Thursday, 1 December 2016

KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA




MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 


BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141








MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141






MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141








MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141










MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141











MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141






MAKALAH
KLASIFIKASI HADITS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Untuk memenuhi Tugas Ulumul Hadits
Dosen Pengampu Bapak ZAGLUL FITRIAN DJALAL, LC, MA 




DisusunOleh:
Imam Hanafi



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN


DAFTAR ISI
Halaman Sampul                     .....................................................................
Daftar Isi................................................................................................... ii
 BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 2
A.    Klasifikasi Hadits Dari Segi Kualitas Sanad......................................   2
B.     Pengertian Hadits Shahih...................................................................... 2
C.     Kehujjahan Hadits Shahih,................................................................... 5
D.    Pengertian Hadits Hasan ...................................................................... 6
E.     Kehujjahan hadits hasan ...................................................................... 6
F.      Pengertian hadits dha’if ....................................................................... 7
G.    Macam-macam hadits Dha’if ............................................................... 7
H.    Kehujjahan hadits dha’if ...................................................................... 9
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A.    Kesimpulan......................................................................................... 13
B.     saran.................................................................................................... 13
Daftar Pustaka................................................................................... 14









 

BAB I
PENDAHULUAN

 Pada awalnya Rasulullah S.AW melarang sahabat untuk menulis hadits, karena dikhawatirkan penulisannya bercampur dengan  Al-Qur’an. Namun kemudian Rasulullah memerintahkan untuk menulis hadits.
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang  rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, dari pada hadits yang diriwayatkan  oleh rawi yang lemah ingatannya.[1]
Pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan dikemukakan pembagian hadits di tinjau dari segi Kualitas Sanadnya.
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
Hadits Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya). Dan Hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Klarifikasi Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitas Sanadnya
A.       Pengertian
Di tinjau dari segi kualitas sanad, para ulama membagi hadits menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan,  dan Hadits Dha’if.
1.    Hadits Shahih
a.      Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut Bahasa shahih berarti sehat, bersih daeri cacat, sah, atau benar. Shahih. Menurut para ulama hadits shahih yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith.
Menurut Al-Suyuthi
ما هتصل سنده بالعدول الضا بطين من غير شدود ولا علة
“hadits yang bersambungsanadnya,diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabit, tidak syadz dan tidak ber’illat[2].
b.      Syarat-sarat hadits shahih
1.         Rawinya bersifat adil
Menurut Ibnus-Sam’any, seorang rawi bisa disebut adil bila:
a.          Menjaga ketaatan dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
b.         Menjauhi dosa-dosa kecil.
c.         Meningkatkan perbuatan mubah yang dapat menggugurkan iman kepada Qadar dan menjadiakn penyesalan.
d.        Tidak mengikuti salah satu mazhab yang bertentangan dengan dasar syara’.



Sedangkan Muhyiddin Abdul Hamid menjelaskan bahwa adil berarti;
a.         Islam.
b.         Mukallaf.
c.         Selamat dari sebab-sebab yang menjadikan seseorang fasik dan mencacatkan kepribadiannya.
2.         Sempurna ingatannya
Daya ingatannya kuat, dari awal menerima hadits hingga di sampaikan kepada orang lain tidak ada yang lupa. Sanggup dikeluarkan dimana dan kapan saja dikehendaki.jika demikian disebut Dhabit Shadran.
Sedang bila hadits yang disampaikan berdasarkan pada buku catatan (teks book), maka disebut Dhabit Kitabah. Adapun rawi yang memiliki sifat adil dan dhabit disebut “Rawi Tsiqah” (dapat di pertanggung jawabkan).
3.         Sanadnya tidak terputus
Sanadnya bersambung, tidak ada yang terputus, karena tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.         Tidak mempunyai illat
Selamat dari illat (penyakit) hadits, yaitu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshahihan suatu hadits. Misalnya, meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadaphadits mursal (gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (gugur salah seorang rawinya). Demikian juga dapat dianggap illat hadits, jika ada sisipan dalam matan haditsnya.
5.         Tidak janggal
Hadits yang rawinya maqbul (dapat diterima priwayatannya) tersebut tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajin (kuat), disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebhan dalam kedhabitan rawinya atau adanyasegi-segi tarjih lainnya.[3]


