Aspek Politik dan pemerintahan Madura
MAKALAH
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah “Islam dan Budaya Madura” yang di bimbing oleh
Drs. Moh. Mashur Abadi, M. Fil. I

Disusun Oleh:
Imam Hanafi
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASANDISUSUN
OLEH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah atas segala rahmat dan pertolongan-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan berjudul Aspek Politik dan Pemerintahan Madura
Shalawat beserta
salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad Saw. Yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang
terang menderang seperti yang kita rasakan sekarang ini.
Kami menyadari
bahwa pemakalahan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan disebabkan minimnya
literatur yang kami kaji dan dangkalnya cakrawala berpikir kami. Oleh sebab itu
kritik dan saran konstruktif dari tangan pembaca senantiasa kami terima dengan
hati lapang dada dan tangan terbuka.
Namun kami tetap
berharap, semuga makalah ini ada manfaatnya bagi kami dan pembaca yang memiliki
kepedulian terhadap makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah kami senantiasa
mohon petunjuk.
Pamekasan, 13 April 2016
Pemakalah
DAFTAR ISI
Sampul............................................................................................................
Kata Pengantar...............................................................................................
Daftar Isi........................................................................................................
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................
A.
Latar
Belakang...................................................................................
B.
Rumusan
Masalah...............................................................................
C.
Tujuan
Pemakalahan...........................................................................
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................
A.
Aspek politik......................................................................................
B.
Pemerintahan
di madura.....................................................................
C.
Fungsi Partispasi Politik.....................................................................
D. Demokrasi Politik
dalam Budaya Madura.........................................
BAB III PENUTUP.....................................................................................
Kesimpulan.....................................................................................................
Saran
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam bahasa
inggris, politic adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat
yang di gunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan.kehidupan politik mencakup
bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang
yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang mempengaruhi cara untuk
melaksanakan kebijakan itu. Politik juga penting dalam hal kehidupan
sehari-hari dan bernegara Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan
dalam kehidupan bersama atau masyarakat.Kehidupan seperti ini tak terbatas pada
bidang hukum semata-mata dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam
sejarah hidup manusia relatif baru”.Diluar bidang hukumserta sebelum negara
ada, masalah kekuasaan itupun telah pula ada.
Pemerintahan
merupakan suatu sistem kerja yang dilaksnakan oleh suatu Negara ataupun
pihak-pihak lain yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya masing-masing yaitu
tercapainya masyarakat yang aman dan tentram. Struktur pemerintahan Madura yang dijumpai Belanda ketika mereka tiba di
madura dalam garis besarnya sama dengan
struktur dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Disetiap kerajaan kecil tersebut,
bertahta raja bawahan sebagai kepala yang dalam melakukan pemerintahan
sehari-hari dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan di mana sang pepati atau “perdana mentri” merupakan
orang pertama di antara pejabat-pejabat yang sederajat. Mereka seluruhnya
merupakan bagian atas dari struktur kepegawaian dibagian pusat kerajaan yang
menjangkau sampat ke tingkat lokal. Sumenep satu-satunya kabupaten di
Madura yang akan melaksanakan pemilihan
kepala daerah (bupati) secara langsung Juni mendatang.
Demokrasi politik
di Madura yang mensyaratkan partisipasi individual dalam bentuk reaksi kritis
nyaris tidak mendapat tempat.Hal ini bisa ditelusuri dari terbentuknya
komunitas rakyat, yakni keluarga. Dalam keluarga Madura terdapat falsafah penghormatan bertingkat.
Prinsip bapak, babuk, guru, ratu serta
penghormatan kepada yang lebih tua menimbulkan budaya songkan.Akibatnya, jangankan kritis, untuk dapat berbeda pendapat
saja sudah merupakan barang langka.Padahal, perbedaan pendapat merupakan
paradigm paling elementer dalam demokrasi politik. Sekedar contoh sederhana
dengan mengesampingkan kontribusi pendidikan dan intervensi media massa untuk
memilih jodoh saja sudah merupakan tantangan tersendiri. Karena peranan bapak, babuk sangatlahlah menonjol.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud politik?
2.
Apa yang dimaksud pemerintahan?
