BAB I
PENDAHULUAN
Dalam menjalankan
kehidupan yang bermakna dan manfaat
diperlukan adanya upaya untuk membuat waktu yang dimiliki secara
efisien, karenanya manusia akan memperoleh keuntungan sesuai yang ia harapkan.
Manusia secara instiktif adalah makhluk
sosial, dimana ia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Karenanya ia
membutuhkan teman serta Masyarakat untuk berinteraksi baik pergaulan
bersifat batin ataupun lahiriyah sesuai yang
dibutuhkan.
Setiap manusia yang telah di bekali dengan
rasa ingin tahu terhadap berbagai
macam ilmu, baik itu berupa ilmu umum maupun ilmu agama, dalam pendidikan ilmu agama sangat penting untuk mengetahui
tentang ilmu ushul fiqh
yang merupakan suatu ilmu yang membahas tentang fiqih dan hukum Islam,
di mulai pada masa Rasulullah
dan sesudahnya, ditinjau dari segi ulama
dan keadaan hukum waktu itu dan
ciri spesifiknya.
Diantara pembahasan yang terkandung
dalam ushul fiqh ialah tentang hukum dan batasan
muthlaq dan muqoyyad
agar dapat mengetahuinya secara luas dan
terperinci
Mengerti dan
memahami secara luas tentang
hukum-hukum yang ada dalam Islam sangat
penting bagi kehidupan manusia serta menambah wawasan pengetahuan tentang hukum Islam agar hidup menjadi terarah, maka dari
itu kami dari kelompok enam membuat
makalah dengan judul “muthlaq dan muqoyyad” agar dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
bagi semua para pembaca.
Rumusan masalah yang terdapat
pada makalah ini adalah:
1. Muthlaq dan muqoyyad
2. Perbedaan ‘am dan muthlak
3. Hukum lafadz
muthlaq dan muqoyyad
4.
Hal-hal yang di
perselisihkan dalam muthlaq dan muqoyyad
5.
Hukum muthlaq yang sudah
di batasi
6. Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya
7.
Beberapa ketentuan dalam hukum muthlaq
dan muqoyyad
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Muthlaq dan muqoyyad
2. Perbedaan ‘am dan
muhlaq
3. Hukum lafadz muthlaq dan muqoyyad
4.
Hal-hal yang di perselisihkan
dalam muthlaq dan muqoyyad
5.
Hukum muthlaq yang sudah di batasi
6. Hukum muqoyyad yang
dihapuskan batasannya
7.
Beberapa ketentuan dalam hukum muthlaq dan muqoyyad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muthlaq dan muqoyyad
Pengertian muthlaq
dan muqoyyad
Muthlaq ialah lafadz-lafadz yang menunjukkan
kepada pengertian dengan tidak
ada ikatan (batasan) yang tersendiri
berupa perkataan, seperti firman
Allah swt
فَتَحْرِ يْرُرَقَبَةٍ . . .
Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya (Q.S.
Mujahadah: 3)
Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak mukmin
atau hamba sahaya yang mukmin. Lafadz muthlaq
dari segi meliputi sejumlah afrad, adalah sama dengan lafadz ‘am.
Namun diantara keduanya terdapat perbedaan yang prinsip,
lafadz ‘am itu umumnya bersifat syumuli (melingkupi) sedangkan
keumuman dalam lafadz muthlaq bersifat badali adalah kauli (mengganti).
Muqoyyad
ialah suatu lafadz yang menunjukkan atas pengertian
yang mempunyai batas tertentu berupa perkataan, seperti firman Allah swt :
مَنْ قَتَلَ مُؤْ مِنًا خَطَاءً فَتَحْرِ يْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْ مِنَةٍ
Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena bersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
(Q.S. an-Nisa’: 92)
Disini
tidak sembarangan hamba sahaya yang di bebaskan, tetapi
ditentukan hanyalah hamba sahaya yang
beriman. Perbedaan antara muthlaq dan muqoyyad
itu adalah bahwa muthlaq menunjuk kepada hakikat
sesuatu tanpa ada
suatu keterangan yang mengikatnya dan tanpa memperhatikan satuan serta jumlah. Umpamanya firman Allah dalam surat
al-Mujadalah (58): 3
فَتَحْرِ يْرُرَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَتَمَا سَا
Lafadz raqabah yang berarti hamba sahaya dalam ayat ini
di sebutkan dalam bentuk muthlaq karena tidak di iringi dengan sifat apapun.
