Tuesday 3 January 2017

MAKALAH Aspek Politik dan pemerintahan Madura -MAKALAH Aspek Politik dan pemerintahan Madura


Aspek Politik dan pemerintahan Madura

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Islam dan Budaya Madura” yang di bimbing oleh
Drs. Moh. Mashur Abadi, M. Fil. I


Disusun Oleh:

Imam Hanafi


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASANDISUSUN OLEH 


KATA PENGANTAR
            Puji syukur kepada Allah atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan berjudul Aspek Politik dan Pemerintahan Madura
            Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang menderang seperti yang kita rasakan sekarang ini.
            Kami menyadari bahwa pemakalahan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan disebabkan minimnya literatur yang kami kaji dan dangkalnya cakrawala berpikir kami. Oleh sebab itu kritik dan saran konstruktif dari tangan pembaca senantiasa kami terima dengan hati lapang dada dan tangan terbuka.
            Namun kami tetap berharap, semuga makalah ini ada manfaatnya bagi kami dan pembaca yang memiliki kepedulian terhadap makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah kami senantiasa mohon petunjuk.






                                                                       

Pamekasan, 13 April 2016

                                                Pemakalah

DAFTAR ISI
Sampul............................................................................................................            
Kata Pengantar...............................................................................................            
Daftar Isi........................................................................................................            
BAB I PENDAHULUAN............................................................................            
A.    Latar Belakang...................................................................................            
B.    Rumusan Masalah...............................................................................            
C.    Tujuan Pemakalahan...........................................................................            
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
A.    Aspek politik......................................................................................
B.    Pemerintahan di madura.....................................................................
C.    Fungsi Partispasi Politik.....................................................................
D.    Demokrasi Politik dalam Budaya Madura.........................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................
Kesimpulan.....................................................................................................
Saran                                                                                                                           
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam bahasa inggris, politic adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang di gunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan.kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang mempengaruhi cara untuk melaksanakan kebijakan itu. Politik juga penting dalam hal kehidupan sehari-hari dan bernegara Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.Kehidupan seperti ini tak terbatas pada bidang hukum semata-mata dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru”.Diluar bidang hukumserta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itupun telah pula ada.
Pemerintahan merupakan suatu sistem kerja yang dilaksnakan oleh suatu Negara ataupun pihak-pihak lain yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya masing-masing yaitu tercapainya masyarakat yang aman dan tentram. Struktur pemerintahan Madura  yang dijumpai Belanda ketika mereka tiba di madura  dalam garis besarnya sama dengan struktur dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Disetiap kerajaan kecil tersebut, bertahta raja bawahan sebagai kepala yang dalam melakukan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan di mana sang pepati atau “perdana mentri” merupakan orang pertama di antara pejabat-pejabat yang sederajat. Mereka seluruhnya merupakan bagian atas dari struktur kepegawaian dibagian pusat kerajaan yang menjangkau sampat ke tingkat lokal. Sumenep satu-satunya kabupaten di Madura  yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (bupati) secara langsung Juni mendatang.
Demokrasi politik di Madura yang mensyaratkan partisipasi individual dalam bentuk reaksi kritis nyaris tidak mendapat tempat.Hal ini bisa ditelusuri dari terbentuknya komunitas rakyat, yakni keluarga. Dalam keluarga Madura  terdapat falsafah penghormatan bertingkat. Prinsip bapak, babuk, guru, ratu serta penghormatan kepada yang lebih tua menimbulkan budaya songkan.Akibatnya, jangankan kritis, untuk dapat berbeda pendapat saja sudah merupakan barang langka.Padahal, perbedaan pendapat merupakan paradigm paling elementer dalam demokrasi politik. Sekedar contoh sederhana dengan mengesampingkan kontribusi pendidikan dan intervensi media massa untuk memilih jodoh saja sudah merupakan tantangan tersendiri. Karena peranan bapak, babuk sangatlahlah menonjol.
B.  Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud politik?
2.      Apa yang dimaksud pemerintahan?
3.      Apa yang dimaksud demokrasi politik dalam budaya Madura?
C.  Tujuan Pemakalahan
1.      Untuk memahami arti politik
2.      Agar memahami arti pemrintahan
3.      Untuk memahami demokrasi politik di madura