3.
Apa yang dimaksud demokrasi politik dalam
budaya Madura?
C. Tujuan Pemakalahan
1.
Untuk memahami arti politik
2.
Agar memahami arti pemrintahan
3.
Untuk memahami demokrasi politik di madura
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Politik
Secara etimologis
politik berasal dari kata Yunanipolis yang
berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi politesyang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang
berhubungan dengan negara, dan politikosyang
berarti kewarganegaraan.
Dalam bahasa inggris, politic
adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang di gunakan
untuk mencapai cita-cita atau tujuan. tertentuSedangkanpolicy, yang dalam
bahasa indonesia di terjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah
pertimbanga-pertimbagan yang di anggap dapat menjamin terlaksananya usaha,
cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, politik membicarakan
hal-hal yang berkaitan dengan Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumberdaya.[1]
. Sedangkan
menurut para ahli politik adalah sebagai berikut:
a. David Easton
Dalam bukunya The PoliticalSystem “Ilmu Politik
adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan umum”. Menurutnya kehidupan
politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi kebijakan dari pihak
yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang mempengaruhi cara
untuk melaksanakan kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik
jika pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk masyarakat.
b. Deliar Noer
Dalam bukunya Pengantar Kepemikiran Politik “Politik memusatkan perhatian pada
masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.Kehidupan seperti ini
tak terbatas pada bidang hukum semata-mata dan tidak pula pada negara yang
tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru”.Diluar bidang hukumserta
sebelum negara ada, masalah kekuasaan itupun telah pula ada.Hanya dalam zaman
modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.
c. Wirjono
Projodikoro
Menyatakan bahwa “sifat terpenting
dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota
masyarakat terhadap golongan lain.Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau
kekuatan”.
B. Pemerintahan di Madura
Struktur
pemerintahan Madura yang dijumpai
Belanda ketika mereka tiba di Madura ., dalam garis besarnya sama dengan
struktur dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Disetiap kerajaan kecil tersebut,
bertahta raja bawahan sebagai kepala yang dalam melakukan pemerintahan
sehari-hari dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan di mana sang pepati atau “perdana mentri” merupakan
orang pertama di antara pejabat-pejabat yang sederajat. Mereka seluruhnya
merupakan bagian atas dari struktur kepegawaian dibagian pusat kerajaan yang
menjangkau sampat ke tingkat lokal.Pusat kerajaan-kerajaan ini terletak di
dataran rendah yang pada musim hujan dapat dibudidayakan menjadi persawahan.Di
wilayah-wilayah yang agak sulit dijangkau dan di pulau–pulau takluk, perintahan
kurang berkeembang.
Jadi sebetulnya, pemerintahan ini
berarti bahwa sang raja berkuasa di daerah sekitar keraton dengan bantuan para
pejabat, yang terpenting antara mereka dianugerahi hak untuk menarik pajak di
daerah-daerah yang kurang bisa diawasi. Namun kekuasaan sang raja bukannya
tidak dapat digero-goti. Sampai pertengahan abad ke-18, dari berbagai jurusan
kekuasaan raja itu didongkel. Sejak dulu kala terdapat persaingan yang sengit diantara
kerajaan di Madura .
Namun supremasi Kompeni lambat
laun membawa akibat pemerintahan Madura
berangsur-angsur bisa menjadi mantap dan meluas. Dukungan yang kuat dari
orang-orang Belanda membuat usaha memulihkan ketertiba dan keamanan di daerah
pedalaman menjadi mungkin dan kaitannya dengan ketertiban dan keamanan
mengakibatkan jumlah desa pun bertambah dan aparatur kepegawaian pun meluas.[2]
Sumenep satu-satunya kabupaten di
Madura yang akan melaksanakan pemilihan
kepala daerah (bupati) secara langsung Juni mendatang. Menurut data di KPUD
setempat, sudah terdaftar lima calon bupati yang pada umumnya didominasi oleh
figure kiai. Bahkan, antar calon bupati tersebut masih terikat hubungan
kekerabatan.Artinya, terjadi kompetisi antar kiai sekaligus antar kerabat.
Pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni, seorang kiai muda pengasuh pondok pesantren
Terate. Pandian, Kecamatan Kota Sumenep, sangat menarik untuk di cermati.“Dari
awal saya sudah mengatakan bahwa saya ABK (asal bukan kiai).Kiai yang
mencalonkan sekarang sudah tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”.
(Kompas Jatim, 5April).
Pernyataan ini paling tidak
mengindikasikan dua hal. Pertama, merupakan alas an mengapa kiai muda tersebut
memilih bersikap golput atu tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkadal
(pemilihan kepala daerah secara lagsung). Kedua, meskipun tidak secara
eksplisit mengatasnamakan semua kiai, pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni dapat
ditafsirkan mengandung makna sebagai indikasi gugatan cultural keagamaan dari
kalangan pesantran terhadap femomena kehidupan sosiol politik di Madura yang selama ini kekuasaan eksekutif
didominasi oleh figure kiai
(“bupati-kiai”).
Secara politik, syah-syah saja
seorang kiai menjabat sebagai bupati. Namun dalam perspektif kultur Madura munculnya “bupati kiai” seakan “menyimpang”
dari koridor filosofi orang Madura . Sampai saat ini setiap orang Madura tentu tidak akan melupakan ungkapan
bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato sebagai landasan filosofi kehidupan sehari-hari
mereka. Selain orang tua (bhuppa’-bhabhu’) yang menjadi panutan utama, menyusul
figure kiai(ghuru), kemudian pemimpin formal (rato). Meskipun kualitas pilkadal
tidak ditentukan oleh factor kuantitatif pemilih, tingginya jumlah pemilih
golput sebagai dampak dari munculnya sikap dan pernyataan seorang kiai maka
dalam konteks Madura legitimasi calon
bupati yang terpilih nanti tidak akan kuat baik secar politik maupun kultural.
Secara poltik, sebagai bupati (rato) terpilih namun tidak mendapatkan jumlah
suara signifikan bias dipahami jika kelak kebijakan-kebijakan yang diambilnya
tidak akan mendapat dukungan dan akan selalu mendapat batu sandungan bahkan
perlawanan dari masyarakat di sana.[3]
Secara formal kepemimpinan di
pedesaan di pegang oleh kepala desa yang di Madura selalu disebut kalebun yang menangani bidang
pemerintahan.Penunjukan kalebun diperoleh melalui kemenangan dalam ceplo’an, suatu kontes pemilihan
langsung oleh warga desa yang bersangkutan.Pengesahan pengangkatannya kemudian
dikukuhkan dengan selembarsurat keputusan oleh pemerintah daerah terkait.Dengan
demikian sejak semula jabatan kepala desa itu tidaklah merupakan kedudukan yang
bersifat turun-temurun.
Secara informal dipedesaan sering
beroperasi pula kepemimpinan lain yang bertumpu pada seorang kyai pengajar
agama di pesantren. Sekalipun tidak resmi, kepemimpinannya sering lebih
dihargai oleh masyarakat sekitarnya, mungkin karena kekuatan kharisma pribadi
serta di sebabkan oleh anggapan keshalehan sang kyai yang tidak mementingkan
masalah kuduniawian.Di sebuah desa bisa terdapat dua atau tiga pesantren
sehingga dapat timbul persaingan diantara para kyai yang bersangkutan, tetapi
terdapat pula terjadi pengaruh seorang kyai melewati batas desanya terutama
jika pesantrennya melayani beberapa desa sekaligus.
Di daerah terpencil yang tidak
memiliki lembaga keagamaan seperti pesantren dengan kyai yang menonjol
peranannya, terkadang di jumpai pelapisan berdasarkan adat yang memberi
penghormatan pada po seppo (para
sesepuh) dan dhukon (dukun) sebagai
pemangku atau pemimpin adat.Mereka umumnya cuma berperan dalam rangka
pelaksanaan upacara adat.[4].............................................................................
Dengan lahirnya Undang-Undang
nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, maka system pemilihan kepala desa
atau kepala kampong lebih di pertegas lagi. Jabatan kepala desa dan kepala
kampong sekarang di peroleh berdasarkan pemilihan bebas dari warganya atau
penduduknya.Kemudian hasil pemilihan dilegalisir atau disahkan oleh pemerintah
daerah (Bupati atau Walikota).
