Pendahuluan
Filsafat pendidikan islam sangat menarik untuk didiskusikan karena kita sebagai pemuluk agama islam tentunya sudah mempunyai pengalaman dalam pendidikan islam itu sendiri, pendidikan islam yang sebagaimana diartikan proses pembentukan kepribadian muslim yang kamil, berilmu, berpengetahuan luas, dan berakhlak terpuji beramal sejati merupakan dasar dan tujuan pendidikan islam.
Filsafat pendidikan islam memberi pengantar latar dan dasar dalam mengkaji pendidikan islam. Karena dalam hal ini mengkaji beberapa konsep perspektif menurut tokoh-tokoh islam terdahulu.
Sehingga dengan hal itu kita mendapatkan data tentang konsep pemikiran pendidikan islam dari setiap tokoh, pastilah kita temuakan diferensiasi sudut pandang yang kemudian kita mengumpulkannya, menganalisanya, mengolahnya, membandingkannya, dan menyimpulkannya. Sehingga kita mengetahui apa dan bagaimana konsep-konsep itu yang tentunya akan menjadi pengetahuan bagi kita semua sebagai calon pendidik.
Dalam review ini penulis akan membahas pendidikan perspektif Ahmad Dahlan, dengan memformulasikan rumusan seperti: seperti apa biografi Ahmad Dahlan dan bagaimana perspektif Ahmad Dahlan terhadap pendidikan. 2 rumusan masalah tersebut akan dibahas secara sistematis dibawah ini.
A. Biografi Ahmad Dahlan
Ahmad dahlan dilahirkan di kauman (Yogyakarta), pada tahun 1868 sebagai anak salah seorang dari 12 khatib masjid Agung Yogyakarta. Sumber lain menyebutkan bahwa Ahmad dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang KH. Abu Bakar bin K. Sulaiman, ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.[1]
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang saudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilahnya, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan islam di tanah Jawa.[2]
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikannya ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Di antaranya KH. Muhammad Saleh (Ilmu Fiqh), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (Ilmu Hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (Qiraat al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualnya yang tinggi membuat Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.[3]
Pada tahun 1888, Dahlan disuruh orang tuanya untuk menunaikan ibadah haji. Ia bermukim di Makkah selama 5 tahun untuk menuntut ilmu agama islam, seperti qiraat, tauhid, tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu mantik dan ilmu falak. Sekembalinya ke kampungnya di Kauman Yogyakarta, pada tahun 1902 ia berganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia berkesempatan kembali pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama selama 3 tahun. Kali ini ia banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Disamping itu, ia tertarik pada pemikiran Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla. Diantara kitab tafsir yang menarik hatinya adalah Tafsir al-Manar. Dari kitab inilah ia mendapat inspirasi dan motivasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaharuan umat islam di Indonesia.[4]
B. Konsep Pendidikan Ahmad Dahla
Secara umum, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasi kepada dua dimensi, yaitu: pertama, memurnikan (purifikasi) ajaran islam dari khurafat, takhayyul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam. Kedua,mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin islam dalm rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[5]
Upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Meraka hendaknya dididik agar cerdas kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi peningkatan kemajuan umat islam adalah dengan kembali pada al-qur’an dan al-hadist, mengarahkan umat pada pemahaman islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.[6]
Pelaksanaan pendidikan menurut Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan islam, baik secara vertikal (khalik) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan islam ada dua sisi tugas penciptaan manusia yaitu sebagai ‘abd allah dan khalifah fi al-ardh, untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada khaliknya. Disini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan metodologis bagimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam kontek tujuan penciptaannya.[7]
Pemikiran kiai Ahmad Dahlan hampir secara keseluruhan bertolak dari keprihatinannya terhadap kondisi umat islam saat itu. Mereka hidup di tanah jajahan yang bergelimang kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Ide pembaharuan yang berkembang di timur tengah yang dibawa oleh Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh sangat menggelitik dirinya terutama bila dikaitkan dengan kemandegan dan kemerosotan aqidah umat islam di Nusantara. Kemudian untuk mengembangkan konsep-konsep pembaharuannya dalam pedidikan beliau mendirikan organisasi yang kemudian terkenal dengan nama Muhammadiyah.[8]
Pada saat berdirinya organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, tujuan utamanya untuk mendalami agama islam di kalangan anggota sendiri dan menyebarkan agama islam di luar anggota inti. Kegitan terpenting organisasi ini adalah tabligh, yaitu suatu rapat dimana diberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan agama. Tabligh diselenggarakan secara teratur sekali dalam seminggu atau secara berkala oleh para mubaligh yang berkeliling, Dengan demikian tabligh merupakan unsur baru yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang yang mengharapkan pengetahuan ilmu agama yang lebih banyak. Dalam bidang pendidikan muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen, disamping sekolah desa di kampungnya sendiri, Ahamad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampung yogya yang lain.
Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam yang ditulis oleh Abudin Nata disebutkan bahawa Muhammadiyah berhasil melanjutkan model pembaharuan pendidikan disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa ia menghadapi lingkungan sosial yang terbatas pada pegawai, guru maupun pedagang di kota. Kelompok menengah di kota dalam banyak hal merupakan latar belakang sosial yang dominan dalam muhammadiyah hingga saat ini. Kelompok ini menguasai perusahaan percetakan yang secara ekonomis penting dalam masyarakat. Kelompok ini juga mementingkan pendidikan model barat, oleh karena itu Muhammadiyah dengan menyediakan model pedidikan barat yang di tambah dengan pendidikan agama, mendapatkan hasil yang baik dalam kalangan tersebut.[9]
Selain itu, disebutkan didalamnya pula ada beberapa sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya, seperti:
1. Kweekschool Muhammadiyah, di Yogyakarta.
2. Mu’allim Muhammadiyah, di Solo dan Jakarta.
3. Mu’allaim Muhammadiyah, di Yogyakarta.
4. Zu’ama / Za’imat, di Yogyakarta.
5. Kulliyah Muballighin/Muballighat, di Padang Panjang, Sumatera Tengah.
6. Tablighschool, di Yogyakarta.
7. HIK Muhammadiyah, di Yogyakarta.
Dalam referensi lain disebutkan bahwa K.H Ahmad Dahlan telah berjasa dalam membentuk dan mengembangkan pendidikan sekolah yang dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam, yakni: sekolah sebelum merdeka dan sesudah merdeka.Jenis-jenis sekolah yang dikembangkan adalah sebagi berikut:
1. Sebelum Merdeka
a. Sekolah Umum: TK, Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, MULO 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun.
b. Sekolah Agama: Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballighin (SPG Islam) 5 tahun.
2. Sesudah Merdeka
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pendidikan Muhammadiyah semakin pesat. Pada dasarnya ada empat jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaiut:
a. Sekolah-sekolah umum yang bernaung dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yaitu: SD, SMP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK, dan sebagainya.
b. Madrasah-madrasah yang bernaung dibawah Departemen Agama, yaiut: Madrasah Ibtidaiyah, MTs, dan Madrasah Aliyah.
c. Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh, dan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
d. Perguruan Tinggi Muhammadiyah, ada yang umum ada yang berciri khas agama. Untuk perguruan tinggi umumnya dibawah pembinaan Kopertis Depdikbud, sedangkan perguruan tinggi agama dibawah pembinaan Kopertis Departemen Agama.[10]
Ada beberapa hal yang melatar belakangi K.H.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, diantaranya:
a) Umat islam tidak memegang tuntunan Al-Qur’an an Hadis Nabi sehingga perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat semakin merajalela serta mencemarkan kemurnian ajarannya.
b) Keadaan umat islam sangat menyedihkan akibat penjajahan.
c) Kegagalan institusi pendidikan islam untuk memenuhi tuntutan kemajuan zaman merupakan akibat dari mengisolasi diri.
d) Persatuan dan kesatuan umat islam menurun sebagai akibat lemahnya organisasi islam yang ada.
e) Munculnya tantangan dari kegiatan misi zending yang dianggap mengancam masa depan umat islam.[11]
Organisasi Muhammadiyah aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan sekolah pada semua jenjang pendidikan dan tersebar ke berbagai pelosok tanah air. Tujuan pendidikannya adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara.