Pengertian ayat ini berarti keharusan memerdekakan hamba sahaya dalam bentuk
apapun. Jadi hanya menuntut memerdekakan yang bernama hamba sahaya.
Sedangkan muqoyyad, menunjuk kepada
hakikat sesuatu tetapi memperhatikan beberapa hal, baik jumlah (kuantitas) atau
sifat dan keadaan. Hal, sifat, keadaan atau kuantitas yang menyertai
muqoyyad itulah yang
disebut qasyid (ikatan).
Bila suatu hukum
datang dalam bentuk muthlaq, maka hukum itu diamalkan
secara kemutlaqannya, demikian pula bila
hukum itu datang dalam bentuk muqoyyad, maka hukum itu diamalkan menurut qayid yang menyertainya, seperti dalam contoh diatas. Dalam hal ini
tidak ada beda
pendapat dikalangan ulama.
Namun adakalanya hukum itu datang
dengan bentuk muthlaq dalam suatu
nash hukum dan datang pula dengan bentuk muqoyyad
dalam nash hukum lain. Dalam masalah ini ada beberapa
bentuk pola hubungan
antara lafadz muthlaq dan muqoyyad
yaitu: :
1.
Sasaran
dari dua nash hukum itu adalah satu. Jadi, hukum yang disebutkan adalah sama dan sebab yang menimbulkan hukum itu juga
sama.
2.
Sebab
yang menimbulkan hukum berbeda antara lafadz muthlaq dan muqoyyad,
namun hukum yang terdapat dalam dua lafadz
tersebut adalah sama
3.
Sebab
yang menimbulkan
hukum adala sama sedangkan hukumnya berbeda
4.
Sebab
yang menimbulkan hukum dalam lafadz muthlaq dan lafadz muqoyyad adalah berbeda,
demikian pula hukumnya pun berbeda pula. Dalam bentuk ini, ulama sepakat
mengatakan bahwa lafadz muthlaq tidak di tanggungkan kepada lafadz muqoyyad,
masing-masing diperlukan menurut sifatnya.
5.
Adakalanya
salah satu diantara keduanya (lafadz muthlaq dan muqoyyad) dalam bentuk itsbat
(membenarkan) dan yang satu lagi dalam bentuk nafy (membantah).
Cotohnya seorang berkata, “Merdekakan hamba sahaya”. Lalu berkta lagi “Jangan
memerdekakan hamba sahaya yang kafir”. Lafadz muthlaq dalam contoh tersebut diberi
qayid dengan kebalikan atau lawan dari qayid pada lafadz yang muqoyyad. Dalam contoh pertama
kata “hamba sahaya” di beri qayid dengan “muslim”.
6.
Bila dalam keduanya (lafadz muthlaq dan muqoyyad) dalam bentuk nafy atau
dalam bentuk melarang, atau yang satu dalam bentuk nafy dan yang satu
lagi dalam bentuk melarang, maka lafadz mutlaq diberi qayid dengan sifat
yang terdapat dalam lafadz muqoyyad.
7.
Bentuk lain adalah lafadz muqoyyad
berada dalam dua tempat yang
berbeda.
B. Perbedaan antara ‘am dan muthlaq
Ulama membedakan antara lafadz ‘am dan
muthlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup semua satuannya sekaligus, adapun muthlaq
tidak dapat mencakup sekaligus semua satuannya kecuali sesuatu yang menonjol diantara satuannya itu, sebagaimana dijelaskan oleh ungkapan berikut ini:
مُ الْعَامِ شُمُوْ لِيٌ وَعُمُوْ مُ الْمُطْلَقِ بَدَ لِيٌعُمُو
Artinya: “Kemudian ‘am itu bersifat menyeluruh
sedangkan keumuman muthlaq itu bersifat mengganti/ mewakili. “
C. Hukum lafadz
muthlaq dan muqoyyad
Pada dasarnya nash muthlaq termasuk lafadz-lafadz yang dapat
memberikan makna/ pengertian yang cukup jelas,
sehingga tanpa adanya lafadz nash
yang muqoyyad pun pemaknaan hukum dari lafadz
tersebut sudah dapat dipahami. Oleh karena itu para ulama’ memberikan qo’idah
tentang lafadz muthlaq itu dengan lafadz muthlaq
tetap dalam kemutlaqannya
sampai ada dalil
yang membatasi kemutlaqannya.
