Friday 27 October 2017

MAKALAH Sosiologi Agama Sebagai Sistem Sosial


MAKALAH
  Sosiologi Agama Sebagai Sistem Sosial
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Sosiologi Agama
Dosen pengampu : Rasidi, M.PD.I

Oleh:


Prodi: Pendidikan Bahasa Arab
Jurusan : Tarbiyah      




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama merupakan sebuah fenomena sosial, dan karenanya ada pada proses timbal balik yang terus menerus serta hubungan serta hubungan interaktif dengan fenomena sosial lainnya.[1] Agama selalu menghadirkan wajah ganda yang ambivalen, menjadi perekat dan sumber integrasi disatu sisi, tapi juga menjadi pemisah dan dan sumber konflik satu sisi lain, bagaimana masyarakat tidak mengenal satu sama lainnya, berasal dari berbagai belahan dunia bisa terbangun sentimennya karena agama. Juga sebaliknya, bagaimana ikatan-ikatan persaudaraan menjadi pudar karena berbeda agama atau pemahaman keagamaan. Wajah ganda agama juga tercermin pada kapasitasnya sebagai sumber penyakit sekaligus penyembuh. Fundamentalisme di tenggara sebagai penyakit yang kerap berujung pada kekerasan. Tapi, agama pula yang berfungsi sebagai obat yang mujarab atau powerful medicine.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Yang Di Maksud Dengan Sistem Social ?
2.      Apa Saja Unsur-Unsur dalam Sistem Sosial ?
3.      Apa Yang Dimaksud Dengan Agama Sebagai Sistem Sosial Budaya ?
4.      Bagaimana Pandangan Geertz tentang Agama Sebagai Sistem Budaya ?
5.      Bagaimana Pengaruh Agama Terhadap Sistem Sosial Budaya ?
C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Sistem Social.
2.      Untuk Mengetahui Unsur-Unsur dalam Sistem Sosial.
3.      Untuk Mengetahui  Apa yang di maksud dengan Agama Sebagai Sistem Sosial Budaya.

4.      Untuk Mengetahui Pandangan Geertz tentang Agama Sebagai Sistem Budaya.
5.      Untuk Mengetahui Pengaruh Agama Terhadap Sistem Sosial Budaya.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sistem Sosial
Secara umum sistem sosial dapat di artikan sebagai suatu sistem yang terdiri sekumpulan tindakan yang dibentuk dari berbagai interaksi sosial antara satu individu dengan individu yang lainnya yang dimana akan selalu tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sistem sosial ini dapat terbentuk dengan sendirinya yaitu karena adanya satu penilaian umum yang telah menjadi sebuah kesepakatan diantara kelompok masyarakat. Penilaian umum ini biasanya memiliki standar-standar tertentu yang di sebut juga dengan norma sosial.
Adapun pengertian sistem sosial juga banyak di kemukakan oleh para ahli yang diantaranya adalah Talcott Persons. Menurut Talcott Persons sistem sosial dapat di definisikan sebagai suatu proses interaksi yang terjadi di dalam masyarakat diantara para pelaku sosial. Interaksi yang terjadi diantara para pelaku sosial ini tentunya akan melibatkan sebuah struktur relasi yang menurut Talcott Persons di sebut sebagai sebuah sistem.
Dengan adanya pendapat dari Talcott Person ini, banyak orang yang mengambil kesimpulan yang di dapat dari hasil pemikiran Talcott Persons yaitu sistem sosial juga terdiri dari sebuah dari kolektivitas dan juga peran.
Oleh Karena itu, interaksi yang terjadi antara satu individu dan individu lainnya menurut Talcott Person akan mampu melahirkan sebuah sistem sosial. Sebagai salah satu contohnya adalah sistem sosial di dalam penjara dimana individu-individu yang ada di dalamnya lebih dari satu orang yang tentunya melibatkan interaksi di dalamnya.