           
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Aspek Politik
              Secara etimologis politik berasal dari kata Yunanipolis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi politesyang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, dan politikosyang berarti kewarganegaraan.
              Dalam bahasa inggris, politic adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang di gunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan. tertentuSedangkanpolicy, yang dalam bahasa indonesia di terjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah pertimbanga-pertimbagan yang di anggap dapat menjamin terlaksananya usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumberdaya.[1]
. Sedangkan menurut para ahli politik adalah sebagai berikut:
a. David Easton
Dalam bukunya The PoliticalSystem “Ilmu Politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan umum”. Menurutnya kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang mempengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang mempengaruhi cara untuk melaksanakan kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk masyarakat.
b. Deliar Noer
              Dalam bukunya Pengantar Kepemikiran Politik “Politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.Kehidupan seperti ini tak terbatas pada bidang hukum semata-mata dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru”.Diluar bidang hukumserta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itupun telah pula ada.Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.
c. Wirjono Projodikoro
              Menyatakan bahwa “sifat terpenting dari bidang politik adalah penggunaan kekuasaan oleh suatu golongan anggota masyarakat terhadap golongan lain.Dalam ilmu politik selalu ada kekuasaan atau kekuatan”.
B. Pemerintahan di Madura
              Struktur pemerintahan Madura  yang dijumpai Belanda ketika mereka tiba di Madura ., dalam garis besarnya sama dengan struktur dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Disetiap kerajaan kecil tersebut, bertahta raja bawahan sebagai kepala yang dalam melakukan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh sejumlah pejabat kerajaan di mana sang pepati atau “perdana mentri” merupakan orang pertama di antara pejabat-pejabat yang sederajat. Mereka seluruhnya merupakan bagian atas dari struktur kepegawaian dibagian pusat kerajaan yang menjangkau sampat ke tingkat lokal.Pusat kerajaan-kerajaan ini terletak di dataran rendah yang pada musim hujan dapat dibudidayakan menjadi persawahan.Di wilayah-wilayah yang agak sulit dijangkau dan di pulau–pulau takluk, perintahan kurang berkeembang.
              Jadi sebetulnya, pemerintahan ini berarti bahwa sang raja berkuasa di daerah sekitar keraton dengan bantuan para pejabat, yang terpenting antara mereka dianugerahi hak untuk menarik pajak di daerah-daerah yang kurang bisa diawasi. Namun kekuasaan sang raja bukannya tidak dapat digero-goti. Sampai pertengahan abad ke-18, dari berbagai jurusan kekuasaan raja itu didongkel. Sejak dulu kala terdapat persaingan yang sengit diantara kerajaan di Madura .
              Namun supremasi Kompeni lambat laun membawa akibat pemerintahan Madura  berangsur-angsur bisa menjadi mantap dan meluas. Dukungan yang kuat dari orang-orang Belanda membuat usaha memulihkan ketertiba dan keamanan di daerah pedalaman menjadi mungkin dan kaitannya dengan ketertiban dan keamanan mengakibatkan jumlah desa pun bertambah dan aparatur kepegawaian pun meluas.[2]
              Sumenep satu-satunya kabupaten di Madura  yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (bupati) secara langsung Juni mendatang. Menurut data di KPUD setempat, sudah terdaftar lima calon bupati yang pada umumnya didominasi oleh figure kiai. Bahkan, antar calon bupati tersebut masih terikat hubungan kekerabatan.Artinya, terjadi kompetisi antar kiai sekaligus antar kerabat. Pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni, seorang kiai muda pengasuh pondok pesantren Terate. Pandian, Kecamatan Kota Sumenep, sangat menarik untuk di cermati.“Dari awal saya sudah mengatakan bahwa saya ABK (asal bukan kiai).Kiai yang mencalonkan sekarang sudah tidak mampu lagi menjaga tugasnya sebagai ulama”. (Kompas Jatim, 5April).
              Pernyataan ini paling tidak mengindikasikan dua hal. Pertama, merupakan alas an mengapa kiai muda tersebut memilih bersikap golput atu tidak menggunakan hak pilihnya dalam pilkadal (pemilihan kepala daerah secara lagsung). Kedua, meskipun tidak secara eksplisit mengatasnamakan semua kiai, pernyataan KH Abdul Rahem Usymuni dapat ditafsirkan mengandung makna sebagai indikasi gugatan cultural keagamaan dari kalangan pesantran terhadap femomena kehidupan sosiol politik di Madura  yang selama ini kekuasaan eksekutif didominasi oleh figure  kiai (“bupati-kiai”).