Secara Nasional, pengangkatan dan
pembentukan kepala desa diatur dalam pasal 4 dan 9 Undang-Undang nomor 5 tahun
1979. Undang-Undang nomor 5 tahun 1979, juga menetapkan lembaga social desa
sebagai bagian dari siste pemerintahan di desa.Selanjutnya lembaga social desa
(LSD) disempurnakan dan ditingkatkan fungsinya, seningga menjadi lembaga
ketahanan masyarakat (LKMD), sebagaimana tertuang di dalam keputusan Presiden
Republik Indonesia nommor 28 yahun 1980.
Dengan adanya perubahan sistem
Kepala Desa maupun Kepala Dusun, maka struktur organisasi pemeritahan desa
digambarkan sebagai berikut: Pimpinan tertinggi desa adalah kepala desa,
kemudian sekretaris desa, Kepala-kepala urusan, yaiti kepala urusan (kaur)
pemerintahan, kaur pembagunan, keur kersa, keur keuangan dan kaur umum,
terakhir kepala kampong.
Setelah diuraikan tentang system pemerintahan
desa menurut tradisi lama dan baru, maka penduduk dapat membandingkan bahwa
system yang baru lebih mendorong penduduk untuk lebih giat dalam usaha
pembangunan desanya.Terutama dalam bidang pendidikan, dimana mereka dapat lebih
tinggi lagi sekolahnya, untuk memungkinkan mendapat jabatan di pemerintahan desa.misanya
saja dapat mengisi formasi sebagai kaur pemerintahan, keuangan dan
sebagainya.Dengan demikian penetapan Undang-Undang nomor 5 tahun 1979, membawa
dampak posiif bagi masyarakat desa dimadura dan Indonesia pada umumnya.[5]
C. Demokrasi Politik dalam Budaya Madura
Demokrasi politik yang
mensyaratkan partisipasi individual dalam bentuk reaksi kritis nyaris tidak
mendapat tempat.Hal ini bisa ditelusuri dari terbentuknya komunitas rakyat,
yakni keluarga. Dalam keluarga Madura terdapat
falsafah penghormatan bertingkat. Prinsip bapak,
babuk, guru, ratu serta penghormatan kepada yang lebih tua menimbulkan
budaya songkan.Akibatnya, jangankan
kritis, untuk dapat berbeda pendapat saja sudah merupakan barang
langka.Padahal, perbedaan pendapat merupakan paradigm paling elementer dalam
demokrasi politik. Sekedar contoh sederhana dengan mengesampingkan kontribusi
pendidikan dan intervensi media massa untuk memilih jodoh saja sudah merupakan
tantangan tersendiri. Karena peranan bapak,
babuk sangatlahlah menonjol.
Islamisasi di Madura, seperti pada umumnya di daerah
lain, pada awalnya berjalan bersama birokrasi.Para da’i yang melakukan
islamisasi awal berdampingan secara harmonis dengan para birokrat
tradisional.Bahkan, dapat di temukan beberapa ulama yang memiliki hubungan
darah dengan penguasa tradisional atau justru berasal dari kalangan kaum
ningrat yang dapat di pastikan sebagai keluarga pejabat pada zaman pemerintahan
tradisional. Keterlibatan ulma dalam politik praktis (dalam pengertian politik
modern) Sudah berlangsung baik sejak zaman penjajahan, masa revolusi
kemerdekaan, maupun sesudah masa kemerdekaan. Sebagai contoh, pada masa
penjajahan dan revolusi kemerdekaan banyak ulama yang menggabungkan diri ke
dalam barisan Hisbullah atau Sabilillah, bahkan sebagian besar menjadi komandan
dan pemimpinnya.
Selanjutnya, pada masa
kemerdekaan, peranan ulama dalam panggung politik asih terus
berlangsung.Bahkan, pada masa-masa awal kemerdekaan semakin besar dan intensif.
Keterlibatan KH. Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng, KH. Abdulhalim dari
pesantren Majalengka dan segainya dalam konstituante untuk merumuskan dasar
Negara Indonesia pada dasa warsa 50an adalah salah satu contohnya (Effendi,1990:11).
