Thursday, 8 December 2016

penjelasan tentang Muthlaq dan muqoyyad secara rinci dan lengkap


BAB I
PENDAHULUAN
                        Dalam  menjalankan  kehidupan yang bermakna dan manfaat  diperlukan adanya upaya untuk membuat waktu yang dimiliki secara efisien, karenanya manusia akan memperoleh keuntungan sesuai yang ia harapkan. Manusia secara instiktif  adalah makhluk sosial, dimana ia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Karenanya ia membutuhkan teman serta  Masyarakat  untuk berinteraksi  baik  pergaulan bersifat  batin  ataupun  lahiriyah  sesuai yang  dibutuhkan.
                        Setiap  manusia yang telah di bekali  dengan  rasa ingin  tahu terhadap berbagai macam ilmu, baik itu  berupa  ilmu umum maupun ilmu agama, dalam  pendidikan  ilmu agama sangat  penting  untuk   mengetahui  tentang  ilmu  ushul   fiqh  yang  merupakan  suatu ilmu yang  membahas tentang  fiqih dan  hukum  Islam, di  mulai pada  masa  Rasulullah dan sesudahnya, ditinjau  dari  segi  ulama dan  keadaan hukum  waktu  itu  dan ciri  spesifiknya.
            Diantara  pembahasan yang  terkandung  dalam  ushul  fiqh  ialah  tentang  hukum  dan  batasan  muthlaq  dan  muqoyyad agar  dapat  mengetahuinya  secara  luas  dan  terperinci
Mengerti  dan  memahami  secara luas  tentang  hukum-hukum yang  ada  dalam  Islam  sangat  penting bagi kehidupan manusia serta  menambah wawasan  pengetahuan tentang  hukum Islam agar  hidup  menjadi  terarah,  maka  dari  itu  kami dari kelompok enam  membuat  makalah dengan judul “muthlaq dan muqoyyad” agar dapat  menambah wawasan  ilmu  pengetahuan  bagi  semua para pembaca.
Rumusan  masalah  yang  terdapat  pada makalah ini adalah:
1.    Muthlaq dan muqoyyad
2.    Perbedaan  ‘am dan muthlak
3.    Hukum  lafadz  muthlaq dan muqoyyad
4.    Hal-hal  yang  di perselisihkan  dalam  muthlaq dan muqoyyad
5.    Hukum muthlaq  yang  sudah di batasi
6.    Hukum  muqoyyad yang dihapuskan batasannya
7.    Beberapa ketentuan dalam  hukum  muthlaq  dan  muqoyyad
C.            Tujuan
Adapun  tujuan dari  pembuatan  makalah ini adalah untuk  mengetahui:
1.    Muthlaq dan muqoyyad
2.    Perbedaan  ‘am  dan muhlaq
3.    Hukum lafadz muthlaq dan muqoyyad
4.    Hal-hal yang  di  perselisihkan dalam muthlaq dan muqoyyad
5.    Hukum muthlaq  yang  sudah di batasi
6.    Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya
7.    Beberapa  ketentuan dalam  hukum  muthlaq dan muqoyyad


















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Muthlaq dan muqoyyad
Pengertian  muthlaq  dan muqoyyad
Muthlaq ialah lafadz-lafadz  yang  menunjukkan  kepada  pengertian  dengan  tidak ada  ikatan (batasan) yang tersendiri berupa  perkataan, seperti firman Allah  swt
فَتَحْرِ يْرُرَقَبَةٍ . . .
Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya (Q.S. Mujahadah: 3)
            Ini  berarti  boleh  membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin atau hamba sahaya yang mukmin. Lafadz  muthlaq  dari segi  meliputi  sejumlah  afrad, adalah sama dengan  lafadz  ‘am. Namun diantara keduanya  terdapat  perbedaan  yang  prinsip,  lafadz ‘am itu umumnya  bersifat syumuli (melingkupi) sedangkan  keumuman dalam lafadz  muthlaq  bersifat badali  adalah  kauli (mengganti).