B.     Unsur-Unsur Sistem Sosial
Suatu sistem sosial tidak hanya berupa kumpulan individu. Sistem sosial juga berupa hubungan-hubungan sosial dan sosialisasi yang membentuk nilai-nilai dan adat-istiadat sehingga terjalin kesatuan hidup bersama yang teratur dan berkesinambungan.
Menurut Selo Soemardjan mengacu pendapat Loomis suatu sistem sosial harus terdiri atas sembilan unsur sebagai berikut.
1.      Kepercayaan dan Pengetahuan
Unsur  kepercayaan  dan pengetahuan merupakan unsur yang paling penting dalam sistem sosial karena perilaku anggota dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh apa yang mereka yakini dan apa yang mereka ketahui tentang kebenaran, sistem religi, dan cara-cara penyembahan kepada sang pencipta.
2.      Perasaan
Perasaan adalah keadaan jiwa manusia yang berkenaan dengan situasi alam sekitarnya termasuk di dalamnya sesama manusia. Perbedaan latar belakang budaya suatu masyarakat akan membedakan keadaan kejiwaan masyarakat yang membentuk suatu sistem sosial. Perasaan terbentuk melalui hubungan yang menghasilkan situasi kejiwaan tertentu yang bila sampai pada tingkat tertentu harus dikuasai agar tidak terjadi ketegangan jiwa yang berlebihan.
3.      Tujuan
Dalam setiap tindakannya manusia mempunyai tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Tujuan tersebut, yaitu suatu hasil akhir atas suatu tindakan dan perilaku seseorang yang harus dicapai melalui perubahan maupun dengan cara mempertahankan suatu keadaan yang sudah bagus.
4.      Norma/Kaidah/Peraturan Sosial
Norma adalah pedoman-pedoman tentang perilaku yang diharapkan atau pantas menurut kelompok atau masyarakat. Norma-norma sosial merupakan patokan tingkah laku yang diwajibkan atau dibenarkan dalam situasi-situasi tertentu dan merupakan unsur paling penting untuk meramalkan tindakan manusia dalam sistem sosial. Norma-norma sosial dipelajari dan dikembangkan melalui sosialisasi sehingga menjadi pranata-pranata sosial.
5.      Kedudukan (Status) dan Peran (Role)
Kedudukan adalah posisi seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulan, prestasi, hak-hak, serta kewajibannya. Kedudukan menentukan apa yang harus seseorang perbuat bagi masyarakat. Di dalam setiap sistem sosial dijumpai bermacam-macam kedudukan baik yang diperoleh secara turun-temurun, dengan usaha sendiri maupun kedudukan yang diberikan sebagai penghargaan dari lingkungan sendiri, sedangkan peran (role) adalah pelaksanaan hak dan kewajiban seseorang sesuai dengan kedudukannya.
6.      Tingkat/Pangkat
Pangkat berkaitan dengan kedudukan dan peranan seseorang dalam masyarakat. Seseorang dengan pangkat tertentu berarti mempunyai proporsi hak-hak dan kewajiban-kewajibannya. Pangkat diperoleh setelah melalui penilaian terhadap perilaku seseorang yang menyangkut pendidikan, pengalaman, keahliannya, pengabdiannya, kesungguhannya, dan ketulusan perbuatan yang dilakukannya.
7.      Kekuasaan
Kekuasaan adalah setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak-pihak lain. Kalau seseorang diakui oleh masyarakat sekitarnya maka itulah yang disebut wewenang.
8.       Sanksi
Sanksi adalah suatu bentuk imbalan yang diberikan terhadap seseorang atas perilakunya. Sanksi dapat berupa hadiah dan dapat pula berupa hukuman. Sanksi diberikan oleh masyarakat untuk menjaga tingkah laku para masyarakat supaya sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap masyarakat akan menerapkan sanksi baik yang positif maupun sanksi yang negatif kepada anggotanya, tetapi wujud dan tingkatan sanksi yang diberikan sangat tergantung pada peradaban masyarakat tersebut.
9.      Fasilitas (Sarana)
Fasilitas adalah semua bentuk cara, jalan, metode, benda-benda yang digunakan manusia untuk menciptakan tujuan sistem sosial itu sendiri. Fasilitas di sini sama dengan sumber daya material yang berupa gagasan atau ide.