Tampilnya ulama dalam panggung politik, terutama dalam organisasi politik,
semakin domina ketika NU berubah menjadi partai politik.Karena ulama telah
menjadi pnutan masyarakat, baik dalam bidang agama maupun kemasyarakatan, NU
sebagai partai yang didukung oleh ulama tradisional relatif tidak sulit untuk
meraup suara yang cukup besar.[6]
Banyak nilai-nilai yang dianut
masyarakat bisa diangkat untuk dikontribusikan dalam pembangunan demokrasi di
tanah air tercinta ini.
Pertama:
sifat
egalitarianisme yang tercermin dalam pribahasa “tadak tonkak, tadak dai” (tidak ada kaki, tidak ada kepala).
Artinya dalam suasana tidak formal semuanya sama saja.
Kedua: sifat kebersamaannya, seperti pribahasa “rampak naong, beringin karo”. Disini Nampak
rasa kebersamaan masyarakat Madura, rasa senasib sepenanggungan, seperti di
tanjung periuk, Kalimantan tengah, jawa timur bagian timur dan sebagainya.
Ketiga: tradisi bug-rembug(musyawarah untuk mufakat). Kebiasaan masyarakat Madura
dalam banyak hal sering melakukan musyawarah, bagian dengan keluarga,
masyarakat dan sebagainya.
Keempat:
menghormat kepada
orang yang berjasa, berpikir positif, suka balas budi. Pribahasa berikut ini
menunjukkan hal tersebut: “bapak, bubu,
guru, ratoh” mereka sangat menghormati ayah, ibu, guru dan penguasa.
Kelima: kaitannya dengan pembangunan ekonomi,
mereka punya etos kerja sebagai perantau, apapun yang dikerjakan, asal tidak
mengemis. Inilah beberapa hal yang bisa diangkat untuk pembangunan Indonesia,
baik dalam demokrasi politik, ekonomi maupun social.[7]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara etimologis politik berasal
dari kata Yunani polis yang berarti
kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang
berhubungan dengan negara, dan politikosyang
berarti kewarganegaraan.
Dalam bahasa inggris, politic
adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang di gunakan
untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy, yang dalam
bahasa indonesia di terjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah
pertimbanga-pertimbagan yang di anggap dapat menjamin terlaksananya usaha,
cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, politik membicarakan
hal-hal yang berkaitan dengan Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumberdaya.
Secara formal kepemimpinan di
pedesaan di pegang oleh kepala desa yang di Madura selalu disebut kalebun yang menangani bidang
pemerintahan.Penunjukan kalebun diperoleh melalui kemenangan dalam ceplo’an, suatu kontes pemilihan
langsung oleh warga desa yang bersangkutan. Pengesahan pengangkatannya kemudian
dikukuhkan dengan selembar surat keputusan oleh pemerintah daerah terkait.
Dengan demikian sejak semula jabatan kepala desa itu tidaklah merupakan
kedudukan yang bersifat turun-temurun.
Secara informal dipedesaan sering
beroperasi pula kepemimpinan lain yang bertumpu pada seorang kyai pengajar
agama di pesantren. Sekalipun tidak resmi, kepemimpinannya sering lebih
dihargai oleh masyarakat sekitarnya, mungkin karena kekuatan kharisma pribadi
serta di sebabkan oleh anggapan keshalehan sang kyai yang tidak mementingkan
masalah kuduniawian. Di sebuah desa bisa terdapat dua atau tiga pesantren
sehingga dapat timbul persaingan diantara para kyai yang bersangkutan, tetapi
terdapat pula terjadi pengaruh seorang kyai melewati batas desanya terutama
jika pesantrennya melayani beberapa desa sekaligus.
Banyak nilai-nilai yang dianut masyarakat
bisa diangkat untuk dikontribusikan dalam pembangunan demokrasi di tanah air
tercinta ini.
Pertama:
sifat
egalitarianisme yang tercermin dalam pribahasa “tadak tonkak, tadak dai” (tidak ada kaki, tidak ada kepala).
Artinya dalam suasana tidak formal semuanya sama saja.