c.       Variasi  hadits shahih
1)        Mutlak
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh semua kalangan.
2)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal oleh kalangan / kelompok bi Shohabi sahabat (ulama tertentu).
3)        Muqoyyad
Hadits yang keshahihannya dikenal diwilayah / negara tertentu.
d.      Urutan keshahihan hadits
Ialah hadits yang diriwayatkan oleh:
1)      Bukhari dan Muslim.
2)      Bukhari sendiri.
3)      Muslim sendiri.
4)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim.
5)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Bukhari sendiri.
6)      Ulama’ yang memakai syarat-syarat yang dipakai oleh Muslim sendiri.
7)      Ulama’ yang dipandang (mu’tabar).[4]

B.       Macam-macam hadits shahih
Hadits shahih terbagi menjadi dua bentuk yaitu;
1)      Shahih li-Dzatihi (صحيح لداته)
Hadits shahih yang secara sempurna memenuhi kreteria persyaratan tersebut.
2)      Shahih li-Ghairihi(صحيح لغيره)
Hadits yang rawinya kurang lafizd dan dhabit (hasan llizzatih), namun ada sanad lain yang serupa atau lebih kuat, sehingga menutupi kekurangan-kekurangannya.



C.       Kehujjahan hadits shahih
Para ulama ahli hadits dan sebagian ulam ahli ushul serta ahli fiqih sepakat menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal dengannya.. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan denagan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah(keyakinan)
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qath’i, yaitu Al-Quran dan Hadits Mutawattir untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan tidak dengan hadits ahad. Sebagian ulama lainnya dan Ibnu Hazm Al-Dhahiri menetapkan bahwa ahadits shahih memfaedahkan ilmu qath’i dan wajib di yakini. Dengan demikian hadits shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah.

D.       Martabat hadits shahih
Dalam hadits shahih ada tingkatan-tingkatan berdasarkan kedhabitan dan keadilan para perawinya, yaitu;
1)      اصح الاسا ند (Sanadnya paling shahih, misalnya bagi Imam Bukhari adalah Malik, Nafi’, dan Ibnu Umar, bagi Imam An-Nasa’i adalah Ubaidillah Ibnu ‘Abbas dan Umar bin Khattab)
2)      متفق عليه (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
3)      رواه البخارى (Hadits Riwayat Imam Bukhari).
4)      رواه مسلم(Hadits Riwayat Imam Muslim).
5)      شراط البخارى ومسلم (menurut syarat-syarat Imam Bukhari dan Muslim).
6)      صحيح على شرط البخارى (shahih memenuhi syarat Imam Bukhari).
7)      صحيح على شرط مسلم (shahih memenuhi syarat Imam Muslim).
8)      Hadits yang ditakhrij dengan tidak menggunakan syarat Bukhari dan Muslim.[5]




2.         Hadits Hasan
a.      Pengertian Hadits Hasan
Menurut bahasa berarti hadits yang hadits yang baik. Para ulama menjelaskan bahwa hadits hasan tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Kekurangan hadits hasan dari hadits shahih adalah pada keadaan rawi yang kurang dhabith, yakni kurang kuat hafalannya. Semua syarat hadits shahih dapat dipenuhi dhabithnya rawi (cermatnya rawi).
Menurut  istilah hadits hasan iyalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sanadny bersambung, tidak mengandung illat, dan tidak janggal, namun rawinya kurang dhabith (kurang baik tingkat hafalannya).
Menurut Al-Tirmidzi adalah
ما روي من وجهين, وليس في روا ته من هو متهم بالكدب, ولا هو شاد مخالف للأ حاديث الصحيحة
Hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih.  
b.      Macam-macam hadits hasan
1)      Hasan Li-Dzathi
Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat hadits hasan.
2)      Hasan Li-Ghairihi
Hadits yang sanadnya ada yang dirahasiakan (mastur), tidak jelas keahliannya, namun mereka bukan pelupa, tidak banyak salah dan tidak dituduh dusta dalam perawitannay.[6]
c.       Kehujjahan hadits hasan
Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun drajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memsukkan hadits hasan ini, baik hasan Li-Dzathi maupun hasan Li-Ghairi kedalam kelompok shahih. Al-Kattabi kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan disini (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadits hasan Li-Dzathihi.