              Secara politik, syah-syah saja seorang kiai menjabat sebagai bupati. Namun dalam perspektif kultur Madura  munculnya “bupati kiai” seakan “menyimpang” dari koridor filosofi orang Madura . Sampai saat ini setiap orang Madura  tentu tidak akan melupakan ungkapan bhuppa’-bhabhu’, ghuru, rato sebagai landasan filosofi kehidupan sehari-hari mereka. Selain orang tua (bhuppa’-bhabhu’) yang menjadi panutan utama, menyusul figure kiai(ghuru), kemudian pemimpin formal (rato). Meskipun kualitas pilkadal tidak ditentukan oleh factor kuantitatif pemilih, tingginya jumlah pemilih golput sebagai dampak dari munculnya sikap dan pernyataan seorang kiai maka dalam konteks Madura  legitimasi calon bupati yang terpilih nanti tidak akan kuat baik secar politik maupun kultural. Secara poltik, sebagai bupati (rato) terpilih namun tidak mendapatkan jumlah suara signifikan bias dipahami jika kelak kebijakan-kebijakan yang diambilnya tidak akan mendapat dukungan dan akan selalu mendapat batu sandungan bahkan perlawanan dari masyarakat di sana.[3]
              Secara formal kepemimpinan di pedesaan di pegang oleh kepala desa yang di Madura selalu disebut kalebun yang menangani bidang pemerintahan.Penunjukan kalebun diperoleh melalui kemenangan dalam ceplo’an, suatu kontes pemilihan langsung oleh warga desa yang bersangkutan.Pengesahan pengangkatannya kemudian dikukuhkan dengan selembarsurat keputusan oleh pemerintah daerah terkait.Dengan demikian sejak semula jabatan kepala desa itu tidaklah merupakan kedudukan yang bersifat turun-temurun.
              Secara informal dipedesaan sering beroperasi pula kepemimpinan lain yang bertumpu pada seorang kyai pengajar agama di pesantren. Sekalipun tidak resmi, kepemimpinannya sering lebih dihargai oleh masyarakat sekitarnya, mungkin karena kekuatan kharisma pribadi serta di sebabkan oleh anggapan keshalehan sang kyai yang tidak mementingkan masalah kuduniawian.Di sebuah desa bisa terdapat dua atau tiga pesantren sehingga dapat timbul persaingan diantara para kyai yang bersangkutan, tetapi terdapat pula terjadi pengaruh seorang kyai melewati batas desanya terutama jika pesantrennya melayani beberapa desa sekaligus.
              Di daerah terpencil yang tidak memiliki lembaga keagamaan seperti pesantren dengan kyai yang menonjol peranannya, terkadang di jumpai pelapisan berdasarkan adat yang memberi penghormatan pada po seppo (para sesepuh) dan dhukon (dukun) sebagai pemangku atau pemimpin adat.Mereka umumnya cuma berperan dalam rangka pelaksanaan upacara adat.[4].............................................................................
              Dengan lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, maka system pemilihan kepala desa atau kepala kampong lebih di pertegas lagi. Jabatan kepala desa dan kepala kampong sekarang di peroleh berdasarkan pemilihan bebas dari warganya atau penduduknya.Kemudian hasil pemilihan dilegalisir atau disahkan oleh pemerintah daerah (Bupati atau Walikota).
              Secara Nasional, pengangkatan dan pembentukan kepala desa diatur dalam pasal 4 dan 9 Undang-Undang nomor 5 tahun 1979. Undang-Undang nomor 5 tahun 1979, juga menetapkan lembaga social desa sebagai bagian dari siste pemerintahan di desa.Selanjutnya lembaga social desa (LSD) disempurnakan dan ditingkatkan fungsinya, seningga menjadi lembaga ketahanan masyarakat (LKMD), sebagaimana tertuang di dalam keputusan Presiden Republik Indonesia nommor 28 yahun 1980.
              Dengan adanya perubahan sistem Kepala Desa maupun Kepala Dusun, maka struktur organisasi pemeritahan desa digambarkan sebagai berikut: Pimpinan tertinggi desa adalah kepala desa, kemudian sekretaris desa, Kepala-kepala urusan, yaiti kepala urusan (kaur) pemerintahan, kaur pembagunan, keur kersa, keur keuangan dan kaur umum, terakhir kepala kampong.
              Setelah diuraikan tentang system pemerintahan desa menurut tradisi lama dan baru, maka penduduk dapat membandingkan bahwa system yang baru lebih mendorong penduduk untuk lebih giat dalam usaha pembangunan desanya.Terutama dalam bidang pendidikan, dimana mereka dapat lebih tinggi lagi sekolahnya, untuk memungkinkan mendapat jabatan di pemerintahan desa.misanya saja dapat mengisi formasi sebagai kaur pemerintahan, keuangan dan sebagainya.Dengan demikian penetapan Undang-Undang nomor 5 tahun 1979, membawa dampak posiif bagi masyarakat desa dimadura dan Indonesia pada umumnya.[5]