Kedua: sifat kebersamaannya, seperti pribahasa “rampak naong, beringin karo”. Disini
Nampak rasa kebersamaan masyarakat Madura, rasa senasib sepenanggungan, seperti
di tanjung periuk, Kalimantan tengah, jawa timur bagian timur dan sebagainya.
Ketiga: tradisi bug-rembug(musyawarah untuk mufakat). Kebiasaan masyarakat Madura
dalam banyak hal sering melakukan musyawarah, bagian dengan keluarga,
masyarakat dan sebagainya.
Keempat:
menghormat kepada
orang yang berjasa, berpikir positif, suka balas budi. Pribahasa berikut ini
menunjukkan hal tersebut: “bapak, bubu,
guru, ratoh” mereka sangat menghormati ayah, ibu, guru dan penguasa.
Kelima: kaitannya dengan pembangunan ekonomi,
mereka punya etos kerja sebagai perantau, apapun yang dikerjakan, asal tidak
mengemis. Inilah beberapa hal yang bisa diangkat untuk pembangunan Indonesia,
baik dalam demokrasi politik, ekonomi maupun social.
Saran
Saran
kami terhadap budaya Madura khususnya mengenai system politik dan pemerintahan
Madura lebih dititik fokuskan pada bagaimana seoran pemegang kekuasaan tertinggi
dimadura yang disebut dengan bupati harus lebih objektif dalam mengatur
rakyatnta agar tidak terlarut dalam kemodernitasan, karena sekarang ini
modernisasi sudah sangat keterlaluan, dan bukti dari adanya modernitas yang
masuk ini aspek politik dan pemerintahan Madura sendiripun sudah hilang akibat
kita sendiri
Kritik
Kritik
kami yaitu terhadap lemahnya pemerintahan dimadura dalam hal mengatur system
kerjanya yang sekrang ini sudah semakin memburuk, itu semua terjadi karena
seorang yang berkedudukan tinggi tersebut tidak adil dalam melayani rakyatnya,
misal pembagian raskin, rakyat tidak keseluruhan mendapat jatah tersebut karena
ada permainan politik di belakang itu sehingg itu bias merusak tatanan
kebudayaan Madura, dan kritik kmi juga terhadap rakyat Madura, pada saat
sekarang ini kita harus wajib memberantas modenitas karena kami melihat rakyat
Madura sendiri kebanyakan lebih mengikuti arus modernitas yang ada sehingga itu
bias mengakibatkan budaya Madura tahap demi tahap hancur
DAFTAR PUSTAKA
Sumarsono S, Mansyur H. dkk, Pendidikan Politik Madura. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001
Soebadio,Haryati.Madura Dalam Empat Zaman Pedagang Perkembangan Ekonomi dan Islam Suatu
Studi Antropologi Ekonomi.Jakarta: Gramedia, 1989
Wibowo,Wahyu.Mencari Madura.Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013
MH Ismahfudi,&AZ Sugiyarto.,Manusia Madura.Yogyakarta: Pilar Media,
2007
Subaharianto,Andang. dkk, Tantangan Industriyalisasi Madura.Malang:
Bayumedia Publishing, 2004
Najib,Mohammad. dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara.Yogyakarta: LKPSM, 1996
[1]H. Mansyur, S. Sumarsono, dkk, Pendidikan Politik Madura, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 23.
[2]Haryati
Soebadio, Madura Dalam Empat Zaman:
Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi,
(Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 59-62.
[3]Wahyu
Wibowo, Mencari Madura, (Jakarta: Bidik-PhronesisPublishing,
2013), hlm. 190-191.
[4]Sugiyarto AZ & Ismahfudi MH, Manusia Madura, (Yogyakarta: Pilar Media
2007), hlm. 108-109.
[5]Hildaria Sitanggang & Suratmin, Bentuk- Bentuk Senjata Tradisional,(Jakarta:LKPSM
1996), hlm. 28-29.
[6]Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industriyalisasi Madura, (Malang: Bayumedia Publishing,
2004), hlm. 88-89.
[7]Mohammad
Najib, dkk, Demokrasi Dalam Perspektif
Budaya Nusantara, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), hlm. 176-177.