Sedangkan hadits hasan Li-Ghairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisi atau ditutupi oleh banyaknya riwayat(riwayat lain), maka sahl-lah berhujjah dengannya, namun hadits hasan baik Li-Dzathihi maupun Li-Ghairihi kehujjahannya dibawah hadits Shahih.[7]
3.         Hadits dha’if
a.      Pengertian hadits dha’if
Dha’if menurut bahasa artinya “lemah”. Adapun yang disebut hadits dha’if menurut istilah adalah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau
Menurut Al-Nawawi hadits hasan ialah;
ما لم يوجد فيه شروط الصحيحة ولا شروط الحسن
“hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits Shahih dan syarat-syarat hadits Hasan”
b.      Macam-macam hadits dha’if
1)      Hadits Syadz
Yaitu hadits yang diriayatkan perawi yang dapat diterima, akan tetapi haditsnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya dan lebih diterima, karena kedhabitannya lebih atau karena perawinya lebih banyak.
2)      Hadits Munkar
Yaitu hadits yang perawinya lemah erta bertentangan dengan hadits yang perawinya tsiqoh(bisa dipercaya).
3)      Hadits Mudho’af
Yaitu hadits yang belum disepakati atas kedha’ifannya, sebagian ulama mendhaifkan dan ebagian lagi menguatkannya, tetapi yang mendhaifkannya lebih kuat dari pada yang menguatkannya, dan tidak bisa dilakukan tarjih (mencari jalan keluar).
4)      Hadits Matruk
Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dianggap pendusta, baik pada  hadits Nabi maupun dalam ucapannya, atau dikenal kefaikannya.
c.       Kehujjahan hadits dha’if
Hadits dhaif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhaifannya, misalnya karena kemaudhuannya, ada juga yang bisa tertutupi kedhaifannya (karena ada faktor yang lainnya). Yang pertama itu para ulama sepakat tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal.
Sementara untuk menjelakan jenis yang kedua, ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik untuk penetapan hukum-hukum, akidah, maupun fadhail al ‘amal, dengan alasan karena hadits dhaif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rasulullah SAW. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Al Bukhari, Imam Muslim, dan Abu Bakar Abnu Al’Araby. Ementara bagi kelompok yang memperbolehkan beramal dengan hadits dhaif ini secara mutlak adalah Imam Abu Hanif, An-Nisa’i, dan juga Abu Dawud. Mereka berpendapat baha mengamalkan hadits dhaif ini lebih disukai dibandingkan mendasarkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari kualitas sanadnya para ulama memabagi menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Kemudian yang dimaksud hadits shaih ialah yaitu hadits yang susunan lafazhnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi (Al-Quran), hadits mutawatir, atau ijmak dan sanadnya bersambung serta para rawinya adil dan dhabith. Sedangkan hadits hasan ialah hadits yang tidak mengandung illat dan tidak mengandung kejanggalan. Dan pengertian dari hadits dha’if  ialah hadits yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadits shahih atau.
B.     Saran
Pada penyusunan makalah ini kami sangat  menyadari masih banyaknya kekurangan baik berupa bahasa maupun cara penyusunannya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran guna menciptakan penyusunan makalah yang lebih baik.















DAFTAR PUSTAKA

            Al-maliki, Muhammad Alawi.2009.ilmu Usul Hadis.Yogyakarta. PT Tiara  Wacana Yogya
       Ismail, M. Syuyudi. 1993. Pengantar Ilmu Hadits.Bandung: Angkasa
Zuhri, Muh.Tanpa Tahun.Hadits Nabi Telaah dan Metodologis.Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya
Sparta, Munzier.2010.Ilmu Hadits.Jakarta: Raja Wali Pers




[1] M. Syuyudi Ismail.Pengantar Ilmu Hadits.(Bandung;Angkasa 1993). Hlm 139
[2] Muhammad Alawi Al-Maliki,ilmu Usul Hadits (Yogyakarta:PT.Tiara Wacana Yogya). Hlm 87

[3] Muh. Zuhri,Hadits Nabi Telaah dan Metodologis, (Yogyakarta : PT Tiara  Wacana Yogya). Hlm 89

[4] Ibid, hlm70
[5] Munzir Suparta. Ilmu Hadits.(Jakarta: Raja Wali Pers,2010). Hlm 134
[6] Ibid, hlm135
[7] Munzier Suparta. Hlm 141