C. Demokrasi Politik dalam Budaya Madura
              Demokrasi politik yang mensyaratkan partisipasi individual dalam bentuk reaksi kritis nyaris tidak mendapat tempat.Hal ini bisa ditelusuri dari terbentuknya komunitas rakyat, yakni keluarga. Dalam keluarga Madura  terdapat falsafah penghormatan bertingkat. Prinsip bapak, babuk, guru, ratu serta penghormatan kepada yang lebih tua menimbulkan budaya songkan.Akibatnya, jangankan kritis, untuk dapat berbeda pendapat saja sudah merupakan barang langka.Padahal, perbedaan pendapat merupakan paradigm paling elementer dalam demokrasi politik. Sekedar contoh sederhana dengan mengesampingkan kontribusi pendidikan dan intervensi media massa untuk memilih jodoh saja sudah merupakan tantangan tersendiri. Karena peranan bapak, babuk sangatlahlah menonjol.
              Islamisasi di Madura, seperti pada umumnya di daerah lain, pada awalnya berjalan bersama birokrasi.Para da’i yang melakukan islamisasi awal berdampingan secara harmonis dengan para birokrat tradisional.Bahkan, dapat di temukan beberapa ulama yang memiliki hubungan darah dengan penguasa tradisional atau justru berasal dari kalangan kaum ningrat yang dapat di pastikan sebagai keluarga pejabat pada zaman pemerintahan tradisional. Keterlibatan ulma dalam politik praktis (dalam pengertian politik modern) Sudah berlangsung  baik sejak zaman penjajahan, masa revolusi kemerdekaan, maupun sesudah masa kemerdekaan. Sebagai contoh, pada masa penjajahan dan revolusi kemerdekaan banyak ulama yang menggabungkan diri ke dalam barisan Hisbullah atau Sabilillah, bahkan sebagian besar menjadi komandan dan pemimpinnya.
              Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, peranan ulama dalam panggung politik asih terus berlangsung.Bahkan, pada masa-masa awal kemerdekaan semakin besar dan intensif. Keterlibatan KH. Wahid Hasyim dari pesantren Tebuireng, KH. Abdulhalim dari pesantren Majalengka dan segainya dalam konstituante untuk merumuskan dasar Negara Indonesia pada dasa warsa 50an adalah salah satu contohnya (Effendi,1990:11). Tampilnya ulama dalam panggung politik, terutama dalam organisasi politik, semakin domina ketika NU berubah menjadi partai politik.Karena ulama telah menjadi pnutan masyarakat, baik dalam bidang agama maupun kemasyarakatan, NU sebagai partai yang didukung oleh ulama tradisional relatif tidak sulit untuk meraup suara yang cukup besar.[6]
              Banyak nilai-nilai yang dianut masyarakat bisa diangkat untuk dikontribusikan dalam pembangunan demokrasi di tanah air tercinta ini.
              Pertama: sifat egalitarianisme yang tercermin dalam pribahasa “tadak tonkak, tadak dai” (tidak ada kaki, tidak ada kepala). Artinya dalam suasana tidak formal semuanya sama saja.
              Kedua: sifat kebersamaannya, seperti pribahasa “rampak naong, beringin karo”. Disini Nampak rasa kebersamaan masyarakat Madura, rasa senasib sepenanggungan, seperti di tanjung periuk, Kalimantan tengah, jawa timur bagian timur dan sebagainya.
              Ketiga: tradisi bug-rembug(musyawarah untuk mufakat). Kebiasaan masyarakat Madura dalam banyak hal sering melakukan musyawarah, bagian dengan keluarga, masyarakat dan sebagainya.
              Keempat: menghormat kepada orang yang berjasa, berpikir positif, suka balas budi. Pribahasa berikut ini menunjukkan hal tersebut: “bapak, bubu, guru, ratoh” mereka sangat menghormati ayah, ibu, guru dan penguasa.
              Kelima: kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka punya etos kerja sebagai perantau, apapun yang dikerjakan, asal tidak mengemis. Inilah beberapa hal yang bisa diangkat untuk pembangunan Indonesia, baik dalam demokrasi politik, ekonomi maupun social.[7]