Sebaliknya lafadz yang muqoyyad juga sudah
memberikan pengertian makna yang jelas baik dari segi normatip maupun operasionalnya,
sehingga hukum yang dikandung dalam lafadz muthlaq sudah bisa langsung
diterapkannya tanpa menunggu atau adanya penjelasan yang lainnya. Sering kita temui adanya dalil tentang sesuatu masalah disebutkan dengan lafadz
muthlaq kemudian ditempat lain baik
dalam masalah yang serupa dengan lafadz muqoyyad, sebaliknya dalam suatu masalah
disebutkan dengan lafadz mutlaq sedangkan di tempat lain dengan
masalah yang berlainan lafadz itu disebutkan dengan secara muqoyyad.
Permasalahannya bukan pada dalil yang sama
masalahnya akan tetapi kesamaan lafadznya, apabila ada lafadz dalil di suatu tempat disebut dengan lafadz muthlaq sedangkan di tempat lain di sebutkan dengan lafadz
muqoyyad, maka ada
empat kemungkinan
a. Sama hukum
dan sama sebabnya
Apabila keduanya memiliki hukum dan sebab yang sama, maka yang
muthlaq harus dibawa kepada muqoyyad, artinya yang muthlaq itu harus dimaknai
menurut yang muqoyyad.
b. Berbeda hukum maupun
sebabnya
Dalam hal demikian masing-masing lafadz berdiri sendiri-sendiri, yakni yang muthlaq
tidak bisa dimaknai oleh yang
muqoyyad. Contoh muthlaq
وَالسَّا رِقُ وَلسَّا رِقَةُ فَا قْطَعُوْا
اَيْدِ يَهُمَا
Artinya: “Pencuri
lelaki dan perempuan
potonglah tangannya”.
Contoh muqoyyad
يَااَ يُّهَا الَّذِ يْنَ اَمَنُوْا اِذَا
قُمْتُمْ اِ لَي الصَّلَو ةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَ اَيْدِ يَكُمْ اِلَي
الْمَرَ ا فِقِ
Artinya: “Wahai orang mukmin, apabila kamu hendak
solat hendaklah basuh
muka mu dan
tangan mu sampai siku”. (QS. al-Maidah: 6)
Ayat 6
al-Maidah yang muqoyyad
tidak bisa menjadi
penjelas ayat 38 al-Maidah yang muthlaq
karena berlainan sebab, yaitu
hendak solat dan pencurian dan berlainan pula dalam hukum yaitu wudhu dan
pemotongan tangan. Dalam hal ini hadits nabi Muhammad yang
menjadi penjelas ayat
38 al-Maidah karena pembicaraannya (sebab dan
hukum) sama
c. Berbeda hukum tetapi sama sebabnya
Dalam hal yang demikian ada dua pendapat, yang pertama
bahwa yang muthlaq dimaknai oleh muqoyyad,
sedangkan pendapat kedua yang muthlaq
tidak dapat dimaknai oleh muqoyyad.
Contoh muthlak
اَلتَّيَمَّمُ ضَرْ بَةٌ لِلْوَ جْهِ وَالْيَدَ
يْنِ
Artinya: “Tayamum
ialah sekali mengusap debu
untuk muka dan
kedua tangan”. (HR. Ammar)
Contoh muqoyyad
فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وَ اَيْدِ يَكُمْ
اِلَي الْمَرَ ا فِقِ
Artinya: “Basuhlah
mukamu dan tangan mu sampai siku” (QS. al-Maidah: 6)
Ayat 6 al-Maidah tersebut
yang muqoyyad tidak
bisa menjadi penjelasan.