            Muqoyyad  ialah  suatu lafadz  yang menunjukkan  atas  pengertian  yang  mempunyai batas  tertentu  berupa perkataan, seperti firman Allah swt :
مَنْ قَتَلَ مُؤْ مِنًا خَطَاءً فَتَحْرِ يْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْ مِنَةٍ     
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia   memerdekakan  seorang  hamba sahaya  yang  beriman (Q.S. an-Nisa’: 92)
            Disini tidak  sembarangan  hamba sahaya yang di bebaskan, tetapi ditentukan hanyalah  hamba  sahaya  yang beriman. Perbedaan  antara  muthlaq  dan  muqoyyad  itu  adalah bahwa muthlaq  menunjuk  kepada  hakikat  sesuatu  tanpa  ada  suatu  keterangan yang  mengikatnya dan tanpa  memperhatikan satuan serta jumlah. Umpamanya  firman  Allah  dalam  surat  al-Mujadalah (58): 3
فَتَحْرِ يْرُرَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَا سَا    
            Lafadz raqabah  yang berarti hamba sahaya dalam ayat ini di sebutkan dalam bentuk muthlaq karena tidak di iringi dengan sifat apapun. Pengertian ayat ini berarti keharusan memerdekakan hamba sahaya dalam bentuk apapun. Jadi hanya menuntut memerdekakan yang  bernama  hamba  sahaya.
            Sedangkan muqoyyad, menunjuk kepada hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau sifat dan keadaan. Hal, sifat, keadaan  atau kuantitas  yang   menyertai  muqoyyad  itulah  yang  disebut  qasyid (ikatan).
            Bila  suatu  hukum datang  dalam  bentuk  muthlaq, maka  hukum  itu  diamalkan secara  kemutlaqannya, demikian pula bila hukum itu datang dalam  bentuk  muqoyyad,  maka hukum  itu  diamalkan  menurut  qayid yang menyertainya,  seperti  dalam contoh diatas. Dalam  hal  ini  tidak  ada  beda  pendapat  dikalangan ulama.
            Namun adakalanya hukum itu datang dengan bentuk  muthlaq  dalam  suatu nash hukum dan datang pula  dengan  bentuk  muqoyyad  dalam  nash  hukum lain. Dalam  masalah ini  ada  beberapa  bentuk  pola  hubungan  antara  lafadz   muthlaq  dan  muqoyyad  yaitu: :
1.    Sasaran dari dua  nash hukum itu  adalah satu. Jadi, hukum  yang  disebutkan  adalah   sama dan sebab  yang  menimbulkan  hukum  itu  juga  sama.
2.    Sebab  yang  menimbulkan  hukum  berbeda  antara lafadz  muthlaq  dan  muqoyyad, namun  hukum  yang  terdapat  dalam  dua  lafadz  tersebut  adalah sama
3.    Sebab  yang   menimbulkan  hukum  adala sama sedangkan hukumnya berbeda
4.    Sebab yang menimbulkan hukum dalam lafadz muthlaq dan lafadz muqoyyad adalah berbeda, demikian pula hukumnya pun berbeda pula. Dalam bentuk ini, ulama sepakat mengatakan bahwa lafadz muthlaq tidak di tanggungkan  kepada  lafadz  muqoyyad, masing-masing  diperlukan  menurut  sifatnya.
5.    Adakalanya salah satu diantara keduanya (lafadz muthlaq dan muqoyyad) dalam bentuk itsbat (membenarkan) dan yang satu lagi dalam bentuk nafy (membantah). Cotohnya seorang berkata, “Merdekakan hamba sahaya”. Lalu berkta lagi “Jangan memerdekakan hamba sahaya yang kafir”. Lafadz muthlaq dalam contoh tersebut diberi qayid dengan kebalikan  atau  lawan dari qayid  pada  lafadz yang muqoyyad. Dalam contoh pertama kata “hamba sahaya” di beri  qayid  dengan “muslim”.
6.    Bila dalam keduanya (lafadz  muthlaq dan muqoyyad) dalam bentuk nafy atau dalam bentuk melarang, atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu lagi dalam bentuk melarang, maka lafadz mutlaq diberi qayid dengan sifat yang terdapat dalam lafadz muqoyyad.
7.    Bentuk  lain  adalah  lafadz  muqoyyad  berada  dalam dua  tempat  yang  berbeda.
B.  Perbedaan  antara ‘am  dan muthlaq
Ulama membedakan antara lafadz ‘am dan muthlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup semua satuannya sekaligus, adapun muthlaq tidak dapat mencakup sekaligus semua  satuannya kecuali sesuatu yang  menonjol  diantara satuannya  itu, sebagaimana dijelaskan oleh  ungkapan  berikut ini:
مُ الْعَامِ شُمُوْ لِيٌ وَعُمُوْ مُ الْمُطْلَقِ بَدَ لِيٌعُمُو
Artinya: “Kemudian ‘am itu bersifat  menyeluruh  sedangkan  keumuman  muthlaq itu bersifat mengganti/ mewakili. “
C.  Hukum  lafadz  muthlaq dan muqoyyad
Pada dasarnya nash muthlaq termasuk  lafadz-lafadz  yang  dapat  memberikan  makna/ pengertian  yang  cukup  jelas,  sehingga  tanpa adanya  lafadz  nash  yang  muqoyyad pun pemaknaan hukum dari lafadz tersebut sudah dapat dipahami. Oleh karena itu para ulama’ memberikan qo’idah tentang lafadz  muthlaq  itu dengan  lafadz  muthlaq  tetap   dalam  kemutlaqannya  sampai  ada  dalil  yang  membatasi  kemutlaqannya.