ANALISIS
Pada poin ini penulis akan menganalisis tentang pemikiran Ahmad Dahlan dalam ruang lingkup konsep pendidikan beliau yang dirangkum dari berbagai referensi.
A. Konsep Pendidikan Ahmad Dahlan
Bila diukur dengan pemikiran sekarang, agaknya pemikiran Dahlan tatkala mendirikan mendirikan muhammadiyah, tidaklah amat canggih, sentral pemikiran Dahlan iyalah pendidikan agama dalam dalam arti keimanan dan amal salih terutama keberibadatan khas, dalam hal keiman Dhlan melihat banyak khurafat, dalam peribadatan ia melihat banyak bid’ah. pemikran Dahlan dalam pendidikan kelihatannya muncul sebagai bawaan tugas dakwah yang memang telah lama telah di embangnya.
Sekarang ini tuntutatan masyarakat muslim telah berkembang, karena itu pemikiran pendidikan Muhammadiyah benar-benar harus di kembangkan, pemikiran pendidikan yang diwriskan Dahlan tidak lagi mencukupi. Ini di mulai dengan mengembangkan Filsfat Pendidikan Muhammadiyah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Dahlan berpendapat upaya strategis untuk menyelamatkan umat islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalu pendi dikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada sekala pereoritas utama dalam peruses pembangunan umat. Mereka hendendaknya dididik agar cerdas kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam memeta dinameka kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci meningkatkan kemajuan umat islam adalah dmbali dengan kepada Al Qur’an dan hadits, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.[12]Pada awal abad 20 M, pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua golongan, yaitu (1) pendidikan yang di berikan oleh sekolahp-sekolah Barat yang sekuler yang tak mengenal ajran agama; dan (2) pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal agama saja.
Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad khan (tokoh pembaru Islam di india) mengenai pentingnya pembentukan kepribadian. Ahmad khan sangat bangga dengan dengan pendidikan yang demikian telah menghasilkan orang-orang besar sepanjang sejarahnya. Akan tetapi Ahmad khan juga mengetahui bahwa meniru metode pendidikan para pendahulunya tidak akan membuahkan hasil yang diinginkan. Metode-metode baru yang sesuai dengan zaman harus digali. Ahmad khan berpandangan bahwa pendidikan sangat penting dalam pembentukan keperibadian. Sayyid Ahmad Khan tidak menganjurkan adanya masyarakat yang sekuler atau pruralis, meskipun dia mencoba mendorong muslim untuk berhubungan dengan orang-orang barat, makan bersama mereka dan lain-lainnya.
Sebagaimana Ahmad Khan,Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Dia berpendapat bahwa tak seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali orang yang memiliki peribadian yang baik. Seorang yang mempunyai kepribadian yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran al-qur’an dan hadits. Karena nabi merupakan contoh pengamalan al-qur’an dan hadits, maka dalam peruses pembentukan keberibadian siswa harus di perkenalkan pada kehidupan ajaran-ajaran nabi.
Selain itu, Ahmad Dahlan juga bepandangan bahwa pendidikan harus membekali siwanya dengan pengetahuan dan keteranpilan yang di perlukan untuk mencapai kemajuan material. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pandangan yang demikian itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisonslis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
Pemikiran Ahmad Dahlan yang dimiliki itu, merupakan respon pragmatis terhadap kondisi ekonomi umat islam yang tidak menguntungkan di Indonesia. Seperti dapat di ketahui bahwa di bawah kolonialisme Belanda, umat islam tertinggal secara ekonomi karena tidak memiliki akses ke sektor-sektor pemerintahan atau perusahaan-perusahaan swasta. Situasi yang demikian itu menjadi perhatian Ahmad Dahlan yang berusaha memperbarui sistem pendidikan islam.