C.     Agama Sebagai Sistem Sosial Budaya
Konsep mengenai kebudayaan yang di kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mengkaji serta memahami agama.atau dalam kata lain di sinilah agama merupakan sistem budaya. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan yaitu sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya. Sedangkan agama yang dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan oleh sebuah masyarakat, maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang hanya sebatas yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.[2] Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada tersebut. Bila agama telah menjadi sistem dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata,prilaku yang ada dalam masyarakat itu Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain atau yang berbeda dari pembahsan tersebut, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja. Apa gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama.
1.      Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya.
2.      Untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan masyarakat yang ada.
3.      Seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal( bukan mengikuti praktek budaya yang bertentangan) tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah prontal maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang merugikan da’wah yang ada. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesesuaian dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat itu.

D.    Pandangan Geertz tentang Agama Sebagai Sistem Budaya,
Geertz adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang agama sebagai sebuah sistem budaya. Karya Geertz, "Religion as a Cultural System," dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama berhenti  pada teori-teori besar Mark Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai: "A system of symbols which acts to establish powerful, pervasive and long-lasting moods and motivations of a general order of existence and clothing these conceptions with such an aura of factuality that the moods and motivations seem uniquely realistic."Dengan pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle) untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu, sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan perilaku manusia.Geertz menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz yang tertuang dalam The Religion of Java maupun Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat. Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya lokal.[3]

