Sunday, 1 January 2017

Landasan Filosofi Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam





BAB 1
PENDAHULUAN
       A.    Latar Belakang
Secara umum ketentuan-ketentuan yang di atur dalam KHI dalam bidang Hukum Perkawinan pada pokoknya merupakan penegasan ulang dalam Unda-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan Pemerintah Nomor9 Tahun 1975 disertai dengan penjabaran lanjut.

       B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Landasan Filosofi Perkawinan  dalam Kompilasi Hukum Islam?
b.      Bagaimana Landasan Idiil Perkawinan ?
c.       Bagaimana Landasan Yuridis ?
d.      Bagaimana Aturan Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam ?
e.       Bagaimana Persetujuan Calon Mempelai dalam kompilasi hukum islam ?
f.       Bagaimana penetapan batas umur calon mempelai dalam kompilasi hukum islam ?
g.      Bagaimana Pencatatan perkawinan dalam kompilasi hukum islam ?

      C.    Tujuan Masalah
a.       Untuk mengetahui landasan filosofi perkawinan dalam kompilasi hukum islam.
b.      Untuk mengetahui landasan idiil perkawinan.
c.       Untuk mengetahui landasan yuridis.
d.      Untuk mengetahui Aturan Peminangan dalam Kompilasi Hukum Islam.
e.       Untuk mengetahui Persetujuan Calon Mempelai dalam kompilasi hukum islam.
f.       Untuk mengetahui penetapan batas umur calon mempelai dalam kompilasi hukum islam.
g.      Untuk mengetahui Pencatatan perkawinan dalam kompilasi hukum islam.





BAB II 
PEMBAHASAN

Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Rukun dan syarat perkawinan:
a.       Adanya calon suami
b.      Adanya calon istri
c.       Harus adanya wali nikah calon istri
d.      Harus ada dua orang saksi laki-laki
e.       Harus ada mahar
Adapun syarat-syarat Mahar yaitu:
a.       Sesuatu benda yang diserahkan oleh calon suami
b.      Halal artinya baik bendanya maupun cara perolehan benda yang akan dijadikan mahar adalah halal
c.       Adanya Ijab Qobul
Menurut Undang � undang No.1 Tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan:
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
2. Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa calon mempelai laki � laki harus sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
3. Pasal 6 Ayat 2 disebutkan apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti disebutkan pada pasal 7 Ayat 1 maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum. Apabila izin dari orang tuanya tidak didapat maka calon pengantin tersebut dapat meminta izin.

      A.    Landasan Filosofi Perkawinan
Pada Pasal 2 KHI dicantumkan landasanfilosofi perkawinan sesuai dengan ajaran islam tanpa mengurangi landasan filosofi perkawinan berdasar Pancasila yang diatur dalam pasal 1 UU No.1 Tahun 1974.
Landasan Filosofi Perkawinan nasional yang berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dipertegas dan di perluas dengan ketentuan:
1.      Perkawinan semata-mata�Mentaati Perintah Allah�
2.      Melaksanakan Perkawinan adalah�Ibadah�
3.      Ikatan perkawinan bersifat�mitsaqon Gholidlon�
Dalam penegasan landasan filosofis tersebut dirangkum secara terpadu antara aqidah,ubudyah dan mu�amalah yang berkaitan secara langsung antara�huququllah� dan �huququl�ibad�.Selain itu juga dinyatakan bahwa ikatan perkawinan sebagai �mitsaqon gholidzon� atau �ikatan yang kokoh� denngan harapan dapat memberi kessadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan adalah mentaati perintah Allah dan sekaligus merupakan ibadah yang harus dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya.

      B.     Landasan Idiil Perkawinan
Tanpa mengurangi Landasan Perkawinan yang diatur dalam pasal UU No.1 Tahun 1974 yaitu untuk membentuk��Keluarga bahagia dan kekal��pasal 3 KHI mempertegas dan memperluasnya ke arah nilai-nilai yang mengandung ruh Islam seperti yang di atur dalam surat Ar-Ruum;21 Yaitu:�Sakinah,mawaddah dan rahmah� dan sekaligus terkait dengan nilai-nilai operasional yang diatur dalam surat Al-Baqoroh:187�hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna�Surat An-Nisa�:19�Wa �asyruhunna bi al ma�ruf� dan sabda Nabi �Hendaklah saling nasihat menasihati dengan baik dalam kehidupan rumah tangga(kaum wanita) dengan baik�.


      C.    Landasan Yuridis
Pasal2 UU No.1 Tahun 1974 telah menetapkan landasan yuridis perkawinan nasional, yaitu dilakukan menurut hukum agama dan di catatkan menurut perundang-undangan yang berlaku
Landasan Yuridis tersebut diperjelas dalam pasal 4,5,6 dan 7 KHI sekaligus diaktualkan ketertiban peerkawinan masyarakat islam serta dianulir �Kebolehan� Yang dirumuskan dalam S. Al-Maidah:5 menjadi �Larangan� seperti rumussan pada pasal 40 KHI alasan kondisi,situasi dan maslahah.Dengan demikian KHI memuat aturan:
1.      Sahnya perkawinan jika dilaksanakan menurut hukum islam
2.      Pria islam dilarang kawin dengan wanita non islam
3.      Setiap perkawinan harus dicatat
4.      Perkawinan dianggap sah jika dilaksanakan di hadapan PPN
5.      Perkawinan di luar PPN adalah �Perkawinan Liar�
6.      Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh PPN
Pokok-pokok aturan tersebut menunjukkan bahwa KHI telah mengakui sepenuhnya campur tangan penguasa dalam praktik perkawinan.