Ahmad Dahlan sadar, bahwa tingkat partisipasi muslim merendah dalam sektor-sektor pemerintahan itu karena kebijakan pemerintah kolonial yang menutup peluang bagi muslim untuk masuk. Berkaitan dengan kenyataan serupa ini, maka Ahmad Dahlan berusaha memperbaikinya dengan memberikan pencerahan tentang pentingnya pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman bagi kemajuan bangsa. Berkaitan dengan masalah ini Ahmad Dahlan mengutip ayat 13 surat Al-Ro’d yang artinya: Sesungguhnya Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Pendidikan dituntut untuk membawa perubahan tingkah laku baik atau kecenderungan langsung untuk mengubah tingkah laku peserta didiknya. Maka, pendidik dituntut untuk banyak berkreasi dan berinovasi dalam segala hal. Oleh karena itu, kegiatan belajar mengajar hendaknya memberikan hal tersebut secara lancar dan termotivasi. Suasana yang dibangun harus melibatkan peserta secara aktif, misalnya bertanya, dan mempertanyakan, menjelaskan dan sebagainya.
Menurut Abudin yang dikutip oleh Siswanto dalam bukunya yang berjudul Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam menerangkan bahwa menurut Ahmad Dahlan pendidikan islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur, ‘alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.[13]Berdasarkan pendapatnya tersebut maka dengan kata lain Dahlah mengadopsi subtansi dan metodelogi pendidikan model barat yang dipadukan dengan pendidikan model tradisonal,Dahlan berhasil mensistensiskan keduanya dalam bentuk pendidikan model Muhammadiyah.
Dibawah ini adalah beberapa pendidikan sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan yang sekaligus menandai corak kombinasi pendidikan islam dengan pendidikan model barat:
8. Kweekschool Muhammadiyah, di Yogyakarta.
9. Mu’allim Muhammadiyah, di Solo dan Jakarta.
10. Mu’allaim Muhammadiyah, di Yogyakarta.
11. Zu’ama / Za’imat, di Yogyakarta.
12. Kulliyah Muballighin/Muballighat, di Padang Panjang, Sumatera Tengah.
13. Tablighschool, di Yogyakarta.
14. HIK Muhammadiyah, di Yogyakarta.[14]
Pada kesimpulannya, pemikiran Ahmad Dahlan terhadap Pendidikan islam adalah menginginkan perkembangan pendidikan islam melalui pemikirian yang rasional dan membuang pradigma tahayyul dan sebagainya. Serta dengan usaha mengembangkan pendidikan islam yang modern yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Siswato yang mengatakan bahwa, berdasarkan ide-idenya itu telihat bahwa Ahmad Dahlan menggunakan pendekatan Self Correctiveterhadap ummat islam. Menurutnya bahwa pandangan Muslim Tradisionalis terlalu meniti beratkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Sikap semacam ini mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia islam, sementara kelompok yang lain telah mengalami kemajuan dalam bidang Ekonomi. Ahmad Dahlan terobsesi dengan kekuatan system pendidikan barat seperti yang terlihat pada sekolah-sekolah misionaris maupun pemerintah. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan material merupakan prioritas karena dengan cara itu kesejahteraan mereka akan biasa sejajar dengan kaum colonial.[15]
ANALISIS PENULIS
Jika saya analisis berdasarkan beberapa referensi diatas tentang biografi Ahmad Dahlan dapat disimpulkan bahwa Ahmad Dahlan memang keturunan dari keluarga mampu dan ada silsilah dengan salah satu wali songo. Disamping itu, Ahmad Dahla memang sudah dididik secara baik oleh orang tuanya dan didorong untuk tekun belajar. Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikannya ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Di antaranya KH. Muhammad Saleh (Ilmu Fiqh), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (Ilmu Hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (Qiraat al-Qur’an), serta beberapa guru lainnya dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualnya yang tinggi membuat Dahlan selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.[16]
Dalam bukunya Siswanto yang berjudul Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam yang dikutip dari ensiklopedi islam juga disebutkan jenjang pengalaman pendidikanya Ahmad Dahlan pernah pula belajar di Mekkah setalah melakukan ibadah haji atas keinginnan orang tuanya. Setelah menunaikan ibadah haji Ia bermukim 5 tahun untuk menuntut ilmu agama islam disana, seperti qiraat, tauhid, tafsir, fiqh, tasawuf, ilmu mantik dan ilmu falak.[17]
Seiring pertumbuhannya, Ahmad Dahlan menjadi seorang yang mempunyai pandangan yang luas serta pondasi yang mapan dalam keagamaanya. Hal ini terbukti dari usaha-usahanya dalam membentuk pendidikan yang lebih baik di Indonesia dengan didirikannya Muhammadiyah.
