menafikan budaya global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam. Ketika kedua budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah untuk �mendamaikan�keduanya.
2.    PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu penentu kelulusan.
3.    PIM menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai penyeimbang bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu pendukung globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika globalisasi, di satu sisi, mendorong penggunaan teknologi dalam semua ranah kehidupan, dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi bagi moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang dengan mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan dan mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Qur�an dan ilmu-ilmu agama lain di perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin tinggi.
4.    PIM mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya menerima perbedaan tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam cara bertindak. Artinya, pluralisme yang �proyeknya� belum final pada era modernisme itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut sehingga menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme hanya sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden non-muslim, namun bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk melakukan perubahan terhadap cara pandang masyarakat tersebut, sehingga ukuran utama seorang presiden tersebut bukan didasarkan pada latar belakang agama, namun pada tingkat kemampuan memajukan masyarakat.
5.    PIM �melawan� keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau siapapun yang mencoba melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong keragaman proses pembelajaran di setiap sekolah.Rumusan kelima ini memerlukan keberanian dan energi yang lebih untuk �melawan� kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
6.    PIM membuka perbedaan seluas-luasnya dan memberikan pemahaman bagaimana seharusnya menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan dan bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menuju pendidikan Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep dan arah multikultural dari semua elemen pendidikan; pemerintah, masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua, guru, dan siswa. Kesadaran tersebut, menurut Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak pada supermind, yaitu:
a.    Keesaan Tuhan direalisasikan melalui keragaman.
b.    Setiap individu selaras dengan nilai-nilai universal.
c.    Kehendak individu direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis. Konsep kesadaran ini relevan dengan konsep pendidikan pembebasan yang mendorong usaha penyadaran manusia tentang realitas dirinya.
Paulo Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan menggarap realitas manusia, maka secara metodologis, ia harus disandarkan pada prinsip aksi dan refleksi yang dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam pengertian mengubah realitas, dan di sisi lain-yang ia sebut sebagai refleksi-terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas tersebut.[4]



[1] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, �Pendidikan Multikultural Konsep Dan Aplikasi�, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2008), hlm. 129.
[2]Ibid., hlm. 129-130.
[3]Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme�, (STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12: Jurnal Ulumuna Mataram, Juli-Desember, 2003).
[4]Ibdi,.