                                                                       BAB III                          
PENUTUP

Kesimpulan
              Secara etimologis politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, dan politikosyang berarti kewarganegaraan.
              Dalam bahasa inggris, politic adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang di gunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Sedangkan policy, yang dalam bahasa indonesia di terjemahkan sebagai kebijaksanaan, adalah pertimbanga-pertimbagan yang di anggap dapat menjamin terlaksananya usaha, cita-cita atau tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, politik membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan Negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan (policy), dan distribusi atau alokasi sumberdaya.
              Secara formal kepemimpinan di pedesaan di pegang oleh kepala desa yang di Madura selalu disebut kalebun yang menangani bidang pemerintahan.Penunjukan kalebun diperoleh melalui kemenangan dalam ceplo’an, suatu kontes pemilihan langsung oleh warga desa yang bersangkutan. Pengesahan pengangkatannya kemudian dikukuhkan dengan selembar surat keputusan oleh pemerintah daerah terkait. Dengan demikian sejak semula jabatan kepala desa itu tidaklah merupakan kedudukan yang bersifat turun-temurun.
              Secara informal dipedesaan sering beroperasi pula kepemimpinan lain yang bertumpu pada seorang kyai pengajar agama di pesantren. Sekalipun tidak resmi, kepemimpinannya sering lebih dihargai oleh masyarakat sekitarnya, mungkin karena kekuatan kharisma pribadi serta di sebabkan oleh anggapan keshalehan sang kyai yang tidak mementingkan masalah kuduniawian. Di sebuah desa bisa terdapat dua atau tiga pesantren sehingga dapat timbul persaingan diantara para kyai yang bersangkutan, tetapi terdapat pula terjadi pengaruh seorang kyai melewati batas desanya terutama jika pesantrennya melayani beberapa desa sekaligus.
              Banyak nilai-nilai yang dianut masyarakat bisa diangkat untuk dikontribusikan dalam pembangunan demokrasi di tanah air tercinta ini.
              Pertama: sifat egalitarianisme yang tercermin dalam pribahasa “tadak tonkak, tadak dai” (tidak ada kaki, tidak ada kepala). Artinya dalam suasana tidak formal semuanya sama saja.
              Kedua: sifat kebersamaannya, seperti pribahasa “rampak naong, beringin karo”. Disini Nampak rasa kebersamaan masyarakat Madura, rasa senasib sepenanggungan, seperti di tanjung periuk, Kalimantan tengah, jawa timur bagian timur dan sebagainya.
              Ketiga: tradisi bug-rembug(musyawarah untuk mufakat). Kebiasaan masyarakat Madura dalam banyak hal sering melakukan musyawarah, bagian dengan keluarga, masyarakat dan sebagainya.
              Keempat: menghormat kepada orang yang berjasa, berpikir positif, suka balas budi. Pribahasa berikut ini menunjukkan hal tersebut: “bapak, bubu, guru, ratoh” mereka sangat menghormati ayah, ibu, guru dan penguasa.
              Kelima: kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka punya etos kerja sebagai perantau, apapun yang dikerjakan, asal tidak mengemis. Inilah beberapa hal yang bisa diangkat untuk pembangunan Indonesia, baik dalam demokrasi politik, ekonomi maupun social.