E.     Pengaruh Agama Terhadap Sistem Sosial Budaya
Struktur peter M Blau, menyatakan bahwa struktur sosial adalah penyebaran secara kuantitatif warga komunitas didalam berbagai posisi sosial yang berbeda yang mempengaruhi hubungan di antara mereka. Karakteristik pokok dari struktur yaitu adanya berbagai tingkat ketidaksamaan atau keberagaman antar bagian dan konsolidasi yang timbul dalam kehidupan bersama, sehingga mempengaruhi derajat hubungan antar bagian tersebut yang berupa dominasi, eksploitasi, konflik, persaingan, dan kerjasama. Selanjutnya Blau mengelompokkan parameter nominal dan gradual. Parameter nominal membagi komunitas menjadi sub-sub bagian atas dasar batas yang cukup jelas, seperti agama, ras, jenis kelamin, pekerjaan, marga, tempat kerja/tinggal, afiliasi politik, bahasa nasionalitas, dan sebagainya. Kalau dicermati pengelompokkan ini bersifat horizontal, dan akan melahirkan berbagai “golongan”. Adapun parameter gradual membagi komunitas kedalam kelompok sosial atas dasar peringkat status yang menciptakkan perbedaan kelas, seperti pendidikan, pendapatan, kekayaan, prestise, kekuasaan, kewibawaan, intelegensia, dan sebagainya. Jadi pengelompokkan ini bersifat vertical, yang akan melahirkan berbagai “lapisan”. Atas dasar struktur sosial yang dikemukakan Blau di atas, dapat disebutkan behwa interaksi antar bagian dalam kehidupan bersama dapat terjadi antar kelompok, baik atas dasar parameter nominal atau gradual.; bahkan tidak hanya secara internal tetapi juga secara eksternal. Interaksi antar bagian dalam kehidupan sosial, atas anggota dari berbagai “golongan” dan “lapisan” tadi. Sementara itu berdasarkan konsep parson (1951). Setiap sistem sosial diperlukan persyaratan fungsional. Diantaranya dijelaskan bahwa sistem social harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan dengan tuntutan transformasi pada setiap kondisi tindakan warga (adaptation). Berikutnya, tindakan warga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama (goal attainment). Kemudian persyaratan lain adalah bahwa dalam interaksi antar warga setidaknya harus ada suatu tingkat solidaritas, agar struktur dan sistem sosial berfungsi (integration).Salah satu yang menetukan sistem sosial budaya yang ada dimasyarakat adalah agama. Agama dapat menetukan sistem sosial budaya yang ada dimasyarakat, contoh : sistem kasta yang ada pada agama hindu. Pada sistem kasta interaksi antar golongan yang tersekat ini telah diatur dalam tata caranya sendiri, bagaimana bersikap, dan bertingkahlaku terhadap golongan lainnya telah diatur dalam agama. Contoh lain pengaruh agama dalam sistem social budaya adalah diadaptasikannya aturan-aturan agama dalam hukum dan tata aturan dimasyarakat seperti syariat Islam di NAD. Selain itu agama juga berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan sosial budaya antara lain; sistem perkawinan, sistem kekerabatan, sopan santun, dan lainnya. Sistem atau pola sosial selalu bisa berubah bahkan yang dianggap didasarkan pada agama, Contoh kasus : Beberapa orang tertentu, memutuskan untuk tidak melaksanakan ritual-ritual yang menurutnya bid’ah meskipun mereka mengetahui juga, bahwa tindakan ini bertentangan dengan pola-pola yang berlaku mengenai konsep beragama yang layak pada masyarakat. Tapi ketika banyak orang yang tidak melakukan ritual-ritual telah dianggap biasa, maka pola-pola yang berlaku mengenai konsep beragama yang layak bagi orang tersebut telah berubah. Apabila tingkah laku yang digariskan oleh pola-pola terlalu kurang dapat menguntungkan untuk menghadapi keadaan yang aktual, maka pola-pola sendirilah yang akan berubah. Jika tidak demikian, maka pola-pola tersebut akan lebih merupakan penghalang daripada menguntungkan masyarakat.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara umum sistem sosial dapat di artikan sebagai suatu sistem yang terdiri sekumpulan tindakan yang dibentuk dari berbagai interaksi sosial antara satu individu dengan individu yang lainnya yang dimana akan selalu tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Unsur-Unsur Sistem Sosial
1.      Kepercayaan dan Pengetahuan
2.      Perasaan
3.      Tujuan
4.      Norma/Kaidah/Peraturan Sosial
5.      Kedudukan (Status) dan Peran (Role)
6.      Tingkat/Pangkat
7.      Kekuasaan
8.      Sanksi
9.      Fasilitas (Sarana)
Pandangan Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian agama berhenti  pada teori-teori besar Mark Weber dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu mengubah suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari sistem budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah sistem budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Salah satu yang menetukan sistem sosial budaya yang ada dimasyarakat adalah agama. Agama dapat menetukan sistem sosial budaya yang ada dimasyarakat, contoh : sistem kasta yang ada pada agama hindu. Pada sistem kasta interaksi antar golongan yang tersekat ini telah diatur dalam tata caranya sendiri, bagaimana bersikap, dan bertingkahlaku terhadap golongan lainnya telah diatur dalam agama. Selain itu agama juga berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan sosial budaya antara lain; sistem perkawinan, sistem kekerabatan, sopan santun, dan lainnya. Sistem atau pola sosial selalu bisa berubah bahkan yang dianggap didasarkan pada agama, Contoh kasus : Beberapa orang tertentu, memutuskan untuk tidak melaksanakan ritual-ritual yang menurutnya bid’ah meskipun mereka mengetahui juga, bahwa tindakan ini bertentangan dengan pola-pola yang berlaku mengenai konsep beragama yang layak pada masyarakat. Tapi ketika banyak orang yang tidak melakukan ritual-ritual telah dianggap biasa, maka pola-pola yang berlaku mengenai konsep beragama yang layak bagi orang tersebut telah berubah. Apabila tingkah laku yang digariskan oleh pola-pola terlalu kurang dapat menguntungkan untuk menghadapi keadaan yang aktual, maka pola-pola sendirilah yang akan berubah. Jika tidak demikian, maka pola-pola tersebut akan lebih merupakan penghalang daripada menguntungkan masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA
Ronald L. Johnstone, Religion In Society; Sociology Of Religion, (New Jersey:Prentice Hall, 1992)
Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi.( Jakarta: Bhratara 1998).
Syaifuddin, Fedeani., 1988. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Rajawali 1998)




[1]               Ronald L. Johnstone, Religion In Society; Sociology Of Religion, (New Jersey:Prentice Hall, 1992), Fourth Edition, hlm. 1

[2] Koentjaraningrat. Ilmu Antropologi.( Jakarta: Bhratara 1998). Hal 73
[3] Syaifuddin, Fedeani.. Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis. (Jakarta: Rajawali.1988) hlm 236