Monday 24 October 2016

Konsep dan Metode dalam Pendidikan Islam Pluralis-Multikultural


Hai sahabat pembaca! Apa kabar? Post ini adalah kelanjutan dari artikel Pandangan Agama Islam Terhadap Pendidikan Multikultural. Dan judul artikel dibawah ini adalah Konsep dan Metode dalam Pendidikan IslamPluralis-Multikultural, semoga dengan dipostingya artikel ini akan menjadi manfaat buat sahabat pembaca semua. Selamat membaca!

Konsep dan Metode dalam Pendidikan IslamPluralis-Multikultural
1.    Konsep pendidikan pluralis-multikultural
Ada dua hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan Islam pluralis multikultural. Kedua hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa dikembangkan dan diturunkan menjadi langkah-langkah praktis, yaitu:
a.       Birokrat pendidikan, guru, dan siswa harus mampu mengakses informasi tentang isu-isu multikultural, baik dari media massa maupun lewat forum diskusi, sehingga mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural. Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti perkembangan informasi lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan menjadi seorang figur multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum pun akan mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka tumbuh menjadi figur multikultural, maka proses pengaran dan pembelajaran pun akan memuat nilai-nilai multikultural.
b.      Kegiatan multikultural adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh karena itu, siswa harus diberikan penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari kegiatan yang mereka lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka akan dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh guru mengajak diskusi tentang pentingnya membersihkan lingkungan, menghormati orang yang berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton film atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa ketiga hal tersebut merupakan. bagian dari nilai-nilai multikultural dan refleksi dari ibadah kepada Tuhan.[1]
Semangat multikulturalisme ini ternyata dijunjung tinggi oleh Islam. Sebuah potret sejarah perjuangan dakwah Islam bisa dijadikan buktinya. Sejak awal, Islam datang tidak membawa pedang atau senapan. Islam datang dengan damai. Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa mengadopsi beberapa peninggalan Hindu seperti wayang untuk kepentingan penyebaran agama. Sunan kalijaga juga tidak sungkan membakar kemenyan untuk kepentingan pengharum ruangan meski kemenyan tidak diidentik dengan agama Islam.[2]
Sebagai bukti juga di kudus terdapat bangunan Menara Masjid Kudus yang memadukan unsur Hindu dan Islam yang bagus dipandang. Serta sunan kudus juga melarang orang-orang Islam menyembelih sapi untuk untuk menghormati pemeluk Hindu, karena sappi merupakan hewan yang disucukan oleh pemeluk Hindu.
Para founding father Indonesia juga member contoh nyata dalam menjungjung tinggi semangat multikulturalisme. Para founding father Muslim tidak bersikeras memperjuangkan negara Indonesia menjadi negara Islam untuk menghormati pemeluk agama lain di Indonesia Timur. Mereka dengan ikhlas mencoret tujuh kata dalam piagam Jakarta yang dianggap menganakemaskan Islam.
Kenyataan menarik ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa para founding father tidak alergi dengan symbol-simbol agama lain dan menghormati symbol-simbol seperti menghormati symbol-simbol agama sendiri. Maka dari itu, kita sebagai pemeluk agama Islam yang berada dalam negara yang notabene-gnya beragam agama harus menghormati apa yang menjadi budaya-budaya masing-masing agama, karena Islam sendiri mewajibkan kita untuk saling menghormati satu  sama lain.
Ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam pluralis-multikultural, antara lain:
a.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.
b.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas pluralis-multikultural. Hal ini penting dilakukan karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realitas keagamaan akan dipahami secara sporadis, fragmentaris, atau bahkan memunculkan eksklusivitas yang ekstrem.pada titik ini, keragaman dinilai dan dilihat secara inferior. Bahkan tumbuh keinginan untuk melakukan penguasaan dan ambisi menaklukkan mereka yang berbeda.
c.    Pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, atau golongan. Dalam kondisi semacam ini, tidak ada yang lebih unggul antara satu anak didik dengan anak didik yang lain. Masing-masing memiliki posisi yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama.
d.   Pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangannya sense of self kepada setiap anak didik. Ini untuk membangun kepercayaan diri, terutama bagi anak didik yang berasal dari kalangan ekonomi kurang beruntung, atau kelompok yang relatif terisolasi.[3]