Saran

              Saran kami terhadap budaya Madura khususnya mengenai system politik dan pemerintahan Madura lebih dititik fokuskan pada bagaimana seoran pemegang kekuasaan tertinggi dimadura yang disebut dengan bupati harus lebih objektif dalam mengatur rakyatnta agar tidak terlarut dalam kemodernitasan, karena sekarang ini modernisasi sudah sangat keterlaluan, dan bukti dari adanya modernitas yang masuk ini aspek politik dan pemerintahan Madura sendiripun sudah hilang akibat kita sendiri

Kritik

              Kritik kami yaitu terhadap lemahnya pemerintahan dimadura dalam hal mengatur system kerjanya yang sekrang ini sudah semakin memburuk, itu semua terjadi karena seorang yang berkedudukan tinggi tersebut tidak adil dalam melayani rakyatnya, misal pembagian raskin, rakyat tidak keseluruhan mendapat jatah tersebut karena ada permainan politik di belakang itu sehingg itu bias merusak tatanan kebudayaan Madura, dan kritik kmi juga terhadap rakyat Madura, pada saat sekarang ini kita harus wajib memberantas modenitas karena kami melihat rakyat Madura sendiri kebanyakan lebih mengikuti arus modernitas yang ada sehingga itu bias mengakibatkan budaya Madura tahap demi tahap hancur
             
             



























DAFTAR PUSTAKA

Sumarsono S, Mansyur H. dkk, Pendidikan Politik Madura. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
Soebadio,Haryati.Madura Dalam Empat Zaman Pedagang Perkembangan Ekonomi dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi.Jakarta: Gramedia, 1989
Wibowo,Wahyu.Mencari Madura.Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing, 2013
MH Ismahfudi,&AZ Sugiyarto.,Manusia Madura.Yogyakarta: Pilar Media, 2007
Subaharianto,Andang. dkk, Tantangan Industriyalisasi Madura.Malang: Bayumedia Publishing, 2004
Najib,Mohammad. dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara.Yogyakarta: LKPSM, 1996




[1]H. Mansyur, S. Sumarsono, dkk, Pendidikan Politik Madura, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), hlm. 23.
[2]Haryati Soebadio, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi dan Islam Suatu Studi Antropologi Ekonomi, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 59-62.
[3]Wahyu Wibowo, Mencari Madura, (Jakarta: Bidik-PhronesisPublishing, 2013), hlm. 190-191.
[4]Sugiyarto AZ & Ismahfudi MH, Manusia Madura, (Yogyakarta: Pilar Media 2007), hlm. 108-109.
[5]Hildaria Sitanggang & Suratmin, Bentuk- Bentuk Senjata Tradisional,(Jakarta:LKPSM 1996), hlm. 28-29.
[6]Andang Subaharianto, dkk, Tantangan Industriyalisasi Madura, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), hlm. 88-89.
[7]Mohammad Najib, dkk, Demokrasi Dalam Perspektif Budaya Nusantara, (Yogyakarta: LKPSM, 1996), hlm. 176-177.