Hadits yang muthlaq karena berbeda hukum, yang dibicarakan
yaitu wudhu pada ayat 6 al-Maidah dan tayamum
pada hadits meskipun sebabnya sama yaitu
hendak salat atau karena hadats (tidak suci). Tangan bisa
diartikan dari ujung
jari sampai pergelangan
atau siku-siku atau sampai
bahu.
d. Sama hukum
tetapi berbeda sebabnya
Dalam hal ini golongan Syafi’iyah berpendapat muthlaq dibawa (dimaknai) oleh
muqoyyad, sedangkan golongan
Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat muthlaq tetap
pada muthlaq dan
muqoyyad, jadi muthlaq tidak (dibawa) dimaknai oleh muqoyyadnya.
اَ لْمُقَيَّدُ بَا قٍى عَلَى تَقْيِيْدِهِ
مَالَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَ قِهِ
Artinya : “ lafadz muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad
sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
Contoh,
kafarat zhihar (perkataan suami
kepada istrinya yang menyamakan istri dengan ibunya) yaitu memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut
atau kalau tidak mampu
ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. (.S. al-Mujadalah: 3-4) ayat tersebut telah dibatasi
kemutlakannya maka harus
diamalkan hukum muqoyyadnya.
Pada prinsipnya
para ulama sepakat bahwa hukum lafadzh muthlaq itu wajib diamalkan
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya, begitu juga hukum lafadz
muqoyyad itu berlaku
pada kemuqoyyadannya, yang menjadi persoalan di sini adalah muthlaq
dan muqoyyad yang terbentuk pada lima
bentuk tersebut, ada yang
di sepakati dan ada yang di
perselisihkan. Yang di sepakati adalah:
1.
Hukum dan sebabnya
sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq
kepada muqoyyad.
2.
Hukum dan sebabnya berbeda.
Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafadz
yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqoyyad tetap pada
kemuqoyyadannya.
3.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada
bentuk ini, para ulama sepakat pula
bahwa tidak boleh membawa lafadz muthlaq kepada muqoyyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya
dan kemuqoyyadannya.
D. Hal-hal yang di
perselisihkan dalam mutlaq dan muqoyyad
1.
Kemuthlaqan dan kemuqoyyadan
terdapat pada sebab hukum
namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut jumhur
ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa muthlaq
kepada muqoyyad, oleh sebab itu mereka mewajibkan zakat fitrah
kepada hamba sahaya.
Sedangkan ulama Hanafiyah tidak
mewajibkan membawa lafadz muthlaq pada muqoyyad,
oleh sebab itu ulama Hanafiyah
mewajibkan zakat fitrah atas
hamba sahaya secara
muthlaq. Mutlaq dan
muqoyyad terdapat pada nash yang sama
hukumnya, namun sebabnya berbeda.
E. Hukum mutlaq yang sudah
di batasi
اَلْمُطْلَقُ لاَيَبْقَى عَلَى
اِطْلاَ قِهِ اِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
Artinya : “Lafadz mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq jika
telah ada yang membatasinya.”
Lafadz mutlaq jika telah ditentukan batasannya maka ia
menjadi muqoyyad. Contohnya ketentuan wasiat terdapat
dalam Q.S. an-Nisa/4: 11
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوْ
صِى
Artinya : “sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar
utangnya.”
Kata wasiat pada ayat diatas masih bersifat muthlaq tidak ada batasan berapa jumlah yang harus
dikeluarka. Kemudian ayat ini di batasi ketentuannya oleh hadis yang menyatakan
wasiat paling banyak sepertiga harta yang ada.
Sebagaimana sabda nabi:
فَاِنَّ رَسُوْلَ
اللّهِ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيْرٌ
(رواه البخارى
ومسلم)
Artinya :”Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak .” (HR. Bukhori dan Muslim)
F. Hukum muqoyyad yang
dihapuskan batasannya
Lafadz muqoyyad jika di hadapkan oleh
dalil lain yang menghapus ke muqoyyadannya maka ia
menjadi mutlaq:
اَ لْمُقَيَّدُ لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِيْدِهِ اِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى
اِطْلاَ قِهِ
Artinya :”Muqoyyad tidak akan
tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlakannya.”