Sebaliknya lafadz yang muqoyyad juga sudah memberikan pengertian makna yang jelas baik  dari segi normatip  maupun  operasionalnya, sehingga hukum yang dikandung dalam lafadz muthlaq sudah bisa langsung diterapkannya tanpa menunggu atau adanya penjelasan  yang lainnya. Sering kita temui adanya dalil  tentang  sesuatu  masalah  disebutkan  dengan  lafadz  muthlaq  kemudian  ditempat  lain  baik  dalam  masalah yang serupa dengan lafadz  muqoyyad, sebaliknya dalam suatu masalah disebutkan dengan lafadz mutlaq sedangkan di  tempat  lain  dengan masalah yang berlainan lafadz itu disebutkan dengan secara  muqoyyad.
Permasalahannya bukan pada dalil yang sama masalahnya akan tetapi kesamaan lafadznya, apabila  ada  lafadz dalil di suatu tempat  disebut  dengan lafadz muthlaq sedangkan di tempat  lain di sebutkan  dengan  lafadz  muqoyyad,  maka  ada  empat  kemungkinan
a.    Sama  hukum  dan  sama sebabnya
Apabila  keduanya  memiliki hukum dan sebab yang sama, maka yang muthlaq harus dibawa kepada muqoyyad, artinya yang muthlaq itu harus dimaknai menurut yang muqoyyad.
b.    Berbeda  hukum  maupun  sebabnya
Dalam hal demikian  masing-masing  lafadz berdiri sendiri-sendiri, yakni yang muthlaq tidak  bisa  dimaknai  oleh  yang  muqoyyad. Contoh muthlaq
وَالسَّا رِقُ وَلسَّا رِقَةُ فَا قْطَعُوْا اَيْدِ يَهُمَا
Artinya: “Pencuri  lelaki  dan  perempuan  potonglah  tangannya”.
Contoh  muqoyyad
يَااَ يُّهَا الَّذِ يْنَ اَمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِ لَي الصَّلَو ةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَ اَيْدِ يَكُمْ اِلَي الْمَرَ ا فِقِ
Artinya: “Wahai orang mukmin, apabila kamu  hendak  solat  hendaklah  basuh  muka    mu  dan  tangan  mu  sampai siku”. (QS. al-Maidah: 6)
Ayat 6  al-Maidah  yang  muqoyyad  tidak  bisa  menjadi  penjelas  ayat  38 al-Maidah yang  muthlaq  karena  berlainan  sebab, yaitu  hendak solat dan pencurian  dan  berlainan pula dalam hukum yaitu wudhu dan pemotongan tangan. Dalam hal ini hadits nabi Muhammad  yang  menjadi  penjelas  ayat  38 al-Maidah  karena  pembicaraannya  (sebab dan  hukum)  sama
c.    Berbeda  hukum  tetapi  sama sebabnya
Dalam  hal  yang demikian ada dua pendapat, yang pertama bahwa yang muthlaq  dimaknai  oleh  muqoyyad,  sedangkan pendapat kedua yang muthlaq tidak dapat  dimaknai oleh muqoyyad. Contoh muthlak
اَلتَّيَمَّمُ ضَرْ بَةٌ لِلْوَ جْهِ وَالْيَدَ يْنِ
Artinya: “Tayamum  ialah sekali  mengusap  debu  untuk   muka  dan  kedua  tangan”. (HR. Ammar)
Contoh  muqoyyad
فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَ اَيْدِ يَكُمْ اِلَي الْمَرَ ا فِقِ
Artinya: “Basuhlah  mukamu  dan  tangan mu sampai siku” (QS. al-Maidah: 6)
Ayat 6 al-Maidah tersebut  yang  muqoyyad  tidak  bisa  menjadi  penjelasan.  Hadits   yang  muthlaq karena berbeda hukum, yang dibicarakan yaitu wudhu pada ayat 6 al-Maidah dan  tayamum  pada hadits meskipun sebabnya sama yaitu hendak salat atau karena  hadats  (tidak suci).  Tangan  bisa  diartikan  dari  ujung  jari  sampai  pergelangan atau  siku-siku  atau  sampai bahu.