Dengan demikian, Pendidikan Islam pluralis-multikultural ini bisa  dikatakan terinspirasi oleh gagasan Islam tranformatif. Islam transpormatif berarti Islam yang selalu beorientasi pada upaya untuk mewujudkan cita-cita Islam, yakni membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam. Dengan mengacu kepada tujuan ini, Pendidikan Islam pluralis-multikultural bertujuan untuk menciptakan sebuah masyarakat damai, toleran, dan saling mengahargai dengan berlandaskan kepada nilai-nilai keTuhanan.
Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam pluralis-multikultural ini maka yang menjadi ujung tombaknya adalah pendidik. Tugas pendidik adalah memilih metode dan strategi yang tepat dalam mengawetkan, memelihara, melanggengkan, serta mewariskan ilmu pengetahuan, kebenaran, dan tradisi yang diyakini sekaligus juga menyadari sepenuhnya keberadaan tradisi lain. Tujuan pendidikan Islam pluralis-multikultural bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan, apalagi keseragaman, karena ini adalah sesuatu yang absurd dan agak mengkhianati tradisi suatu agama.
2.      Metode pendidikan Islam pluralis-multikultural
Adapun metode yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam pluralis-multikultural cukup beragam, antara lain sebagai berikut:
a.    Metode dialog
Metode dialog ini sangat efektif, apalagi dalam proses belajar mengajar yang sifatnya kajian perbandingan agama dan budaya. Sebab, dengan dialog memungkinkan setiap komunitas yang notabene-nya memiliki latar belakang agama yang berbeda dapat mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam prose inilah natinya diharapkan adanya sikap lending and borrowing serta saling mengenal antartradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing anak didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan bahkan dihilangkan.
Metode dialog ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak, sebab metodenya telah mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded). Di samping juga untuk bersikap objektif dan subjektif sekaligus.
b.    Metode belajar aktif (collaborative learnig)
Belajar aktif adalah belajar dengan memperbanyak aktivitas peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dari berbagai sumber, buku teks, perpustakaan, internet, atau sumber-sumber belajar lainnya, untuk mereka bahas dalam prose pembelajaran di kelas. Dengan demikian, mereka akan meperoleh berbagai pengalaman yang tidak saja menambah kompetensi pengetahuan mereka, tetapi juga akan menambah kemampuan mereka untuk melakukan analisis, sintesis, dan menilai informasi yang relevan untuk dijadikan sebagai nilai baru dalam hidupnya yang kemudian diimitasi dan dibiasakan dalam kehidupannya. Belajar dengan model ini bisa disebut dengan self discovery learning, yaitu belajar dari penemuan mereka sendiri.
Pada model ini belajar semacam ini, tugas guru adalah harus mampu menjelaskan tugas apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, tujuannya apa, kemana mereka harus mencari informasi, bagaimana mengolah informasi tersebut dan membahasnya dalam kelas, sampai mereka memiliki kesimpulan dalam kelompoknya masing-masing. Dalam proses inilah guru harus terus memberikan bimbingan dan arahan.
Sedangkan collaborative learning adalah proses pembelajran yang dilakukan secara bersama-sama antara guru dan peserta didik. Pada posisi ini, guru adalah pembelajar senior yang harus mentransformasikan pengalaman belajarnya kepada peserta didik. Guru harus dapat membantu berbagai kesulitan yang dihadapi peserta didik. Demikian pula diantara sesama peserta didik.
c.    Metode ceramah
Metode ceramah ini efektif dalam menyampaikan pengetahuan dan informasi yang beragam, namun memiliki keterbatasan waktu. Metode ini lebih efektif dengan dibangunnya iklim yang kondusif bagi Tanya jawab. Strategi ini penting dilakukan, karena dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peserta didik.[4]
Metode merupakan sarana yang penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai pluralis-multikultural, metode-metode sebagai diuraikan di atas dapat menjadi pilihan bagi guru dalam proses pembelajaran, sekaligus membuka peluang bagi  guru untuk mengembangkan metode lain yang diyakini dapat mencapai tujuan. Sebab, pada dasarnya tidak ada metode yang sempurna. Disinilah tugas guru memilih metode yang tepat sehingga bisa sangat menentukan keberhasilan mencapai tujuan pembelajaran.



[1]Ibid.,
[2]Zubaedi, �Islam: Benturan dan Antarperadaban�, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 56.
[3] Ngainum Naim dan Achmad Sauqi, hlm. 53-55.
[4]Ibid., hlm. 55-59.