Contohnya haram menikahi anak tiri. Karena pertama, anak tiri dalam pemeliharaan bapak tirinya dan kedua ibu yang dikawininya telah dicampuri.
Alasan kedua, dipandang sebagai hal yang
membatasi. Adapun alasan
pertama hanya mengikuti saja. Jadi bila ayah tiri belum mencampuri ibunya maka anak
tiri boleh dinikahi. Maka hukum mengawini anak tiri ini yang semula haram (muqoyyad) menjadi halal karena batasan muqoyyad telah dihapus
G. Beberapa ketentuan dalam hukum muthlaq
dan muqoyyad
Dalam dalil syara’ sering ditemukan dalil syara’
yang memiliki hukum gandadi satu tempat ia menunjukkan arti
muthlaq sedang di tempat lain ia bermakna muqoyyad. Permasalahannya, apakah ia dihukumi muthlaq atau muqoyyad atau masing-masing berdiri sendiri. Maka untuk mengatasinya
ada empat alternatif kaidah sebagai
solusinya:
1.
اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى
الْمُقَيَّدِ اِذَا تَّفَقَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq itu dibawa
ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Jika antara muthlaq dan
muqoyyad sama dalam materi dan hukumnya, maka hukum muthlaq disandarkan
kepada muqoyyad. Contoh,
Allah mengharamkan darah
bagi orang yang beriman:
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ حُرِّمَتْ
Artinya :”Haram bagi kamu
makan bangkai dan darah (Q.S. al-Maidah /5 :3)
Kemdian keharaman makan darah
itu dibatasi oleh darah yang mengalir saja yang terdapat dalam ayat
berikut ini:
قُلْ لاَ اَجِدُ فِى
مَا اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَا عِمٍ يَطْعَمُهُ اِلاَّ اَنْ يَكُوْنَ
مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْ حًا
Artinya : ”Katakanlah: tiada aku peroleh dalam wahyu yang
di wahyukan
kepadaku, sesuatu yang di
haramkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir “. (Q.S. al-An’am/6 : 145)
Dari kedua ayat diatas
terlihat materi dan hukumnya sama maka hukum mutlaq disandarkan kepada hukum
muqoyyad, yaitu hanya darah mengalir
yang di haramkan. Adapun hati ataupun limpa yang tidak mengalir
itu di halalkan.
2.
اَلْمُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلَى
الْمُقَيَّدِ اِنِ اخْتَلَفَا فِى السَّبَبِ
Artinya :”Muthlaq itu dibawa
ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Berbeda sebabnya namun sama
hukumnya. Maka menurut jumhur ulama
Syafi’iyah muthlaq di bawa kepada muqoyyad. Contoh membunuh dengan tidak sengaja kafaratnya
berupa memerdekakan budak yang mukmin:
وَمَنْ قَتَلَ مُوءْ
مِنًا خَطَئًا فَتَحْرِ يْرُ رَقَبَةٍ مُّوءْ مِنَةٍ
Artinya :”Barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman. (Q.S.an-Nisa/4 :92)
Sementara untuk kafarat
zhihar yaitu “memerdekakan
budak” tanpa dibatasi mukmin atau tidak (Q.S. al-Mujadalah/58 :3)
وَالَّذِ يْنَ
يُظَهِرُوْنَ مِنَ نِّسَا ئِهِمْ ثُمَّ يَعُوْ دُوْنَ لِمَا قَالُوْا فَتَحْرِ
يْرُ رَقَبَةً
Artinya :” Orang-orang yang
menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan,
maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak (Q.S. al-Mujadalah/58 :3)
Maka berdasarkan kaidah tersebut,
kafarat zhihar yang terdapat dalam surat al-Mujadalah di atas harus memerdekakan
budak yang mukmin.
Karena kafarat zhihar di
atas bersifat muthlaq.
3.