d.   Sama  hukum  tetapi  berbeda  sebabnya
Dalam hal ini golongan Syafi’iyah  berpendapat muthlaq dibawa (dimaknai) oleh muqoyyad,  sedangkan  golongan  Hanafiyah  dan  Malikiyah  berpendapat  muthlaq   tetap
pada  muthlaq dan muqoyyad,  jadi  muthlaq  tidak (dibawa) dimaknai oleh  muqoyyadnya.
اَ لْمُقَيَّدُ بَا قٍى عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَالَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَ قِهِ
Artinya : “ lafadz muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
            Contoh, kafarat zhihar (perkataan suami kepada istrinya yang menyamakan istri dengan ibunya) yaitu  memerdekakan  budak atau  puasa  dua bulan  berturut-turut  atau  kalau  tidak  mampu ia  harus  memberi  makan  sebanyak  60 orang miskin. (.S. al-Mujadalah: 3-4) ayat  tersebut  telah  dibatasi  kemutlakannya  maka  harus diamalkan  hukum  muqoyyadnya.
            Pada  prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafadzh muthlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang  membatasi  kemutlakannya, begitu juga  hukum  lafadz  muqoyyad  itu  berlaku  pada  kemuqoyyadannya, yang  menjadi persoalan di sini  adalah  muthlaq dan muqoyyad yang  terbentuk  pada  lima  bentuk  tersebut,  ada  yang  di  sepakati  dan ada  yang  di  perselisihkan. Yang di sepakati adalah:
1.    Hukum  dan  sebabnya  sama,  di sini para ulama sepakat bahwa  wajibnya membawa lafadz   mutlaq  kepada muqoyyad.
2.    Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafadz yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqoyyad  tetap  pada  kemuqoyyadannya.
3.    Hukumnya  berbeda sedangkan  sebabnya  sama.  Pada  bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa  lafadz  muthlaq kepada muqoyyad, masing-masing tetap  berlaku  pada  kemutlakannya dan  kemuqoyyadannya.
D.  Hal-hal  yang  di  perselisihkan  dalam  mutlaq dan muqoyyad
1.    Kemuthlaqan dan kemuqoyyadan terdapat  pada  sebab  hukum  namun,  masalah  (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan  Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa muthlaq kepada muqoyyad, oleh sebab itu mereka  mewajibkan  zakat  fitrah  kepada  hamba  sahaya. Sedangkan ulama  Hanafiyah tidak mewajibkan  membawa  lafadz muthlaq  pada  muqoyyad, oleh sebab  itu  ulama  Hanafiyah  mewajibkan  zakat  fitrah  atas  hamba  sahaya  secara  muthlaq.  Mutlaq  dan muqoyyad terdapat pada nash yang sama  hukumnya, namun sebabnya berbeda.
E.   Hukum  mutlaq  yang  sudah  di batasi
اَلْمُطْلَقُ لاَيَبْقَى عَلَى اِطْلاَ قِهِ اِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ    
Artinya : “Lafadz  mutlaq tidak  boleh dinyatakan  mutlaq  jika telah ada yang membatasinya.”
            Lafadz mutlaq jika telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqoyyad. Contohnya  ketentuan  wasiat  terdapat  dalam Q.S. an-Nisa/4: 11
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْ صِى   
Artinya : “sesudah  dipenuhi  wasiat  yang  ia  buat  atau  (dan)  sesudah  dibayar  utangnya.”
            Kata  wasiat  pada  ayat  diatas  masih bersifat  muthlaq tidak  ada batasan berapa jumlah yang harus dikeluarka. Kemudian ayat ini di batasi ketentuannya oleh hadis yang menyatakan  wasiat  paling  banyak  sepertiga  harta  yang  ada. Sebagaimana  sabda  nabi:
فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيْرٌ   (رواه البخارى ومسلم)   
Artinya :”Wasiat  itu  sepertiga  dan  sepertiga  itu sudah banyak .” (HR. Bukhori dan Muslim)
F.   Hukum  muqoyyad  yang  dihapuskan  batasannya
Lafadz muqoyyad jika di hadapkan oleh dalil lain yang menghapus ke muqoyyadannya  maka  ia  menjadi mutlaq:
اَ لْمُقَيَّدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِيْدِهِ اِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَ قِهِ
Artinya :”Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan  kemutlakannya.”