      D.    Aturan Peminangan
Demi tertibnya cara-cara peminangan berdasar moral dan yuridis,KHI menentukan aturan-aturan:
1.      Pada prinsipnya semua ketentuan peminangan berdasar pada Al-Qur�an ditambah dengan fiqh standar yang telah dimodifikasi secara praktis,rasional dan aktual.
2.      Nilai-nilai etika dan yuridis Adat tidak dihalangi penerapannya.

      E.     Persetujuan Calon Mempelai
UU No.1 Tahun 1974 dan KHI menentukan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah adanya persetujuan calon mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasasl 16 ayat (1) KHI).Persetujuan itu penting agar masing-masing suami istri memasuki lembaga perkawinan dan rumah tangga benar-benar dapat dengan senang hati membagi tugas,hak dan kewajiban secara proporsional.
Menurut Ahmad Rofiq, bahwa persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari peminangan (khitbah)[1]karena persetujuan tidak mungkin atau setidaknya sulit dilakukan apabila masing-masing calon tidak saling mengenal atau mengetahui.
Kompilasi merumuskan materi persetujuan pada pasal 16 ayat (2):�Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau isyarat,tetapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas�.
Sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon mempelai,pegawai pencatat Nikah menanyakan kepada mereka sebagaimana yang diatur dalam pasal 17 KHI:
a.       Sebelum berlangsungnya perkawinan,pegawai pencatat nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai dihadapan dua orang saksi.
b.      Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu calon mempelai,maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
c.       Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisa atau isyarat yang dapat dimengerti.
Ketentuan tersebut dapat difahami sebagai antitesis terhadap anggapan sementara masyarakat ,bahwa kawin paksa-wali memaksa anak perempuannya untuk dikawinkan dengan laki-laki pilihannya masih dikawinkan.

       F.     Penetapan Batas Umur Calon Mempelai
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa �Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah berumur 16 (enam belas) tahun�.Ketentuan batas umur ini juga disebutkan dalam Kompilasi pasal 15 Ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan.Ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan pada Undang-Undang Perkawinan,bahwa calon suami istri harus telah masak jiwa raganya agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan dengan baik tanpa berakhir pada perceraian,mendapat keturunan yang baik dan sehat.Untuk itu,harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur.
Rendahnya usia kawin,lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan perkawinan,yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang.Tujuan ini tentu akan sulit terwujud apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya.Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga.
Khusus bagi pihak calon mempelai calon wanita,penetapan batas umur perkawinan sangat menguntungkan karena akan terhindar dari resiko kesehatan,terutama kesehatan reproduksinya.

       G.    Pencatatan Perkawinan
Pada mulanya Hukum Islam tidak mengatur secara konkrit tentang adanya ketentuan pencatatan perkawinan.Akan tetapi, karena tuntutan perkembangan dan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan,hukum islam di Indonesia mengatur lembaga pencatatan untuk tujuan mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Lembaga Pencatatan perkawinan menurut Ahmad Rofiq merupakan salah satu upaya perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawina,dan lebih khusus lagi untuk melindungi perempuan dalam kehidupan rumah tangganya.Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah yang masing-masing suami istri mendapat salinannya,maka apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantra mereka,atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab dan mengingkari kesepakatan perkawinan,maka pihak yang lain dapat melakukan upaya hukum guna memperthankan dan memperoleh hak masing-masing.Jadi,Akta Perkawinan berfungsi sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.
Pasal 5 KHI menjelaskan:
(1)   Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam,setiap perkawinan harus dicatat.
(2)   Pencatatan perkawinan tersebut pada Ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Jo.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Teknis pelaksanaannya dijelaskan dalam pasal 6 KHI:
(1)   Untuk memenuhi ketentuan pada pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)   Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan bhukum.
Memperhatikan ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan,dapat di fahami bahwa pencatatan tersebut adalah syarat administratif.Artinya perkawinan tetap sah,karena ukuran sah tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma agama dari pihak yang melaksanakan perkawinan.Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa dicatatkan,perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.Akibatnya,apabila salah satu pihak melalaikan kewajiban,maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum karena tidak adanya bukti otentik dari perkawinan yang telah dilaksanakan.

           



BAB III
PENUTUP  
        A.    KESIMPULAN
Menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal 1 yang dimaksud perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa berlaku untuk semua agama.
Menurut Undang � undang No.1 Tahun 1974 tentang syarat sahnya perkawinan:
1. Pasal 6 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua belah pihak sehingga perkawinan tidak boleh didasarkan atas dasar paksaan.
2. Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa calon mempelai laki � laki harus sudah berumur 19 tahun dan untuk mempelai perempuan adalah 16 tahun.
3. Pasal 6 Ayat 2 disebutkan apabila calon suami atau calon istri belum berumur seperti disebutkan pada pasal 7 Ayat 1 maka calon pengantin tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tuanya atau walinya karena mereka dianggap belum dewasa secara hukum.


DAFTAR PUSTAKA
Musawwamah, BUKU AJAR Hukum Perdata Islam di Indonesia,Stain Pamekasan Press, Pamekasan, 2006.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetIII, PT Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,1998.


[1]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cetIII, PT Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,1998, hlm  74.