اَلْمُطْلَقُ لاَ يُحْمَلُ
عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَا ا خْتَلَفْنَا فِى الْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
Jika antara muthlaq
dan muqoyyad berbeda dalam hukum
tetapi sama dalam sebab
maka muthlaq tidak dapat dibawa kepada muqoyyad.
Contohnya hukum wudhu dan tayammum.
Dalam berwudhu diwajibkan membasuh
tangan sampai mata siku sebagaimana di tegaskan dalam al-Qur’an:
يَاَيًّهَا الَّذِ يْنَ
ءَامَنُوْ اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلَوَةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْ هَكُمْ وًاَيْدِ
يْكُمْ اِلَى الْمُرَا فِقِ
Artinya :” Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan
tangan mu sampai
dengan siku. (Q.S. al-Maidah /5:6)
Adapun pada tayammum
tidak dijelaskan sampai ke siku.
فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَمْسَحُوْا بِوُ
جُوْهِكُمْ وَاَيْدِ يْكُمْ
Artinya :”Maka bertayammum lah dengan tanah yang baik (bersih) sapulah mukamu
dan tangan mu dengan dengan tanah itu. (Q.S. an-Nisa/4 :43)
Sebab yang dikandung oleh dua
ayat di atas sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh
tangan sampai mata siku dalam wudhu dan menyapu
tangan pada tayammum. Dengan demikian, harus di amalkan secara masing-masing karena tidak
saling membatasi.
4.
اَلْمُطْلَقُ لاَ يُحْمَلُ
عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَ ااخْتَلَفَا فِى السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
Artinya :”Muthlaq tidak dibawa
ke muqoyyad jika sebab dan hukum-hukumny berbeda.”
Berbeda sebab dan hukumnya
maka muthlaq tidak dapat di sandarkan kepada muqoyyad.
Masing-masing berdiri sendiri, misalnya hukum potong
tangan bagi pencuri laki-laki dan perempuan.
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَقْطًعُوْا اَيْدِ
يَهُمَا جَزَاءَ بِمَا كَسَبَا نَكَلاً مِّنَ اللّهِ وَا للّهُ عَزِ يْزٌ حَكِيْمٌ
Artinya :”Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah
maha perkasa lagi maha
bijaksana. (Q.S. al-Maidah/5 :38)
Kewajiban berwudhu salah
satunya adalah membasah tangan sampai siku-siku sebagaimana dijelaskan oleh surat al-Maidah ayat 6 diatas
hukumnya muqoyyad. Adapun lafadz potong tangan sebagaimana
dijelaskan oleh surat al-Maidah
ayat 38 itu muthlaq, karena sebab dan
hukumnya berbeda, maka masing-masing ditempatkan pada posisinya masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan dari
makalah ini adalah:
1.
Muthlaq merupakan suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu
tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya. Sedangkan muqoyyad suatu lafadz
yang menunjukkan hakikat sesuatu yang
dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
B.
Saran
1.
Berdasarkan
isi dari makalah ini
hendaklah dalam menjalani kehidupan di dunia ini
lebih memperluas dalam memahami
tentang hal yang
berkaitan degan ilmu agama
ilmu agama seperti halnya tentang ilmu ushul fiqh karna hal itu sangat berkataitan dengan
agama dan kehidupan masa kepemimpinan
Rasulullah serta
hukum ilmu fiqih
pada masa itu
2.
Dalam
pembuatan makalah ini apabila terdapat
beberapa kesalahan dalam cara penulisan baik penempatan kalimat maupun
pembahasan penulis meminta maaf dan sekiranya pembaca dapat memperbaiki
kesalahan dalam pembuatan
makalah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dr. H. Sapiudin shidiq, M.A, Ushul fiqh, Jakarta
13220.
2.
Fiqh dan Ushul
fiqh/ Nazar bakry.- Jakarta 2003
3.
Drs. H. Zen amiruddi, M.Si,
Ushul fiqh / Surabaya 60237, Cet 1 Juli 2006
4.
Ushul fiqh, Jilid II, Dr. H. Amir
syarifuddin, Cet 2- Jakarta:- Logos wacana ilmu , 2001
5.
Fiqih/ Ushul fiqih. Drs. H.
Syafi’i karim;- Bandung 40253