            Contohnya  haram  menikahi  anak tiri.  Karena pertama,  anak tiri dalam pemeliharaan bapak  tirinya dan kedua ibu  yang  dikawininya  telah  dicampuri.  Alasan kedua,  dipandang  sebagai  hal  yang  membatasi.  Adapun  alasan  pertama  hanya  mengikuti saja. Jadi  bila ayah tiri belum mencampuri  ibunya  maka  anak  tiri  boleh  dinikahi.  Maka hukum  mengawini anak tiri ini yang  semula haram (muqoyyad) menjadi halal  karena batasan  muqoyyad  telah  dihapus
G.  Beberapa  ketentuan dalam  hukum  muthlaq  dan  muqoyyad
Dalam dalil  syara’ sering  ditemukan  dalil  syara’ yang  memiliki  hukum gandadi satu tempat ia menunjukkan arti muthlaq sedang di tempat lain ia bermakna muqoyyad. Permasalahannya, apakah  ia dihukumi  muthlaq atau  muqoyyad atau  masing-masing  berdiri sendiri. Maka  untuk  mengatasinya ada  empat  alternatif  kaidah  sebagai solusinya:
1.        اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَا تَّفَقَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq  itu  dibawa  ke muqoyyad  jika  sebab dan  hukumnya sama.”
Jika antara muthlaq dan muqoyyad sama dalam materi dan hukumnya, maka hukum muthlaq  disandarkan  kepada  muqoyyad.  Contoh,  Allah   mengharamkan   darah   bagi  orang  yang  beriman:
 عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ حُرِّمَتْ
Artinya :”Haram  bagi  kamu  makan  bangkai  dan darah (Q.S. al-Maidah /5 :3)
Kemdian keharaman makan darah itu dibatasi oleh darah yang mengalir saja yang terdapat  dalam  ayat  berikut  ini:
قُلْ لاَ اَجِدُ فِى مَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَا عِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْ حًا
Artinya : ”Katakanlah: tiada  aku  peroleh  dalam  wahyu  yang  di  wahyukan   kepadaku, sesuatu yang di haramkan bagi orang yang  hendak  memakannya,  kecuali kalau makanan  itu  bangkai, atau  darah  yang   mengalir “. (Q.S. al-An’am/6 : 145)
Dari kedua ayat diatas terlihat materi dan hukumnya sama maka hukum mutlaq disandarkan  kepada  hukum muqoyyad, yaitu hanya darah  mengalir yang di haramkan. Adapun  hati  ataupun  limpa  yang  tidak  mengalir  itu  di halalkan.
2.        اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِنِ اخْتَلَفَا فِى السَّبَبِ
Artinya :”Muthlaq  itu  dibawa  ke muqoyyad  jika  sebabnya berbeda.”
Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Maka menurut  jumhur ulama Syafi’iyah muthlaq di bawa kepada muqoyyad. Contoh  membunuh dengan tidak sengaja   kafaratnya berupa  memerdekakan budak  yang  mukmin:
وَمَنْ قَتَلَ مُوءْ مِنًا خَطَئًا فَتَحْرِ يْرُ رَقَبَةٍ مُّوءْ مِنَةٍ
Artinya :”Barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan  seorang  hamba  sahaya yang  beriman. (Q.S.an-Nisa/4 :92)
Sementara  untuk  kafarat  zhihar  yaitu  “memerdekakan budak”  tanpa  dibatasi  mukmin atau  tidak (Q.S. al-Mujadalah/58 :3)
وَالَّذِ يْنَ يُظَهِرُوْنَ مِنَ نِّسَا ئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْ دُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِ يْرُ رَقَبَةً
Artinya :” Orang-orang yang menzhihar istri mereka,  kemudian  mereka  hendak menarik kembali apa  yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang  budak (Q.S. al-Mujadalah/58 :3)
Maka berdasarkan  kaidah  tersebut, kafarat  zhihar yang  terdapat  dalam surat al-Mujadalah  di atas  harus  memerdekakan  budak  yang  mukmin. Karena  kafarat  zhihar  di atas  bersifat  muthlaq.
3.        اَلْمُطْلَقُ لاَ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَا ا خْتَلَفْنَا فِى الْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq  itu  tidak  dibawa ke  muqoyyad  jika yang berbeda hanya hukumnya.”