KESIMPULAN
Ahmad dahlan dilahirkan di kauman (Yogyakarta), pada tahun 1868 sebagai anak salah seorang dari 12 khatib masjid Agung Yogyakarta.Anak dari seorang KH. Abu Bakar bin K. Sulaiman, ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di kraton Yogyakarta.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikannya ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu.Pada tahun 1903, ia berkesempatan kembali pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama selama 3 tahun. Kali ini ia banyak belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Disamping itu, ia tertarik pada pemikiran Ibn Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla. Diantara kitab tafsir yang menarik hatinya adalah Tafsir al-Manar. Dari kitab inilah ia mendapat inspirasi dan motivasi untuk mengadakan perbaikan dan pembaharuan umat islam di Indonesia.
Ide-ide pembaharuan Dahlan dapat diklasifikasi kepada dua dimensi, yaitu: pertama, memurnikan (purifikasi) ajaran islam dari khurafat, takhayyul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat islam. Kedua,mengajak umat islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin islam dalm rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Pada saat berdirinya organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, tujuan utamanya untuk mendalami agama islam di kalangan anggota sendiri dan menyebarkan agama islam di luar anggota inti. Kegitan terpenting organisasi ini adalah tabligh, yaitu suatu rapat dimana diberikan satu atau beberapa pidato untuk menjelaskan agama. Tabligh diselenggarakan secara teratur sekali dalam seminggu atau secara berkala oleh para mubaligh yang berkeliling, Dengan demikian tabligh merupakan unsur baru yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan orang yang mengharapkan pengetahuan ilmu agama yang lebih banyak. Dalam bidang pendidikan muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen, disamping sekolah desa di kampungnya sendiri, Ahamad Dahlan juga membuka sekolah yang sama di kampung yogya yang lain.
disebutkan didalamnya pula ada beberapa sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan besar jasanya, seperti:
15. Kweekschool Muhammadiyah, di Yogyakarta.
16. Mu’allim Muhammadiyah, di Solo dan Jakarta.
17. Mu’allaim Muhammadiyah, di Yogyakarta.
18. Zu’ama / Za’imat, di Yogyakarta.
19. Kulliyah Muballighin/Muballighat, di Padang Panjang, Sumatera Tengah.
20. Tablighschool, di Yogyakarta.
21. HIK Muhammadiyah, di Yogyakarta.
K.H Ahmad Dahlan telah berjasa dalam membentuk dan mengembangkan pendidikan sekolah yang dapat diklasifikasikan ke dalam dua macam, yakni: sekolah sebelum merdeka dan sesudah merdeka.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Afif Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2013)
Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007)
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009)
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002)
Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2015)
[1] Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Surabaya: Pena Salsabila, 2015), hlm,184
[2] Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm,234
[3] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm,100-101
[4] Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. hlm,184-185
[5] Ibid, hlm, 185
[6] Ibid, hlm,186
[7] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm,330
[8] Afif Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2013), hlm,80
[9] Abuddin Nata,Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm,253-255
[10]Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007) hlm, 271-272
[11]Ibid, hlm 270
[12]Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. Hlm 186
[13]Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. Hlm, 187
[14]Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), hlm,253-255
[15]Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. Hlm 190
[16]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Hlm, 100-101
[17]Siswanto, Filsafat dan Pemikiran Pendidikan Islam. hlm,184