Jika  antara  muthlaq  dan  muqoyyad  berbeda  dalam  hukum  tetapi  sama  dalam   sebab maka  muthlaq  tidak  dapat  dibawa  kepada  muqoyyad. Contohnya  hukum wudhu dan tayammum. Dalam  berwudhu diwajibkan membasuh tangan sampai mata siku  sebagaimana di  tegaskan dalam al-Qur’an:
يَاَيًّهَا الَّذِ يْنَ ءَامَنُوْ اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوَةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وًاَيْدِ يْكُمْ اِلَى الْمُرَا فِقِ
Artinya :” Hai orang-orang yang beriman, apabila  kamu  hendak  mengerjakan shalat, maka  basuhlah  mukamu  dan  tangan  mu  sampai  dengan  siku. (Q.S. al-Maidah /5:6)
Adapun  pada  tayammum  tidak  dijelaskan sampai  ke siku.
 فَتَيَمَّمُوْا  صَعِيْدًا طَيِّبًا فَمْسَحُوْا بِوُ جُوْهِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ
Artinya :”Maka  bertayammum lah  dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu dan tangan mu dengan dengan tanah itu. (Q.S. an-Nisa/4 :43)
Sebab yang dikandung oleh dua ayat di atas sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan  menyapu tangan pada tayammum. Dengan demikian, harus di amalkan secara masing-masing  karena  tidak  saling  membatasi.
4.        اَلْمُطْلَقُ لاَ يُحْمَلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَ ااخْتَلَفَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq  tidak  dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukum-hukumny berbeda.”
Berbeda sebab dan hukumnya maka  muthlaq  tidak dapat di sandarkan kepada muqoyyad. Masing-masing  berdiri sendiri,  misalnya  hukum  potong tangan bagi pencuri laki-laki dan  perempuan.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ  فَقْطًعُوْا اَيْدِ يَهُمَا جَزَاءَ بِمَا كَسَبَا نَكَلاً مِّنَ اللّهِ وَا للّهُ عَزِ يْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya :”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya  (sebagai)  pembalasan  bagi  apa yang  mereka  kerjakan  dan  sebagai  siksaan dari  Allah  dan  Allah  maha  perkasa  lagi  maha  bijaksana. (Q.S. al-Maidah/5 :38)
Kewajiban berwudhu salah satunya adalah membasah tangan sampai siku-siku sebagaimana  dijelaskan oleh surat al-Maidah ayat 6 diatas hukumnya muqoyyad. Adapun  lafadz  potong  tangan  sebagaimana  dijelaskan  oleh  surat  al-Maidah  ayat 38 itu muthlaq, karena sebab dan hukumnya berbeda, maka masing-masing ditempatkan pada  posisinya  masing-masing.









BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Kesimpulan  dari  makalah  ini  adalah:
1.    Muthlaq  merupakan  suatu lafadz yang  menunjukkan hakikat  sesuatu  tanpa   pembatasan yang  dapat  mempersempit  keluasan  artinya.  Sedangkan  muqoyyad  suatu   lafadz   yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit  keluasan  artinya.
B.            Saran
1.    Berdasarkan isi  dari  makalah ini  hendaklah  dalam  menjalani  kehidupan di  dunia  ini  lebih  memperluas  dalam  memahami  tentang  hal  yang  berkaitan degan  ilmu   agama ilmu  agama  seperti  halnya tentang ilmu ushul  fiqh  karna hal itu sangat berkataitan dengan agama  dan  kehidupan  masa  kepemimpinan  Rasulullah  serta  hukum  ilmu  fiqih       pada  masa  itu
2.    Dalam pembuatan  makalah  ini  apabila  terdapat  beberapa kesalahan dalam cara penulisan baik penempatan kalimat maupun pembahasan penulis meminta maaf dan sekiranya  pembaca  dapat  memperbaiki  kesalahan  dalam  pembuatan  makalah.















DAFTAR PUSTAKA

1.    Dr. H. Sapiudin  shidiq, M.A, Ushul  fiqh,  Jakarta 13220.
2.    Fiqh  dan  Ushul fiqh/  Nazar  bakry.- Jakarta 2003
3.    Drs. H. Zen amiruddi, M.Si, Ushul fiqh / Surabaya 60237, Cet 1 Juli 2006
4.    Ushul  fiqh,  Jilid II,  Dr. H.  Amir  syarifuddin,  Cet 2- Jakarta:-  Logos wacana ilmu , 2001

5.    Fiqih/ Ushul fiqih. Drs. H. Syafi’i karim;- Bandung  40253